SEBUAH kejutan datang menjelang akhir tahun. Sejumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berkunjung ke Mimika daerah untuk melakukan sosialisasi UUD 1945 hasil amandemen. Kejutan? Ya karena sudah lama kita tak mendengar kegiatan semacam itu lagi.
Dulu, rasanya kita sudah dibuat muak dengan apa yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Sejak kecil kita diharuskan menghafal Pancasila, UUD 1945, bahkan nama-nama menteri. Setiap tahun kita seolah dipaksa menonton film Pengkhianatan G30S/PKI, yang menurut pemerintah berhasil ditumpas berkat kesaktian Pancasila. Ada program Kelompencapir atau Laporan Khusus di TVRI, televisi pemerintah dan satu-satunya stasiun televisi di Indonesia saat itu. Prinsipnya, pemerintah merasa harus melakukan itu dengan alasan demi “pembangunan” dan “stabilitas nasional”.
Indonesia di masa Orde Baru seolah zaman perang. Musuh diciptakan, dengan nama yang beraneka ragam: bahaya laten PKI, organisasi tanpa bentuk, gerakan pengacau keamanan, dan sebagainya. Penangkalnya juga macam-macam, bisa melalui BP7, institusi yang didirikan agar warga “mengamankan dan mengamalkan Pancasila”, atau Departemen Penerangan, yang benar-benar menjadikan pers sebagai alat propaganda. Seperti Nazi Jerman yang melancarkan propaganda anti-Yahudi dan propaganda melawan Sekutu dalam Perang Dunia. Seperti Amerika Serikat saat ini yang di bawah pemerintahan George W. Bush mempropaganda perang melawan terorisme.
Tapi reformasi meruntuhkan semuanya. Departemen Penerangan dihapus. BP7 tak terdengar lagi kabarnya. Tak ada lagi pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), tak ada lagi penataran Pendidikan, Penghayatan, dan Pengalaman Pancasila (P4). Bahkan kita merasa tak perlu menghafal nama-nama menteri. Toh, nama-nama menteri itu bisa kapan saja berubah. Tapi dampaknya, pemerintah dihadapkan pada persoalan mengomunikasikan dan menyosialisasikan program dan kebijakan pemerintah? Persoalan komunikasi politik sudah muncul sejak pemerintahan Habibie.
Sekarang kita hanya bisa tahu secara samar-samar program pemerintah lewat iklan layanan masyarakat di media massa. Sesekali ada pesan masuk dari presiden, langkah yang diikuti instansi lain, lewat short message service (SMS).
Pemerintahan SBY tampaknya memahami sifat dasar kampanye politik kontemporer, yang menurut ahli komunikasi politik Dan Nimmo, terletak pada upaya bagaimana memersuasi warga melalui periklanan massa (komunikasi massa) dan retorik (komunikasi interpersonal), bukan pada propaganda. Bentuk komunikasi semacam ini mampu menyebarkan informasi kepada khalayak dengan cara yang halus, disusupkan, dan tidak mengundang antipati.
Hanya saja, bentuk komunikasi yang dijalankan pemerintah sering mengabaikan hukum komunikasi: dua arah. Semuanya monolog. Bagaimana warga bisa memahami kebijakan dan program pemerintah? Bagaimana mungkin partisipasi warga ikut tergerak, lalu menyampaikan pesan-pesan itu kepada pihak yang lebih luas?
Memang bukan hal mudah bagi pemerintah untuk menyampaikan pesan. Media juga sudah tak begitu tertarik meliput program-program pemerintah, atas nama rating, dan lebih memilih membuat program kriminalitas atau gosip artis. Inilah tantangannya.
Jika MPR, dengan dukungan pemerintah, kini menyosialisasikan UUD 1945 hasil amandemen bisalah dipahami. Amandemen UUD 1945, yang dulu disakralkan, merupakan salah satu prestasi penting MPR. Hasil amandemen telah mengerdilkan potensi kekuasaan tanpa batas. Hasil dari amandemen itu sudah kita rasakan, yakni pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, penghapusan Dwifungsi TNI/Polri, kebebasan berpendapat, perlindungan hak asasi manusia, dan sebagainya. Tapi hasil amandemen itu selama ini hanya diketahui segelintir orang.
Tapi keraguan juga tak bisa disalahkan. Ragu karena jangan-jangan model lama akan dipakai lagi. Pemerintah maupun MPR sendiri tidak menjabarkan secara jelas apa bentuk dan model sosialisasi yang akan dipakai? Apakah kelak semua warga negara juga akan diwajibkan mengikuti sosialisasi?
Sejauh ini saya masih agak tenang karena janji Ketua Umum MPR Hidayat Nurwahid sudah di tangan. Pada suatu kesempatan, ia menegaskan bahwa sosialisasi UUD 1945 hasil amandemen tak akan menggunakan sistem indoktrinasi, dengan penataran atau monolog. Semoga itu bukan janji kosong semata.*
Tuesday, May 23, 2006
Ketika Propaganda Tak Ada Lagi
at
7:51 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment