Thursday, July 28, 2011

Sebuah Kota dan Seekor Itik

BIASANYA saya akan tiba dini hari. Di dalam bus, saya akan bersiap turun ketika melintasi jembatan Sungai Pemali. Jembatan itu ibarat landmark kota ini bagi saya; bukan alun-alun tak jauh dari situ, yang terlihat sama seperti alun-alun di kota-kota lain di Jawa.

Saya turun sesampai di pasar. Sejumlah abang becak menyambut, berebut menawarkan jasa. Saya memilih yang duluan mendekat. Saya naik, meluruskan kaki, lalu menghirup udara kota ini dalam-dalam sembari sesekali menghembuskan asap rokok.

Apa arti sebuah kota kecil bagi saya? Kecuali keluarga, dan sejumput kenangan masa kecil, adakah yang bisa dan mampu menggerakkan saya untuk (ingin) kembali? Teman, entah ke mana pergi. Semuanya mungkin sama seperti saya, merantau ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan, seperti seekor itik yang suka mengelana. Kenangan saya pada kota ini amatlah tipis.

Saya terlahir ketika Indonesia tengah getol-getolnya membuka diri dari modal asing. Sebuah demontrasi besar pun muncul yang berujung rusuh: Peristiwa 15 Januari atau Malari. Peristiwa itu tak menyurutkan langkah pemerintahan Soeharto untuk meneruskan kebijakannya. Di sisi lain, Indonesia sedang berada di puncak kemakmuran akibat lonjakan harga minyak.

Tapi kemakmuran hanyalah milik segelintir orang kaya. Saya, yang lahir tak lama setelah Malari, tetap menjalani hidup layaknya anak-anak seusia saya di kota ini. Hidup sederhana. Kehadiran saya menambah sesak rumah milik orangtua saya. Kami tidur berhimpitan dalam sebuah kamar.

Modal belum juga singgah di kota ini. Baru pada 1980, modal berdatangan untuk mengembangkan usaha pertambakan. Pemilik uang memanfaatkan daerah rawa-rawa dan menjadikan kota ini sebagai penghasil utama udang windu dan bandeng terbesar di Jawa Tengah. Adakah pengaruhnya bagi kota saya? Hingga kini kota ini masih dianggap kota tertinggal di Jawa Tengah.

Dan sepanjang saya kenal, kota ini tak pernah berubah.


KOTA ini sudah tercatat dalam arsip-arsip VOC. Saat itu daerah ini menjadi pemasok kayu jati yang merupakan bagian dari kerjasama VOC-Mataram. Bahkan, pada awal abad ke-16 VOC membangun pengergajian yang digerakkan angin. Di masa VOC ini pula Brebes diakui sebagai sebuah kabupaten, dipisahkan dari wilayah kabupaten Tegal pada 1678. Pemisahan itu dilakukan atas desakan Sunan Amangkurat II dengan alasan ancaman pemberontakan.

Tak banyak catatan sejarah tentang kota ini selain urusan politik dan pemerintahan. Sejumlah peristiwa menunjukkan dinamika kehidupan kota: kerusuhan rasial di awal kemerdekaan, revolusi sosial yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Tiga Daerah, penumpasan DI/TII, hingga penghancuran gerakan komunis.

Kalaupun ada, kota ini hanya masuk dalam lintasan sejarah. Kota ini punya hubungan khusus dengan satu nama besar yang menjadi pelopor sandiwara modern dan mempengaruhi perkembangan musik keroncong di Indonesia: August Mahieu, dengan kelompok Komedie Stamboel-nya.

Komedie Stamboel kali pertama muncul di Surabaya pada 1891. Pelopornya adalah August Mahieu, seorang Indo-Prancis. Komedie Stamboel menarik minat penonton seantero Hindia Belanda, bahkan hingga Singapura. Biasanya mereka bermain di alun-alun kota atau kompleks perkebunan.

Dalam sebuah tour keliling Jawa, Sinar Stamboel –kelak berubah nama menjadi Komedie Sinar India– pernah mampir di Brebes. Bintang Soerabaia, sebagaimana dikutip Matthew Isaac Cohen dalam The Komedie Stamboel: popular theater in colonial Indonesia, 1891-1903, melaporkan kelompok itu tampil di sebuah tenda di barat-laut area pasar, mungkin wilayah pecinan. Mereka menghadirkan "enam perempuan Eropa, empat perempuan Muslim, empat lelaki Belanda, dan orang-orang dari ras lain". Di sini, mereka mengenakan kostum dan latar panggung yang benar-benar baru serta menampilkan drama pertunjukan seperti Ali Babi dan Perang Lombok. Untuk kursi kelas tiga, penonton cukup membayar 25 sen. Penonton berjubel. Namun keuntungan di Brebes menurun oleh hujan dan reputasi para pemain yang garang: penonton perempuan melaporkan bahwa mereka enggan menonton karena takut perkelahian pecah.

Pada 14 Januari 1903, Mahieu kembali mengunjungi Brebes untuk menggelar pertunjukan. Dia tiba di Bumiayu dengan rombongan sandiwaranya, Sinar India. Kedatangannya mengejutkan warga Bumiayu. Kondisi kesehatannya memburuk. Kehidupan yang dia habiskan di jalan menguras tenaganya, dan sejumlah penyakit terus-menerus mengintipnya. Penyakit sudah lama menghinggapi tubuh Mahieu dan anggota rombongannya yang lain. Di sini penyakitnya kian parah.

Menurut Matthew Isaac Cohen, malaria lagi mewabah di kota Brebes. Di dekat Tanjung, yang berpenduduk 300 jiwa pada akhir 1902, tercatat 50 orang meninggal dunia karena malaria antara 1-13 Januari 1903. Malaria pula yang kemudian menghinggapi tubuh Mahieu. Mahieu meninggal dunia pada atau sekitar 24 Januari 1903.

Kematian Mahieu kali pertama diberitakan suratkabar De Locomotief pada 31 Januari 1903. Beberapa bulan kemudian, Bondsblad, 11 Juli 1903, menurunkan laporan panjang tentang kematiannya: “Dia mengalami serangan malaria di sini, sakit selama tiga hari, dan meninggal dunia. Sebuah kematian yang menyedihkan! Dirundung kemiskinan dan menginap di sebuah rumah Jawa yang kotor bersama rombongannya, dia menghembuskan nafas terakhirnya di bale-bale pada suatu malam pada 24 Januari. Sepenuhnya ditinggalkan, jauh dari dari keluarga dan teman-temannya, dia menemukan kuburannya sendiri yang terpencil di Bumiayu, sebuah makam yang belum ditandai oleh batu.”

Saya tak tahu apakah jejak Mahieu masih tersisa di Bumiayu –seperti halnya makam Van De Jong yang mengelola perkebunan teh Kaligua di masa Belanda. Saya juga tak tahu pengaruhnya bagi kesenian di kota ini. Tapi seyogyanya, denyut kegiatan seni dan budaya menjadi warna sebuah kota.

Dalam sebuah laporan di majalah Tempo, 7 April 1973, Bumiayu –saya kira seperti juga daerah lainnya– sebelum 1965 ramai dengan kegiatan kesenian. Di sana ada 13 organisasi orkes Melayu, lebih dari 10 perkumpulan keroncong, beberapa buah band, perkumpulan akrobatik, angklung paduan suara, orkes terbang (rebana besar), perkumpulan sandiwara, perkumpulan tari, hingga kesenian rakyat seperti jaran ebeg (kuda lumping), wayang, ketoprak, dan tari-tarian. “Semua kegiatan itu timbul berbarengan karena adanya organisasi-organisasi pendukung yang satu sama lain saling berlomba. Yakni Lesbumi, LKI dan Lekra,” tulis Tempo.

Masa itu, ketika politik menjadi panglimanya, kesenian memiliki lahan yang subur dan menjadi salah satu alat penyadaran masyarakat. Kesenian tradisional dan modern tumbuh bersama. Beragam organisasi memberi warna bagi perkembangannya. Ada persaingan. Terkadang intrik dan adu kuasa. Tapi dinamika itulah yang menghidupkan sebuah kota, mendorong kreativitas orang-orang yang hidup di dalamnya.

Peristiwa 1965 menjadi titik kemunduran. Pemerintah Orde Baru bukan hanya menghancurkan organisasi komunis tapi juga pemikiran dan kreativitas berkesenian. Imbasnya, kesenian tradisional mengalami kemandegan, atau hanya menjadi pengisi acara seremonial. Banyak studi yang mengkaji masalah ini. Kondisi ini juga juga terasa di sebuah tempat yang jauh dari hiruk-pikuk para penentu kebijakan kesenian di Jakarta: Bumiayu.

“Bumiayu barangkali sebuah potret kecil untuk setiap pelosok negeri ini. Potensi kesenian untuk menghibur banyak. Bakat-bakat ada, kebutuhan ada. Tetapi tempat tak ada dan semangat kelihatannya seret, dengan berkurangnya kegiatan organisasi tempat bergantung,” tulis Tempo.

Kesenian semestinya mewarnai kehidupan sebuah kota.


SUNGGUH, menelusuri jejak kota ini seperti memungut remah-remah. Tak banyak yang saya ingat. Saya menghabiskan masa kecil dengan bermain. Di rumah, ketika hujan mengguyur, kami bermain congklak, bekel, cublak-cublak suweng, atau sluku-sluku bathok. Nyanyian anak-anak itu masih terngiang di benak –dan mengingatkan banyak orang tentang kehidupan dan kematian.

Sluku-sluku bathok

Bathoke ela-elo

Si Rama menyang solo
Oleh-olehe payung motha

Mak jenthir lo lo lo bah
Wong mati ora obah
Nek obah medeni bocah
Nek urip goleko duwit


Di halaman depan rumah, di sebuah tanah lapang, kami bermain benteng-bentengan, gobak sodor, pakpakdor, gasing, mobil-mobilan dari kulit jeruk, dan banyak lagi. Terkadang, kami bermain wayang kertas atau wayang suket (terbuat dari daun pohon ketela).

Jika ramadhan tiba, malam berubah menjadi lautan pelita. Hampir di beranda setiap rumah, berderet pelita dari bambu. Anak-anak juga punya obor sendiri, terbuat dari bunga kapuk. Meriam bambu lalu menyemarakkan malam. Juga terikan kaget pelintasan jalan ketika kakinya melanggar seutas tali yang tersambung dua kaleng berisi kerikil.

Dengan dolanan anak, saya tak hanya beroleh keceriaan tapi juga belajar kebersamaan, solidaritas, dan sportivitas. Dolanan anak juga tak bias gender; laki-laki dan perempuan bermain bersama. Adakah anak-anak zaman sekarang memainkannya?

Pengaruh budaya asing perlahan merembes ke kota ini. Yang sangat terasa adalah tari kejang atau tari patah-patah (breakdance), yang jadi tren di Amerika pada 1980-an. Setiap sore, atau malam minggu, segerombolan remaja berkumpul di lapangan sepakbola. Mereka melingkar. Pemutar kaset dinyalakan. Dan mulailah mereka menari. Saat itu belum ada MTV, tapi entah bagaimana tarian ini bisa menyebar ke desa-desa. Ketika beberapa kelompok menari, tak jarang terjadi adu ketangkasan dan ujung-ujungnya... berkelahi.

Lalu perlahan muncul beragam acara televisi, video game, dan internet.

Saya mungkin beruntung karena masa kecil saya tak terengut oleh video game, Facebook, atau televisi. Saya juga lebih memilih jaipongan ketimbang tari kejang. Alih-alih bermain bersama teman-teman, anak-anak sekarang memilih berada di depan layar televisi atau komputer; menonton kartun atau sinetron, bermain game atau Facebook. Kalau butuh hiburan, mereka menuju kota tetangga untuk jalan-jalan di mall –karena kota ini miskin mall dan mall bagi mereka adalah lambang kemajuan sebuah kota.

Saya kira kita tak butuh mall. Mall bukan lambang kemakmuran, tapi konsumersime dan kemiskinan kreativitas. Mall mengajarkan kita menjadi konsumen tapi tak mendidik kita menjadi produsen. Kita hanyalah subjek, pasar bagi beragam barang. Kini kita menyaksikan betapa hampir semua barang yang dulu bisa kita hasilkan berasal dari negara lain. Impor, impor, impor. Beras impor, gula, kedelai… apa lagi. Beruntung Brebes masih menjadi penghasil terbesar bawang merah, yang bertahan dari gempuran bawang impor.

Saya bayangkan kota ini memiliki ciri pada landmark kota, museum, dan perpustakaan. Adakah museum di kota ini? Ada banyak bangunan bersejarah tapi kita seringkali memilih Borobudur untuk liburan sekolah atau belajar sejarah. Perpustakaan entah bagaimana kabarnya. Tak ada gedung kesenian yang menampung kreativitas anak-anak muda. Tak ada taman kota, ruang publik bagi beragam aktivitas warga kota. Infrastruktur, terutama jalan, masih belum memadai. Tapi kota ini juga punya banyak potensi dan keunggulan yang bisa dimanfaatkan untuk kemajuan kota. Hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan. Wisata alam, kuliner, dan kerajinan. Keberagaman seni dan budaya.

Apa yang membuat daerah ini terlihat statis dari tahun ke tahun? Saya belum tahu. Mungkin benar jika kita, juga saya, layaknya seekor itik dengan sifat acuh tak acuhnya (cuek bebek) dan berjalan lamban (bagai itik pulang petang). Kita belum mengambil sifat terbaik itik: kebersamaan, kemandirian, dan kerja keras pantang menyerah. Kita juga selayaknya jadi Itik Buruk dalam cerita dongeng, yang cuek dengan cemoohan orang tapi punya hasrat untuk mewujudkan mimpi.

Dirgahayu.*

Read More......

Monday, October 25, 2010

Kepada Para Gajah

SETAHUN kemerdekaan, Dharta menyatakan sikapnya sebagai sastrawan di tengah api revolusi. Nadanya liris, bak surat untuk kekasih. Mungkin terbawa suasana sentimentil sejak jatuh hati pada Aini. Aini perempuan Minang, sekretaris pribadi Soekarno di Poesat Tenaga (Poetera).Ia sendiri anggota Angkatan Pemuda Indonesia (API). Kedua lembaga itu sama-sama berkantor di Menteng 31 Jakarta.

“Revolusi, kekasihku… Lama dikau kunantikan di taman masa, dari abad menjelang abad. Rinduku sesak-menyesak dan meletus bersama seruanmu yang menusuk jantung,” tulis A.S. Dharta, dengan nama pena Kelana Asmara, dalam esai “Sastrawan di Tengah Api Revolusi” yang dimuat di Gelombang Zaman.



Ia sudah memutuskan kodratnya: sastrawan turun dari ke-aku-annya, berdiri di pihak yang tertindas, menghunus pedang-kata menghadang kaum penindas! Sastrawan mesti berani terus menerompetkan kebenaran. Sastrawan menegakkan tenaga raksasa di hati massa, menempa keyakinan granit di kalbu patriot, memelopori massa ke arah cita yang tinggi murni: bandar humanisme damai bahagia.

Tapi seruannya menembus tembok tebal. Madiun pecah, pertikaian yang meneteskan darah. Sepasang kekasih ini, yang pernah ikut kursus “Marx-House” di pabrik gula Padokan (sekarang Madukismo) dan menempuh “perkawinan-senjata” dengan disaksikan kawan-kawan seperjuangan, terkena imbasnya. Aini dijebloskan ke penjara Tawangmangu, Dharta di Wirogunan.

Tak lama, Belanda memborbardir Yogya. Para tawanan berbaris menuju kantor penjara, minta bebas, untuk kembali membela tanah air. Keluarlah mereka sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dharta segera membebaskan istrinya, lalu meneruskan perjuangan. Ia meninggalkan istrinya di Yogya, berjalan kaki menuju pos baru, mendaki Gunung Slamet dan menuruni lembah-lembahnya.

Pada 1949, dia sudah berada di Jakarta. Juga menyempatkan diri menengok kampung halamannya di Hanjawar, Cianjur. Di rumah masa kecilnya, dengan nama pena Jogaswara, sekali lagi ia serukan peran sastrawan dalam revolusi. Revolusi belum juga usai tapi kini di ambang kehancuran dari dalam. Dia meluapkan amarah: “Angkatan 45 sudah mampus. Mati bunuh diri,” karena sudah bunuh-membunuh, hancur-menghancurkan, dan “Bila kita ingin mencari kuburan Angkatan 45, ia ada di mana-mana, tersebar di seluruh persada Nusantara. Tetapi kuburan-induknya ada di Madiun.”

Tapi Angkatan 45 taklah satu dan sendiri. Dia percaya akan datang “Angkatan Sesudah Kami” yang lebih lengkap, lebih sempurna, lebih kuat: angkatan pelaksana cita-cita Angkatan 45.

Martina Heinschke dalam “Between Gelanggang and Lekra” menulis, Dharta memilih Peristiwa Madiun bukanlah perselisihan antara kekuatan komunis dan nasionalis, tapi lebih sebagai konflik antargenerasi atau angkatan. Angkatan 45, “pemikul hari esok” itu, sepenuhnya gagal karena lemahnya komitmen, perpecahan, dan kurangnya ketajaman politik. Sebagai konsekuensinya, Dharta menuntut para pengarang membuat awal baru, berbasiskan komitmen politik yang tegas.

Dharta sendiri, dalam esai “Kepada Seniman Universal”, tak memaksudkan esai itu dalam kaitan konflik antargenerasi tapi lebih pada hubungannya dengan revolusi. Baginya, Agustus 1945 bukan permulaan revolusi dalam lapangan kesusastraan, tapi permulaan suatu revolusi kemasyarakatan. Kesusastraan terpengaruh olehnya dan “itu hanyalah bukti kesekian kalinya tentang kebenaran pendapat bahwa seorang sastrawan tak mungkin dan tak bisa berdiri ‘netral’, terlepas dari pengaruh lingkungannya.”

Tapi mungkin Heinschke benar mengenai pengaruh esai itu, ketika menulis, “Selangkah demi selangkah, apa yang kemudian menjadi sikap Lekra, seperti tertuang dalam Manifesto tahun 1950, merupakan reaksi positif atas esai Dharta tersebut.”

Reaksi juga muncul dari sejumlah sastrawan: Ibarruri (nama pena Dipa Nusantara Aidit), Sugiarti, Sitor Situmorang, Anas Maruf, Achdiat Karta Mihardja, M. S. Ashar, Asrul Sani, dan lain-lain.

“Dalam politik Angkatan 45 kalah,” tulis Mochtar Lubis dalam “Hidup, Mati?” di majalah Siasat, 4 Desember 1949. Lubis menyinggung kemunduran revolusi.

Juist! Dan politik adalah pelopor dari segala perjuangan!” Dharta menanggapinya dalam esai “Sekitar Angkatan 45”.

Lebih jauh Dharta menggerakkan konsep yang lebih luas: susun barisan eksekutif baru. Sebab, yang lama terbukti tak mampu menyelesaikan revolusi. Apa yang disebut Angkatan 45 gagal dalam cara bekerja!

“Masa baru kini tiba. Masa organisasi, masa mewujudkan, masa bekerja wetenschappelijk plus energi jiwa patriot, masa kesadaran mengisi ucapan pemimpin-pemimpin kita: kemerdekaan adalah jembatan untuk melaksanakan kemakmuran rakyat. Kita tambahi: untuk membebaskan Rakyat dari segala macam penjajahan perut, kebodohan, kebiasaan bobrok, adat lapuk.”

Sebuah embrio organisasi baru mulai bersemi. Tapi pematangannya masih perlu waktu.

Dharta sendiri terpuruk karena kehilangan separo hatinya. Sang kekasih dikawin-paksa dan dibawa kabur ke negeri Belanda oleh Letnan Verwey, seorang perwira Nefis yang sudah lama menguber-uber Dharta, ketika dia melakukan kerja politik di Palembang. Dia ngeloyor masuk ke restoran, menuangkan bergelas-gelas bir ke dalam perutnya. Ia hidup beberapa hari semacam itu. Kawan-kawannya segera membawanya kembali dalam front perjuangan. Dia masuk serikat buruh untuk melawan keputusan Konferensi Meja Bundar di bidang perekonomian. Namun dia tak bisa melupakan sang kekasih, dan sejak itulah lahir nama pena Klara Akustia. “Aku tahu apa yang terjadi, dia adalah korban revolusi,” ujarnya kepada saya.

Pada 17 Agustus 1950, “barisan eksekutif baru” itu akhirnya lahir dengan nama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Dharta ditunjuk sebagai sekretaris jenderal. Rumah M.S. Ashar, rumah Dinas Perhubungan di Jalan Wahidin No 10, tempat gagasan ini lahir, jadi kantor Sekretariat Pusat Lekra, setelah sebelumnya berkantor sementara di Salemba 9, Jakarta.

Menurut Martina Heinschke, di antara Angkatan 45, pengarang Lekra minoritas pada tahun-tahun pertama. Secara politik Peristiwa Madiun mengisolasi mereka, sementara dari sudut pandang artistik, reputasi mereka masih terbatas. Anggota Lekra juga tak masuk dalam aktivitas kebudayaan resmi, baik dalam kongres kebudayaan, Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, dan editorial Indonesia.

“Tesis provokatif yang dikemukakan Dharta mengenai kegagalan Angkatan 45 dan revolusi nasional bukan hanya menarik pengikut, juga menyatukan lawan terhadap gagasan ini,” ujar Heinschke.


DI DESA Tugu, Puncak, Bogor, sebuah vila berdiri anggun di tanah seluas satu hektar. Berlantai dua, berdinding kayu. Ia menghadap ke jurang. Di bawahnya mengalir sungai kecil. Pekarangannya luas dan bertingkat, dengan hamparan rumput menghijau, penuh mawar dan kembang teluki. Ketika dibangun pada 1949, suasananya masih sunyi. Jalan menuju vila tak beraspal, jadi becek kala hujan. Harimau sering turun gunung.

Si empunya rumah, Sutan Takdir Alisjahbana, sering datang di akhir pekan. Dia suka memandangi Gunung Gede di sisi selatan vila. Sesekali berenang. Tapi kegiatan utamanya tetaplah ajeg: membaca, menulis, dan melihat tetumbuhan di sekitar pekarangan.

Takdir ingin menjadikan vilanya, dalam istilah Asrul Sani, sebagai “salon kesusastraan atau seni”. Dia suka mengumpulkan seniman-seniman yang lebih muda darinya di vila, mempertemukan pemikiran-pemikiran yang berbeda.

Momennya juga tepat. Setelah Lekra, muncul Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG), yang terbit kali pertama dalam Gelanggang, sisipan majalah Siasat, Oktober 1950. Syahdan, SKG ini pernah dibacakan dalam sebuah pertemuan budayawan dan intelektual di paviliun Hotel Indes di Jakarta pada Juni 1950. Sejak itu Angkatan 45 dianggap telah pecah, mencari jalan sendiri-sendiri, membawa keyakinan masing-masing.

Awal 1950, apa yang disebut angkatan baru dan angkatan lama, dengan wakil-wakil terbaiknya, bertemu dan berhadap-hadapan: Asrul Sani dan Takdir. Asrul Sani merumuskan Angkatan 45, “bukan sekelompok pemuda, bukan prajurit yang berdiri di medan perang mempertahankan kemerdekaan negara, dan juga bukan suatu aliran kesusastraan, tapi sesuatu percobaan untuk mengadakan hidup baru.” Dan percobaan mencari hidup baru ini dipertentangkannya dengan angkatan Pujangga Baru di zaman kolonial. Baginya, Angkatan 45 mulai dengan kesangsian, yang dilahirkan di zaman Jepang dan revolusi.

Sebaliknya, Takdir melihat kesangsian dan percobaan mencari hidup baru itu sebagai karakter Pujangga Baru. “Begitu sangsi orang-orang Pujangga Baru itu kepada kebudayaan lama, kepada masyarakat kolonial, kepada bahasa Belanda, kepada Balai Pustaka, hingga mereka meninggalkan pantun dan hikayat, meninggalkan bahasa Belanda, meninggalkan Balai Pustaka, dan mulai bekerja dengan sebebas-bebasnya.”

S. Rukiah, yang meliput pertemuan itu, dalam majalah Pudjangga Baru, Februari 1950, menulis: “Pertemuan-pertemuan yang demikian itu pulalah yang memberikan corak kepada zamannya, dan menghidupkan dunia cipta dalam zaman itu.”

Tapi pembicaraan belumlah usai. Senja di tahun 1951, Asrul Sani kembali datang ke sana. Dia tak sendirian. Di dalam mobilnya ada Rivai Apin, Rustandi Kartakusumah, S. Nuraini, dan Samiati Alisjahbana. Di vila itu, hadir pula Amir Pasaribu, Baharudin, Henk Ngantung, Sudjojono, Hariyadi, Gajus Siagian, J. A. Dunga, dan Sam Udin.

Malam itu, yang mestinya jadi pembicara adalah anggota Lekra. Tapi karena belum juga datang, Asrul Sani yang mengajukan pembahasan. Diskusi membahas pesimisme dan epigonisme dalam sastra Indonesia, yang berlangsung sampai larut malam. Catatan pertemuan ini dituliskan Asrul Sani dalam “Sebuah Pembelaan”, yang dimuat di Siasat, 20 Mei 1951, lalu masuk dalam bukunya Surat-Surat Kepercayaan.

Pada pertemuan berikutnya, Dharta dan Njoto datang mewakili Lekra. Sementara dari “pihak lawannya” terdapat Sutan Takdir Alisjahbana, Ir Udin, Resink, R. Nieuwenhuis, Beb Vuyk, Rustandi, Trisno Sumardjo, dan Basuki Resobowo. Boejoeng Saleh dari Lekra dan Asrul Sani dari Gelanggang akan menguraikan soal kebudayaan rakyat serta kebudayaan dan politik. Keduanya tak datang, dan Takdir-lah yang mengupasnya.

Takdir mengupas fungsi seni dalam masyarakat yang “bulat” seperti dalam masyarakat primitif dan dalam masyarakat yang terpecah-pecah seperti di Barat. Lalu sampailah dia pada kesimpulan bahwa yang primer pada seni itu adalah bentuk yang harus indah.

Dharta bereaksi, mencap seni yang hanya mengutamakan bentuk yang indah dan mengabaikan isi sebagai seni formalis. Bagi Lekra, bentuk dan isi itu primer, tak bisa didahulukan yang satu dari yang lain.

“Seni yang indah bentuknya tapi busuk isinya, seperti film-film Amerika yang memperkosa hak-hak kemanusiaan, dengan mempertunjukkan diskriminasi ras terhadap orang-orang Niger yang dianggap sebagai orang-orang jahat dan sebagainya, adalah salah satu contoh dari seni formalistis yang berbahaya. Seniman yang jujur macam Multatuli pernah marah, karena orang hanya memuji gaya bahasanya yang indah, tapi kurang mempedulikan isi karangannya. Padahal yang menjadi maksud utama dari Multatuli ialah mengemukakan isinya,” ujar Dharta.

Bagi Resobowo, isi itu hanyalah objek. Dan baginya objek itu bisa apa saja asalkan merupakan suatu belevenis (cerita) dari penciptanya.

Takdir mengatakan isi itu penting, dan seni yang besar merangkum pula soal-soal besar mengenai seluruh masyarakat. Dia mengkritik seniman Indonesia sekarang yang melihat ke Barat tanpa menyadari soal-soal kita sendiri.

Diskusi lalu mengalir ke soal pesimisme dan elan. Njoto bicara banyak seniman Indonesia yang penuh elan dan optimistik. Trisno Sumardjo melihat kemajuan dalam seni lukis. Resink menyoroti kemenurunan elan dari orang-orang yang dulu penuh elan. Selesai.

Achdiat K. Mihardja dalam laporannya di Pudjangga Baru, Februari 1951, menulis pertemuan semacam ini, “…menghilangkan ketegangan yang biasanya timbul dalam konfrontasi antara ideologi dan ideologi.”

Perbedaan pandangan antara Lekra dan Gelanggang pada awal 1950-an masih dianggap wajar. Asrul Sani dalam Siasat, Desember 1953, yang juga termuat dalam Surat-Surat Kepercayaan, menulis perbedaan keduanya baru pada penamaan, orientasi, dan penghargaan tapi belum pada produksi (karya). Semata-mata karena keduanya belum lagi beroleh bentuk.

Dalam esai “Dari Idealisme ke Realisme”, Dharta menulis Angkatan 45 menjadi dua: kesusastraan idealisme dengan etiket “humanisme universal” sebagai konsep perjuangan dan kesusastraan realisme-kreatif dengan konsep perjuangan kesusastraan untuk rakyat-banyak. Keduanya masih masih diikat dan sependirian bahwa revolusi tak mencapai tujuan.

“Dalam detik perjuangan sekarang, dalam praktiknya, keduanya bersatu dan mesti dapat bersatu,” tulisnya. Tapi, dia yakin faktor sastrawan generasi baru akan mendorong kebangkrutan humanisme universal dan kebangkitan realisme-sosialis.

Upaya Takdir tentu lebih bermakna ketimbang apa yang terjadi di tahun-tahun kemudian, ketika perbedaan disikapi dengan pertentangan. Kini, di sudut kanan halaman depan vilanya, tepat di bawah serumpun bambu, tampak nisan dari batu marmer berwarna putih dengan torehan nama: Sutan Takdir Alisjahbana. Februari tahun lalu, 100 tahun kelahiran pujangga ini dirayakan di sini. Takdir meninggal pada 17 Juli 1994.


HANS BAGUE JASSIN berbadan gemuk. Pipinya agak tembam. Ada tahi lalat di pipi kirinya. Jassin dikenal sebagai kritikus sastra terkemuka sesudah perang, sehingga mendapat julukan “Paus Sastra Indonesia”. Jassin pulalah yang membela hak hidup Angkatan 45, dan mempopulerkan Chairil Anwar sebagai pelopornya.

Dharta menganggap Jassin sebagai kawan yang menyenangkan. “Saya bersahabat betul dengan Jassin. Dia sebagai manusia mempunyai pengertian; berlelucon, jalan-jalan. Sama dia jadi manusiawi, meski dalam beberapa hal berbeda pendapat,” ujar Dharta kepada saya.

Perbedaan pendapat terjadi di halaman-halaman koran. Jassin menulis esai “Angkatan 45” dalam bulanan Zenith, edisi kebudayaan mingguan Mimbar Indonesia No. 3 tanggal 15 Maret 1951. Dalam esai itu Jassin menyoroti esai Dharta soal kemampusan Angkatan 45. Dharta menjawabnya melalui esai “Kepada Seniman Universal”.

Jassin menulis, orang terlalu melihat beberapa pemuka Angkatan 45, seperti Chairil Anwar, Idrus, dan Asrul Sani, dari satu sudut dan mengurangkan sudut lainnya. Chairil Anwar menulis “Aku Ini Binatang Jalang” tapi juga membuat sajak “Diponegoro”, “Beta Pattiradjawane”, “Kenanglah Kami”. Orang menafsirkan sajak-sajak mereka secara dangkal dengan pengenalan yang dangkal pula. Dharta bersepakat soal pemuka Angkatan 45. Tapi Dharta tak mau Angkatan 45 hanya dipakai sebagai etiket, sementara karyanya tak selaras dengan isi nama itu.

Jassin menulis soal kekuatan tenaga kata-kata “yang mengandung pikiran-pikiran paling dalam” dalam perjuangan. Dharta sependapat, tapi, “Pikiran-pikiran dalam yang bagaimana?” tanyanya. “Kalau hanya mempersoalkan masalah perseorangan, tidak ada sangkut-paut dengan masalah manusia-banyak, maka ‘pikiran dalam’ itu hanya dalam dan dianggap berguna oleh beberapa gelintir orang. Dan ini adalah individualisme.”

Bagi Jassin, meski berlainan visi di antara Angkatan 45, dalam satu hal mereka sama, yakni dalam gaya (bentuk). Bagi Dharta, isi dan bentuk adalah suatu kesatuan syarat yang tak bisa dipisah-pisahkan, dinomorsatuduakan. Jassin visi dan gaya, Dharta isi dan bentuk.

Jassin memajukan konsep Angkatan 45, yakni humanisme universal, meski “Satu keberatan bisa dikemukakan terhadap keuniversalan ini. Sangat banyak kemungkinan, tapi toh orang harus memilih dalam praktiknya dan apabila telah memilih boleh bertengkar lagi.”

Dharta tak setuju dengan konsep humanisme universal, yang baginya adalah baju baru untuk l’art pour l’art. “Di dalam praktik kita melihat, bahwa ‘seni universal’ dipergunakan untuk lebih menjauhkan, untuk lebih mengasingkan, seniman dan seni dari masyarakat. … Dengan ini menjadi jelas, bahwa kesusastraan universal tidak netral, tidak berdiri di atas segala. Di dalam praktik dia menjadi sekutu kelas yang antiperubahan masyarakat ke arah perbaikan.”

Tulisan Jassin juga penuh berisi perbedaan antara Angkatan 45 dan Pujangga Baru, dengan titik berat pada gaya. Di akhir tulisannya, Jassin mengajak bicara tentang pengarang orang per orang, “asal kuat pribadinya”, ketimbang bicara soal angkatan. Dharta menganggap kalimat itu banci —menyebut ucapan terakhir dalam karangan itu meruntuhkan apa yang sudah Jassin bangun dan pertahankan. Dharta melihat Angkatan 45 dalam hubungannya dengan revolusi, di mana kesusastraan terpengaruh olehnya, dan sekali lagi membuktikan bahwa seorang sastrawan tak mungkin dan tak bisa berdiri ‘netral’, terlepas dari pengaruh lingkungannya.

Jassin menyinggung perdebatan itu dalam surat kepada Aoh Karta Hadimadja, yang kemudian dimuat dalam syarahan Mingguan Mimbar Umum, 9 Desember 1951. Dharta menjawabnya lewat esai “Kita Adalah Anak Zaman” yang terbit di Pudjangga Baru pada 1952 dan diterbitkan ulang Lentera, Bintang Timur, pada 1962.

Dalam surat itu Jassin menjelaskan soal isme-isme dan —tersirat sependapat dengan Asrul Sani— menolak penamaan dengan isme-isme. “Karena itu kita bisa mengerti sikap sebagian seniman yang mengatakan bikin saja sebagaimana yang kau rasa paling baik. Dan inilah yang disebut orang pula l’art pour l’art dengan hukumnya sekali seni individualistis, dengan pengertian yang jelek. Tetapi adakah l’art pour l’art harus jelek, sifat hasilnya harus individualistis?”

Dia juga balik bertanya: “adakah kemungkinan semua baik dan bagus atau semua jelek dan buruk?” Bagi Dharta, Jassin menempatkan dirinya di atas segala dan ini adalah penyakit dewa-dewaan.

Jassin juga menolak penyamarataan Angkatan 45 punya visi individualis, karena Angkatan 45 heterogen. Tulisnya: “Seni Angkatan 45 ialah seni universal, dasar-dasarnya tempat mencipta boleh berlain-lainan, tapi dalam keseluruhannya, sebagai hasil ciptaan, harus mencapai keuniversalan.”

Dharta sekali lagi menegaskan pendirian Lekra: menolak l’art pour l’art. “Ini adalah formalisme: nomor satu bukan pandangan hidup yang dimanifestasikan oleh hasil seni, tetapi bentuk hasil seni itu mesti berseni. Biar pandangan hidupnya bertentangan dengan kepentingan rakyat, hasil sastra adalah sempurna kalau syarat-syarat seninya dipenuhi!” tulis Dharta.

Dalam surat kepada Aoh K. Hadimadja, tertanggal 15 Desember 1951, Jassin tidak menyinggung lagi esai Dharta. Dia lebih menjawab pertanyaan Aoh tentang humanisme universal. Jassin mulai memakai kata “humanisme” dalam kata pengantar Gema Tanah Air tahun 1948, yang merupakan reaksi kritis atas pemikiran “humanisme” para seniman dalam redaksi Gema Suasana. Dia senang, setuju dengan tendens humanisme, tapi juga galau ketika tahu mereka tanpa sadar jadi alat politik Belanda. “Humanisme universal” lalu didukung Jassin ketika konsep itu diangkat oleh Surat Kepercayaan Gelanggang.

Kepada Iramani (nama pena Njoto), Dharta mengatakan, “Jassin hanya mencari untuk mencari, sedang aku sudah tahu di mana tempatku.” Dan Iramani menambahkan: bagi seniman, tahu menempatkan diri adalah salah satu soal terpenting!

Pertemanan mereka taklah runtuh oleh perbedaan itu, mungkin justru mendekatkan keduanya. Beberapa kali Dharta mengirim surat dan kartu pos untuk Jassin. Di bawah isi suratnya, sebelum tertera namanya, dia menulis “sahabat”.

Salah satu surat, tertanggal 20 Februari 1953, dikirim dari Wina, Dharta menulis: “… ini gambar tempat istirahat buruh di Rumania, yang memang bukan sorga, tetapi yang terang kehidupan bersinarkan kegembiraan dan harapan dan di mana manusia adalah manusia dengan segala sifatnya yang baik.” Ya, Dharta ingin menunjukkan dunianya pada Jassin.

Jassin juga bukan orang yang membedakan lawan dan kawan. Sajak Dharta “Nyi Marsih”, misalnya, dimuat di majalahnya, Siasat, tahun 1951 karena dinilainya sebagai sajak yang berhasil, isi dan bentuknya mencapai kesatuan yang harmonis.

Tak ada demarkasi antara kawan dan lawan, masing-masing menjauhi permainan hitam-putih —seperti larik puisi Dharta untuk HB Jassin “Antara Bumi dan Langit”.

“Kita tetap melihat lebih besar dan lebih kuatnya persamaan antara kita dan kita daripada perbedaannya,” tulis Dharta dalam “Kita adalah Anak Zaman Kini”. “Orang boleh bebas menganut faham pendirian seninya, tapi orang tidak bebas untuk tidak memperhatikan masalah bangsanya, dan kemudian masalah dunia. Ini yang kita harap!”


PADA 7 Maret 1956, Dharta mengirimkan kartu pos untuk karibnya, Samandjaja: “Saya tebak Bung sudah terima surat Sekretariat Pusat tentang research perkembangan kesusastraan. Saya harap… Belum adanya jawaban Bung tentang ini dan tentang Pleno yang akan datang…. Kami pikirkan acaranya sekitar realisme. Jangan kita simpang siur dalam interpretasi subjektif.”

Bulan-bulan ini Dharta begitu getol mengirimkan surat untuk Samandjaja. Pikirannya selalu bekerja, mencari cara memajukan Lekra. Dalam surat-surat itu, selain soal-soal pribadi, dia mengajukan riset perkembangan kesusastraan, gerakan penilaian secara massa, penerbitan kumpulan puisi bertemakan sama, permintaan naskah untuk Zaman Baru, dan sebagainya.

“Berbaris juga suratku ini, bukan? Nyaris saban hari. Soalnya sangat sederhana: saya butuh omong. Omong yang bisa melahirkan perbuatan praktis dan yang bisa mempertinggi diri,” tulis Dharta dalam surat kepada Samandjaja, 10 Maret 1956.

Kala itu Samandjaja, nama lain Oey Hay Djoen, dikenal sebagai pengusaha nasional yang berkomitmen sosial tinggi. Dia jadi anggota Konstituante mewakili Partai Komunis Indonesia, juga bergabung dengan Lekra di Semarang. Ketika pada 1957 pindah ke Jakarta, karena ditarik ke sekretariat pusat Lekra, dia menawarkan rumahnya di Jl Cidurian 19, di kawasan Cikini, sebagai sekretariat, menggantikan kantor sebelumnya di Jl Dr Wahidin yang tak memadai lagi.

Dalam surat balasannya dari Semarang, tertanggal 8 Juni 1956, Samandjaja memberi sambutan yang hangat atas anjuran Dharta soal riset dan seruan penilaian secara massa. Tapi, “Menurut hematku, dalam hal kedua persoalan, segi di atas ini saja sudah terkandung suatu problem yang maha besar. Sebab ia menentukan posisi kita selanjutnya. Ia menuntut dari kita pemecahan soal cara kerja, soal ‘dari mana memulai’ pekerjaan. Terang, keduanya tidak bisa dilepas-lepaskan. Tetapi terang pula: sistimatik dalam penyelesaian pekerjaan harus ada.”

“Untuk sampai pada keputusannya, masing-masing soal perlu lebih dulu diperbincangkan secara mendalam, bukan sepintas lalu.”

Samandjaja sadar balasan suratnya agak ekstrim. Dia ingin tak ada yang menggantung. Seruan “penilaian secara massa” misalnya —belakangan terbit di Harian Rakjat, 30 April 1956. Tanpa cara kerja, meski Sekretariat Pusat Lekra bersedia membantu siapa pun yang memerlukan keterangan, ia bisa menyulitkan.

Saya tak menemukan jawaban Samandjaja soal sidang pleno. Sebagai anggota pleno Sekretariat Lekra, Samandjaja mendapat undangan itu. Sidang Pleno itu diadakan di Jakarta pada 27, 28, dan 29 April 1956. Agenda acaranya: “Realisme Sosialis, dalam pengertian dan pekerjaan kita”. Semua anggota pleno diundang, juga di luar anggota seperti Basuki Resobowo, Rivai Apin, Hendra Gunawan, dan Boejoeng Saleh. Saya juga tak menemukan hasil pleno ini.

Tapi, realisme sosialis adalah konsep berkesenian Lekra yang amat penting. Dharta memperkenalkan konsep ini sejak 1951 lewat esai “Dari Idealisme ke Realisme”, meski tidak secara utuh. “Realisme adalah kesusastraan yang menggambarkan kenyataan. Tetapi ini saja tidak cukup. Kesusastraan seharusnya menggambarkan, membongkar kenyataan, plus memberi jalan kepada manusia. Dan inilah realisme kreatif,” tulis Dharta.

Tanpa kejelasan, menyulitkan dalam tataran praktik, berkembanglah penafsiran-penafsiran subjektif di antara seniman Lekra. Tapi realisme sosialis bukanlah konsep yang selesai, masih terbuka bagi kritik. Itulah kenapa perlu pembahasan.

“Realisme sosialis ada setelah Lekra. Itu kan dari Prof. Lukács, dari universitas Hongaria. Maksudnya supaya peranan rakyat, bekerja, ditekankan dalam hasil-hasil kesenian. Supaya hasil-hasil kesenian bersih dari unsur feodal dan borjuis,” ujar Dharta kepada saya.

Georg Lukács adalah filsuf dan kritikus sastra Hongaria, profesor estetika dan filsafat kebudayaan pada Universitas Budapest (1945-1956). Estetika Lukács, seperti dikutip Eka Kurniawan dalam Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, menekankan hubungan-hubungan sosial sebagai dasar estetikanya. Menurutnya, subjek suatu kreasi seni bukanlah manusia yang dilihat secara statis, yang membuat kreasi seni itu jadi condong kepada subjektivisme dan semboyan. Sastra haruslah dinamis, menata karakter-karakter dalam perspektif sejarah serta memperlihatkan arah, perkembangan, dan motivasi. Agar sastra menjadi dinamis, gerak sejarah utama saat ini haruslah diperhitungkan. Pada abad ke-20, gerakan itu adalah sosialisme. Karenanya gaya sastra kontemporer yang benar, menurutnya, hanyalah realisme sosialis, yang secara praksis berdampingan dengan gerakan sosialis.

Cikal bakal realisme sosialis dipercaya sudah hadir sejak terbit novel Gorky Mother, yang dianggap sebagai karya puncak realisme sosialis, pada 1906. Artinya, dalam pengertian Pram dalam Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, istilah realisme sosialis timbul jauh setelah pempraktikkannya. Istilah itu sendiri baru diperkenalkan dalam Kongres I Sastrawan Soviet di Moskwa pada 1934 oleh Andrei Zdanov.

Menurut Dharta, kesusastraan yang berorientasi kerakyatan tidak dimulai oleh Lekra. Dia menyebut karya-karya Asmara Hadi, Sanusi Pane, dan Aoh Karta Hadimadja. Lekra hanya menjadi penerus, yang melanjutkan, dalam suasana dan manusia Indonesia menurut zamannya. “Lekra telah merumuskan garis orientasi kerakyatannya sebagai garis realisme-kreatif. Realisme yang mempunyai kearahan, yang mempunyai sasaran dan tujuan. Dalam kekaburan pengertian inilah masih merajalela kekaburan pengertian tentang Lekra,” tulisnya dalam esai “Kesusastraan Ke Arah Emansipasi Petani”.

“Realisme yang dianut Lekra bukan “art of facts”…. Tapi kenyataan dengan segala kemungkinan dan perkembangannya.”

“Realisme-kreatif itu sendiri tidak berarti siap-selesai di dalam kelanjutannya. Ia hanya baru menyelesaikan segi orientasinya!”

Taklah berlebihan jika ia dianggap belum sepenuhnya berhasil diterapkan seniman-seniman Lekra. Banyak pula yang menilai rendah mutu karya-karya Lekra, dari dalam maupun luar Lekra. Dalam pertemuan Lingkaran Sastra Lekra cabang Jakarta tahun 1956, terlontar pernyataan serupa: sajak-sajak penyair Lekra umumnya dianggap agitasi, bertendens, dangkal, tak memenuhi syarat-syarat sajak. Ia tidak baik, tidak artistik. Ia bukan sajak, bukan hasil sastra.

Dharta menerima sekaligus mempertanyakannya ukuran apa yang dipakai. Dia mengajak bersikap kritis dan melakukan studi, di sisi lain menekankan —seperti judul esainya— “Penilaian adalah Hasil dari Suatu Sikap Hidup”.

“Ya iya dong masak kita mesti sempurna? Selama masih ada penghisapan oleh manusia atas manusia, selama masih ada sistem kelas, selama itu kekurangan itu tidak bisa hapus, akan selalu ada,” ujarnya kepada saya.

“Stalin ngomong ‘Nothing is perfect nothing, even communism is not perfect’. Komunisme juga tidak sempurna. Tidak ada yang sempurna! Dalam perbandingan antara komunisme dan kapitalisme, komunisme lebih baik. Kalau kapitalisme itu mempertahankan adanya sistem penghisapan kelas, kalau komunisme mau menghapuskannya.”

Karena ketaksempurnaan itu pula dia menyerukan agar tak henti-henti memperfeksi diri. Dia menulis, menerjemahkan, tulisan-tulisan yang menggambarkan perkembangan kesusastraan di negara-negara sosialis, agar jadi bahan berguna bagi para pengarang. Semuanya disesuaikan dengan keadaan, waktu, dan tempat.

Pidato Mikhail Sholokhov, pengarang terkemuka Soviet, dalam Kongres Partai Komunis Uni Soviet, tak ditelannya mentah-mentah. Sholokhov menganjurkan agar sastrawan hidup di tengah masyarakat, sekaligus membebaskan diri dari segala yang menghambat kerja kepengarangan. “Kita paling banter bisa menganjurkan supaya pekerjaan organisasi itu jangan menelan kegiatan mengarang. Malahan mesti bisa mengatur demikian, sehingga pekerjaan organisasi bisa menjadi rangsang dan sumber bahan untuk mengarang, untuk mencipta,” tulisnya dalam “Menilai dan Menafsirkan Pidato Sholokhov”.

Pada Konferensi Nasional II, 28 Oktober 1957, ketika menyampaikan laporan Sekretariat Pusat Lekra, Dharta kembali menekankan kerja keorganisasian yang mendorong “kelahiran penciptaan-penciptaan yang bernilai” dan “tidak mutlak harus menjadikan diri kita semacam robot.” Dalam laporan itu pula dia menyimpulkan kegiatan-kegiatan Lekra sudah membawa kemenangan azas kerakyatan atas paham ”seni untuk seni”, “ilmu untuk ilmu”, dan “filsafat untuk filsafat”.

Tapi, sejak awal, dia sadar keterbatasan dirinya sebagai manusia. Dalam suratnya kepada Samandjaja, 4 Februari 1956, dia sudah menuliskannya: “Kadang-kadang diriku malu oleh kebesaran kasih manusia. Malu karena aku tak becus untuk melukiskannya secara tepat, secara memadai. Apa boleh buat, tugas kita, hanya memberikan maksimum yang ada pada kemampuan kita. Intensif dan tak bersyarat!”


SEBUAH kudeta merangkak menenggelamkan semuanya. Gerakan kebudayaan itu langsung habis begitu Soeharto melancarkan ”gerakan pembersihan”. Para aktivitasnya dipenjara dan sebagian dibuang ke Pulau Buru tanpa proses pengadilan. Lekra dianggap sebagai onderbouw Partai Komunis Indonesia, partai yang dipersalahkan atas peristiwa pembunuhan para jenderal.

Hubungan PKI dan Lekra ibarat minyak dan air. Aidit ingin Lekra jadi organisasi resmi PKI. Salah satu resolusi rapat Pleno II CC PKI pada 1963 adalah menggelar Konferensi Nasional Sastra dan Seni, yang akhirnya diadakan pada 27 Agustus hingga 2 September 1964 dengan nama Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner.

“Siapa? Dari mana?” tanya Dharta kepada saya. Nadanya keras.

“CC PKI.”

“Tidak logis, secara teori nggak kena!” ujarnya. “Dasar teorinya apa? Nggak ada. Pertama dasar teorinya bagaimana perbandingan di partai yang sudah ada, apa itu di partai luar negeri. Nggak ada! Siapa anggota CC itu? Akh, ngawur itu! Terbelakang sekali orang itu!”

“Intinya kan mengingatkan bahwa kebenaran itu tidak dimonopoli oleh PKI. Ada kebenaran lain yang sama, kebenaran yang diperjuangkan oleh kebudayaan, oleh Lekra, oleh kultur. Jangan ada anggapan bahwa partai itu sempurna!”

“Apakah dia tidak tahu bahwa (perlu) ada faksi supaya jadi tantangan untuk menguji hingga di mana salah-benarnya PKI. Ini kan malah menguntungkan PKI. Itu bagaimana sih sampai nggak ngerti!”

Saya tak pasti apakah dia benar-benar tidak tahu, mengingat kedekatannya dengan Aidit. Tapi ketika itu berlangsung, di tahun 1964, tempatnya bukan lagi di Lekra —meski dia menjadi salah satu peninjau dalam Konferensi Lekra di Palembang. Sejak 1962, Dharta mendirikan dan memimpin Universitas Kesenian Rakyat di Bandung, yang kemudian juga hancur oleh “pembersihan”.

Dharta sendiri diciduk di rumahnya di Bandung, lalu masuk penjara Kebonwaru. Selepas dari penjara tahun 1978, nama A.S. Dharta seolah menghilang. Banyak kawannya yang bahkan mengira dia sudah meninggal dunia. Padahal, dia berada di Cianjur, di rumahnya yang asri. Sehari-hari dia hanya membaca koran, buku, atau menonton sepakbola. Belakangan, sesekali dia menelpon atau menemui teman-temannya yang bertandang ke rumahnya. Dua tahun lalu saya mengenalnya, berdiskusi dengannya, bahkan menjadi bagian dari keluarganya.

“Hormat kepada Tursaho. Dia bisa bikin saya 15 tahun nggak ngapa-ngapain. Dia berhasil membikin saya lumpuh, membikin saya impoten tanpa penyakit AIDS. Hebat dia! Hebat Maestro! Hebat Tursaho!” ujar Dharta kepada saya, berkelakar. Tursaho adalah Soeharto —Dharta memang suka memelesetkan nama orang.

Orde baru memasungnya, juga jutaan orang Indonesia. Tapi apa yang dibangunnya pada 1950 seolah masih hidup, dalam bentuknya yang paling buruk. Kasar. Main sikat. Tukang berangus. Banyak orang merujuk buku Prahara Budaya karya karya Taufik Ismail dan D. S. Moeljanto.

“Taufik Ismail itu ngomong bahwa kita tuh ... kan nggak pernah sebut fakta toh! Jadi kapan kita merugikan mereka kan nggak ada. Kenapa tidak turun kepada fakta. Sebutkan dong! Kemungkinan benar, kenapa tidak! Karena Lekra kan tidak mungkin beres, selalu beres, kenapa tidak mungkin salah!”

Tapi roda sejarah sudah berputar. Sejarah ”versi pemenang” terus direproduksi. Penelitian Keith Foulcher, Social Commitment in Literature and Art, secara khusus mempelajari pergulatan gagasan tentang kesatuan atau keterpisahan antara seni (sastra) dan politik. Robohnya orde lama oleh Foulcher tidak hanya dipandang sebagai awal kebangkitan dan kejayaan orde baru, tapi juga kemenangan pengikut pandangan sastra universal.

Dan kemenangan itu membawa kemapanan. Arief Budiman, salah seorang penandatangan Manifest Kebudayaan, yang pada 1968 menolak nilai universal dalam kesusastraan, melihat sejarah kesusastraan Indonesia modern sudah tidak sehat lagi. Kesusastraan “universal” berjaya secara mapan, hampir-hampir tanpa saingan dan tandingan. Pada 1984, bersama Ariel Heryanto, dia menggagas “sastra kontekstual”. Gagasan itu menyiratkan keinginan sastrawan muda untuk meninjau kembali nilai-nilai sastra yang mapan dan peranan sastra dalam perubahan sosial. Gagasan ini mengingatkan saya pada esai Dharta menjelang tahun 1950 —mungkin juga semangat kelompok Manifest Kebudayaan pada 1960-an.

Tapi lagi-lagi, sastrawan generasi tua khawatir status quo-nya akan tergerogoti, juga takut bangkitnya “musuh” lama: Lekra. “Sastra kontekstual” pada 1984 dihubung-hubungkan dengan Lekra. Arief Budiman dianggap sebagai pembela Lekra. Tinjauan kritis tak pernah mencapai hasil. Menurut Ariel Heryanto dalam “Politik Kesusastraan Indonesia Mutakhir” di majalah Prisma tahun 1988, pertentangan di masa lalu antara Lekra dan Manifest berakhir pada lingkup politik, tapi belum tuntas dalam tingkat konseptual dan emosional.

Kumpulan esai ini menjadi sebuah upaya untuk menghadirkan kembali pemikiran dan perdebatan yang muncul di awal 1950-an, dalam tataran konseptual (merujuk artikel Heryanto), ketika kepentingan politik belum muncul dan saling serang tidak dijadikan senjata.

Generasi muda sekarang jauh lebih kritis. Mereka tak mau tafsir tunggal, bahkan dari pihak yang sekarang kalah sekalipun. Dalam sebuah diskusi di Jakarta, sikap itu tampak jelas. Saut Situmorang, sastrawan asal Yogyakarta, pernah mengeluhkan generasinya yang terjepit di antara “dua gajah”. Saya menyalahkan kenapa mau terjepit, atau diam kena jepit. Dalam kesempatan lain, saya juga meminta seniman-seniman tua untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri, atau membuka dialog sejarah dengan generasi di bawahnya.

Begitu sulitkah dialog yang tua dan muda?

Ketika itu tampaknya sulit terwujud, esai Dharta terngiang di benak saya, dalam bentuknya yang baru: “Angkatan Lekra sudah mampus, angkatan Manifest Kebudayaan sudah mampus, karena sudah bunuh-membunuh, hancur-menghancurkan.” Generasi baru mesti menegaskan sikap generasinya.

Pada 7 Februari 2007, A.S. Dharta menghembuskan nafas terakhir di rumahnya di Cibeber, Cianjur. Satu per satu yang tua mati, yang muda tumbuh.

Pada akhirnya gajah-gajah itu hanya akan meninggalkan gading. Generasi sekarang mungkin tak akan menemukan kebenaran tunggal. Tapi sudah semestinya, seperti dalam permainan pinsut, semut selalu menang lawan gajah. Generasi sekarang harus membuat sejarahnya sendiri.*


Kebayoran Lama, Juli 2008
Budi Setiyono
Wartawan Pantau di Jakarta

[Catatan: tulisan ini merupakan kata pengantar untuk buku Kepada Seniman Universal, kumpulan esai sastra AS Dharta]


Sumber foto dalam blog ini:
Sutan Takdir Alisjahbana (gausarts.blogspot.com)
HB Jassin (www.jakarta.go.id)
Oey Hay Djoen (oeyhaydjoen.blogspot.com)
Soeharto (imantambak.blogspot.com).

Read More......

Monday, July 19, 2010

Kepada Seniman Universal

PADA 7 Februari 2008, di Pusat Dokumentasi HB Jassin, Oey Hay Djoen berbicara dalam acara “Mengenang Setahun Wafatnya Klara Akustia”. Dia bersedia, meski awalnya enggan ngomong soal Lekra –hal yang tak bisa dihindarkan ketika membicarakan sosok A.S. Dharta, karena sadar ada banyak anak muda yang ingin mengintip sekelumit sisi sejarah ini. Di sinilah Om Saman –begitu biasa saya menyapa– bicara soal Lekra dan tentu saja Dharta.

“Melihat sosok Dharta jangan semata-mata melihat puisi-puisinya. Juga yang justru penting adalah esai-esai sastra yang dia tulis,” ujarnya.


Dan Om Saman pula yang mendorong saya mengumpulkan dan menerbitkan tulisan-tulisan Dharta.

A.S. Dharta (1924-2007), seorang sastrawan-cum-politisi kelahiran Cibeber, Cianjur. Pernah menjadi anggota Konstituante pada masa Orde Lama. Ia juga sekretaris jenderal pertama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan redaktur Zaman Baru, penerbitan resmi Lekra, serta pendiri dan rektor Universitas Kesenian Rakyat di Bandung. Karya utama: Rangsang Detik, sajak-sajak 1949-1957.

Pengumpulan esai-esai Dharta dilakukan sejak saya mengenal Dharta dan sering bertandang ke rumahnya untuk berdiskusi. Esai-esai pertama yang tersedia, dan masih dalam bentuk ketikan, justru esai-esai awal dan terpenting Dharta: “Angkatan 45 Sudah Mampus” dan “Kepada Seniman Universal”. Selebihnya, dibantu sejumlah teman dan kerabat, saya lacak di Perpustakaan Nasional dan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin.

Esai-esai Dharta terutama dimuat di Gelombang Zaman, Spektra, Zaman Baru, Harian Rakjat, dan Bintang Timur –atau setidaknya kami memfokuskan pencarian di media-media tersebut. Ini persoalan efisiensi saja, meski ada kemungkinan esai yang dimuat di media di luar itu. Misalnya, esai di sebuah majalah di Makassar, Berita Kebudayaan.

Esai-esai itu kemudian saya seleksi dan menjadikannya sebuah buku dengan judul Kepada Seniman Universal, yang diterbitkan oleh Ultimus, Bandung.

Kepada Seniman Universal
Kumpulan Esai Sastra A.S. Dharta
Editor: Budi Setiyono
Peneliti: Amat, Imam Shofwan, Iratasty Sidharta, Ratih Purwasih, Trully Hitosoro
Desain sampul: Dhany A.
Penerbit: Ultimus
Tahun terbit: Juli 2010

Saya bikin kata pengantarnya. Jika di buku Rangsang Detik saya ulas proses kreatif puisi-puisinya dalam "Keremajaan Klara Akustia", kali ini saya mencoba menghadirkan kembali pemikiran dan perdebatan yang muncul di tahun 1950-an, dalam tataran konseptual, ketika kepentingan politik belum muncul dan saling serang tidak dijadikan senjata. Saya juga mengaitkannya dengan perlunya dialog sejarah, bukan semata untuk generasi tua yang masih berseteru, tapi juga dengan generasi sesudahnya.*

Read More......

Tuesday, May 04, 2010

Huyung: Guru Para Sineas

JALAN hidupnya memang unik sekaligus kontroversial. Namanya tercatat dalam sejarah tiga negara: Korea, Jepang, dan Indonesia; sebagai Hue Yong, Hinatsu Eitaroo, dan Huyung. Demi cita-citanya sebagai sutradara film, dia mengambil pilihan yang bisa membuatnya dicap sebagai seorang kolaborator, pembelot, pahlawan, atau semata orang yang naif dan pragmatis.

Hue Yong, nama aslinya, lahir di Hamgyong, Korea, pada 21 September 1908. Tak ada catatan tentang keluarga dan masa kecilnya. Ketika beranjak dewasa, dia ingin jadi sutradara, dan mewujudkannya jadi soal sulit jika dia tetap berada di tanah airnya. Sejak 1910, dua tahun setelah dia lahir, Korea menjadi bagian dari wilayah Kekaisaran Jepang. Tak sedikit warga Korea yang bermigrasi ke Jepang.


Hue Yong memutuskan pergi ke Jepang untuk belajar film. Usianya masih 17 tahun. Di Tokyo, dia bekerja dengan menggunakan nama Hinatsu Eitaroo di studio film Makino Shozo, bapak perfilman Jepang. Tapi masalah keuangan memaksa studio itu tutup pada 1931. Hinatsu lalu bekerja sebagai asisten sutradara di perusahaan film Shochiku. Pada periode ini pula Hinatsu bertemu lalu menikah dengan gadis Jepang, Hanako.

Hanako lahir di Shimane, sebuah provinsi yang juga dikenal sebagai Kyoto-kecil. Ayahnya seorang pengusaha sukses yang terpandang di daerahnya. Wajahnya cantik. Hanako lulus dari sekolah khusus perempuan di Tokyo (Tokyo joshi gakko) pada 1934, lalu menjadi tokoh sweet girl di Morinaga yang melejitkan namanya.

Hinatsu sendiri lagi menanjak kariernya. Sebagai asisten sutradara yang menonjol, masa depannya cerah. Pada 1933, dia juga menghasilkan karya film musikal yang berjudul Nure Tsubame. Tapi sebuah peristiwa nyaris menenggelamkan kariernya.

Suatu hari, di musim semi 1937, Hinatsu membuat adegan ledakan di depan istana Himeji untuk film panjang Summer Battle of Osaka (Osaka Natsu No Jin) yang disutradarai Teinosuke Kinugasa. Dia salah memperhitungkan jumlah bubuk mesiu. Dia terluka. Sebagian bangunan istana, yang dianggap warisan budaya nasional, rusak. Polisi menggiring Hinatsu ke kantor polisi dan menginterogasinya selama berjam-jam. Identitasnya sebagai orang Korea terbuka. Pekerjaannya hilang. Dia dinyatakan bertanggung jawab atas ledakan itu dan dihukum masa percobaan.

Di Tokyo dia sempat bekerja di perusahaan Shinke Kinema, membantu beberapa produksi film, dan menyelesaikan pendidikan di Universitas Waseda. Setelah itu dia pulang ke Korea untuk membuat sebuah drama berdasarkan kisah hidup Yi In-suk, seorang tentara sukarelawan Korea yang menjadi martir saat bertugas membela Kekaisaran Jepang. Dari sini saja orientasi hidupnya sudah mulai terbentuk, yang makin terlihat ketika dia membuat film (propaganda) Jepang.

Di Korea, dia mendapat tawaran untuk membuat You and I (Kimi to boku). Film ini dirancang sebagai “Proyek Kerjasama Film untuk Unifikasi Ibu Pertiwi dan Korea” dengan bantuan Kantor Gubernur Jenderal Korea dan Seksi Informasi Balatentara Jepang. Tanabe Masatomo, kepala Divisi Edukasi Pemerintah Kolonial Korea sekaligus temannya, memperkenalkannya dengan sutradara film terkemuka Jepang, Tasaka Tomotaka. Sebelum produksi film dimulai, Tanasaka yang semula setuju menyutradarainya tiba-tiba mengundurkan diri dengan alasan pribadi. Akhirnya film itu dikerjakan oleh Hinatsu, sebagai penulis skenario maupun sutradara.

Syuting film dilakukan di Koryo Film Studio yang seadanya, menggunakan kamera lawas dan peralatan tata pencahayaan yang didapat dengan susah-payah dari tentara kolonial dan studio film lainnya. “Orang-orang di Ibu Pertiwi (Jepang) tak akan bisa membayangkan kondisi sederhana yang biasa dilakukan di sini untuk membuat film,” ujar Hinatsu seperti dikutip Peter B. High dalam The Imperial screen: Japanese film culture in the fifteen years' war, 1931-1945.

Film ini jadi awal keterlibatan Hinatsu dalam program kebijakan film Jepang menjelang Perang Pasifik. Dan tokoh dalam You and I, bernama Kaneko Eisuke, ibarat cerminan dirinya. Eisuke seorang sukarelawan di kamp pelatihan militer di dekat Keijo, Seoul. Eisuke memilih jadi sukarelawan karena, “Pada saat krisis seperti ini, tak adil meletakkan semua tanggung jawab di pundak saudara-saudara kita di Ibu Pertiwi. Kita, pemuda Peninsula, juga harus memikul senjata untuk mengabdi pada Kekaisaran.”

Tapi motif Hinatsu mungkin tak semata pengabdian. Melihat cita-citanya, pilihan ini adalah jalan logis untuk meningkatkan karier. Selain itu, tulis Peter B. High, Hinatsu punya motif lain: “psikologi” penjajah –dalam satu periode hidupnya dia tampil sebagai ultranasionalis Jepang. Sementara Michael Baskett dalam The Attractive Empire: Transnational Film Culture in Imperial Japan, lebih melihat Hae Young sebagai hasil dari kebijakan imperialisasi Jepang di Korea, sama seperti karakter Eisuke ciptaannya.

Baskett juga menulis, sumber-sumber (dokumen) Jepang dan Korea pascaperang memiliki pandangan berbeda tentang You and I. Sejarah film Jepang menyebut film itu meraih sukses besar, sementara sejarah film Korea menganggapnya sebagai propaganda buruk yang gagal. Namun kedua sumber tersebut setuju bahwa film itu jadi katalisator yang memotivasi Hinatsu untuk meninggalkan Korea dan pergi ke Indonesia.

Hinatsu meninggalkan Hanako, istrinya yang berusia 25 tahun dan telah memberinya dua anak. Anak laki-laki mereka meninggal di usia 10 tahun. Anak perempuan mereka, Moeko, sedang beranjak dewasa. Hanako melanjutkan hidup dengan bisnis rumah makan dan sukses. ”Seniman itu dingin. Kamu nikah sama orang biasa saja ya! Ya, ayah memang melakukan semuanya demi impiannya menjadi pembuat film,” ujar Hanako kepada Moeko seperti terekam dalam http://www.k5.dion.ne.jp/~moeko/index.html.


PADA musim semi 1942, Hinatsu Eitaroo tiba di Jawa sebagai bagian dari rombongan ahli kebudayaan Jepang yang bekerja untuk Kantor Propaganda Jepang (Sendenbu).

Sendenbu, yang merupakan organ utama pemerintah militer (Gunseikanbu) Jepang, dibentuk pada Agustus 1942. Ia bertanggung jawab atas propaganda dan informasi yang menyangkut pemerintahan sipil. Beberapa orang berbakat dan spesialis di bidang kesenian tertentu, seperti Hinatsu, direkrut.

Pendudukan Jepang membawa perubahan besar-besaran dalam produksi film dan sandiwara di Jawa. Pembikinan film (propaganda) dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah. Film-film Jepang, terutama yang berguna untuk propaganda, diimpor. Dalam bidang drama, Sendenbu membentuk sekolah dan mendorong pembentukan kelompok-kelompok teater baru, yang kemudian berkumpul dalam Jawa Engeki Kyokai atau Perserikatan Oesaha Sandiwara di Djawa (POSD). Produksi drama meningkat, lahir dari karya seniman Indonesia seperti Abu Hanifah, Usmar Ismail, Armijn Pane, Idrus, Kotot Sukardi....

Hinatsu bertugas memimpin POSD, yang menggalakkan penulisan dan pementasan drama. Kelompok sandiwara yang semula bermain tanpa naskah diharuskan mementaskan cerita tertulis, setelah melalui sensor POSD. Hinatsu akan marah jika ada seniman yang menyalahi aturan. Kamadjaja, misalnya, pernah kena semprot karena nekat mengubah isi lakon teater “Petjah sebagai Ratna” karya Kotot Soekardi yang dipentaskan kelompok sandiwara Tjahaja Timoer. Tapi akhirnya Hinatsu diam saja setelah menonton pementasan.

Usaha lainnya melalui sayembara penulisan skenario film, lakon sandiwara, syair, dan semboyan yang bertemakan pengerahan Romusha. Hasil sayembara akan dibikin film, pementasan, dimuat di majalah dan suratkabar. Mohammad Hatta menjadi ketua panitia, dan Hinatsu menjadi wakilnya.

“Sayembara serupa ini perlu diadakan sebagai tindakan untuk menyempurnakan pengerahan Romusha dan untuk menyatakan penghargaan pada mereka,” ujar Hinatsu seperti dikutip Asia Raya, 4 Juni 1945.

Hinatsu sendiri rajin menulis naskah drama, yang kemudian dipentaskan di beberapa kota. Lakon-musiknya “Asia Gembira” dipentaskan kelompok sandiwara Warnasari di Jakarta, yang menampilkan tarian, nyanyian, dan musik dari berbagai wilayah Asia Timur Raya. Ada juga pementasan akbar lakonnya “Boenga Rampai Djawa Baroe”, yang merangkai tarian, nyanyian, lelucon, sandiwara, dan pencak silat, untuk menyambut peringatan tiga tahun koran Djawa Baroe.

Karya terpopulernya, “Fadjar Telah Menjingsing”, dipentaskan di Jakarta dan Surabaya untuk menyambut janji Indonesia merdeka di kemudian hari –yang disampaikan Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Asia Tenggara Marsekal Terauci ketika bertemu Sukarno, Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat di markasnya di Dalat, Vietnam– sekaligus peringatan hari jadi POSD. Pemainnya: bintang-bintang sandiwara kenamaan dari berbagai kelompok sandiwara seperti Tjahaja Timoer, Warnasari, Noesantara, Bintang Soerabaja, dan Dewi Mada.

“POSD dengan demikian ingin membuktikan adanya gabungan dan persatuan di antara berbagai sandiwara di Jawa, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam riwayat sandiwara di Indonesia,” tulis Soeara Asia, 6 September 1944.

Hinatsu juga mengarang syair lagu “Kirikomi no Uta” karya Kusbini. Keahliannya dalam bidang film dia terapkan dalam penyutradaraan film dokumenter Calling Australia (Goshu no Yobigoe, 1944) untuk menjawab kritik Sekutu soal kamp tahanan Jepang. Pembuatannya dilakukan di salah satu kamp, dengan pemeran tahanan perang sungguhan.

Film ini menggambarkan bagaimana para tahanan menikmati kehidupan yang nyaman di kamp-kamp tahanan. Mereka mendapat perawatan kesehatan yang baik, bebas menyiapkan makanan di dapur, minum bir, dan main bilyar. Tahanan perempuan mengeluhkan kenaikan berat badan mereka. Ketika pembuatan film hampir rampung, pamflet tentang film itu dijatuhkan ke seantero Australia. Harapannya, semangat tentara Australia kendor dan mendorong mereka menyerah kepada Jepang.

Propaganda Jepang ternyata tak sebanding dengan kemampuan tempurnya dalam Perang Pasifik. Pada 1945, Jepang kalah perang. Film Calling Australia karya Hinatsu dirampas lalu dibikin ulang oleh sutradara Belanda Jaap Speyer untuk menunjukkan perlakuan kejam tentara Jepang dengan judul Nippon Presents. Calling Australia juga diputar di Pengadilan Kejahatan Perang di Tokyo pada 1945 sebagai bukti yang memberatkan para pemimpin militer Jepang.

Dalam situasi ini, sekali lagi Hinatsu mengambil keputusan sulit. Kepada seorang teman dekatnya, Hinatsu berkata: “Kalian (orang-orang Korea) semua datang ke sini (Indonesia) dalam sebuah kelompok yang bekerja untuk militer Jepang. Tapi saya atas inisiatif sendiri mencoba membujuk pemerintah kolonial Korea untuk membuat You and I dengan bantuan militer kolonial. Semua orang tahu tentang You and I. Semua orang tahu bahwa Hue Yong dan Hinatsu Eitaroo adalah orang yang sama. Ditambah lagi bahasa Korea saya tak begitu bagus. Saya adalah seorang Korea yang hampir tak mengetahui apapun tentang sejarah Korea selain apa yang saya pelajari di Tokyo… Apabila saya kembali ke Korea, saya akan dicap sebagai antek Jepang,” ujarnya seperti ditulis Michael Baskett dalam The Attractive Empire: Transnational Film Culture in Imperial Japan.

Hinatsu Eitaroo memilih tetap tinggal di Indonesia dan mengganti namanya menjadi Dr Huyung. Dia juga menikahi seorang perempuan Indonesia, dan mulai membangun dunia teater dan film Indonesia yang sedang berkembang.


PADA Juli 1948, sebuah konferensi pers digelar Kementerian Penerangan di Yogyakarta, pusat pemerintahan Republik ketika agresi militer II Belanda. Isinya, Kementerian Penerangan akan membuka sekolah film dan teater, Cine Drama Institute, di Manduretna, Notoprajan, Yogyakarta. Tujuannya pendirian sekolah film modern itu adalah mendidik seniman Indonesia dengan teori dan praktik.

“Cine Drama Institute itu sifatnya dapat disamakan dengan Hollywood’s Quarterly atau Course Dunham School of Drama and Theatre di Amerika dan Soviet Film Academy di Rusia,” ujar Iskak, kepala bagian Film dan Sandiwara di Kementerian Penerangan, sebagaimana ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi.

Huyung, yang karena pengalamannya diangkat menjadi pegawai bagian Film dan Sandiwara di Kementerian Penerangan, mengatakan bahwa institut ini akan mengajarkan teknik film, teknik drama, pressphoto, musik, tari, ilmu kesusastraan, kesenian, serta bahasa Indonesia dan Inggris.

Di Yogya inilah terekam perjalanan kreatif Huyung di bidang drama dan film. Di sini dia dia sering memberi ceramah tentang sandiwara dan film. Di antara murid-muridnya tercatat nama Usmar Ismail, bapak perfilman nasional. Pembentukan Cine Drama Institute juga tak lepas dari perannya. Sekolah ini menerima pemuda lulusan Sekolah Menengah Tinggi (SMT) atau yang sederajat dan pegawai film yang sudah berpengalaman. Lama pendidikan: 1,5 tahun. Pemimpin umum sekolah adalah Mr Sujarwo. Iskak dan Huyung menjadi kepala sekolahnya. Guru-gurunya antara lain Drs Sigit, Ki Hajar Dewantara, Armijn Pane, Drs Sumaji, dan Intojo. Salah seorang siswanya, Soemardjono, kelak menjadi sutradara terkemuka. Tapi institut itu tak bertahan lama. Huyung sendiri mengundurkan diri karena adanya konflik sesama pendiri.

Setahun kemudian dia mendirikan Stichting Hiburan Mataram, dengan R.M. Darjono dan R.M. Harjoto sebagai pucuk pimpinannya. Sticting Hiburan Mataram lalu menelorkan Kino Drama Atelier (KDA) yang dikerjakan secara sungguh-sungguh oleh Huyung. Dia juga masih sempat membuat naskah drama “Malam Sutji” yang pementasannya diusahakan oleh Badan Persatuan Pendidikan Tionghoa Yogyakarta dan “Kisah Pendudukan Yogya” yang dipentaskan kelompok drama Ksatrya. Sukarno bahkan memuji pertunjukan dramanya.

Dia tak ingin perkembangan seni di Indonesia mandeg. Dia sering berdiskusi dengan sejumlah seniman. Percakapannya dengan Sudjojono dan Sudarso Wirokusumo, misalnya dimuat di majalah Kesenian tahun 1950, lalu dijadikan brosur yang diterbitkan Kementerian Penerangan. Isinya membicarakan berbagai kesenian di Indonesia dan kemungkinan-kemungkinannya di masa datang.

Pada tahun itu juga, Huyung kembali ke Jakarta dan membikin film Antara Bumi dan Langit, produksi Stichting Hiburan Mataram dan Pusat Film Nasional. Naskah skenarionya dibikin sastrawan Armijn Pane. Ceritanya tentang kedudukan pribumi dan Belanda yang bagaikan bumi dan langit serta cinta yang tak tergapai antara Abidin (diperankan oleh S. Bono) dan Frieda (Grace), gadis blasteran. Dalam film itu, Huyung menyelipkan adegan ciuman –yang kelak dianggap sebagai yang pertama dalam sejarah film Indonesia.

“Pemilihan pokok ceritanya memang aktual (persoalan Indo) tapi dalam pengubahan skrip tetap mengarah pada komersialisme… Antara Bumi dan Langit telah melakukan konsesi terhadap selera penonton-banyak, karena sex-appeal dan nyanyiannya, seperti pernah ditulis sendiri oleh Armijn Pane bahwa memang sengaja memasukkan resep film Amerika: avontuur, spanning, romantik, tragik, nyanyian, dan sebagainya,” tulis Usmar Ismail dalam Mengupas Film.

Masalah muncul ketika beberapa adegan ciuman muncul di suratkabar. Kontroversi pun merebak. Pada 21 Januari 1951, empat bulan sebelum badan sensor memberikan persetujuan, Pelajar Islam Indonesia cabang Medan memprotes film itu. Ekspatriat di Indonesia memprotes isinya yang sensitif. Film ini tertahan di lembaga sensor selama dua tahun dan beredar kembali setelah revisi dan mengubah judulnya jadi Frieda, nama tokoh utamanya. Revisi itulah yang membuat Armijn Pane menolak pencantuman namanya.

Film itu meraih sukses. Huyung lalu membuat film Bunga Rumah Makan (dari karya Utuy Tatang Sontani), Gadis Olahraga, dan Kenangan Masa. Tapi ajal keburu menjemputnya sebelum dia sempat menyumbangkan lebih banyak karya bagi perfilman Indonesia. Dia meninggal dunia karena sakit di usia 43 tahun, pada 9 September 1952. Dia dimakamkan di Petamburan, Jakarta.

Sebagian perjalanan hidup Hinatsu coba dirangkai oleh Moeko, anak perempuannya. Semula dia berpikir ayahnya gugur dalam perang. Lalu dia mendengar dari ibunya bahwa sang ayah pergi ke Jakarta sebagai agen penerangan tentara Jepang dan tak diketahui rimbanya. Moekoe sendiri berpikir ayahnya masih hidup dan membuat film di Indonesia. Usai perang dia lega ketika tahu ayahnya masih hidup, menikah lagi, dan punya anak dari istri keduanya. Dari film-film ayahnya, dia merasa bahwa ayahnya sangat mencintai keluarga.

“Ibu, ayah menggunakan namamu dalam film-film yang dibuatnya di Indonesia. Misalnya film Restoran no Hana atau drama Asia no Hana no Kisetsu,” bisik Moeko dalam hati kepada arwah ibunya. Hanako, istri pertama Huyung, meninggal pada 1960.

Sepeninggalan Huyung, kelompok filmnya bubar. Para sineas dan dramawan Indonesia merasa kehilangan. Bagaimana pun Huyung sudah meletakkan dasar bagi perkembangan seni pentas dan film di Indonesia. *


[Dimuat di www.majalah-historia.com tanggal 3 Mei 2010 dalam tiga tulisan: “Di Negeri Penjajah”, “Antara Drama dan Film”, serta “Guru Para Sineas”]

Read More......

Friday, April 09, 2010

Beb

SEHARIAN Beb sibuk. Ia sudah mempersiapkan beberapa lagu yang akan ia nyanyikan. Kostum sudah pula ia persiapkan: kebaya Sunda. Beb akan menyanyi di Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat, mengisi acara malam pergantian tahun sekaligus peresmian rumah makan milik saudaranya. Ia berangkat malam hari, menembus jalanan yang rusak di sana-sini, di antara gerimis dan kabut tipis.

Pukul lima pagi, setelah perjalanan yang melelahkan, Beb sampai di losmen di pinggir pantai. Tapi ia tak ingin segera bersantai, sementara Sang Mama sudah melenggang menuju pantai. Deburan ombak tak menggerakkan kakinya untuk menengok sejenak. Masih ada waktu nanti untuk memanjakan mata. Ia membereskan tas, membersihkan badan, lalu bersiap tidur. Belum juga lelap, sebuah pesan pendek masuk: sang abang pingsan. Beb mulai gelisah.


Sudah beberapa minggu ini abangnya keluar-masuk rumah sakit karena liver. Semalam ia mendapat kabar kesehatannya sudah membaik, dan bahkan sudah pulang ke rumah. Beb bisa pergi ke Ujung Genteng dengan perasaan tenang. Tapi pagi ini, sakit abang kambuh lagi. Beb membalas pesan pendek agar abang dibawa ke rumah sakit.

Selang beberapa menit, telepon berdering. Kabar buruk datang lagi: abang meninggal dunia. Beb tercekat. Suaranya terbata, lalu menjerit, menangis. “Bohong, kamu bohong….”

Saya terkesiap dari tidur. Saya melihat Beb histeris. Sendirian. Pintu losmen masih terbuka tapi tak ada seorang pun di beranda. Saya mendekat, mendekap, berusaha menenangkannya. Tapi Beb terus saja berteriak, terus meyakinkan diri bahwa kabar itu isapan jempol belaka. Tubuhnya lunglai. Kakinya menendang apa saja yang ada di dekatnya. “Aku ingin memberikan yang terbaik buat abang. Tapi kenapa tak diberi kesempatan...” ia merengek.

Saya mulai panik. Saya menghubungi nomor ponsel Mama, tapi suara panggilan berdengung di dalam kamar. Penghuni losmen lainnya, yang mondar-mandir di halaman losmen, hanya melihat dari kejauhan. Mungkin mereka berpikir kami pasangan muda yang sedang bertengkar hebat.

Mama akhirnya datang. Beb masih menangis. Hampir satu jam, kami berusaha menenangkan hingga isak tangisnya reda. Kami meluncur pulang ke Cianjur, meninggalkan semua barang di dalam losmen, meninggalkan mimpi liburan penutup tahun.



ACARA pemakaman rampung sudah. Semua keluarga berkumpul di rumah abang. Saya duduk di halaman rumah, melihat anak-anak abang sudah melewati kesedihan, bermain dengan teman-teman mereka. Sesekali saya mengobrol dengan adik Beb, yang sibuk menerima tamu. Malam ini akan ada acara tahlilan. Tapi hari sudah sore. Saya undur diri. Saya menuju rumah Mama.

Saya mengenal Beb, juga keluarganya. Dengan kepergian abang Beb, berarti saya harus merelakan kepergian seorang sahabat; teman seperjalanan, teman bercanda dan bermain kartu. Saya masih ingat, hampir dua tahun lalu, dia pernah menemani saya di Ujung Genteng. Ah, kami belum berpikir apakah akan kembali ke sana.

Beb menghabiskan hari ini dengan keluarganya. Cianjur bagaimanapun adalah tempat yang begitu lekat dalam hidupnya. Hampir semua keluarganya tinggal di sana. Setidaknya sebulan sekali Beb mengunjungi ibu dan saudara-saudaranya.

Beb lahir di Cianjur. Ayahnya bekerja di kantor Kejaksaan, yang sering berpindah tempat tugas. Beb kecil pun tumbuh di lingkungan yang berbeda, mengikuti dinas ayahnya: Subang, Bandung, Jakarta, Cianjur, dan Jakarta.

Sedari kecil Beb suka menyanyi. Di Bandung, sejak taman kanak-kanak hingga kelas 2 sekolah dasar, Beb sering menyanyi di depan umum. Biasanya ia berduet dengan sang kakak, Sukesih yang kelak dikenal dengan nama Endang S. Taurina, untuk mengisi acara ulang tahun kantor ayahnya. Mereka menyanyikan lagu anak-anak seperti “Sang Kodok”-nya Yenny atau Pretty Sister.

“Pokoknya selalu duet,” ujar Beb.

Pindah ke Jakarta, keluarga Beb tinggal di kompleks kejaksaan di Tebet. Beb melanjutkan sekolah dasarnya. Di sini Beb pernah ikut lomba menyanyi anak-anak se-Jakarta Selatan, mewakili sekolah. Kali ini ia tak bisa berduet tapi malah harus bersaing dengan sang kakak. Hasilnya, Endang meraih juara pertama, sedangkan Beb kedua.

Lulus sekolah dasar, Beb masuk SMP 73, sekolah favorit di Tebet Timur –beberapa alumninya menjadi artis terkenal seperti Astrid Ivo, Titi Dwi Jayanti, dan Naratama. Di Tebet pula Beb bergabung dan berlatih menyanyi di Sanggar Vita pimpinan Ibu Ida. Vita sering mengisi acara-acara TVRI, satu-satunya televisi yang mengudara saat itu, dari acara Natal hingga Lebaran, dari Lalu Lintas hingga Aneka Ria Anak-Anak.

“SMP masih menyanyikan lagu anak-anak?”

“Karena badan saya kecil, jadi masih sering ikut,” ujar Beb.

Dan di usia semuda ini pula, Beb mulai rekaman. Mulanya ajakan teman-teman dari kelompok musik untuk membuat album lagu. Yang tanda tangan kontrak sang manajer. Tugas Beb hanyalah menyanyi, berduet dengan Endang. Mereka harus merekam 12 lagu hanya dalam dua hari. “Agak berat. Karena kami tak berpengalaman ya nurut aja. Operator sampai geleng-geleng kepala; iba melihat kami diperdaya tanpa bisa berbuat apa-apa.”

Jadilah sebuah album berisi 12 lagu. Lagu andalannya “Pelita Hati”, yang menurut Beb, agak berat syairnya. Meski sudah kelar rekaman, album itu tak juga keluar di pasaran.

Pada 1983, Endang S Taurina meluncurkan sebuah album dengan lagu andalan “Apa yang Kucari” dan meledak. Momen ini dipakai produser Beb untuk meluncurkan album yang belum sempat edar. “Mungkin ini trik dagang. Dia mendompleng kepopuleran Endang S. Taurina,” ujar Beb.

Beb senang kakaknya menjadi penyanyi terkenal. Ia sendiri tak ingin mengikuti jejak. Baginya, itu sudah cukup. Ia juga terbiasa berduet dengan sang kakak, belum berpikir menyanyi solo. Tapi orangtuanya mendorong agar Beb rekaman. Tawaran juga datang dari A. Riyanto, yang melejitkan nama Endang S. Taurina. Orangtuanya terus membujuk, hingga Beb pun menyerah. Pergilah mereka menemui A. Riyanto, “Om, Ratih sudah mau nyanyi.”

A. Riyanto mengetes vokal Beb. Ketika menyanyikan lagu Tommy J Pisa, sebentar saja, A. Riyanto sudah menghentikannya dan meminta Beb menyanyikan lagu pop manis Iis Sugiarto, “Jangan Sakiti Hatinya”. Dan A. Riyanto pun menemukan ciri suara Beb.

“Ratih cocok dengan tipe suara Iis Sugiarto,” ujar A. Riyanto.

Beb menandatangani kontrak rekaman dengan Nada Utama tapi baru mendapat lagu dan rekaman setahun kemudian. Pada 1986, keluarlah album Antara Benci dan Rindu, sesuai dengan lagu andalan karya Obbie Messakh, pencipta lagi yang produktif pada 1980-an. Di album pertama ini, kepopuleran Endang S. Taurina masih dibawa-bawa. Foto Endang terpampang di sampul kaset. Lagu “Antara Benci dan Rindu” pun meluncur manis di pasaran. Ia sering muncul di acara-acara musik di TVRI: Safari, Irama Masa Kini, atau Selecta Pop.

Album pertama Beb meledak. Beb mendapat Golden Album Plus. Hadiahnya keliling Amerika. Namanya langsung populer.

“Tapi waktu itu aku belum yakin, masih belum percaya diri.”

Lalu, meluncurlah album-album Beb berikutnya: Kau dan Aku Berbeda, Mungkinkah Ini Nasibku, Inginnya Begini Jadinya Begitu, dan sebagainya. Setidaknya 25 album ia hasilkan, baik sendiri maupun duet dengan Endang S. Taurina. Hampir semua lagunya sukses di pasaran.

“Semua yang cari dan milih lagu produser, aku hanya menyanyi. Rata-rata, suaranya yang manja-manja gitu,” ujar Beb.

Industri musik belum segemerlap sekarang. Meski sudah merilis banyak album, namanya sudah dikenal, tapi Beb jarang pentas. Dan Beb tak berubah. “Aku kan agak pendiam. Seperti orang biasa saja. Senang saja kalau ketemu penggemar, minta tanda tangan.”

Di kantin Perpustakaan Nasional, ketika Beb menemani saya membuka koran-koran lama, penjaga kantin ribut: meminta tanda tangan, nomor handphone, berfoto bersama. Beb, dan Endang, juga pernah bertandang ke rumah saya. Tetangga berdatangan. Dan ada satu penggemar fanatiknya, yang tak bosan berkirim surat sedari Beb tenar sampai sekarang. “Hampir setiap hari dia kirim SMS,” ujar Beb.

Beb terharu, dan pernah membalasnya sekali. Dan kalau pusing dengan banjir pesan pendek itu, Beb akan menghapusnya.

Beb menunjukkan pesan-pesan pendek itu.



NAMANYA Ratria. Ia bilang bekerja di sebuah restoran di Surabaya. Ia mendaku sebagai penggemar fanatik Ratih Purwasih. Ia suka dan hafal semua lagu Beb. Ia sendiri lupa sejak kapan mulai berkirim surat, dan belakangan pesan pendek, ke Beb. Dalam suratnya, ia pernah bercerita tentang seorang teman yang bertanya bagaimana ia bisa mengenal Ratih Purwasih, dan ia tak bisa menjawabnya.

“Aku gak tahu tiba-tiba kenal sama idolaku, kirim surat juga gak pernah dibalas. Aku juga sudah lupa isi surat yang aku kirim. Kira-kira Kaka ingat gak mulai tahun berapa aku kirim surat ke Kaka? Selamat malam, Kaka. Semoga mimpi yang indah. AKU SAYANG KAKAK SELAMANYA,” ujarnya dalam pesan pendek ke Beb.

Surat-suratnya tak jauh dari ungkapan kerinduan, puisi-puisi sentimentil, seakan ia tidak sedang berbicara sendirian atau tepatnya tak peduli. Di awal surat, biasanya ia menulis: “Kakaku sing ayu dewe sak Indonesia.” Di ujung surat, ia akan torehkan kata ASK, akronim dari Aku Sayang Kaka(k).

Ratria sering merasa tak enak hati; takut pesan-pesan pendeknya menganggu Beb. Ia mengira Beb sudah bersuami. Tapi terkadang Ratria putus asa.

“Kaka sengaja kan menjauhi aku. Mungkin Kaka nganggap aku lesbi? Ok. Aku gak akan ganggu Kaka lagi. ASK.”

Sesekali Ratria marah, suratnya tak berbalas. Tapi ia segera sadar, dan segera mengirim surat lagi, dengan nada yang kembali normal, seolah kemarahan itu tak pernah ada. Lalu, ketika sepi menghentak di dini hari, Ratria mengirimkan puisi.

Tapi mengirim berpuluh-puluh pesan tanpa jawaban, membuat Ratria berang.

“Kaka ke mana saja sih… Di-SMS gak mau balas. Kaka gak peduli dengan perasaanku. Aku ngerti Kaka seorang ARTIS. Tapi aku anggap Kaka sebagai seorang sahabat yang bisa kuajak bicara. Ternyata aku salah, Kaka gak mau bersahabat denganku. Kaka bukan RATIH PURWASIH yang aku kenal, yang selalu penuh kasih sayang seperti lagu-lagu yang Kaka nyanyikan. Sekarang Kaka cuek padaku dan jaga jarak sama aku. Iya deh aku ngerti kok. Semoga Kaka sukses selalu. Nikmatilah… Semoga Kaka selalu bahagia selamanya…”

Kali ini Beb menjawab. Ia juga tak ingin penggemar beratnya kecewa. Balasan pesan pendek itu cukup menghibur Ratria.

“Selamat malam, Kak Ratih. Sekarang aku percaya kalau Kaka adalah RATIH P yang selama ini aku rindukan, yang penuh kasih sayang, lembut, ramah, dan hangat. Pokoknya Kaka gak boleh berubah. Jadilah RATIH P yang dulu dan sampai kapan pun ya, Kak. ASK selamanya.”

Saya tak bisa membayangkan sosok Ratria. Saya pernah menelponnya. Suaranya lirih, agak malas-malasan menjawab telepon. Ia menolak wawancara saya dengan alasan sibuk. Tapi ada sebersit kebimbangan ketika ia perlu meyakinkan diri dengan menanyakan lagi: “mau apa”, “untuk apa”, kemudian mengelak wawancara lagi. Berulang-ulang.

“Ini siapa sih?”

Saya jelaskan. Ia menjawab benar ia penggemar berat Ratih Purwasih tapi, “Kalau diwawancarai aku gak bisa.”

“Kenapa?”

“Udah ah… aku sibuk.”

“Okay. Kapan punya waktu?”

“Mau apa sih?”

Saya jelaskan lagi.

“Gak ah..”

“Kenapa?”

“Takut aja.”

Telepon tutup.

Kepada Beb, Ratria memohon agar ia tak diwawancarai: “Ratria sayang Kaka, tapi Ratria gak mau diwawancarai. Tolong ya, Kak.”



PADA 1994, Beb pindah ke produser rekaman Blackboard dan meluncurkan sebuah album Biasanya. Tapi badai menghantam kehidupan pribadinya. Beb memilih pindah ke Bali, meninggalkan albumnya yang sudah rilis, menghentikan aktivitasnya menyanyi. Dua tahun lamanya ia mencoba menggapai kehidupan baru.

Sepulang dari Bali, Beb mulai menekuni lagi dunia menyanyi. Tapi industri musik sudah berubah. Pendatang baru muncul, dengan corak dan warna musik yang lebih menghentak. Lagu-lagu pop era 1980-an mulai teredam, apalagi sebelumnya ada larangan “musik cengeng” yang dilontarkan Menteri Penerangan Harmoko.

Tapi lagu-lagu pop lama punya penggemarnya sendiri. Dan Beb bertahan di jalur ini. Ia menandatangani kontrak dengan Nada Pesona Record untuk rekaman lagu-lagu lama dengan aransemen baru. Setelah itu ada tawaran rekaman album dangdut Jawa dengan Bais Record. Ia menyanyikan satu lagu “Klambi Biru”, berduet dengan Bambang Is, pejabat Departemen Perhubungan yang jadi produser, pencipta, dan penyanyi. Video klip “Klambi Biru” diputar di TVRI dan Global TV.

Beb sempat sangsi karena harus menyanyikan lagu berbahasa Jawa. “Padahal, saya menyanyi lagu etnis baru kali ini, dan langsung Jawa. Mungkin karena unsur musik pop Jawa sudah diterima publik. Meski ini versinya beda dengan Didi Kempot,” ujar Ratih Purwasih.



SAYA mengenal Beb empat tahun lalu. Kali pertama bertemu, saya langsung mengenalinya. Sosoknya pernah mengisi kenangan masa kecil saya. Saat itu, tahun 1980-an, wajahnya sering muncul di acara-acara musik di TVRI. Dan waktu duapuluh tahun tak mengubah penampilannya. Wajahnya tetap segar dan muda. Suaranya masih sama: centil dan kenes.

Di keluarganya di Cianjur ia dipanggil Ratih atau Atih. Di rumah di Jakarta, ia dipanggil Beb –panggilan kesayangan saudara-saudaranya, yang bisa juga singkatan dari Barbie atau Baby. Ya, Beb seperti Barbie, boneka lambang kecantikan modern. Kulit putih, rambut ikal. Beb selalu menjaga penampilan. Beb akan kebingungan kalau rambutnya sudah panjang atau badannya sedikit melar. Beb tidak merokok. Beb tidak suka minuman keras. Pernah sekali ia menyesap seteguk bir, dan keesokan harinya ia bingung: suaranya serak. Ia pun kapok.

Beb juga berarti baby. Saya belum pernah melihat Beb bepergian sendiri. Ia selalu ceria, tapi tiba-tiba bisa sedih. Ia juga akan menjerit-jerit kalau seekor kupu-kupu melintas. Ini trauma masa kecilnya. Sewaktu kecil, ia pernah melihat kupu-kupu mati di taman rumahnya. Dan sejak itulah ia tak mau melihat kupu-kupu, membiarkan keindahannya hilang dari pandangan matanya.

Beb lebih banyak tinggal di rumah. Kesehariannya berlatih menyanyi –selain juga mulai menciptakan lagu. Tak melulu lagu-lagu lama. Ia juga menghafal lagu-lagu yang lagi populer. Ia harus tetap fit dan up-to-date ketika tampil di atas panggung. Ia tak ingin permintaan penonton tak bisa terpenuhi. Inilah cara Beb menjaga eksistensinya di dunia musik; tidak lagi di layar kaca (meski sesekali ia tampil) tapi dari panggung ke panggung. Bisa di kafe, acara ulang tahun, apa saja. Seperti di Ujung Genteng, di malam pergantian tahun, beberapa jam setelah melepas kepergian abang, dalam letih, kantuk, dan kesedihan yang belum sepenuhnya hilang.

“Ada yang tahu lagu saya, nggak?”

Semua penonton, yang sebagian besar anak muda, terdiam. Beb terus memancing perhatian penonton, terutama tentu pengunjung yang sudah berumur. Dan akhirnya Beb menjawabnya sendiri: “Antara Benci dan Rindu.”

Lalu mengalunlah lagu itu, yang di era tahun 1980-an pernah menjadi hits.

Yang, hujan turun lagi
Di bawah payung hitam ku berlindung
Yang, ingatkah kau padaku
Di jalan ini dulu kita berdua
Basah tubuh ini, basah rambut ini
Kau hapus dengan sapu tanganmu


Ia terus menyanyi. Kesedihan, setelah kepergian sang abang, tak tampak di raut wajahnya –ia pendam dalam-dalam. Saya melihatnya dari kejauhan. Sesekali memotret.

Lagu demi lagi terus mengalir. Sesekali Beb melenggangkan badan, meliuk-liukkan tangannya, kala menyanyikan lagu Sunda. Dan penonton terus memintanya menyanyi. Tapi ia harus memberi tempat bagi kelompok musik anak muda, yang juga jadi pengisi acara ini. Seperempat jam sebelum pergantian tahun, Beb menuju losmen di tepi pantai. Ia sangat lelah. Ia berangkat tidur begitu dentuman petasan mulai meredup.

Pagi di awal tahun 2009 pantai mulai sepi. Satu per satu penghuni losmen pulang. Beb berbincang dengan Mama di beranda. Ada banyak hal yang akan dikerjakan Beb di tahun ini. Mungkin rekaman lagu-lagu Sunda. Tetap tampil menyanyi di acara-acara pesta ata acara televisi. Tapi Mama juga ingin Beb bisa lepas, mandiri, seperti kupu-kupu.

Kami pulang keesokan harinya. Ada tamu menunggu di rumah.

Hawa dingin kota Cianjur menembus kulit. Hujan juga baru saja turun. Beb keluar kamar dengan mengenakan jaket sport berwarna hijau dengan tudung kepala ketika sang tamu hendak pulang. Rumah kembali sepi. Beb melangkah masuk. Baru dua langkah, ia terpekik. Seekor kupu-kupu melintas. Beb menundukkan kepala, menangkupinya dengan tangan. Wajahnya pucat pasi. Kami tertawa, dan terus menggodanya. Beb berlari menuju kamar.

Beb, usaikan saja ketakutanmu pada kupu-kupu. Mungkin dengan begitu kau bisa terbang bebas, lepas, seperti kupu-kupu.*

Read More......

Wednesday, March 17, 2010

Emiria Sunassa: Perupa Genius




Namanya terlupakan dalam sejarah. Padahal ia salah seorang pelopor senirupa Indonesia modern.

“SENIMAN menciptakan sesuatu dari apa yang dinamakan ketiadaan,” ujar Emiria Sunassa.

Emiria sendiri seolah muncul dari ketiadaan, lalu menghilang begitu saja di masa akhir hidupnya. Dalam sejarah senirupa, namanya terdengar asing ketimbang nama-nama besar macam Basuki Resobowo, Sudjojono, Mochtar Apin, Rusli, dan perupa laki-laki lainnya. Padahal ia layak disebut pelopor perempuan perupa di Indonesia karena keberadaannya pada awal perjalanan sejarah senirupa dan konsistensinya dalam berkarya.


Ketika orang mempertanyakan aspek gender dalam senirupa, yang melihat perempuan bukan hanya sebagai objek tapi juga subjek, Emiria Sunassa sudah bergerak lebih maju. Sudjojono, bapak senirupa modern Indonesia, bahkan pernah menyebutnya “genius”. Salah satu karyanya, “Pengantin Dayak”, yang dominan dengan warna merah jambu dan coklat tua, menjadi koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta.

Pada dasarnya Emiria Sunassa tak berpikir jadi pelukis. Sebagai putri Sultan Tidore, ia hidup bergelimang kemewahan. Emiria lahir di Tanawangko, Sulawesi Utara, pada 1895. Meski ayahnya seorang raja yang berpikiran modern, Emiria hanya boleh belajar tak lebih dari kelas 3 Europese Lagere School. Tapi jiwanya “berontak”. Emiria bertekad kelak ia bisa mengunjungi negeri-negeri jauh dan mempelajari banyak hal.

Suatu ketika seorang duta luar negeri sakit. Emiria merawatnya hingga sembuh. Ia tak menyangka ketika lelaki itu melamarnya begitu sembuh dan akan pulang ke negeri asalnya. Emiria menerimanya. Dan sampailah ia ke Eropa.

Emiria belajar tari balet dari Miss Duncan dari Dalcroze School di Brussel dan dari Green di Amsterdam. Di Wina bahkan ia bermain dalam satu balet termasyhur sebagai puteri Timur. Ia muncul sebagai “Sun”, dengan sekujur tubuh berkilauan bak matahari. Penonton senang. Sejak itu ia disebut “Sunny”.

Tapi perkawinannya kandas. Ia bercerai dan kembali ke Indonesia. Di negeri sendiri ia masih senang melakukan perjalanan. Ia punya perkebunan di Halmahera, yang hasilnya bisa membiayai perjalanannya keliling daerah dan kelak apa yang ia lihat tertuang dalam lukisan-lukisannya.

Belakangan ia bertemu dengan Dr Pijper, yang suka seni. Suatu kali Pijper memperlihatkan reproduksi lukisan yang ia peroleh dari Belanda. Ia ingin tahu pendapat Emiria. Rupanya tanpa canggung Emiria melontarkan banyak kritik. Pijper terkesan. “Adakah kau mempunyai banyak pengertian tentang melukis gambar?” tanya Pijper seperti dikutip Soh Lian Tjie, wartawan perempuan, dalam “Emiria Sunassa, Dongeng Tentang Satu Pelukis Wanita” yang dimuat di Pantjawarna, Maret 1953.

Emiria mengangguk.

Pijper tak percaya. Ia belum pernah melihat Emiria melukis, atau melihat lukisannya. Penasaran ia mengusulkan agar Emria membuat satu lukisan sebagai kado ulangtahunnya. Emiria setuju. Tapi di dalam hati ia mengutuk: edan. Nasi sudah menjadi bubur, ia tak mau mundur.

Beberapa minggu telah lewat tapi lukisan jadi. Berkali-kali pula Pijper datang dan menanyakannya. Dengan ketus, Emiria menjawab ia tak dapat melukis sesuatu tanpa pensil, cat, dan kain linen. Pijper memberikan apa yang dibutuhkan Emiria. Lukisan belum jadi juga. Kali ini Emiria beralasan belum pernah jalan-jalan keluar Jakarta. Pijper mengajaknya ke Telaga Warna di daerah Puncak. Pemadangan di sana menakjubkannya. Tapi dengan beralasan ia bilang tak membawa kertas dan potlot. Akhirnya Pijper-lah yang membuat sketsa telaga itu untuknya. Sepulangnya, mulailah Emiria melukis.

Perlahan tapi pasti Emiria mulai menghasilkan banyak lukisan, dikenal, dan ikut pameran lukisan. Ia menjadi anggota Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) yang didirikan Sudjojono dan Agus Djaja pada 23 Oktober 1938. Ketika Bond van Kunstkringen, persatuan seniman Belanda, mengadakan pameran lukisan yang diperuntukkan bagi seniman-seniman Indonesia di Batavia pada 1941, Emiria ikut memamerkan karya-karyanya. Pameran 61 lukisan karya 30 pelukis pribumi ini menampilkan lukisan bertema pemandangan alam dan kehidupan sehari-hari yang merupakan tanda perkembangan seni rupa modern.

Di masa Jepang, Emiria juga masuk bagian seni Keimin Bunko Shidosjo (Pusat Kebudayaan), yang dibentuk pemerintah militer Jepang untuk tujuan propaganda. Pada 29 Agustus 1942, Pusat Kebudayaan memulai kegiatannya dengan pameran lukisan. Emiria satu-satunya perempuan yang ikut. Pameran berlangsung selama 60 hari dan sukses, sehingga dibikin kegiatan lainnya. Begitu pula ketika Poetera (Pusat Tenaga Rakyat) di bawah kepemimpinan Sukarno terbentuk. Emiria menjadi anggota seksi kesenian, yang dipimpin Sudjojono, dan tentu saja aktif mengikuti pameran. Di zaman Jepang, namanya tercatat dalam buku Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa terbitan Goenseikanbu tahun 1944, dengan nama lengkap: Emiria Sunassa Wama'na Putri Al Alam Mahkota Tridore gelar Emma Wilhemina Parera.

Kritikus seni Sanento Yuliman, dalam buku Dua Seni Rupa, menyebutkan bahwa pada akhir April 1943, Emiria memamerkan sejumlah lukisan dengan objek lukisan berupa patung masyarakat suku Indonesia dalam sebuah pameran di Jakarta. Menurut Sanento, karya Emiria merupakan salah satu ciri karya seni lukis yang menampilkan keindonesiaan melalui penggambaran artefak masyarakat suku di Indonesia.

Menurut Soh Lian Tjie, yang mengunjungi Emiria Sunassa pada 1953, jiwanya yang bebas-keras terlihat dalam lukisan-lukisannya. Ia melukis sebagaimana ia melihat objeknya, menurut kesan yang ia dapatkan, tak peduli aturan tentang anatomi atau keinginan pembeli. Ia memilih warna-warna yang luar biasa. Ia melukis objek-objek yang pernah ia kunjungi. Tak heran jika ia menonjolkan unsur etnik. Ada lukisan penari Bali, hutan di Papua, pemukul sagu di Maluku.

Oleh banyak kalangan Emiria juga dianggap menghasilkan karya feminis awal karena sering menampilkan perempuan yang bersumber pada cerita-cerita pribumi, sosok-sosok puak, dan model dari kalangan jelata. Lukisan “Mutiara Bermain”, yang dibuatnya selama empat tahun sejak 1942, menggambarkan dua perempuan telanjang sedang menari di belahan mutiara di dasar laut. Ini menyiratkan betapa tertindas perempuan kala itu, terlebih di masa penjajahan Jepang yang menjadikan perempuan sebagai pemuas nafsu birahi. Karya lain yang bersubjek perempuan antara lain "Kembang Kemboja di Bali" (1958), "Wanita Sulawesi" (1958), "Market" (1952), dan "Panen Padi" (1942). Menurut Emiria, seperti dituturkan kepada Soh Lian Tjie, seni Indonesia modern masih mesti mencari jalannya. “Pelayan-pelayannya”, laki-laki maupun perempuan, harus sadar sepenuhnya, bahwa mereka masih jauh dari tujuan yang ingin mereka capai.

Emiria tinggal di sebuah rumah yang adem dengan pekarangan penuh tanaman. Tapi dinding rumahnya kosong. “Ini semata-mata karena saya tak dapat bekerja apabila saya dikitari barang-barang bagus. Itu agak menganggu pemusatan pikiran saya. Seniman menciptakan sesuatu dari apa yang dinamakan ketiadaan.”

Jejak Emiria Sunassa kemudian lenyap pada 1960-an, meninggalkan tanya bagi banyak orang. Menurut arsip www.nationaalarchief.nl, pada 1960 ia mengajukan permohonan visa ke Nederlands Nieuw-Guinea, nama Papua Barat kala itu, dengan menyebut diri "Ratu dari Nederlands Nieuw-Guinea". Tak jelas untuk apa. Papua Barat, yang sejak abad ke-18 dianggap bagian dari Kesultanan Tidore, hingga masa itu masih menjadi wilayah yang disengketakan antara pemerintah Indonesia dan Belanda. Emiria Sunassa meninggal di Lampung pada 7 April 1964.

Penulisan sejarah seni rupa mulai memberi apresiasi terhadap perupa perempuan Indonesia yang terus tumbuh -dan Emiria Sunassa-lah yang telah meletakkan pijakannya. *


[Dimuat di www.majalah-historia.com, Selasa, 16 Maret 2010 - 16:34:05 WIB]

Read More......