Wednesday, November 21, 2007

Cinema Paradiso

SAYA ingin nonton bioskop lagi. Tapi dengan tempat duduk yang nyaman. Tak perlu empuk. Cukup biarkan saya menyandarkan punggung ke kursi dengan kaki nangkring di atas sandaran kursi di depannya. Pengelola bioskop tentu tak akan mengizinkan. Setiap film hendak diputar, larangan posisi duduk semacam itu selalu ditayangkan. Tapi tidak di bioskop-bioskop kampungan.

Menonton bioskop adalah pengalaman personal. Bukan pengalaman komunal. Bukankah sesama penonton tak saling mengenal, dan menghayati sebuah film dengan perasaan masing-masing? Dan pengalaman personal itu pernah saya dapatkan di bioskop kampung saya, di sebuah kota kecamatan di tengah pulau Jawa.



Namanya bioskop Aladin. Letaknya di sisi barat pasar. Semasa kecil, kalau pergi ke pasar, saya selalu menyempatkan diri mampir dan melihat poster-poster film di gedung bioskop. Saya suka poster-poster itu. Saya akan menunggu mobil bioskop keliling kampung, dengan suara khas penumpangnya yang berteriak lantang: “Saksikanlah….” Begitu datang, saya akan mengikutinya, berharap dan berebut dengan teman-teman poster film yang disebarkan. Poster-poster itu saya jadikan sampul buku sekolah.

Saya sering mengunjungi Aladin. Letaknya tak jauh dari rumah. Saya senang melihat antrian penonton yang hendak masuk. Teman-teman saya sering nekat menerobos, menyelip di antara antrian penonton. Saya tak berani. Begitu pintu bioskop dibuka, tanda film akan berakhir, barulah saya masuk untuk melihat sisa film –juga tingkah para penontonnya, yang satu per satu meninggalkan kursi.

Ada saat-saat tertentu bioskop menjadi sangat ramai. Ramainya mengalahkan pasar di sebelahnya. Penonton datang dari desa dengan truk-truk, sekadar ingin melihat film idolanya… Rhoma Irama. Film-film India juga relatif sesak penonton. Begitu pula film-film yang lagi dibicarakan orang macam Saur Sepuh.

Sedari kecil, saya suka nonton bioskop. Biasanya bersama adik saya. Kami biasa menabung uang jajan, dan uang itulah yang kami pakai untuk membeli tiket. Kami suka film-film kungfu, dari Jaka Sembung sampai The Bastard Swordsman (Pendekar Ulat Sutra). Film China ngamuk –begitu kami biasa menyebut film-film Mandarin– juga tak terlewatkan. Kami suka film-film Jacky Chan. Kocak. Penuh aksi. Hampir semua filmnya sudah saya tonton.

Menginjak sekolah menengah, ada seorang pemuda Tionghoa naksir kakak saya. Dan dia sering memberikan kami tiket gratis. Satu tiket berlaku untuk dua orang. Kami tinggal menunjukkan tiket ke loket untuk mendapatkan stempel, lalu melenggang masuk.

Saya ingin menonton bioskop lagi, dengan suasananya yang khas. Tidak di bioskop papan atas yang tertib dan santun, yang sebuah siulan menyambut kedatangan sang jagoan bisa membuat seisi bioskop mengeluh.


SAYA menghabiskan masa kecil di sebuah kota kecamatan. Aktivitas kota ini terpusat di pasar dan bioskop. Tahun 1980-an, bioskop mungkin satu-satunya hiburan warga kampung. Televisi masih satu channel. Acaranya begitu-begitu saja, lebih banyak program pemerintah. Video masih sedikit yang punya. Saya beruntung punya teman sekolah yang punya video. Saya bisa menonton Goggle V atau Megaloman Fire di rumahnya. Sementara kalau menonton video di rumah tetangga, saya harus membayar beberapa rupiah.

Bioskop juga hiburan keluarga. Orangtua saya sering mengajak nonton bersama saat malam minggu. Kalau film Warkop mampir, kami pasti menontonnya –labelnya memang untuk semua umur, tapi penampilan pemain-pemainnya… huh. Saya sering menutup mata dibuatnya. Film lainnya ya macam Walisongo. Kakak-kakak saya sesekali mengajak saya nonton film-film remaja: Gita Cita dari SMA, Catatan Si Boy, atau Si Roy. Film midnight adalah jatah orangtua saya –saya sering melihat mereka berangkat tengah malam.

Pemerintah Soeharto sadar betul hiburan ini bisa jadi sarana propaganda yang ampuh. Jadilah menonton bersama sebagai program pemerintah Orde Baru. Setiap anak sekolah wajib menontonnya: Serangan Fajar, Robert Wolter Monginsidi, Pengkhianatan G30S/PKI, hingga Operasi Trisula. Kami harus berjalan kaki dari sekolah menuju bioskop, yang jaraknya sekira 3 km. Bioskop penuh. Penonton berjubel. Saya sempat mendapat tempat duduk di kursi paling depan. Kepala langsung pening.

Ia juga masuk ke ruang-ruang privat, ruang-ruang keluarga. Setiap tahun film Pengkhianatan G30S/PKI diputar melalui televisi.

Budi Irawan dalam Film, Ideologi, dan Militer tak mengherani fenomena itu. Menurutnya, sinema Indonesia sejatinya bersifat politis. Sebab, jika menilik sejarahnya, ia tak pernah sepenuhnya bebas dari medan pengaruh kekuasaan politik. Melalui sinema yang diklaim sebagai “film sejarah”, rezim Orde Baru mengkonstruksikan format relasi sipil-militer, memberi legitimasi historis yang mungkin artifisial terhadap Dwifungsi ABRI, serta memperkuat cengkeraman kekuasaan Soeharto dengan penonjolan perannya semasa revolusi fisik. Tapi Soeharto runtuh, dan klaim sejarah itu pun menguap.


RUANGAN sudah gelap. Film hendak diputar. Saya menyandarkan punggung ke kursi dengan kaki nangkring. Saya hembuskan asap rokok sambil sesekali melihat sekeliling ruangan. Sepi. Cuma enam penonton. Tapi saya menikmati keheningan ini.

Saya suka menonton pukul 21.00. Sepi. Tidak berisik. Tidak ada pedagang asongan berkeliaran menjajakan dagangannya. Tidak ada orang berteriak-teriak, memaki, atau bahkan berantem sesama penonton. Saya menguasai bioskop ini sepenuhnya.

Sekolah saya berada di kota kabupaten, sehingga saya tinggal di sana bersama kakak, menempati rumah orangtua yang belum sepenuhnya rampung. Saya jadi jarang nonton bioskop. Jarak bioskop terlalu jauh. Ada dua bioskop di sini: Subur dan Sanjaya –Subur masih bertahan, sementara Sanjaya sudah beralih fungsi menjadi lapangan tenis.

Sesekali saya masih menyempatkan diri menonton di sana. Bersama teman, sepulang sekolah, kami menonton bioskop. Masih film-film China ngamuk. Sesekali kami bolos sekolah dan pergi ke kota sebelah. Di sana ada banyak bioskop. Yang pernah saya kunjungi adalah bioskop Maya di dekat terminal (lama). Ini bioskop murah. Satunya lagi bioskop Dewi di dekat alun-alun kota. Ruangannya dibagi dua, dipisahkan oleh papan memanjang. Di depan untuk kelas festival. Rasanya gerah. Lain dengan di belakang, yang mendapat pendingin dari AC sentral. Ada juga balkon, yang tiketnya tentu paling mahal.

Tapi tetap saja bioskop-bioskop ini tak bisa menggantikan bioskop di kampung saya. Dan seminggu sekali saya pulang ke rumah orangtua, sebuah rumah dinas di sebuah kota kecamatan. Saya mendatangi bioskop Aladin seminggu sekali, meresapkan kenangan masa kecil.


SEMASA kuliah di Semarang, awal 1990-an, saya masih suka nonton bioskop. Karena rumah paman, di mana saya tinggal, dekat Pasar Johar, saya sering nonton di bioskop Gris dan Semarang di Jalan Pemuda –keduanya berhadap-hadapan. Kalau ke Johar dan hendak mencari buku bekas, saya menonton di bioskop Kanjengan.

Setahun kemudian, saya mengontrak rumah bersama teman-teman kampus. Di sini hobi nonton bioskop tak terbendung lagi. Kalau mau nonton film Mandarin, ya datang ke bioskop Murni di Jl Gadjah Mada. Tak jauh dari Murni, ada bioskop Manggala, biasanya film-film Hollywood. Tak jauh dari Manggala, ada bioskop Gajah Mada Theater, Plaza Theater, dan belakangan, setelah dibangun Mal Ciputra, ada Citra –semuanya mengepung Simpang Lima. Agak ke timur, dekat kantor RRI, ada bioskop Admiral.

Saya dan teman-teman kadang menjelajah bioskop lainnya. Berjalan kaki menyusuri Jalan MT Haryono, kami mampir di bioskop Gelora yang lebih sering memutar film-film Hollywood. Kalau tidak ya, menonton di bioskop Indra di belakangnya, jika ingin menonton film Mandarin. Bioskop Anjasmoro dan Atrium 21, yang posisinya berhadap-hadapan di Jalan Siliwangi, menjadi sasaran berikutnya.

Belakangan, saya jadi jarang nonton bioskop. Zaman sudah berubah. Rental VCD bertebaran. Bahkan kemudian, ketika saya sudah bekerja, saya lebih sering menonton VCD. Sampai kemudian era DVD datang, dan saya sudah pindah ke Jakarta, saya lebih memilih mencari DVD di Ratu Plaza, Glodok, atau Mangga Dua.

Tapi pengalaman menonton film di rumah tak kalah menyenangkan. Sebulan sekali, biasanya malam minggu, teman-teman datang ke rumah. Mereka datang dengan segepok film. Kami punya kesenangan yang sama: menonton film. Genrenya juga nyaris sama: film-film festival. Sepanjang malam hingga menjelang pagi, beberapa film diputar. Sesekali komentar meluncur, dari akting pemain sampai ending cerita. Dan mereka menyebut kamar saya…. Cinema Paradiso.

Ya, nama itu terinspirasi judul film Cinema Paradiso. Ini film yang indah. Ada kelucuan dan keharuan. Kami sama-sama suka film ini. Teman saya bahkan rela mencari versi original, dan mendapatkannya dengan harga Rp 300.000.

Menonton Cinema Paradiso seolah melihat sejarah sebuah bioskop, film-filmnya, orang-orangnya … sebuah bioskop yang menjadi kebanggaan warga kampung, yang kemudian dirobohkan atas nama ekonomi. Menonton Cinema Paradiso mengingatkan saya pada bioskop di kampung saya, pada kenangan masa kecil.

Aladin kini sudah mati. Saya sempat melewatinya lebaran kemarin. Tak ada yang tersisa dari bangunan yang dulu terlihat megah. Sebuah minimarket telah menggantikannya. Mungkin kalau saya masih tinggal di sana, saya akan ikut melihat bagaimana bangunan itu dirobohkan, dan menangisinya –sama seperti dilakukan orang-orang kampung di film Cinema Paradiso. Bioskop menjadi bagian dari identitas kota.

Zaman memang sudah berubah. Bioskop sudah ditinggalkan pemiliknya karena merugi. Konon, masalahnya soal monopoli distribusi film-film. Praktis hanya beberapa bioskop kelas atas saja yang masih bertahan. Stasiun televisi juga bejibun, dengan beragam acara hiburan. DVD bajakan makin mudah didapat. Orang juga lebih memilih ruang privat, di kamar atau ruang keluarga, menonton televisi atau memutar DVD.

Saya ingin nonton bioskop lagi. *


Ide tulisan ini sempat saya lontarkan ke sejumlah teman. Cak Kartolo, begitu biasa disapa, yang sering mengajak saya ke Glodok dan menonton film di kamar saya, membalasnya dengan sebuah tulisan yang manis. Saya sertakan di sini.

Pengalaman Pribadi Nonton Bioskop


NENG kuto asalku Tulungagung Jawa Timur (kurang lebih 30 km dari Gunung Kelud yang mau meletus), pada era 1980 sampai pertengahan 1990-an, ada lima bioskop (perlu saya sebutin namanya?) yang kini sudah punah, diganti pusat perbelanjaan, hotel, dan tempat karaoke! Di bioskop-bioskop itulah semua film kungfu tak tonton kabeh, termasuk The Bastard Swordsman alias Pendekar Ulat Sutera!

Yang mungkin ente belum pernah dengar, pada era 1980-an, bioskop-bioskop itu membagi tempat duduknya dalam 3 kelas. Kelas 1 –deretan paling belakang dengan harga paling mahal – Rp 1.000. Kelas 2 – deretan tengah, kurang lebih Rp 700. Deretan paling depan, yang bikin sakit mata, Rp 300. Bandingkan dengan harga di Blitzmegaplex Jakarta yang sekarang Rp 40.000.

Pada masa ketika film kungfu Mandarin mengalami “renaissance” awal 1990-an, satu bioskop memutar “Extra Show atau Student Show“. Harga tiketnya Rp 1.000-an. Kita harus berdesak-desakan untuk antri beli tiket kalau mo nonton. Dan setelah di dalam, belum tentu dapat tempat duduk! Pas Basic Instinct lagi diputer tahun 1992, wis ora karuan akehe penontone. Seperti pada kasus wong ndeso sing nyewo truk untuk nonton film Rhoma Irama atau Saur Sepuh. Nonton berjubel-jubel dengan asap rokok dan umpatan-umpatan kotor itu ternyata menimbulkan sensasi tersendiri –yang tidak bisa kita dapatkan kalau nonton di Cineplex– yang penontonnya orang-orang beradab, he-he-he.

Mungkin alasan “pengalaman kolektif” itulah yang membuat ABG-ABG sekarang tidak bosan-bosannya nonton film horor. Kata Kang Giorgio Arwani, “Mereka nonton terutama bukan karena seneng filmnya. Mereka ingin mengalami seneng bareng-bareng, ketawa bareng-bareng, dan takut bareng-bareng.” Sensasi kolektif ini yang dulu saya rasakan bersama penonton kampung lainnya ketika menyaksikan “tendangan tanpa bayangan” Jet Lee di Once Upon a Time in China.

Soal antusiasme penonton, acara tahunan JIFFEST (Jakarta International Film Festival) masih menyedot cukup banyak penonton –tentu karena promonya. Tapi karena rata-rata yang diputer art-house cinema, ya sensasi kolektif itu tidak terlalu MAK-NYUSSS! –karena penontonnya sibuk mikir! Paling banter ketawa sopan bareng-bareng. Aku dhewe wis suwi ora nonton film-film “seru dan renyah”. Jika ada JIFFEST tahun ini, aku mungkin njajal milih sing enteng wae, biar mengalami sensasi kolektif lagi. Ketika baru-baru ini di TIM ada “Tribute to Michelangelo Antonioni”, waktu pemutaran L’ Aventura – gratis, hanya 3 orang yang mampu bertahan sampai selesai: Kartolo karo 2 bule Italia –karena filme “pelaaaan abis”. Waktu nonton Opera Jawa di Blitzmegaplex jam 21.30 hanya ada 4 penonton, tanpa suara, dari awal sampai akhir.

Bagaimana ya kira-kira atmosfernya, ketika disebutkan bahwa penonton di Cannes memberikan standing ovation selama 30 menit untuk film Mexico Pan’s Labyrinth atau standing ovation untuk “film mikir” Denmark - Dancer in the Dark.

By the way, film yang 1 bulan lalu aye dapat dari Mangga Dua (Chacun son cinema) ternyata merupakan kumpulan film-film pendek (5 menitan) dari 20-an sutradara top “art cinema” - untuk memperingati 60 tahun Cannes Film Festival. Tentang interpretasi mereka soal PENGALAMAN NONTON FILM dan kecintaan terhadap film.

Sutradara Israel, Amos Gitai, menampilkan cerita tentang muda-mudi yang nonton bioskop di Israel. Ketika sedang asyiknya-asyiknya, ada tentara masuk mengumumkan pemutaran harus dihentikan karena ada peringatan serangan udara. Ketika penonton masih malas bangun dari kursi atau mendebat sang tentara, tiba-tiba… buuum! Bom ditembakkan ke bioskop!

Sutradara Denmark, Bille August, bikin film tentang mahasiswi Iran yang nonton bioskop di Denmark. Karena tidak mengerti bahasa Denmark, dia janjian nonton dengan temannya, orang Denmark, sebagai penerjemah. Setiap dialog langsung ditejemahkan, dan itu mengganggu sekumpulan penonton laki-laki (gang) di depan mereka. Mereka terlibat adu mulut. Si gadis dan temannya harus keluar gedung. Namun akhirnya, gerombolan pemuda itulah yang akhirnya justru menjadi penerjemah.

Zhang Yimou bikin film tentang pengalaman nonton layar tancap di suatu desa di China. Pada saat film diputar, justru sang bocah yang jadi tokoh utama ketiduran, capek nunggu. Adegan-adegan di sekitarnya sebelum film dimulai justru telah berubah menjadi film itu sendiri.

Roman Polanski – bikin pengalaman nonton film semi porno dalam segmen CINEMA EROTIQUE. Wis ora usah tak critani yen soal iki.

Yen nonton BF utowo semi, enake pengalaman kolektif atau personal???? Koyone enak nonton dhewean neng kamar sambil..... minum kopi .... huak ak ak ak. *

Read More......