Monday, August 01, 2005

Kenangan Sally

SUARANYA ramah, lincah. Orang yang tak mengenalnya bisa terkecoh karenanya. Ia tak bisa dibilang muda lagi. Usianya 53 tahun. Namanya Siti Salamah Koerniati atau dikenal dengan panggilan Sally Sardjan. Ia bersama Anny Cokro dan Titik Qadarsih mendirikan Salanti Bersaudara.

Salanti Bersaudara merupakan kelompok vokal yang hidup sezaman dengan Koes Bersaudara –yang kemudian berubah nama jadi Koes Plus dan jadi kelompok musik besar di masa itu. Salanti Bersaudara acap latihan dan manggung bareng dengan Koes Bersaudara. Sampai pada suatu hari terjadi peristiwa Djatipetamburan, yang menunjukkan betapa politik juga menjadi panglima di bidang musik.

“Yang saya ingat adalah Salanti Bersaudara pada waktu itu sedang latihan lagu The Beatles diiringi oleh Koes Bersaudara. Tiba-tiba ada puluhan orang datang entah dari mana dan siapa, terdengar suara lemparan batu. Kami diminta berhenti memainkan musik, dan tak lama kemudian kami pulang,” ujar Sally kepada saya, setahun lalu.

Itulah kenangan Sally yang hanya serpihan-serpihan kecil dan tak akurat benar karena peristiwanya sendiri sudah berlangsung lama dan terasa begitu cepatnya.

Peristiwa Djatipetamburan itu tepatnya terjadi pada 24 Juni 1965. Salanti Bersaudara mendapat undangan tampil di rumah Koesno, seorang kolonel angkatan laut, di Djatipetamburan, Jakarta, dalam sebuah acara makan malam. Selain mereka juga diundang Dara Puspita dan Quarta Nada. Dara Puspita adalah kelompok musik wanita yang terdiri dari Susi Sander, Titiek Hamzah, Titiek AR, dan Lies AR. Quarta Nada terdiri dari Surrachman, Wien, Angky, dan Totok.

Pukul 19.00 acara dimulai. Peralatan band tergeletak di depan ruang tamu. Beberapa duta besar, atase militer Amerika Serikat, serta perwira angkatan darat dan angkatan laut, terlihat di antara tamu undangan, menikmati suasana pesta yang santai ini. Secara bergantian empat kelompok musik itu menghibur. Sebagian besar menyanyikan lagu barat, terutama The Beatles, karena permintaan tuan rumah dan pengunjung.

Ketika Koes Bersaudara tampil dan membawakan lagu The Beatles I Saw Her Standing There, terdengar suara batu yang menimpa atap rumah. Kemudian diikuti suara teriakan ramai dari luar rumah.

“Ganyang Nekolim!”

“Ganyang Manikebu.”

“Ganyang ngak-ngik-ngok.”

Orang-orang di dalam ruangan terperangah. Permainan dihentikan. Suasana panik. Beberapa orang keluar untuk mengetahui apa yang terjadi, dan beberapa lainnya memilih pulang. Di luar puluhan pemuda bergerombol, berteriak-teriak, dan memuntahkan amarah.

“Mukanya brengos-brengos, kaku. Mereka menyuruh menghentikan lagu ngak-ngik-ngok,” ujar Sally.

Sasaran mereka adalah Koes Bersaudara yang sudah lama dianggap tak jera menyanyikan musik ngak-ngik-ngok meski sudah mendapatkan peringatan dari pemerintah. Personel Koes Bersaudara dituntut untuk minta maaf dan menyanyikan lagu Nasakom Bersatu oleh pengunjuk rasa. Tuntutan itu dikabulkan. Setelah semua nama yang hadir dicatat, semuanya bubar.

Tapi, lima hari kemudian kemudian, personel Koes Bersaudara diciduk dan dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Glodok, karena dituduh melanggar Penetapan Presiden No 11/1963 tentang larangan musik ngak-ngik-ngok. Selain itu, polisi juga melarang lagu-lagunya beredar di masyarakat, meski penggemar Koes Bersaudara masih bisa mendengarkannya melalui radio-radio gelap.

Personel dari tiga kelompok musik lainnya juga dipanggil dan dimintai keterangan sebagai saksi. Sally Sardjan datang bersama Anny Cokro ke kejaksaan di Jalan Hayam Wuruk. Mereka berhadapan dengan Jaksa Aroen. Mereka ditanyai satu per satu.

“Kenapa bawain ngak-ngik-ngok,” ujar Sally yang menggambarkan posisi Aroen dengan kaki nangkring di atas meja.

Sally bingung, dan menjawab dengan asal, “Wong enak.”

Mereka juga ditanyai siapa yang menyuruh membawakan lagu ngak-ngik-ngok, apakah tahu adanya larangan, dan seterusnya. Pemeriksaan itu tak berlanjut. Hanya sekali itu saja. Tapi, keadaan politik sedang tak menentu. Salanti Bersaudara sendiri kemudian vakum.

Sally membentuk band wanita The Singers bersama Neneng Salmiah, Henny Poerwonegoro, Tutty Thahir, dan Shinta Dungga, setahun setelah pertemuan mereka dalam acara untuk Laskar Arief Rahman Hakim pada 1967. Sally kemudian masih aktif bermusik, baik bersama kelompok maupun solo.

“Bagi kami trauma sih tidak, tapi merasa terkekang iya (meski) kami terus bernyanyi dan pentas di mana pun,” ujar Sally.


SALANTI Bersaudara terbentuk karena keinginan menyalurkan hobi, apalagi sudah mendapat izin dan restu orangtua –dukungan yang penting di masa itu. Kelompok vokal ini muncul kala The Beatles, The Lennon Sister, Marmalade, The Monkeys, dan kelompok musik sejenis merajai panggung musik di dunia, juga di Indonesia. Keterpengaruhan menjadi hal yang biasa dan wajar. Warna vokal Salanti Bersaudara terkesan lembut dan halus. Mereka juga terpengaruh pada penggunaan kostum, gaya panggung, dan irama musik.

“Salanti Bersaudara muncul bersamaan dengan Bimbo, zaman saya mau rekaman di TVRI bareng penyanyi-penyanyi yang masih bocah. Salanti muncul bersamaan dengan maraknya duo yang berkiblat ke barat, (seperti) Everly Brothers. Termasuk (juga) Sitompul Sister,” ujar Surrachman, personel Quarta Nada.

Tapi, jauh sebelumnya, Presiden Soekarno lagi gencar-gencarnya memgampanyekan antiimperialisme, termasuk di bidang kebudayaan. Pidatonya pada peringatan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1959, yang mencanangkan Manipol-USDEK (Manifestasi Politik, Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kebudayaan Indonesia), Soekarno mempertanyakan, “Kenapa di kalangan engkau banjak jang masih rock-‘n-roll-rock-‘n-rollan, dansi-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan, dan lain-lain sebagainja lagi? ….”

Buntut dari seruan Soekarno itu, musik ngak-ngik-ngok dilarang. Razia dan penyitaan dilakukan terhadap ratusan piringan hitam Beatles, Rolling Stones, dan The Shadow di beberapa tempat; Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta. Polisi juga melakukan operasi rambut gondrong dan mode pakaian. Tukang cukur, pengusaha salon kecantikan, dan pembuat sepatu di Bandung, misalnya, dilarang melayani permintaan pelanggan yang ingin potongan rambut dan sepatu ala Beatles. Polisi melakukan operasi di tempat-tempat yang sering dikunjungi anak muda, seperti bioskop, nite club, dan gedung kesenian, terutama di Tanah Abang dan Menteng yang biasa menjadi tempat mangkal anak muda. Beberapa penyanyi mendapat peringatan. Tapi, pengawasan ini malah membuat musik ngak-ngik-ngok dicari banyak orang, antara lain melalui radio gelap dan radio luar negeri.

Tentu saja pemerintah juga punya program untuk memajukan kesenian Indonesia. Pemerintah menyelenggarakan bintang radio dan televisi setahun sekali. Pemerintah melakukan penyuluhan kepada generasi muda tentang kepribadian bangsa. Usaha pemerintah ini didukung lembaga kebudayaan seperti Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra, Lembaga Seni Budaya Indonesia atau Lesbumi (Pesindo), dan Lembaga Kebudayaan Nasional (Partai Nasional Indonesia). Antara lain dengan menggelar festival-festival kesenian seperti Lekra dengan festival Mubes Tani dan Lesbumi dengan festival Islam Modern. Keberadaan lembaga kebudayaan ini mendapat tandingannya ketika muncul Manifest Kebudayaan yang menolak politik sebagai panglima, yang kemudian dilarang pemerintah pada 8 Mei 1964.

Presiden Soekarno memopulerkan kembali lagu-lagu lama seperti keroncong, langgam maupun lagu daerah yang disajikan dengan irama aslinya. Selain itu, Soekarno menciptakan lagu pantun Mari Bergembira yang berisi cinta tanah air dan kemandirian bangsa, dan juga mempopulerkan tari Serampang Dua Belas dan tari Lenso. Kemudian dibentuk pula Tim Kebudayaan bernama Misi Lenso yang dikordinasi Bing Slamet untuk memperkenalkan kebudayaan Indonesia di Asia, Afrika, dan Eropa.

Pada suasana seperti inilah Salanti Bersaudara mulai berkiprah. Pada 1965 mereka meluncurkan album perdana berbentuk Long Play dengan judul Pitik, lalu diikuti album berikutnya Cilik, produksi IRAMA. Setelah itu Salanti Bersaudara hanya mengeluarkan album campuran bersama penyanyi lain seperti Rita & Nita dan Tutty Subardjo & Onny Suryono. Penjualan album mereka cukup lumayan. Tapi, pemasukan justru lebih banyak dari undangan pentas di berbagai tempat di pulau Jawa dan Sulawesi. Selain lagu rekaman sendiri, mereka biasanya membawakan lagu-lagu barat seperti The Beatles atau Skeeter Davis, lagu latin seperti Trio Los Panchos, dan lagu Prancis seperti Francois Hardy. Acap mereka tampil bareng kelompok musik Quarta Nada yang personelnya mayoritas saudara kandung sendiri. Terkadang pula diiringi grup band lain seperti Brimoresta, Zaenal Combo, Same, Srynada, Medenasz, Dharma Putra Kostrad, bahkan sampai Koes Bersaudara yang acap latihan di rumah mereka di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Tentu saja mereka tahu larangan pemerintah yang gencar diberitakan radio dan koran. Larangan itu sempat menjengkelkan mereka ketika rekaman. Selesai rekaman, ternyata ada satu lagu yang kebetulan berirama cepat, sehingga harus diubah menjadi lenso. Yang memberitahu hal tersebut adalah Suyoso, yang lebih dikenal dengan panggilan Mas Yos, pemilik studio IRAMA. Mereka sempat menagis, karena terbayang proses rekaman yang begitu melelahkan. Maklum, studio rekaman saat itu hanya mempunyai fasilitas dua track. Rekaman ulang akhirnya dilakukan dengan hati penuh kekesalan, sedih, dan tanpa semangat.

“Terus terang saat itu kami sangat marah dan kesal dengan adanya larangan tersebut, namun kami hanya bisa diam. Ada juga rasa tersinggung di jiwa dan perasaan kesenimanan kami yang seolah dibatasi,” ujar Sally.

Puncak kekesalannya terjadi pada akhir Juni 1965 ketika pentas di Djatipetamburan. Kebebasan berekspresi dan bermusik mereka terkekang.

“Kapan-kapan main ke rumah saya ya,” ujar Sally, terasa akrab, mungkin karena perkenalan kami yang agak panjang, melalui telepon dan juga surat elektronik.

“Iya deh,” ujar saya.

Tahun demi tahun berlalu, dan saya masih belum sempat bertandang ke rumahnya. Mungkin Sally juga sudah lupa.*

No comments: