Saturday, November 09, 2002

Anak Wayang Menggiring Angin

SUARA gending mengalun. Kursi penonton masih kosong. Di depan panggung para pengrawit memainkan peralatan masing-masing. Cahaya lampu menyorot layar yang masih terkembang. Dekorasi panggung tertata apik dengan puncak logo bergambar mangkoro dan tulisan “Ngesti Pandowo” bertuliskan huruf Jawa di bawahnya.

Alunan gamelan berhenti sejenak, hening, lalu mengalun lagi dengan layar tergulung ke atas. Seorang penari berbaju merah bersimpuh beberapa saat, kemudian menari, tanda pertunjukan wayang dengan lakon “Srikandi Menjadi Ratu” dimulai.

Ruang Gedung Ki Narto Sabdo di kompleks Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang yang berkapasitas 240 penonton, tak termasuk balkon, hanya terisi tujuh orang, yang menyimak pertunjukan dan dialog pemain yang lamat-lamat.

Cicuk Sastrosoedirdjo duduk menyendiri di antara kursi-kursi penonton yang kosong. Setiap pentas ia harus mengawasi pertunjukan sebagai pemimpin harian. Ia termasuk generasi ketiga di Ngesti Pandowo. Lelaki dari 5 bersaudara ini satu-satunya anak Sastrosoedirdjo yang terlibat di paguyuban wayang orang ini. “Saya tak dididik untuk main, sehingga tak pernah main,” ujarnya sembari menyimak pertunjukan.

Kesibukan terjadi di belakang panggung. Beberapa orang menarik-ulur kelir, mengatur sound system, dekorasi panggung, dan tata lampu. Beberapa pemain sibuk merias diri. Talok dengan sigap dan terampil memainkan tangannya; merias wajah sebagai Cembowati, istri Kresna. Soeratno memulaskan wajahnya menjadi seorang pendeta.

Soeratno dan Talok merupakan generasi pertama Ngesti Pandowo. Keduanya diambil anak oleh Sastro Sabdo, menjadi bujangan. Soeratno lahir tahun 1934, dan masuk Ngesti Pandowo delapan tahun kemudian. “Ayah saya dengan Sastro Sabdo sudah seperti kakak-beradik,” kata Soeratno.

Talok yang lahir pada 1940 sudah diambil sebagai anak Sastro Sabdo sejak berusia lima tahun. “Saya keponakan Bu Sastro Sabdo.”

Mereka menjadi bujangan bersama duapuluhan anak muda lain yang menjadi tanggungan Sastro Sabdo. Keseharian mereka seperti anak muda umumnya. Bermain, pergi ke sekolah, dan acap membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Malam hari mereka melihat pertunjukan wayang. “Bujang itu enak. Seperti keluarga, makan dan sebagainya dari Sastro Sabdho, tapi gaji utuh,” ujar Talok, yang punya nama asli Kasinem.

Mereka mengikuti ke mana pun Ngesti Pandowo pentas. Kalau berhenti di suatu tempat, rombongan diinapkan di rumah besar di kampung-kampung yang dikontrak, meski ada juga sebagian di hotel. Sebagai tempat pentas, dicarilah gedung yang mencukupi. Jika tak ada, dibuatlah tobong. Tiap malam Soeratno dan Talok menonton pertunjukan dari pinggir pilar, sekaligus mempelajari karakter tokoh-tokoh wayang, hingga mahir memainkannya.

Persiapan sudah selesai. Soeratno dan Talok bergegas menuju samping panggung, menunggu giliran tampil.


NGESTI Pandowo sendirian di Semarang. Perkumpulan Sri Wanito yang dipimpin dua bersaudara Yuk Hwa dan Kong Hwa berdiri tahun 1935, dan Wahyu Budoyo yang didirikan Sri Ani Sukarti pada 1970, sudah lama bubar. Ngesti Pandowo didirikan oleh Sastro Sabdho di Maespati, Madiun, 1 Juli 1937. Pertunjukan pertama “Endang Werdiningsih” beroleh sukses. Ngesti Pandowo kemudian menjadi kelompok wayang keliling. Dengan ukuran tonil (panggung) masih kecil dan kelir 7 ban per meter, serta busana dan gamelan sewaan, Ngesti Pandowo pentas dari satu pasar malam ke pasar malam; di Nganjuk, Kediri, Tukung Agung, Blitar, Kertosono, dan kembali ke Madiun. Sastro Sabdho kemudian diperkuat oleh Sastrosoedirdjo, Kusni, Darso Sabdho, Narto Sabdho, dan Marno Sabdho.

Keadaan susah dialami ketika zaman Jepang karena pemberlakuan jam malam dan sensor. Masalah datang ketika main di bioskop Gran dengan lakon “Kikis Tunggorono”. Sutradara Kusni diminta menghadap bagian sensor, dan diinterogasi. Lolos sensor, dan Ngesti Pandowo pun bisa pentas lagi. Keadaan susah ini bertahan hingga Jepang menyerah.

Meski masih kecil, Soeratno dan Talok sudah ikut rombongan ketika pendudukan Belanda, agresi kedua. Saat itu Ngesti Pandowo main di Delangu. Pukul 24.00 ada tentara Indonesia memberitahu bahwa gedung pertunjukan akan dibakar karena Delangu sudah diduduki Belanda, sehingga alat-alat harus segera dipindahkan. Wirjo, RM Begog, Markum, Kasidi, Truno Kartika, dan Tjipto mengangkat semua peralatan dan menitipkan ke rumah-rumah penduduk. Soeratno dan Talok hanya bisa melihat kesibukan senior-seniornya.

Oleh Sastrosoedirdjo, peralatan gamelan itu baru dibawa ke Solo ketika keadaan relatif tenang, meski di perjalanan sempat dicegat penjagaan Belanda. Keadaan genting ini membuat anak-anak wayang tak pentas selama satu tahun. Sebagian pemain pulang ke daerah masing-masing, dan sisanya menginap di rumah Sastrosoedirdjo. Talok berada di rumah Sastro Sabdho di Solo. Soeratno pulang ke rumah orang tuanya di Klaten selama setengah bulan, dan kemudian bergabung kembali ke Solo.

September 1949, akhir pendudukan Belanda, Ngesti Pandowo mendapatkan job untuk pentas di pasar malam di Stadion Semarang. Ki Narto Sabdho mengumpulkan anggotanya. Beberapa anggota di luar daerah dijemput. Karena tak semuanya kumpul, direkrut pemain-pemain baru. Mereka berangkat dengan truk yang dikawal konvoi Belanda. Di Semarang mereka mendapat asrama di kantor sosial di Jalan Kaligawe. Setelah sebulan, Ngesti Pandowo pentas di pasar malam Tegal, dan kemudian kembali ke Semarang untuk main di gedung kesenian di Dargo.

“Sastro Sabdho menginap di Peterongan. Kalau berangkat ke Dargo naik becak, iring-iringan seperti parade,” ujar Talok yang tak diizinkan main oleh polisi militer Belanda karena masih kecil.

Perlahan, sebagian anggota lainnya berkumpul kembali. Ngesti Pandowo mulai menetap, dan menata diri.


HARI itu, pukul 08.00, Walikota Semarang Hadisoebeno Sasrowerdoyo bersama kedua anaknya menemui Sastro Sabdho.

“Pak Sastro, sebetulnya Ngesti Pandowo tak layak main di sini. Sayang sekali.”

“Mau main dimana lagi?”

“Main di pusat kota.”

“Tapi bagaimana?”

“Tapi mau, Pak? Saya sanggup memberi gedung.”

“Mau!”

“Saat ini saya belum bisa beri gedung, karena biayanya besar. Saya beri brak (los) dulu.”

Ngesti Pandowo diberi tempat pementasan di belakang Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS). GRIS sebelumnya merupakan sebuah sosietet de Harmonie (gedung pertemuan Harmoni) milik seorang Belanda. Karena letaknya dirasa tak baik untuk sebuah sosietet, gedung itu dijual pada Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM). Untuk acara-acara sosietet De Harmonie dibuat gedung baru di Jalan Bojong. GRIS kemudian berpindah tangan ke Fonds Gris yang terbentuk Agustus 1945 dan beranggotakan wakil-wakil dari penduduk kota Semarang yang diketuai Hadisoebeno Sasrowerdoyo. Fonds Gris dibubarkan pada 1950, diganti Yayasan Gedung Rakyat, setelah tujuan pembelian gedung terlaksana. Pada 1953 dibangun gedung kesenian, yang kemudian dipinjamkan pada Ngesti Pandowo.

Di GRIS Ngesti Pandowo mengalami kejayaan. Mengunjungi Semarang tanpa menonton Ngesti Pandowo sungguh suatu kerugian, begitu kata orang-orang Semarang tempo doeloe. Begitu juga turis asing yang mengunjungi Indonesia. Ngesti Pandowo menjadi salah satu trade mark kota Semarang.

“Dulu meski hujan ada penonton. Gedung belum dibuka, orang-orang sudah antri beli karcis dan pesan tempat. Kalau tak pesan tempat, tak kebagian,” ujar Soeratno yang bisa memerankan tokoh apa saja; balatentara Kurawa, Petruk, Ontoseno, atau tokoh idolanya, Anoman.

Tak jarang ada penggemar yang kedanan (tergila-gila). Talok termasuk pemain yang punya banyak penggemar. “Misalnya ada orang punya hajat, kalau yang fanatik ya memanggil saya untuk main,” ujar Talok yang acap menjadi Abimanyu.

Soekarno salah satu penggemar wayang orang ini. Ada dua bambangan cakil kesayangan Soekarno yang dimainkan oleh Soetjipto dan Soewarni. Keduanya pemenang lomba tari bambangan cakil seluruh Jawa yang diadakan pemerintah. Mereka kerap diundang ke Istana Negara untuk menghibur tamu-tamu negara, serta tiap perayaan kemerdekaan Indonesia. Ketika Soewarni keluar dari Ngesti Pandowo, Talok menggantikannya.

Suatu ketika, Ngesti Pandowo pentas di Ikada. Soekarno datang, lalu meminta Ngesti Pandowo tampil di Istana keesokan harinya. Selepas tampil, Soekarno mengajak makan sembari mengobrol dan bercanda.

“Saya bangga dan gembira makan bareng Bung Karno. Bapak duduk di muka saya,” kata Soeratno yang masih ingat sajian penutup pisang ambon yang besar-besar, dan bisa dimakan untuk tiga orang.

“Saya merasa senang, merasa dihargai, ‘kok hanya Ngesti Pandowo yang dapat perhatian’. Anak-anak dan para menteri juga menonton,” kata Talok.

“Ngesti Pandowo main di Istana Bogor dan Merdeka sudah tiga kali. Di Istana Bogor tak diajak makan. Dulu masih Bu Fatmawati, tapi tak ikut. Mega, Rachma, Guruh, dan Sukma masih kecil-kecil,” ujar Soeratno.

Ada kejadian menarik mengenai Soekarno ketika memberi kuliah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penduduk Yogya tahu betul bahwa Soekarno akan menonton selepas mengajar. Di muka brak pentas dipadati penonton. Tiba-tiba gedeg (dinding dari anyaman bambu) jebol, Soekarno muncul dari belakang brak diikuti rombongan, lalu berkumpul dengan penonton lain. “Penonton tahunya Bung Karno bisa menghilang. Padahal Beliau tahu kalau lewat depan akan mengganggu penonton,” kata Soeratno, tergelak.

Untuk meningkatkan penghasilan pada 1959 Ngesti Pandowo masuk dapur rekaman. Sebagai langkah percobaan Ngesti Pandowo menjual naskah cerita “Kongso Adu Jago” dan “Kresno Kembang” dengan harga Rp 45.000 kepada Remaco yang merekamnya dalam bentuk piringan hitam. Karena relatif sukses, Remaco kemudian meminta lima naskah lagi untuk direkam.

Soeratno dan Talok menikmati masa jaya Ngesti Pandowo yang berdampak pada kesejahteraan anak-anak wayang. Ngesti Pandowo menanggung biaya sakit, melahirkan, maupun kebutuhan sekolah anak-anak anggota.

Zaman berubah, perlahan kejayaan itu meredup. Sesudah Kusni meninggal pada 1980, kemudian diikuti Sastrosoedirdjo pada 1984, dan Ki Narto Sabdho setahun kemudian, Ngesti Pandowo kehilangan tokoh-tokoh panutan. Bersamaan dengan itu, muncul kesulitan kronis soal manajemen dan kreativitas, hingga terlontar untuk menjual peralatan dan inventaris. Jumlah penonton makin surut hingga menyisakan 5 orang per malam. Kesejahteraan perlahan dikurangi dan kemudian dihentikan. Ketika masalah ini terselesaikan, muncul masalah lain yang bahkan lebih berat. Pada November 1996, Ngesti Pandowo digusur dari GRIS yang diambil-alih oleh pihak ketiga, Bank Pembangunan Daerah Jateng. Penggusuran ini mengejutkan masyarakat. Radio BBC menyiarkan sekaligus menyesalkannya. Anak-anak wayang kecewa, sedih, tak bisa membayangkan apakah masih bisa pentas dan mendapatkan uang.

Ngesti Pandowo kemudian diizinkan pentas di gedung TBRS, tanpa jadwal yang jelas dan tanpa background. Enam bulan berhenti pentas, Ngesti Pandowo menyewa gedung di Istana Majapahit dan bisa menggelar pentas secara penuh. Namun pengunjung telah berkurang drastis, hingga biaya sewa tak terbayar. Bantuan pemerintah daerah pun hanya bertahan 4 bulan. Terakhir, Gedung Ki Narto Sabdo di TBRS menjadi tempat pementasan, hingga kini.

“Ada surat resmi dari wali kota. Di sini dibebaskan dari sewa, tapi diberi kesempatan pentas tiga kali seminggu, Kamis sampai Sabtu,” kata Cicuk. “Susahnya kalau gedung ini dipakai untuk pementasan lain, alat-alat ini harus dipindahkan dulu, kecuali kalau untuk pementasan wayang. Padahal peralatan ini kan permanen dan sebagian sudah usang sehingga rawan.”

Namun ini pun tak mampu menaikkan kembali pamor Ngesti Pandowo. Setiap pementasan hanya dihadiri segelintir orang. praktis, kesejahteraan anak-anak wayang pun makin berkurang.


SORE itu, kesibukan terlihat di sebuah kompleks di Perumahan Kakancanmukti yang dikenal sebagai perumahan Ngesti Pandowo. Beberapa remaja bermain gitar, dan anak-anak berlari-lari. Tapi rumah bernomor 423 lengang. Tiga ekor burung tertidur di sangkar masing-masing. Di bawahnya empat sepeda tergeletak tak beraturan. Gambar Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri menghiasi dinding bercat putih yang sedikit mengelupas dengan sebuah lampu di bawahnya. Kursi tamunya juga sedikit rusak.

Seorang pria keluar dengan pakaian rapi. Kumisnya tipis, dan wajahnya menyisakan kegagahan sebagai pemain wayang. Cucunya yang berusia 5 tahun mengikuti dari belakang. Afrizal Ramadhani, nama anak itu, adalah cucu dari anak pertama Soeratno-Talok yang dititipkan di rumah pasangan ini. Enam dari delapan anak mereka sudah menikah, dan sisanya sudah mandiri.

“Saya tinggal di sini tak keluar sepeser pun, dan selang 3 bulan sertifikat keluar,” ujar Soeratno sembari menunjukkan buku catatan yang sedikit kumal. Di situ tercatat 24 April 1990 sebagai tanggal penempatan rumah itu. Sebuah foto hitam-putih bergambar Soeratno beraksi dengan penampilan Anoman dan brosur pementasan di India yang memakai gambar itu, terselip. Soeratno menunjukkan gambar itu dengan bangga.

Tak beberapa lama kemudian Talok muncul.

Soeratno dan Talok menikmati masa tuanya di rumah sederhana itu. Keseharian Talok disibukkan dengan membereskan rumah, dan sesekali mengikuti arisan atau kegiatan ibu-ibu di kampung. Soeratno biasa membaca koran atau majalah, mengisi teka-teki silang, dan sesekali memutar video compct disc. “Saya suka film detektif,” ujar Soeratno yang menikahi Talok pada 1956.

“Kami tak punya kesibukan apa-apa. Sudah lima tahun ini saya berhenti memberi kursus tari dan rias pengantin. Sudah banyak tempat kursus. Kesibukan utama kami sekarang ya mengurusi cucu,” kata Talok yang masih menyiratkan kecantikannya.

Meski usia menginjak senja, pasangan ini tetap bertahan di Ngesti Pandowo yang hanya bisa menggaji anggotanya di bawah upah minimum regional; Rp 2.000-5.000, tergantung jumlah penonton. Sejak pamor Ngesti Pandowo meredup, kehidupan pas-pasan semacam ini biasa mereka hadapi. “Meski kehidupan susah, saya serahkan pada Yang Di Atas. Dapat banyak ya dimakan, sedikit ya dimakan. Saya sendiri heran kok bisa hidup dengan penghasilan sekecil itu. Tapi kuncinya, hati tetap senang,” ujar Soeratno.

“Ini soal melestarikan budaya, panggilan seni,” kata Talok yang pernah meraih penghargaan bintang karena kesetiaannya dari Ngesti Pandowo saat peringatan 25 kelompok wayang ini.

Pukul 17.00. Sebentar lagi, sebuah mobil akan menjemput anak-anak wayang itu menuju tempat pementasan.*

Read More......

Monday, November 04, 2002

Superdirector: One Man Show

DIA berwajah bayi. Perawakannya kecil, tapi badannya gempal. Kulitnya rada gelap. Pakaiannya hitam-hitam. Dia duduk bersila di ruang tamu yang terasa adem, menikmati video musik dari MTV.

“Saya ini termasuk generasi MTV, generasi yang lahir ketika MTV lagi jaya-jayanya,” katanya, menyebut saluran khusus musik MTV yang muncul pada 1981.

Ketika itu, dia bukanlah siapa-siapa. Dia seperti remaja kebanyakan yang suka hal-hal baru. Kebetulan saja dia anak diplomat, yang harus hidup berpindah-pindah negara. Saat itulah dia menikmati MTV, dan takjub musik bisa berpadu dengan gambar. Musik ternyata tak hanya bisa didengar, tapi juga dilihat mata. Baginya, itu sesuatu yang baru. “MTV saya lihat sebagai satu revolusi kebudayaan pop. Fenomenal,” katanya.

Saat itu jauh dari pikirannya untuk menjadi sutradara video musik, meski dia sudah iseng bikin video musik sendiri. Dia membuatnya ketika kelas dua SMA di Srilanka, negara tempat ayahnya, Mohammad Saleh, bertugas pada 1983. Temannya, Edi Setiawan, punya kamera home video keluaran terbaru dari Sony. Karena mengidolakan Duran-Duran, muncul keinginan membuat video musik. Kebetulan salah satu video musik Duran-Duran berlokasi di Srilanka, jadi lokasinya sama. Ada dua lagu Duran-Duran yang mereka garap; Lonely in Your Nightmare dan Hungry Like The Wolf. Aksi mereka yang cuma berjalan-jalan direkam dalam pita kaset Betamax. Setelah selesai, mereka mengeditnya secara manual; dari VHS ke VHS.

“Kalau mau ngomong inspirasi bikin video musik, bukan (Steven) Spielberg, bukan orang film, malah Duran-Duran. Karena saat itu mereka bikin musik video yang benar-benar tergarap,” katanya.

“Saat MTV baru keluar, yang lain (video musiknya) cuma di studio. Ada dua yang fenomenal; Michael Jackson dan Duran-Duran. Saya suka Duran-Duran karena video klipnya lebih berpetualangan, di negara antah berantah segala macem, yang fantasi. Kalau Micheal Jackson ‘kan lebih dance.”

Srilanka jadi negara terakhir ayahnya bertugas di luar negeri setelah sempat ditempatkan di Iran dan Yugoslavia. Ayahnya pensiun, dan mulai menetap di Jakarta. Tapi, tiga tahun kemudian, ketika dia menginjak tingkat dua di Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti, Jakarta, ayahnya meninggal dunia. Keluarganya kehilangan satu-satunya sumber pencari nafkah. Untuk menambah biaya kuliah, dia mengerjakan poster-poster komikal di toko komik DEHA di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Dia menggambar tokoh komik terkenal Superman, yang kemudian dipajang di dinding toko.

Suatu ketika, pada 1991, Edward Buntario, art director di Creative Concepts, sebuah perusahaan periklanan di Jakarta, tertarik dengan poster-poster itu dan ingin berkenalan dengannya.

“Nama saya Rizal Mantovani.”

“Kamu yang gambar ini, ya?”

“Iya.”

“Mau nggak kerja di kantor saya jadi grafis desainer?”

“Waduh Pak, susah banget. Saya sekarang lagi kuliah.”

“Ya udah part time aja lah.”

“Part time? Ya, boleh deh.”

Keesokan harinya, dia diperkenalkan dengan Richard Buntario, adik Edward yang punya perusahaan itu. Richard memintanya menggambar. Richard juga menanyai kesukaannya, yang dia jawab menonton MTV dan Sesame Street, serial televisi karya Jim Henson, yang juga memopulerkan The Muppet Show. Sejak pemunculannya pada 1970 Sesame Street sukses besar dan menjadi program yang sangat diminati anak-anak sepanjang sejarah pertelevisian.

“Jadi bahasa televisi kita nyambung, sama. Itu membuat saya tertarik untuk merekrut dia,” kata Richard.

Di Creative Concepts pekerjaannya membuat story board untuk keperluan iklan. Setahun kemudian, ketika Richard Buntario mendirikan perusahaan baru bernama Broadcast Design Indonesia (BDI), dia ikut bergabung. Selain membuat iklan, BDI juga memanfaatkan keberadaan televisi swasta dengan membuat acara televisi. Di sinilah dia kemudian dilibatkan sebagai asisten Richard Buntario. Dia terlibat dalam penggarapan Bursa Komedi untuk RCTI. Salah satu tokohnya, sebuah boneka bernama Bob yang jadi pasangan pelawak Krisna Purwana, dibikinnya dan juga dimainkan olehnya. Tokoh itu lahir karena kesukaannya pada serial pendidikan Sesame Street ketika kecil.

“Saya ingat Sesame Street ketika buat acara teve, yang humor tapi kepengin beda. ‘Apaan ya, boneka saja kali ya.’ Karena ‘kan bikin orang tertawa saja susah. Ada pepatah film di Inggris, dying is easy, comedy is hard. Mati itu lebih gampang daripada buat orang ketawa,” katanya.

“Saya memang senang Sesame Street. Jadi boneka-bonekanya Jim Henson itu saya senang banget, seperti Kermit dan Ernie. Dulu saya nonton Sesame Street tiap hari. Dulu Iran punya tiga channel, salah satunya pasang Sesame Street.”

Setelah bikin acara televisi, dia ingat kesukaannya nonton MTV. Dia lalu menonton beberapa video musik di TVRI. “Saya lihat video klip-video klip di teve pada 1991 itu, kecuali video klip Jay Subiakto, kalau syutingnya nggak di taman ya di Ancol. Isinya begitu melulu,” katanya.

Dia melihat video musik Jay Subiakto lebih berwarna etnik. Warna pop belum tergarap. Warna inilah yang kemudian dia tawarkan kepada Richard Buntario.

“Chard, kita bikin video musik, yuk.”

“Ayo, ayo. Cuma materinya mana. Ini ‘kan susah, dan kita bukan di dunia itu.”

Tawaran kali pertama datang dari teman Richard untuk membuat video musik dangdut Suka-Sukaku yang dinyanyikan Helvy Mariyand. Meski tak mendapat respon luar biasa, hasil dari pekerjaan pertama ini mereka tawarkan ke Musica Studio. Indrawati Widjaja, direktur produksi, menyambutnya dan menawarkan pembuatan video musik rapper Iwa K berjudul Kuingin Kembali. Ketika ditayangkan, video musik ini dianggap sebuah terobosan baru dalam industri musik Indonesia. Sejak itu BDI menerima banyak permintaan untuk pembuatan video musik yang dikerjakan Richard bersamanya sebagai asisten.

“Sebagai asisten dia rajin, setia, disiplin, dan sangat mendukung sekali sehingga bisa diandalkan. Kalau saya nggak masuk sehari-dua hari dia bisa melanjutkan pekerjaan saya. Benar-benar asisten yang diidealkan banget oleh setiap sutradara,” kata Richard.

Kerja sama itu berbuah manis. Keduanya meraih gelar sutradara terbaik dalam ajang Video Musik Indonesia 1995 pada acaranya yang perdana melalui video musik Cuma Khayalan-nya Oppie Andaresta. Sejak itu duet Richard Buntario-Rizal Mantovani mulai dikenal, yang lebih populer disebut Duo.


SEPAGI ini, di pertengahan Januari 1994, dia sudah berada di kantornya. Richard Buntario bertemu dengannya sebelum masuk ruangan.

“Kok, tumben datang pagi-pagi?”

“Oh, ya, nih gue lagi kepengin menyelesaikan beberapa tugas.”

Maka, keduanya pun berpisah, masuk ke ruangan masing-masing. Tak berapa lama, dia kembali masuk ke ruangan Richard. Dia menangis.

“Kenapa lu nangis, Zal?”

“Gila nih ....”

“Kenapa?”

“Gue tadi keluar rumah Ria, tahu-tahu ketemu temannya, Aldi. Aldi sudah teler-teler gitu. Gue pikir cuman ‘Wah sakit’ gitu. Nggak tahunya tuh lagi saat-saat sebelum dia mau mati. Gue juga baru tahu.”

“Poin lu apa?”

“Poinnya ada orang mati di rumah Ria sekarang, dan gue mesti balik ke rumah Ria.”

“Ya udah, pergi saja.”

Dia bergegas menuju rumah Ria Irawan, kekasihnya, yang terkenal sebagai pemeran Juminten dalam Lika-liku Laki-Laki di RCTI. Tiba di sana sudah ada ibu Ria, Ade Irawan, dokter, dan polisi. Siangnya, ditemani petugas, dia dan Ria datang ke rumah mertua Aldi untuk mengabarkan kematian Aldi.

Aldi, bernama lengkap Raden Mas Rifardi Soekarno Putro, yang dikenal sebagai seorang pengusaha muda ditemukan meninggal dunia karena overdosis di lantai bawah rumah Ria Irawan di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Kematian Aldi mendapat perhatian luas bukan saja karena melibatkan seorang artis, tapi juga karena mulai dikenal sejenis obat bius bernama ecstasy.

Beberapa jam sebelum Aldi meninggal dunia, Rizal Mantovani yang masih tercatat sebagai mahasiswa semester akhir di Universitas Trisakti berada di rumah Ria. Dia menjadi saksi kunci, dan akan terus dimintai keterangan oleh polisi. Dia akhirnya datang ke kepolisian sektor Metro Cilandak, dan bertemu dengan polisi R.E. Nasution.

“Pak, ada yang bisa saya bantu?”

“Kamu jangan ke mana-mana!”

“Saya nggak kemana-mana. Kalau perlu saya di sini.”

“Kamu mau di sini?”

“Nggak apa-apa.”

“Oke deh. Ya udah di mana?”

“’Kan bisa di kamar bapak.”

Dia menginap di ruang kerja Nasution selama beberapa hari. Keputusan ini dia ambil untuk membantu kerja polisi yang berarti mempercepat penuntasan kasus tersebut. Dia juga enggan pulang karena hadangan wartawan di luar rumahnya yang ingin mendapat informasi darinya.

Sebagai partner, Richard Buntario memahami betul apa yang dialami rekan kerjanya. Ia melihat kasus itu amat menganggu pikiran Rizal, juga pekerjaannya. “Dia merasa benar-benar capek, karena sorotan pers dan ditanyai pertanyaan serupa terus. Dia terus dihantui ini dan itu, padahal dia tak terlibat. Jadi dia tetap kerja, tapi kreativitasnya nggak maksimal. Dia sedang lesu,” kata Richard.

Untung, ini tak berlangsung lama. Sebulan kemudian dia bisa kembali bekerja. Dia juga bisa meneruskan hubungan asmaranya dengan Ria Irawan, hingga setahun kemudian berpisah. Masih bersama Richard, dia menggarap variety show bertajuk Intermezzo untuk ANteve dan juga beberapa video musik. Duo ini kembali berkibar ketika pada 1995 meraih MTV Asia Viewers Choice Award dalam ajang MTV Music Awards berkat video musik Sambutlah yang dibawakan Denada. Dia sendiri dinilai Vista, sebuah majalah musik dan televisi (kini sudah almarhum), sebagai salah satu dari 20 orang paling berpengaruh di industri televisi Indonesia pada tahun yang sama.

Dalam berkarya dia menggunakan konsep kebudayaan pop. Baginya, kebudayaan pop adalah sesuatu yang memiliki idiom-idiom, bahasa-bahasa, simbol-simbol, yang dapat dimengerti khalayak seluas-luasnya.

“Ini pengaruh dari waktu remaja. Saya selalu dikelilingi benda-benda yang sifatnya pop. Termasuk komik. Dan komik bukan Superman saja, tapi juga Gondala, Godam, Aquanus. Itu ‘kan kebudayaan pop. Teh botol ‘kan kebudayaan pop,” katanya.

Kebudayaan pop sangat dekat dengan dirinya. Dia suka menonton film –dia tak mau melewatkan midnight show. Dia suka makan junkfood dan minum Coca-Cola. Dia juga kolektor komik Superman.

“Gue pernah menemani dia di Los Angeles, mencari komik, sampai habis US$200. Nyari sampai sore. Bukan cuma di toko tapi juga di rumah-rumah orang kolektor. Komik yang dia cari macam-macam. Dia cari edisi lama, tahun lama, dan asli. Pokoknya kalau dia pulang, kopernya penuh buku, komik, mainan, dan majalah,” kata Eko Kristianto, sutradara video musik, rekan Rizal.

Kegemarannya pada komik berawal ketika dia masuk sekolah internasional di Iran yang menuntutnya mahir berbahasa Inggris. Ayahnya memberinya stimulasi dengan berbagai bacaan. Suatu ketika dia pergi ke toko buku yang hendak tutup. Kakaknya memintanya untuk memilih salah satu komik. Dia mengambil satu eksemplar, yang ternyata komik Superman. Ketika dia membacanya, dia merasa bisa memahami isinya meski dengan kemampuan bahasa Inggris yang seadanya. Karena cerita itu bersambung, dia harus mengikutinya pada bulan berikutnya, lagi, dan lagi. Lalu, dia mulai mencari komik kreasi Joe Shuster dan Jerome Siegel pada 1938 itu dari edisi lama, hingga jadi kolektor.

“Waktu kita ke Eropa, syuting, dia punya sekoper penuh buku. Orang-orang itu kalau ke sana, jalan, yang dicari baju, sepatu. Rizal nggak, ke toko buku, ngumplek aja. Dia bisa berjam-jam di toko buku. Akhirnya setiap pulang dari luar negeri dia pasti punya sekoper penuh buku,” kata Alfani Wiryawan, direktur program dan produksi di Avant Garde Productions.

Dia suka membeli dan membaca buku pop art, video musik, make up, dan buku-buku yang berhubungan dengan profesinya. Dia sadar dia belajar secara autodidak. “Bisa dibilang saya ‘kan salah jurusan. Mestinya masuk sekolah film, tapi ternyata nasib membawa saya menjadi begini. Seandainya saya disuruh mundur balik, mungkin saya akan sekolah film,” katanya.

Buku-buku itu bersama koleksinya yang lain ditatanya rapi. Di kantornya dia dikenal suka beberes. Sering terdengar suara palu dari ruangan kerjanya, yang menunjukkan dia lagi mengubah desain interior.

“Ada kesan dia one man show, apa-apa dia sendiri, bisa. Nggak salah kalau dia mengidolakan tokoh komik Superman. Dia itu Superman,” kata Oleg Sanchabakhtiar, sutradara video musik dari Planet Design Indonesia.

“Dulu, mau bikin video musik, kadang cuma dia sendiri yang tahu,” kata Eko Kristianto.

“Karena belum ada orang yang bisa, sesuai dengan dia, targetnya dia, mengimbangi dia. Jadi kalau dia nyuruh, daripada lama mending turun sendiri. Tapi one man show-nya lebih pada syuting,” kata Alfani. “Mungkin dia pikir biar cepat. Tapi anak-anak yang habis kerja sama Rizal biasanya bukan jadi tambah bego. Mereka juga tambah pinter.”

Oleg, Eko, dan Alfani—tiga rekannya semasa di BDI—mengatakan belajar banyak darinya, orang yang mau berbagi ilmu, tanpa terkesan menggurui.

Suatu ketika, di tahun 1996, dia keluar dari BDI. Alasan dia klise, “Tiap orang ingin berkembang.”

“Mungkin dia merasa sudah saatnya mencari, menjajaki hal baru, dan merasakan karya sendiri. Bagaimana pun di BDI dia merasa di bawah bayangan saya. Mungkin dia susah berkembang,” kata Richard Buntario.

Setelah itu, satu per satu karyawan juga memutuskan untuk keluar, termasuk Alfani, Oleg, dan Eko. Alasannya macam-macam, dari soal manajemen, perbedaan visi, sampai faktor kekeluargaan yang mengendur. Belasan karyawan itu kemudian berkumpul untuk mendirikan sebuah rumah produksi baru.

Dia tak ikut di dalamnya, karena ingin melanjutkan kuliah yang sempat terhenti. Tapi, teman-temannya berupaya mengajaknya serta ke dalam rumah produksi yang belum punya nama itu. Dia akhirnya bersedia ikut, dan bahkan mengusulkan nama Avant Garde Productions, nama yang kemudian dipakai hingga kini. Di Avant Garde dia bisa mewujudkan konsep-kosepnya lebih bebas. Selain tetap menggarap video musik, dia menciptakan sekaligus menyutradarai serial komedi situasi Satu Atap dan Gen-X, keduanya untuk ANTeve.

“Di Avant Garde cara kerjanya tak berubah. Lebih Superman. Lebihlah karena dia jadi one man show, dulu ‘kan duo,” kata Oleg Sanchabakhtiar.

1996. Dia didatangi Mira Lesmana. Mira baru saja keluar dari Katena, sebuah perusahaan periklanan di Jakarta. Mira juga pernah membantu Anak Seribu Pulau-nya Garin Nugroho, yang mempertemukannya kembali dengan Riri Riza dan Nan Triveni Achnas. Dari situ, Mira yakin bisa bikin film. Untuk itulah Mira mendatanginya yang tentu saja amat mengejutkan.

“Kenapa saya? Saya ‘kan sutradara music video?”

"Sebenarnya cita-cita kamu yang paling ultimate apa sih?"

"Bikin film."

"Ya sudah, mau nggak bikin film?"

"Gila apa, nggak ngerti 35 mm, nggak ngerti seluloid, nggak pernah tahu, saya nggak mau. Saya nggak!"

"Sudahlah, kita ‘kan sama-sama, berempat, kita punya teman-teman. Dan gue tahu elu bisa"

Mira juga mengajak Riri Riza dan Nan Triveni Achnas.

"Benar, yakin nih?"

Mira berusaha meyakinkannya. Dia pun berpikir tawaran tak datang dua kali. Dia menerimanya. Syaratnya, dia dibantu, karena awam.

Lalu, meluncurlah Kuldesak ke pasaran pada 1998. Kehadiran Kuldesak mengobati kerinduan publik terhadap film Indonesia, yang makin sepi karena aturan pembuatan yang ketat dan biaya produksi yang mahal. Beberapa kritikus film sempat menafsirkan film ini dipengaruhi Pulp Fiction karya Quentin Tarantino. Tapi, keempat sutradara ini berkali-kali bilang bahwa Kuldesak lahir karena pengaruh buku Robert Rodriquez berjudul Rebel Without A Crew.

Rodriquez adalah sutradara Meksiko yang sukses di Hollywood. Film pertamanya El Marachi, yang ia buat dengan peralatan sederhana, mendapat sambutan dan bahkan mengantarkannya ke Hollywood. Lalu, berturut-turut ia membikin film Desperado, From Dusk Till Dawn, The Faculty, dan Spy Kid. Melalui bukunya Rodriquez membagi pengalamannya membuat film dengan fasilitas terbatas. Ia juga menyuguhkan pelajaran-pelajaran praktis yang amat berguna bagi pembuat film amatir. Ada bagian khusus dalam buku itu yang diberinya judul “The Ten Minute Film School.”

Bagi Rizal Mantovani, pengalaman pertama membikin film ini amat menegangkan. Ada perasaan grogi pada awalnya. Tapi, dukungan teman-temannya membuat perasaan itu perlahan lenyap. Ini jadi momen yang amat menentukan dalam perjalanan kariernya. “Ya akhirnya saya merambah dari video musik ke dunia yang tadinya saya nggak kalah cintanya: film,” katanya.

Selepas itu, dia melanjutkan aktivitasnya sebagai sutradara video musik. Acap dia bertemu dan bertukar pikiran dengan teman-temannya yang berprofesi sama seperti Jose Poernomo, Jay Subiakto, Dimas Djajadiningrat, Oleg Sanchabakhtiar, Eko Kristianto, dan sebagainya. Lalu, muncullah ide dari Jose untuk membikin wadah bernama Music Video Makers (MVM). Bentuknya informal, hanya untuk bertukar pikiran saja. Tapi, MVM kemudian tak berjalan, meski sempat pula terlontar keinginan untuk membuat film.

Suatu hari dia diminta Erwin Arnada, pemimpin redaksi Neo, sebuah majalah gaya hidup, untuk menyumbang tulisan tentang film. Dia mengelak.

“Aduh, kayaknya saya nggak berkompeten menulis tentang film.”

“Ya udahlah Zal, lu bantuin kita bikin artikel apalah.”

“Apa aja?”

“Apa saja deh. Ntar gue lihat, kalau bagus, masuk.”

Dia menulis mengenai legenda-legenda urban di Jakarta, seperti Si Manis Jembatan Ancol, Suster Ngesot, dan Pastur Jeruk Purut. Dalam artikelnya yang berjudul “Legenda-legenda Urban di Jakarta” itu dia memasukkan sekitar 15 legenda.

Di luar dugaan, dua tahun kemudian, Rexinema menawarinya membuat film. Rexinema hendak membikin 12 telesinema untuk stasiun televisi baru TransTV, yang semuanya digarap sutradara video musik. Dia lalu mengembangkan artikelnya di Neo untuk filmnya yang kemudian diberi judul Jelangkung.

Dia minta Jose Poernomo untuk membantunya dalam penyutradaraan. Skenario ditulisnya bersama Jose dan scriptwriter Adi Nugroho. Sejumlah pemain yang tak dikenal publik direkrut agar penonton tak dibebani pencitraan karakter tertentu. Pembuatan film dilakukan dengan menggunakan Betacam, kamera yang biasa dipakai untuk membuat video musik. Syuting dimulai pada Desember 2000. Setingnya di pinggiran Jakarta. Waktu syuting cepat, hanya sepuluh hari. Dengan penyiasatan itu biaya produksi bisa ditekan minim, sekitar Rp 200 juta.

Setelah film selesai dibuat pada Mei 2001, muncul keinginan untuk menayangkannya di layar lebar. Pertimbangannya, film ini punya nilai sinematik yang beda dari sinetron, baik dari pendekatan visualnya maupun cara bertuturnya. “Dengan harapan kita bisa masukin proyektor, pasang cuma di satu bioskop doang di Pondok Indah Mall,” katanya.

Meski awalnya tak menanggapi, Studio 21 di Pondok Indah Mall akhirnya memutar film berdurasi 102 menit ini. Di luar dugaan, antrean penonton meluber, bahkan banyak yang tak kebagian karcis. Karena laku, film ini pun dialihkan ke dalam format pita seluloid 35 milimeter, dan dibuat 20 kopi agar bisa diputar serentak di banyak kota dengan cara konvensional.

Jelangkung menjadi film yang diburu penonton. Jelangkung juga menjadi film nasional pertama yang menembus pertunjukan midnight sampai 13 kali putar di Pondok Indah Mall. Pun jadi film nasional pertama yang diputar di empat layar sekaligus di beberapa bioskop karena bludakan penonton.

Keberhasilan Jelangkung amat mengejutkan, meski kisah misteri bukanlah tema baru dalam perfilman Indonesia. Pada 1970-an dan sesudahnya, penonton Indonesia disuguhi film-film bertema sejenis. Ada Beranak Dalam Kubur, Bayi Ajaib, Akibat Guna-Guna Istri Muda, Arwah Penasaran, Dendam Jumat Kliwon, dan sebagainya. Belakangan, RCTI juga menayangkan Si Manis Jembatan Ancol yang merupakan remake dari film layar lebar dengan judul sama produksi Sarinande Film pada 1973.

Meski tak tahu kenapa filmnya diminati, dia senang melihat antrian panjang penonton. Inilah momen yang amat berkesan baginya, setelah pemutaran kali pertama Kuldesak.

Buah dari keberhasilan Jelangkung terus berlanjut ketika dia bisa bertemu dengan Michael Bay, sutradara sekaligus produser film di Hollywood.

Semuanya berawal dari Variety, majalah bisnis hiburan yang jadi pegangan orang-orang perfilman. Pada edisi November 2001, Variety menurunkan artikel tentang sukses instan Jelangkung sebagai headline di rubrik yang mengulas industri hiburan Asia. Roy Lee, produser dari perusahaan Dimensions Film, divisi dari Miramax di Hollywood, membaca artikel itu dan tertarik. Miramax adalah distributor film berbasis di Amerika Serikat yang banyak memasok film asing (non-Amerika Serikat). Lee lalu mengirim surat elektronik ke Erwin Arnada, produser eksekutif dari Rexinema, yang meminta satu kopi Jelangkung. Permintaan itu dipenuhi dengan mengirimkan film dalam format DVD tanpa teks terjemahan.

Meski kesulitan mengikuti jalan cerita, Lee memuji penyutradaraan Jelangkung. Ia menyatakan ingin membeli film itu. Lee juga memperlihatkan Jelangkung kepada Julien Thuan dari United Talent Agency (UTA), yang selama ini mewakili bintang ternama seperti Harrison Ford dan Jim Carrey. Thuan mengatakan suka pada Jelangkung dan bersedia membantu mengurus kontrak untuk pembuatan ulang.

Ketika tawaran itu datang, Rizal Mantovani tentu saja terhenyak, kaget. Bukankah di Hollywood lebih banyak orang jago bikin film? Tapi, sekali lagi, kesempatan tak datang dua kali. Dan berangkatlah dia bersama Jose Poernomo ke Los Angeles untuk melihat kemungkinan kerja sama. Di Hollywood pula dia bertemu dengan Michael Bay, pemilik perusahaan film Platinum Dunes. Kesempatan itu juga dimanfaatkannya untuk menjual konsep film.

Dua kali kunjungan mereka ke sana membuahkan hasil. Michael Bay mengajak kerja sama pembuatan film horor The Well untuk penonton di Amerika. Bay melibatkan pula Radar Films untuk produksi ini. Selain itu, proposal penggarapan ulang Jelangkung yang menjadi The Uninvited masih dibahas di beberapa perusahaan film, antara lain Paramount dan FOX Seachlight.

"The Well masih dalam proses. Kita baru dapat penulisnya, tapi saya belum bisa ngomong karena itu masih confidential. Insya Allah Januari saya ke sana untuk … take,” katanya.

“Entar saya akan menyutradarai bareng Jose dengan supervisi dari mereka. Dan kita juga akan supervisi ceritanya.”

Selain The Well, dia juga sedang mempersiapkan penggarapan film layar lebar berjudul Dan yang bekerja sama dengan Multivision Plus di Jakarta. Awalnya film itu akan diberi judul Reaksi Kimia, tapi diurungkan. Nama Dan diambil dari judul lagu Sheila On 7. Ia sudah membicarakannya dengan Eros, personel Sheila On 7 yang menulis lagu Dan. Nantinya lagu itu akan dibawakan dengan alunan suara penyanyi cewek.

”Ceritanya tentang cinta, cinta untuk 22 tahun ke ataslah. Saya lihat kalau anak muda, ABG, ‘kan nanyanya Siapakah saya? Cari identitas. Saya rasa umur 23-24 ke atas bukan nanya itu lagi, tapi Di mana saya?” katanya.

Dan baru menyelesaikan pembuatan script dan pemilihan pemain. Dia berkolaborasi lagi dengan scriptwriter Adi Nugroho untuk film bertema urban-drama ini. Film dengan seting kota Jakarta ini akan menjadi film layar lebar pertama yang dia sutradarai sendiri.

“Sekarang lagi break dulu. Jadi script lagi kita selesaikan, casting baru selesai. Mudah-mudahan Desember kali ya,” katanya.

“Setelah Dan dan The Well baru saya akan mengerjakan film I-sinema saya. Insya Allah sama Rayya (Makarim) tahun depan. Konsep sudah ada tapi saya belum bisa ngomong sekarang.”

Dia ikut bergabung dengan I-sinema, suatu gerakan yang dilakukan 13 pembuat film yang sebagian besar sutradara muda untuk menyiasati problem perfilman Indonesia. Melalui I-sinema ini beberapa film lahir, seperti Bendera garapan Nan Triveni Achnas, Eliana eliana (Riri Riza), dan Lima Sehat Empat Sempurna (Richard Buntario).

Tapi, dia tak ingin muluk-muluk di sini. Seperti yang diterapkan dalam proses berkeseniannya, dia suka pada pendekatan pop culture, dan berorientasi pasar.

“Misi saya membuat sesuatu yang bisa diterima masyarakat luas. Kalau mendapat hati dari mereka saya sudah senang. Dan itu berat,” katanya.


DUA poster besar terpasang di ruangan ini; Reservoir Dogs dan Pulp Fiction, keduanya karya sutradara Quentin Tarantino. Satu stiker kecil menempel di kaca nako bertuliskan “Dreamscape Indonesia.” Dia masih duduk bersila. Sesekali saja dia mengubah posisi duduknya agar terasa lebih nyaman. Sesekali pula dia menengok televisi di sudut ruangan yang masih menayangkan lagu-lagu dari MTV, menikmati sejenak waktu luangnya yang sempit.

Dia baru saja menyelesaikan pembuatan video musik Chrismansyah Rahadi atau lebih populer dengan nama Chrisye berjudul Kangen yang dinyanyikan bareng Sophia Latjuba. Dia biasa mengerjakan semuanya sendirian; dari proses pengambilan gambar, editing hingga video musik siap ditayangkan di televisi. Selepas Chrisye beberapa pembuatan video musik menunggu.

“Dia itu jenius di bidang ini, audio visual. Dia bisa membuat beberapa macam karakter. Seperti dia bisa bikin dangdut, pop, jazz, mau apa bisa,” kata Oleg Sanchabakhtiar.

“Kalau syuting, gilanya, dia suka kolosal. Dia ngatur kameranya, dia ngatur lighting, artistiknya, ini-itu, bisa begitu. Dan dia produktif. Tiap tahun pasti ada karyanya yang kategori the best, di dunia musik Indonesia ya, bukan ajang video musik indonesia.”

“Rizal itu sangat komersil. Lagu apapun, musik apapun, dia bisa jadi komersil. Lagu jelek pun bisa jadi bagus,” kata Eko Kristianto. “Yang nggak gue suka dari dia, semuanya pakai emosi. Misalnya dia ada masalah, itu bisa berpengaruh pada ritme kerjanya. Tapi, sekarang ‘kan dia freelance, dia jadi tegar, bisa berdiri sendiri. Dia jadi lebih dewasa.”

Dia kini memang mandiri, menempati rumah yang agak sempit di daerah Pejompongan. Sudah beberapa bulan dia berkantor di sini, setelah Maret lalu resmi keluar dari Avant Garde Productions, rumah produksi yang ikut dibangunnya pada 1996. Dia lalu membuat tim kerja bernama Dreamscape Indonesia untuk pekerjaan video musik.

“Saya merasa di Avant Garde masih berpartner dengan teman. Jadi dalam segi profit saya masih berbagi dengan orang lain. Saya merasa, kenapa nggak buat saya sendiri sekalian, nggak usah ada partner, ‘kan pasti secara finansial bisa saya nikmati sendirian. Jadi saya bertekad untuk bikin Dreamscape,” katanya.

Tapi, dia tak hendak membuat Dreamscape menjadi besar. Dia hanya mempekerjakan enam orang. Lainnya, dia sewa per proyek, termasuk kru, peralatan syuting, dan editing.

“Konsepnya sama kayak di Broadcast Design Indonesia dan Avant Garde. Cuma konsep dasarnya adalah kecil. Saya nggak mau membuat ini jadi besar. Jadi memang dia selalu jadi perusahaan kecil,” katanya lagi.

Dreamscape adalah rumah produksi untuk video musik, sesekali saja menggarap iklan. Bahkan, untuk iklan dia kerap disewa rumah produksi lain. Dreamscape juga tak hendak menggarap acara televisi. Dreamscape hanya menjual jasa kemampuannya sebagai sutradara video musik. Bukan hal aneh bila orang lebih melihat nama sutradara ketimbang nama rumah produksinya. Dan di bidang video musik dia jagonya. Dari 1992 hingga kini setidaknya dia sudah menggarap hampir 200 video musik dan beberapa iklan televisi.

Di Dreamscape dia sendirian, tanpa partner, seperti juga dia sendirian menikmati masa lajangnya.

“Kalau dibilang yang bukan luck-nya dia, dia ‘kan luck ya, apa-apa punya, itu soal jodoh,” kata Oleg Sanchabakhtiar.

“Rizal cuma butuh orang yang sayang sama dia. Tapi, kebanyakan cewek yang dekat semuanya jahat sama dia. Rizal punya semua hal tapi cuma di situ doang yang kurang,” kata Eko Kristianto.

Dulu dia bisa stres ketika ditanya tentang pasangan hidup. Kini, dia bisa menerima keadaan sembari tetap menyibukkan diri dengan bejibun aktivitas. Dan toh, dia masih punya ibu, Widji Andari yang sudah lama menjanda, yang begitu peduli padanya, dan amat berarti baginya.

“Bagaimanapun ibulah yang memberikan saya suport selama ini. Kalau nggak ada beliau dan tidak bersama beliau, saya rasa nggak bisa bekerja,” katanya.

“Dia dekat sekali sama ibunya. Sampai sekarang apa-apa untuk ibunya. Dia ‘kan anak bungsu. Dia dulu manja banget sama ibu dan kakaknya. Tapi, dia paling sebal kalau ada saudaranya datang ke kantor,” kata Eko.

Lalu, dia bergegas. Kesibukan menjadi rutinitas kesehariannya. Ada acara syuting. Lalu, dia harus mengedit. Mungkin lusa dia pergi keluar negeri. Bukankah dia generasi MTV, generasi yang tak lagi merasa atau terkekang oleh “memiliki tanah air yang satu”—atau dalam istilah Joshua Meyrowitz, penulis buku Understanding The MTV Generation, generasi no sense of place. Di mana pun dia mendapatkan kesempatan untuk unjuk kebolehannya sebagai sutradara, itulah tanah airnya.*

Read More......

Monday, September 02, 2002

Generasi Biru

LELAKI ini menatap layar kaca. Tapi, tangannya merayap ke rambutnya yang bergelombang, menariknya sejumput dan menyasaknya dengan sisir khusus dari akar hingga ujung rambut, berulang-ulang. Setelah itu, ia memilin-milin rambutnya, segumpal demi segumpal, sampai telapak tangan terasa kapalan dan lecet-lecet. Ketika diurai kembali, rambutnya pun lebih mengembang.

Kini ia mulai merajut helai-helai rambut itu dengan jarum happen. Tapi, pekerjaan ini tak gampang. Kerap ia harus merapikan kembali rajutan rambutnya yang terburai. Proses tersebut memakan waktu dua sampai tiga jam. Setiap hari ia melakukan ini. Namun, pengorbanannya tak seberapa dibanding rasa bangga.

Di jalanan ia bisa tersenyum puas karena tatapan ragu orang-orang dan sahutan teman-temannya, “Ka … Kaka ...!”

Rambut gimbal itu bersepuh coklat di sana-sini. Di atas dahi pemiliknya melingkar bandana ungu dan sebuah kacamata hitam ikut bertengker di kepala. Dandanannya ala junkies; kaos ketat dan jins belel berlutut robek. Sebuah anting tergantung di lubang hidung kiri, dua di telinga kanan dan satu lagi di telinga kirinya. Ia persis Kaka, vokalis Slank, grup musik anak muda ternama.

“Secara pribadi aku senang karakternya Kaka, dari style panggung sampai cara nyanyinya. Lain, yang pasti lain,” ujar Aris Virgiyanto, lelaki itu.

Selain menonton live show Slank, ia juga tak mau ketinggalan nonton penampilan kelompok musik itu di televisi.

“Aku nggak melihat lainnya, cuma lihat perfoma Kaka di panggung kayak apa? Jadi terfokus pada Kaka.”

Aris melakukan semua itu karena ia vokalis kelompok musik imitator Slank bernama Kandidat. Kandidat hanya membawakan lagu-lagu Slank. Selain Aris, personel lainnya adalah Fajar Raharjo (bas), Hendrik Cahyono (gitar), Bayu Ariyana (drum), dan Dana Purnama Dani (kibor). Mereka anak-anak muda yang terbius dengan kehadiran Slank sejak kali pertama melihatnya.

“Begitu melihat video klipnya di TVRI, aku langsung suka. Setelah itu penasaran, cari tahu. Dan ternyata setiap album, beda,” kata Aris.

“Saya suka slengekan asyik, rock n’ roll abis,” kata Hendrik.

“Jelas banget saya menganggap Slank berbeda dari band-band Indonesia lainnya. Mereka jelas-jelas antikemapanan, muda, berani, dan pintar. Mereka benar-benar sosok hero musik rock Indonesia buat saya dan buat banyak remaja lain. We all need a hero,” kata Fajar.

“Aku suka musiknya, slengekannya,” kata Dana.

“Yang menarik dari Slank adalah penampilannya. Asyik lah, cuek abis. Dan mereka bisa membikin fansnya … dia ngomong A ikut A, B ikut B. Mungkin kalau Slank bikin partai, pengikutnya banyak,” kata Bayu.

Kandidat mulai membawakan lagu-lagu Slank ketika tampil di “Tenda Okre”, sebuah acara yang digelar radio RCT 100,9 FM. Sambutan penonton, terutama Slankers, amat meriah. Penampilan pada 1996 itu menjadi pijakan awal Kandidat untuk menobatkan diri sebagai band Semarang Slankers.

Sejak itu Kandidat pun identik dengan Slank. Undangan pentas berdatangan, mulai dari kampus sampai kafe.

Kadung identik, beberapa personelnya mengikuti penampilan personel Slank. Bila Aris berusaha mirip Kaka, maka Bayu memilih Bimbim.

“Terus terang saya fanatik Slank, pertama sama orangnya, lirik nomor dua. Kalau Slank manggung di mana saja, saya selalu ikut, dan nonton harus di atas panggung. Dan kalau di atas panggung pasti yang saya lihat Bimbim, karena saya juga pegang drum,” kata Bayu.

“Bimbim orangnya cuek abis. Ngomongnya enak, enteng, blas blas blas. Trus permainannya tidak neko-neko. Standard tapi bisa enak banget, pas.”


ADALAH Bimbim yang menggeber musik Indonesia melalui Slank. Ia penggemar berat Rolling Stones. Lingkungannya juga penuh dengan penggemar grup musik asal Inggris itu. Ia lalu membentuk kelompok musik Cikini Stones Complex pada 1983 yang terdiri atas anak-anak sekolah menengah atas (SMA) Perguruan Cikini. Sesuai namanya, Cikini Stones Complex membawakan lagu-lagu The Rolling Stones.

“Yang gue lihat dari Rolling Stones, sesama penggemarnya punya rasa kekeluargaan yang kuat. Istilahnya begini. Preman Jakarta sama preman Bandung ketemu, mau berantem, tapi begitu ngobrol dan tahu sama-sama pengemar Rolling Stones, langsung damai, tenang,” kata Bimbim.

“Mereka orang Inggris. Amerika dengan American Dreams-nya, kebebasannya, demokrasinya, segala macem yang diomonginnya, ternyata ada orang Inggris, yang ternyata kalau gue lihat kebebasan dan demokrasinya lebih besar dari bangsa Amerika sendiri. Ada Rolling Stones yang ternyata lebih bebas, lebih freedom dari mimpi-mimpi yang dia ciptakan. Itu kekaguman gue,” lanjut Bimbim.

Anak muda tahun 1980-an sedang ditimpa siklus 20 tahunan. Kelompok musik era 60-an kembali populer, lengkap dengan atributnya.

Lama-kelamaan, hanya membawakan lagu Rolling Stones bikin Bimbim jengah. Ia ingin berekspresi lewat lagu sendiri. Bimbim sadar ia bukan tipe orang yang bisa omong. Ia cenderung tertutup, termasuk ketika menghadapi masalah. Dan lagu, baginya, menjadi sarana untuk berkomunikasi, curhat. Namun, keinginan Bimbim tak didukung teman-temannya.

Cikini Stones Complex pecah. Sebagian personelnya membentuk Cikini Metal Stones, sedang Bimbim membentuk Slank pada 26 Desember 1983, nama yang disesuaikan dengan gaya mereka yang slengekan (seenaknya).

Slank bermarkas di rumah orangtua Bimbim, pasangan Sidharta Soemarmo dan Iffet, di Gang Potlot, di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Slank ternyata tak sekadar kelompok musik, tapi juga mengilhami lahirnya sebuah komunitas. Rumah bernomor 14 yang diteduhi pepohonan itu mulai didatangi anak-anak muda yang getol musik tapi ogah sekolah, anak-anak muda yang hidup seenaknya. Mereka nongkrong, diskusi, main musik—kebetulan Bimbim punya studio musik yang disewakan, bahkan ada yang tidur di sana.

“Kita hanya anak muda yang menjalankan sesuatu dilarang sama orangtua. Pemain band itu dimusuhin orangtua yang punya anak cewek. Akhirnya kita kompak, karena kita musuh sama lingkungan,” ujar Bimbim.

Slank berkali-kali berubah formasi. Pada 1989 Parlin Burman alias Pay menggeser Bongky Ismail Marcel, yang sebelumnya memegang gitar. Bongky kemudian bermain bas, menggantikan Denny. Indra mengisi posisi yang ditinggalkan Adri pada kibor. Kaka, vokalis kelompok musik Lovina, dipinjam untuk mengisi tempat Welly yang kosong.

Slank manggung dari sekolah ke sekolah, dari pentas ke pentas, masih dengan membawakan lagu-lagu Van Hallen, White Snack, atau Guns N Roses. Namun, mereka juga mulai membuat lagu sendiri, dan mencoba rekaman. Uji coba dilakukan dengan ikut rekaman album kompilasi di studio Triple M, sebuah perusahaan rekaman di Jakarta. Mereka menggunakan nama lain, Rockin 96.

Kini mereka makin percaya diri, lalu menawarkan demo kaset ke TEAM Records. Tapi, perusahaan itu tak menghubungi mereka dan nasib lagu-lagu itu tak jelas. Suatu ketika, Boedi Soesatio dari Proyek Q, sebuah perusahaan rekaman di Jakarta, menelepon Indra. Soesatio teman Yudo Salmun, ayah Indra. Ia meminta demo lagu Slank. Bergegaslah para personel Slank ke kantor Soesatio di Jalan Biak.

Demo lagu diperdengarkan. Soesatio langsung kepincut. Ia melihat pasar sudah jenuh. Slank bisa menyegarkan.

Kelompok ini menyajikan perpaduan musik rock 'n roll, jazz, blues, reggae, dan balada. Semuanya dilebur menjadi satu warna musik khas Slank, yang masih terasa asing bagi banyak kalangan, di tengah blantika musik yang berpihak pada God Bless.

“Meski sama-sama rock ‘n roll dengan Rolling Stones, Slank lebih Indonesia. Kita masih ada beat-beat-nya, masih ada javanese rock ‘n roll, masih ada orkes rock ‘n roll,” ujar Bimbim.

Lirik dan tema yang Slank tawarkan pun amat akrab dengan lingkungan sehari-hari. Ada kritik, ada protes. Kebanyakan lagu yang berlirik kebebasan kurang lugas dan ekspresif. Soesatio melihat Slank bisa menjadi corong dan mewakili unek-unek anak muda. Mereka bakal menjadi gaya hidup.

Soesatio dan anggota Slank kemudian menyatukan pendapat, ''Kami bersepakat untuk tidak sepakat.''

Penggarapan album pun dimulai. Adu argumentasi acap terjadi setelah lagu selesai digarap. Lirik lagu yang dinilai agak jorok segera diganti, seperti lagu “Kupu-kupu Malamku” menjadi “Maafkan”.

Slogan Slank adalah anak muda yang slenge'an tapi punya sikap. Logo pun dibuat maskulin, yakni kupu-kupu besi dengan desain warna biru sebagai ikon.

Pada 1990, meluncurlah album perdana Slank bertajuk Suit Suit He..He.. (Gadis Sexy). Dengan pengungkapan yang lugas dan nyeleneh, Slank mengemas kehidupan anak muda dengan problematikanya. Lagu mereka mencerminkan pemikiran dan ketegasan sikap hidup, yang terbilang baru untuk ukuran anak muda Indonesia di masa Orde Baru. Ini selaras dengan penampilan mereka yang informal dan seenaknya.

Memang kantongku memang kering
Jangan menghina yang penting bukannya maling
Memang jaketku memang kotor
Jangan menghina yang penting bukan koruptor


Publik dan beberapa pengamat musik menyambut positif. Mereka dianugerahi penghargaan BASF Award untuk kategori Album Terlaris Kategori Musik Rock dan Pendatang Baru Terbaik.

Anugerah album terlaris kembali diraih lewat hit “Mawar Merah” pada album kedua Slank bertajuk Kampungan (1990). Di album ini warna Slank makin kental lewat lirik-lirik lagu yang menyoroti kehidupan sosial.

Kami butuh sedikit kebebasan
Kami butuh nafas panjang
Tanpa telanjangi harga diri orang
Hanya bicara soal kenyataan....


Slank juga bicara soal romantika cinta lewat “Mawar Merah” dan “Terlalu Manis”, bicara tentang “Aborsi”, atau impian tentang kehidupan di atas “Pulau Biru” yang indah bagai surga.

nggak ada hakim dan terdakwa jauh dari kriminal
nggak ada penjajah dan yang dijajah segala soal selesai dengan bicara
nggak perlu senjata nggak perlu berkhianat
nggak perlu curiga nggak perlu penjara
nggak ada penjahatnya
nggak perlu menyerang nggak perlu menentang
nggak perlu peperangan nggak perlu memakai kekerasan


Bahasa yang lugas, bahkan tak jarang nyerempet vulgar menyusup dalam lagu (“AN+~=+-‘~>”…”, atau anjing).

Slank menjadi figur dan panutan baru anak-anak muda. Sebagai konsekuensi popularitas itulah dibentuk Manajemen Artis dan Fans Club yang diberi nama Pulau Biru, seperti judul lagu dalam album kedua.

Manajemen Artis menangani musisi-musisi muda komunitas Potlot yang kemudian bermunculan, seperti Oppie Andaresta, Anang, Imanez, Kidnap, Andy Liani, dan sebagainya. Fans Club menjadi sarana berkomunikasi dengan para penggemar Slank, yang antara lain berbentuk Bulletin Pulaubiru dan membuka 24 jam Gang Potlot untuk dikunjungi siapa saja.

Rumah di Gang Potlot itu ramai penggemar Slank atau disebut Slankers. Mereka berasal dari Jakarta maupun berbagai daerah di luar Jakarta. Ada yang sekadar kongkow dan numpang tidur. Ada pula yang sengaja melihat aktivitas idola mereka dari jarak dekat.

Para slankers meniru telak penampilan personel Slank. Mereka berkaos ketat yang menggantung di atas pusar, menyelipkan dompet di saku belakang yang terikat rantai ke pinggang, dan mengenakan kalung berleontin logo Slank berbentuk kupu-kupu. Mereka juga saling mengucapkan salam “Piss”—kata yang diadopsi dari bahasa Inggris “peace” sambil menudingkan dua jari yang membentuk huruf ''V''.

Atribut-atribut yang melambangkan sikap antikemapanan itu pernah dicetuskan kaum hippies (flower generation) ketika menentang intervensi negara adikuasa Amerika Serikat dalam Perang Vietnam pada 1960-an. Situasi pascademonstrasi besar menentang kekuasaan Presiden Charles de Gaulle di Prancis pada Mei 1968 turut pula mempengaruhi lahirnya sikap antikemapanan di kalangan anak-anak muda Eropa. Kelompok musik macam The Doors, Sex Pistols, Deep Purple, maupun The Beatles, kemudian menularkan gerakan antikemapanan ini lewat lagu-lagu mereka ke seluruh dunia, bahkan kemudian bereksperimen dengan seks bebas dan obat-obatan terlarang, dari morfin sampai mariyuana.


PUKUL 10.00, di panggung timur Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang. Personel Kandidat sudah berkumpul di belakang panggung. Mereka menjadi bintang tamu dalam acara bertajuk “Say No To Drugs.” Hanya Bayu yang belum datang. Aris, Hendrik, Fajar, dan Dana menunggu gelisah.

Ah, lega. Bayu akhirnya datang juga. Badannya berkeringat. Ia mengunyah permen karet. Mukanya tampak kencang sekali. Tegang. Teman-teman bisa menebak Bayu lagi high. Tapi Bayu tak mengaku dan mengatakan sudah siap main.

Mereka naik panggung. Lagu “Nagih Janji” mengalir. Penonton begitu antusias. Personel Kandidat makin bersemangat.

Janji …..
Bukan yang tong kosong yang nyaring bunyinya
Bukan cuma ngecap udah lewat
Good bye …….

Janji …..
Bersih-bersihan sampai benar-benar bersih
Bikin angkat topi bukan takut nanti tersisih

NAGIH JANJI !! 3x …… NAGIH !!! 4x


Selepas reffrain pertama, begitu musik berhenti empat ketukan, gebukan drum Bayu tak kedengaran lagi. Teman-temannya menengok ke arah Bayu. Mereka mengira ia lupa urutan lagu.

Ketika itu, Bayu sudah terjengkang dari kursi drum. Teman-temannya spontan meletakkan peralatan musik, lalu berlari ke arah Bayu.

Bayu kejang. Mulutnya megap-megap. Semua panitia berkerumun. Suasana jadi gaduh.

"Drummernya kesetrum!"

"Epilepsi nih!"

Fajar memegang mulut Bayu. Ia tak ingin Bayu menggigit lidahnya sendiri, karena giginya terus bergemeletuk, tak terkontrol. Bayu diangkat ke belakang. Kecemasan bergelayut di benak personel Kandidat.

Manajer Kandidat datang dengan mobil, sementara personel Kandidat segera memindahkan Bayu. Di jalan mereka ribut. Wisnu ingin Bayu langsung dibawa ke rumah sakit. Hendrik tak setuju. Ia takut orangtua Bayu mengetahui keadaan anak mereka yang sebenarnya.

Hendrik pun bercerita kejadian semalam saat ia bersama Bayu berkumpul dengan dengan teman-teman dari kelompok musik lain di sebuah hotel. Di sana mereka begadang sampai pagi, menikmati shabu-shabu. Dan pagi ini, Bayu mau meningkatkan efek shabu-shabunya dengan putaw.

Bayu masih kejang dengan gerakan seperti memukul drum, termasuk gerakan kakinya. Fajar terus memegangi rahang Bayu yang tak berhenti bergerak.

Mereka memutuskan kembali ke studio. Bayu dibaringkan di karpet studio. Udara terasa dingin. Gerakan badan Bayu mulai berkurang, tapi ia masih kejang. Gigi-giginya masih bergemeletuk. Teman-temannya berusaha membangunkannya.

Tengah hari Bayu siuman. Matanya mulai berkedip. Mulutnya membuka.

"Ini lagu keberapa?" katanya

Semua tertawa.

Bayu lantas berdiri dan keluar ruangan. Ia langsung disambut teriakan Slankers yang setia menunggu di luar studio, "Huweeee..."

Dua jam kemudian, dengan mengendarai sepeda motor, mereka berkonvoi ke Yogyakarta. Slank mau manggung di sana.

“Sebelum tahu Slank pake, saya memang sudah nakal. Waktu itu aku mikirnya senang tok. Begitu Slank make, aku merasa ada kesamaan,” kata Bayu.

Di Kandidat Fajar dan Hendrik juga suka mabok, sementara Aris dan Dana bersih. Namun hanya Bayu yang kecanduan berat. Ia sempat menjalani rehabilitasi, tapi tak berhasil. Ia masih bisa mendapatkan pasokan putaw dari bandar yang menempelkan barang itu dengan Handyplast di dinding kakus. Bayu lalu pura-pura ke kakus untuk mengambilnya.

“Mungkin karena identik. Kalau bawain lagu Slank pake itu, rasanya enak. Kalau aku main pas pake itu, aku merasa diri sebagai Slank,” kata Bayu.


BALI, 1993. Di sebuah bungalow di kawan Kuta. Usai pentas, Bimbim, Kaka, dan Bongky mendapat tawaran barang dari seorang teman, bubuk berwarna putih yang bisa memberi sensasi hebat. Ini putaw. Tapi, mereka tak tahu. Selama ini mereka hanya menikmati minuman keras serta mengisap ganja. Barang-barang itu telah menjadi bagian dari gaya hidup dan alat pemacu kreativitas.

Ketiganya bersedia mencoba putaw. Hasilnya, mereka muntah-muntah dan tak merasakan sensasi apa pun. Mereka terus mencoba, karena penasaran. Sampai di Jakarta, badan mereka terasa tak enak. Sakit. Sakau. Ketagihan. Untuk menghilangkannya mereka harus mengonsumsi barang itu lagi. “Kita terlalu bebas, terlalu bereksperimen, mencari jati diri, mencari pemikiran baru, akhirnya kita mencoba yang beda. Drugs juga merupakan simbol protes juga sih; terhadap kemapanan, terhadap orangtua, terhadap feodalisme, terhadap kekuasaan, yang kita anggap nggak bener,” ujar Bimbim.

Eksperimen acap dilakukan dan mereka menemukan rasa yang berbeda. Bikin lagu pakai minuman keras dan cimeng jelas lain, baik suasana maupun rasa.

“Rasanya kalau ketika make itu sama aja. Ya nggak tahu ya. Kalau gue sih setiap hari mikirin bikin lagu, mikirin kesenian, mikirin karya, mikirin Indonesia, begitu aja. Sebenarnya itu dopping,” kata Bimbim.

“Kalau gue bilang memang reaksi kimia yang membuat kita jadi apa sih… percaya diri,” ujar Kaka.

Bongky tidak seperti Bimbim dan Kaka. Ia tak kecanduan. Baginya, kalau sudah bikin badan sakit, ogah. Ia melakukannya untuk alasan mencari fenomena ke dimensi lain, ke dimensi bawah sadar, yang di alam sadar tak ia temukan.

“Dan ketemu. Ada sisi lain, ada kepribadian lain dari gue, pola pandang lain dari kaca mata itu, dalam melihat suatu masalah. Cuma, soal objektif atau tidak itu bukan prinsip,” ujarnya.

Barang baru itu kemudian menjadi barang biasa di Potlot. Pemakaiannya merambat ke personel Slank yang lain. Bahkan hampir semua orang di komunitas Potlot terkena wabah ini. Perlahan, markas Slank dipenuhi pemakai dan bandar narkoba.

Pay kali pertama kenal putaw di Yogyakarta. Usai manggung, iseng-iseng ia mencobanya. Ia muntah. Lama-lama ia menemukan asyiknya, dan ketagihan. Sehari tak ketemu putaw, ia sakau. Ia jadi orang sakit. Pakai putaw, jadi normal.

“Kita jadi terpatok di satu arah, padahal kita tuh punya pilihan. Namanya manusia, sudut-sudut di hati kita kan banyak. Ada yang fun, gembira, yang ini. Kalau kita pakai drugs itu satu sudut yang dalam aja. Karena suasananya begitu. Orang, kalau tidur aja gue mimpinya pantai, tapi hitam,” ujar Pay.

Indra terkena belakangan. Ia mencobanya dan muntah. Tapi melihat teman-temannya begitu menikmati, ia jadi penasaran. Indra mencoba terus selama satu minggu. Lama-lama terbiasa dan tak muntah lagi.

“Kalau pas lagi kena begituan sih, main keyboard, bikin lagu, enak aja,” kata Indra.

Pada tahun-tahun pertama mereka menikmati kegemaran ini. Asyik. Kreatif. Mereka bahkan melempar album ketiga Piss (1993). Dalam album ini Slank masih bicara tentang kehidupan masyarakat, dan berharap pemikiran mereka bisa menjadi salah satu jalan keluar, seperti lagu “Piss”, “Main Monopoli”, “Korban Tradisi”, dan “Cekal”.

Cekal dicekal
Kritik beda pendapat
Cekal dicekal
Dianggap biang rusuh
Kami juga punya ide
Kalian juga punya ide
Musyawarah mufakat
Musyawarah untuk mufakat (bener nggak?)


Tanggapan dari kalangan intelektual pun muncul. Slank diundang melakukan pertunjukkan musik atau diskusi sosial. Album Piss kembali meraih BASF Award sebagai Album Terlaris 1993/1994 untuk Kategori Rock Alternatif dengan hits “Mau Beli Tidur” dan “Kirim Aku Bunga”.

Pencarian bentuk Slank dalam bermusik akhirnya sampai pada album keempat Generasi Biru (1994), yang diproduksi Piss Record, perusahaan rekaman milik Slank. Kritik mereka makin tajam. Tentang birokrasi (“Birokrasi Complex”), tentang pencemaran lingkungan (“Nggak Perawan Lagi”), dan tentang “Feodalisme (Warisan Kompeni)”. Mereka juga berteriak lantang, “Hey … Bung” kepada kelompok elite politik agar coba turun ke jalan. Mereka juga memimpikan hidup enak cuma tidur-tiduran (“Blues Males”).

Dan generasi biru, yang juga dijadikan judul album dan lagu, menjadi kristalisasi sikap dan pandangan hidup mereka.

Aku nggak mau di rekayasa
Aku ingin berpikir merdeka
Jangan coba-coba untuk memaksa
Karna aku Generasi Biru


“Kita bilang kita generasi biru karena kita ingin berpikiran bebas sama dalam, seperti luasnya biru langit dan seperti dalamnya biru lautan. Karena kita open mind. Kita harus open mind sama zaman, sama keadaan. Karena kita nggak bisa berpatokan hidup dengan satu cara, tradisi, karena zaman pasti berubah,” ujar Bimbim.

Album ini meraih penghargaan dari BASF Award 1994/1995 dengan predikat Double Platinum Album Category, yakni album penjualan terlaris sepanjang 1994/1995 untuk semua kategori musik.

Setahun kemudian Slank meluncurkan album kelima, Minoritas (1995) dengan hits “Bang-bang Tut”. Ciri khas Slank belum juga hilang. Mereka menyentil remaja untuk sekolah (“Tut Wuri Handayani”). Mereka juga memimpikan—meski nggak mungkin nggak mungkin / semua itu terjadi, “Pak Tani” yang punya laser disc, televisi berwarna, rumah dengan alarm pengaman, dan mobil BMW.

Tapi, personel Slank makin terpuruk dalam pengaruh putaw. Putaw mulai mengganggu proses berkesenian mereka. Jadwal latihan bisa berantakan karena harus mencari barang. Proses rekaman kacau. Kalaupun barang ada atau didapat, latihan tetap berantakan lantaran masing-masing sibuk dengan mimpi-mimpinya. Hanya beberapa saat saja, ketika sober (merasa segar), mereka mulai bekerja dengan penuh percaya diri. Apa saja yang mereka lakukan terasa menyenangkan. Mereka telah menciptakan dunia mereka sendiri, dunia yang bagi mereka normal, tapi tidak bagi orang normal.

Bimbim dan teman-temannya sudah jadi pemadat berat. Putaw pun mengacaukan sistem kerja otak dan perasaan mereka. Mereka jadi tertutup, cepat tersinggung, gampang marah, dan curiga. Mereka mengidap paranoia. Keadaan ini membuat komunikasi antarpersonel jadi mis, pembicaraan jadi tak nyambung. Bongky merasakan betapa komunikasi tak berjalan.

Perselisihan pun muncul, bersumber dari hal-hal kecil. Hanya karena tak berbagi putaw, mereka bisa saling curiga, bahkan bertengkar. Suatu ketika Indra tak membawa persediaan putaw yang cukup ketika manggung di Medan. Badannya terasa sakit. Mencari putaw di Medan bukan perkara gampang, bahkan mungkin tak ada. Ia pun meminta pada teman-temannya, tapi dijawab lagi tak ada. Ia sakit hati. “Pelit amat sih. Ntar gua bales lu,” pikirnya.

Ia manggung dengan menahan sakit.

Kecurigaan juga bisa muncul karena soal pembagian honor. Kesibukan Bongky, Indra, dan Pay di luar Slank pun memicu perselisihan, bahkan soal perempuan.

Puncaknya, Bimbim menandatangani surat pemecatan untuk Pay, Indra, dan Bongky. Alasannya, visi ketiganya sudah melenceng dari visi Slank.

“Ini lebih karena prinsip, jalan hidup yang mau kita tuju. Di Slank itu solidaritas nomor satu, sosialis lebih tinggi, rasa sama rata sama rasa. Tapi gue lihat yang tiga ini udah mulai hidup dengan dirinya sendiri. Sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Udah sibuk bermain musik bukan hanya untuk mengekspresikan diri, tapi udah untuk mencari tambang emas. Hal-hal seperti itu yang bagi kita kemapanan itu, kita coba hindarin,” kilah Bimbim.

Surat pemecatan itu mengagetkan Bongky, Indra, dan Pay. Mereka sakit hati. Mereka tak pernah diajak membicarakan masalah sebenarnya. Alasan pemecatan karena kesibukan di luar tak bisa mereka terima. Sesibuk apapun, kalau mau rekaman, mereka akan menyiapkan waktu.

Ketika itu, Piss Record meminta personel Slank segera masuk dapur rekaman, karena Slank terikat kontrak dengan distributor kaset rekaman PT Virgo Ramayana. Namun karena pengaruh drugs, permintaan itu belum terkabulkan.

Bongky sudah menyarankan kepada Bimbim agar menvakumkan Slank selama setahun untuk proses rehabilitasi seminggu sebelumnya. Tapi, saran itu tak diterima.

Bagi Bongky, Pay, dan Indra, urusan kontrak itu bisa ditangguhkan atau bicarakan ulang. Toh sejak album Generasi Biru, Slank memproduseri sendiri album rekamannya di bawah manajemen Pulau Biru Productions, pengganti Pulau Biru Management.

“Dalam hati gue marah. Basicnya kita main band itu bukan untuk bisnis. Kita ngomong profesional tapi tidak profesional lagi, karena mabuknya udah kebanyakan,” kata Bongky.

“Bimbim itu kan di leader. Dulu gue berantem ama Indra aja yang menengahi Bimbim. Cuma dia juga lagi kacau. Dia juga sensi. Orang yang diharapkan mengeluarkan kita dari masalah itu malah berpikiran pendek dengan bubarin. Kan bisa ditunda dulu, nunggu anak-anak sembuh,” kata Pay.

“Nggak jelas Bimbim ngeluar-ngeluarin. Udah, gua pikir, ‘Wah pada mabok’. Gua beresin alat-alat gua, cabut. Tapi gua pikir bagus juga. Memang kondisinya begitu. Drugs sudah klimaks banget di Potlot. Kalau gua lihat memang dia musti bubarin Slank dulu. Kalau nggak, itu jadi ancur, masing-masing urusannya nge-drugs. Kita sudah perlu merehabilitasi diri,” kata Indra.

Upaya penyelesaian pun dilakukan. Pay berusaha menemui Bimbim, tapi tak bisa bertemu. Begitu pula yang lainnya.

Ketiganya mencoba menggunakan jalur hukum. Bagaimana pun ketiganya punya saham di Pulau Biru Production yang sudah menjadi perseroan terbatas. Namun mereka akhirnya mengurungkan niat itu. (Kelak, ketiganya, terutama Pay dan Indra, masih terbelit narkoba, bahkan sampai menjual peralatan-peralatan musik dan studio mereka. Pada awal 2000, setelah merehabilitasi diri, ketiganya bersama Irang dan Jaka membentuk kelompok musik BIP dengan lagu-lagu yang mengingatkan orang pada warna musik Slank lama.)

Pada masa transisi, dibantu dua musisi pendukung, Reynold (gitar) dan Ivan Kurniawan Arifin atau Ivanka (bas), Slank meliris album Lagi Sedih (1996) dengan hits “Tonk Kosong” dan “Foto dalam Dompetmu”. Sejak album ini Piss Records berubah menjadi Slank Records. Warna musik Slank memang berubah, tapi lirik tetap tajam-menyengat karena Bimbim lah yang selama ini mewarnai lirik lagu-lagu Slank.


UNTUK kali kedua personel Kandidat mendatangi Potlot. Tujuannya untuk menagih janji kepada Budi Susetio, eks manager Slank. Tahun sebelumnya, demo kaset yang mereka berikan ke Soesetio dianggap terlalu berwarna Slank. Soesetio lantas meminta personel Kandidat datang lagi tahun berikutnya dengan demo kaset yang punya ciri lain.

Album itu juga ditawarkan Pulau Biru Production yang membawahi Slank. Bimbim berpendapat sekitar tigapuluhan lagu dalam album itu berwarna Slank. Namun ia menyarankan agar Kandidat sesering mungkin datang ke Potlot untuk sharing, sebuah saran yang tak bisa diiyakan personel Kandidat yang kuliah dan tinggal di Semarang.

Berangkatlah personel Kandidat bersama manajer mereka, Wisnu Surya Saputra, dan seorang teman, Andi. Bermodalkan demo kaset berisi tujuh lagu bercorak alternatif, mereka berangkat naik kereta api Senja Utama. Dalam perjalanan mereka bercanda, dan memimpikan kesuksesan di depan mata, meski duit di kantong tipis.

Di Jakarta mereka langsung menuju kantor Budi Susetio. Namun mereka kecewa karena tak bertemu dengan Susteio. Mereka hanya ditemui asisten Susetio.

Orang tersebut sempat mendengarkan demo kaset itu, tapi tak bersedia mengambil keputusan. Personel Kandidat pun pulang sembari meninggalkan nomor telepon. Dari sana mereka pergi ke Potlot.

Sesampai di Potlot, begitu masuk gang, mereka berpapasan dengan Ivanka. Berebut, mereka salaman dengan gitaris Slank itu.

Mereka masuk pagar. Ada beberapa Slanker nongkrong. Ada juga Imanez, Kaka dan istrinya. Mereka pun berfoto bersama. Mereka pun berfoto bersama Kaka.

Bimbim seharian tak keluar kamar. Bunda Iffet bolak-balik mengetuk pintu sambil memnaggil. "Bim, jadi rekaman, nggak ...?!".

Mereka datang lagi ke Potlot keesokan harinya. Kebetulan Slank lagi berulang tahun. Suasana ramai. Banyak anak baru gede (ABG). Ada satu set alat musik di teras rumah utama. Mereka sempat mengisap ganja bareng Imanez. "Bebas betul Pulau Biru ini" pikir Fajar.

Kemudian mereka pun larut dalam keramaian; ikut acara potong tumpeng, dan melihat Slank main musik live dikelilingi Slankers. Bayu paling enerjik. Dia mondar-mandir sambil membawa kamera saku. Bimbim memutar lintingan ketika memainkan drumnya. Slank menyanyikan lagu “Balikin”, salah satu lagu andalan dalam album Tujuh.

"Lagu aneh…"

"Nggak Slank banget"

Mereka saling memberi komentar, bahkan beranggapan bahwa Slank sudah berakhir. (Kelak, anggapan itu terbantahkan. Lagu itu membawa Slank kembali ke puncak)

Susetio sempat meminta mereka untuk datang keesokan harinya. Spontan mereka histeris, berteriak-teriak girang, berpikir demo kaset mereka diterima. Ternyata itu menjadi hari paling menyedihkan bagi mereka. Susetio mengatakan belum cocok dengan lagu-lagu itu. Dia menawarkan sistem pembiayaan fifty-fifty, tapi personel Kandidat menolak.


DI SEBUAH ruangan sekolah musik di Jalan Pemuda, Ridho yang sedang mengajar, menerima panggilan dari telepon genggamnya. Aha, tak biasanya ia membiarkan handphone-nya hidup. Telepon itu dari teman lamanya, Lulu. Ia manajer Slank.

“Ini Bimbim mau ngomong,” ujar perempuan di seberang telepon.

Perkenalan terjadi, pembicaraan terlayani.

“Ayo kita ngejammin,” ajak Bimbim. “Kita udah mau manggung nih di Bandung.”

“Oh ya sudah.”

Beberapa saat kemudian ia mendapatkan tigapuluhan lagu yang harus dipelajari. Lulusan Musician Institute ini dapat jatah memegang gitar. Selain ia, Bimbim juga mengajak Abdee Negara (gitar) untuk bergabung.

Keduanya lulus audisi, dan mengisi kekosongan tempat yang sebelumnya diisi Reynold dalam album Lagi Sedih. Reynold menggundurkan diri, sementara Ivanka mau bergabung. Bandung kemudian menjadi awal pemunculan Slank dengan formasi baru.

Kedatangan personel baru ini ternyata bisa mempertahankan kejayaan Slank. Slank meluncurkan album baru bertajuk Tujuh (1997), dan tetap mendapat sambutan hangat. Album dengan hits “Balikin” ini bahkan mencatat penjualan tertinggi dibanding album-album sebelumnya.

Bukti eksistensi Slank dibuktikan dengan penghargaan AMI Awards untuk mereka sebagai Album Rock Terbaik, Lagu Rock Terbaik, dan Group Rock Terbaik sepanjang 1997.

Kemudian berturut-turut Slank meluncurkan album Mata Hati Reformasi (1998), Slank A Mild Live (1998), dan double album 999+09 (1999).

Perubahan sudah dilakukan. Yang belum berubah, kebiasaan personel Slank yang kecanduan putaw. Bimbim dan Kaka kemudian malah mengenal dan memakai shabu-shabu. Kecanduan. Pecandu narkoba di Slank bertambah satu: Ivanka. Sejak kuliah, Ivanka mulai mengenal minuman keras, ganja, pil nipam dan sejenisnya. Benda-benda itu membuatnya lebih percaya diri ketika bermain musik. Dari situ ia mulai mengenal heroin, lalu putaw, dan shabu-shabu hingga kecanduan.

Abdee bebas dari narkotiba. Meski dulu pernah mencicipi ganja, pil koplo, dan putauw, juga minuman keras, tapi ia mengaku belum pernah kecanduan. Ridho hanya sekali mencoba, dan langsung overdosis. Ia mencampurkan obat, ganja, bir hitam, minuman keras. Ia merasakan efeknya sampai sekarang; suaranya tak bisa lepas.

Kecanduan ini menganggu jadwal latihan dan manggung. Acap ketika Slank show, penonton membeludak, tapi mereka malah teler di kamar hotel. Ini acap menjengkelkan Abdhee dan Ridho, yang tak bisa mengikuti ritme kerja Bimbim, Kaka, dan Ivanka. Ridho sempat berpikir untuk hengkang dari Slank, dan menyampaikannya ke Bunda Iffet.

Bunda Iffet, ibu Bimbim yang juga kemudian menjadi manajer Slank, terpukul ketika kali pertama tahu Bimbim pakai narkoba. Ia merasa menjadi orangtua yang paling sengsara. Setiap hari ia bekerja keras untuk menyadarkan anaknya dari penggunaan barang terlarang itu. Ia pernah membawa Bimbim untuk berobat secara medis, tapi hasilnya hanya bersifat sementara. Pengaruh obat malah membuat pikiran Bimbim menjadi kosong. Bimbim bisa berbugil ria di dalam kamar, bahkan terkadang jalan-jalan keluar kamar.


SEPTEMBER 1999, Pay muncul di markas Slank. Tempat ini, juga penghuninya, pernah jadi bagian penting dalam hidupnya. Ia pernah disekolahkan orangtua Bimbim. Ia juga pernah menjaga studio milik Bimbim, dan acap menilep uang sewa studio. Pay masih menjaga ikatan persaudaraan itu, meski dulu, tiga tahun lalu, ia pernah sakit hati karena mendapat surat pemecatan dari Bimbim. Kedatangan Pay mengagetkan para penghuninya. Badan Pay sudah gemuk.

“Sembuh lu, Pay.”

“Iya, gue pake obat tradisional …….”

Pay menuturkan keberhasilannya bebas dari narkoba. Ia berobat ke sinse Teguh Wijaya yang berpraktek di Kayu Putih, Pulomas, Jakarta Timur. Pacarnya, Dewiq, menawarkannya pengobatan altematif itu setelah melihat penampilan Teguh Wijaya di suatu acara televisi di RCTI.

Pay memberikan kartu nama Teguh Wijaya.

“Coba deh, Cuma sebentar, minum obatnya cuma 10 hari.”

“Boleh juga nih.”

Kartu nama itu disimpan Kaka. Ya, hanya disimpan. Ada perasaan tak percaya bisa semudah itu Pay sembuh dari ketergantungan narkoba. Untuk memastikannya, seorang kurir dikirim ke rumah Pay untuk mengecek kebenarannya.

Dua bulan dari pertemuan itu, usai manggung di Bali, di tepi pantai, keinginan untuk berhenti muncul dari para personel Slank.

“Kita berhenti yuk, udah masuk milinium baru nih, 2000. Buka suasana baru”.

“Ya udah deh. Gue juga sejak make 1993 itu belum pernah nyoba untuk berhenti. Begitu ada saat, ada moment, ada keberanian, gue berani deh untuk berhenti.”

Mereka ingat kartu nama Teguh Wijaya. Ke sanalah mereka datang untuk berobat. Oleh Teguh Wijaya, Bimbim, Kaka, dan Ivanka diminta menenggak kapsul Khe Ying Ning. Obatnya berbentuk pil kecil-kecil. Mereka harus meminum pil itu empat kali sehari dengan takaran 10 butir sekali minum. Pil itu harus diminum selama 10 hari. Total mereka menelan 400 pil seharga Rp 20 juta. Harga itu masih lebih murah ketimbang jatah narkoba personel Slank yang masing-masing mencapai Rp 1 juta per hari.

Bunda Iffet memotivasi ketiganya agar patuh minum obat. Ia juga mengawasi hubungan telepon ke luar. Sejumlah polisi diminta ikut memonitor sekitar kompleks, bahkan berpatroli malam. Ini dilakukan untuk menghalangi masuknya bandar narkoba yang selama ini memasok personel Slank.

Baru dua hari menenggak kapsul itu, Bimbim, Kaka, dan Ivan mengalami masa kritis. Mereka berperilaku aneh. Bimbim berteriak-teriak seperti orang tak waras. Begitu pula Kaka. Ivan malah ingin mematahkan dan menginjak-injak playstation. Masa kritis ini berjalan hingga empat hari. Selebihnya mereka bengong atau tidur seharian.

Begitu masa sepuluh hari terlewati, ketiganya menjalani penyembuhan mental. Mereka dikarantina di rumah selama tiga bulan. Kalau mereka ingin pergi ke luar rumah, beberapa orang mengawal. Mereka tak dibekali uang dan tak diperbolehkan membawa handphone. Di saku hanya tersedia kartu kredit, yang tak mungkin bisa digunakan untuk membeli narkoba.

Inilah proses terberat. Bahkan bagi Bimbim, sakau kalah berat. “Orang kalau kena drugs, lalu berhenti, itu kayak orang patah hati, kayak orang kehilangan istri, kehilangan anak,” kata dia.

Proses rehabilitasi itu menunjukkan tanda-tanda positif. Selera Bimbim, Kaka, dan Ivanka pada narkoba lenyap. Di mata mereka, bubuk itu terlihat memuakkan.

Namun Bunda Iffet terus mengawasi mereka. Ia akan menelpon kalau satu jam mereka tak ada di rumah; menanyakan berada di mana dan bersama siapa. Ia bisa menyuruh pulang kalau teman-teman mereka dianggap tak baik. Ia juga membuat jadwal latihan dan manggung yang padat untuk Slank. Setiap tiga bulan sekali Bimbim, Kaka, dan Ivanka menjalani tes urin.

Akhirnya ketiganya sembuh. Mereka bahkan mendeklarasikan diri “Perang Melawan Narkoba”. Sebagai ikon anak muda, keberhasilan personel Slank lepas dari narkoba ini kemudian dipakai untuk kampanye antinarkoba. Mereka diundang untuk berbicara di berbagai diskusi dan seminar.

Setelah setahun vakum, dan hanya meluncurkan De Bestnya Slank, Slank akhirnya meluncurkan album baru bertajuk Virus (2001). Untuk mempromosikannya, Slank melakukan tour “Virus Road Show” sebanyak 22 kota di Indonesia. Dari sini Slank merilis album live kali kedua Slank Virus Road Show (2002) dan juga merilis album live bergambar dalam format VCD karya Planet Design Indonesia. Seperti album live sebelumnya, album ini berisikan bonus sebuah lagu baru berjudul “I Miss You But I Hate You” sebagai protes terhadap kenaikan harga pulsa telepon.

Album Virus terjual sampai satu juta keping, sedangkan album sebelumnya, Slank A Mild Live, sebanyak 500 ribu keping. Angka penjualan itu ditambah dengan pemasukan dari konser membuat pemasukan Slank melimpah. Majalah musik Hai menyebut Slank sebagai musisi terkaya di Indonesia, mengalahkan Krisdayanti, Jamrud, Padi, Sheila on 7, dan Dewa.


STUDIO musik itu masih ramai, padahal malam makin larut. Dana bersama teman-temannya masih berkumpul dan mengobrol di teras. Mereka habis latihan.

“Aku sudah keluar dari Kandidat. Aku sekarang bergabung dengan Nu Soul Top 40,” kata dia.

Perubahan formasi di tubuh Slank empat menyesakkan dada penggemarnya, termasuk juga personel Kandidat. Meski Slank masih punya dua kekuatan; vokal Kaka yang khas dan kekuatan lirik bikinan Bimbim yang berjiwa, tapi warna musik Slank hilang.

Perubahan itu berpengaruh pada Kandidat. Dana meninggalkan Kandidat, karena kompisisi lagu Slank sudah tak memakai kibor. Hendrik dan Fajar mengundurkan diri karena alasan pekerjaan di luar kota.

“Aku senang Slank formasi lama. Dulu tuh blues dan rock ‘n rollnya kental banget. Setelah album Tujuh sudah kecampuran alternatif,” kata Dana.

“Slank lebih bagus yang dulu. Seperti BIP itu Slank yang dulu. Beda vokal aja. Slank sekarang tidak slengekan lagi. Liriknya masih, tapi musiknya tidak,” kata Hendrik.

“Terus terang saya lebih suka Slank waktu masih sama Indra, Bongky, dan Pay. Secara musikal Slank formasi baru ini terlalu lurus dan sederhana dibandingkan dulu. Tapi saya masih suka. Setiap Slank nongol di televisi, saya pasti nonton,” ujar Fajar.

Kini, tinggallah Aris dan Bayu di Kandidat. Keduanya berusaha menghidupkan lagi Kandidat setelah vakum setengah tahun. Dengan personel baru, Denny Prasetya dan Dhany Cahyono Santosa, keduanya gitaris, Kandidat masih akan membawakan lagu-lagu Slank.

“Koes Plus dikenang orang sampai sekarang. Mungkin kalau anak-anak masih kompak, 20-25 tahun mendatang, lagu-lagu Slank kayak lagu memori. Dia abadi,” kata Aris.

“Aku senang Slank karena Mas Bimbim-nya. Lainnya ganti nggak masalah,” kata Bayu. “Yang jelas di dalam sini Slank nggak ada matinya. Aku selalu ingat orangnya, lagunya. Biarpun orang bilang ‘Wou, kok bawain lagu Slank’, biarin. Kalau aku main, itu suatu kepuasan tersendiri.”*

Read More......