Wednesday, December 26, 2007

Iklan dan Politik

INI era komunikasi modern. Segala sesuatunya dikemas mengikuti hukum budaya massa yang lebih menekankan aspek hiburan. Berita politik di media seolah jadi drama. Iklan dan orasi politik hanyalah janji-janji kosong. Dan itulah sorotan buku ini.

Iklan dan Politik merekam dinamika periklanan politik selama pemilihan umum 2004. Isinya membahas aturan kampanye, keterlibatan praktisi periklanan, peran media, materi iklan, belanja iklan, aturan kampanye periklanan, pengaruh iklan, sampai pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama masa kampanye. Dilengkapi pula dengan gambar-gambar iklan yang menarik –sayang, rencana menyertakan sebuah CD berisi iklan-iklan media cetak, televisi, dan radio urung dilakukan.


Buku ini sudah terbit, dan momennya juga tepat, menjelang pemilihan umum 2009. Beberapa orang yang membaca buku ini sudah memberikan apresiasi. Sekarang, tinggal Anda.

Pemrakarsa: RTS Masli
Penulis: Budi Setiyono
Tim Ahli: RTS Masli, Baty Subakti, Rudy Haryanto
Penasehat: Indra Abidin, Nuke Mayasaphira, Effendi Gazali,
Yanti B. Sugarda, Iskadi SK, Garin Nugroho, Aswan Soendojo
Pracetak: Paulus Efendi
Administrasi: Wiji Lestari
Sampul dan Tata Letak: Riri Oskandar
Gambar-gambar: Mediabanc Jakarta, kecuali disebutkan sumbernya
Cetakan Pertama: 2008


Diterbitkan oleh:

AdGOAL.Com
Jalan Raya Kebayoran Lama No. 18 CD
Jakarta 12220 Indonesia
Tel +62 21 722 1678
Fax +62 21 722 3760

Galang Press
Jalan Anggrek No. 3/34 Baciro Baru
Yogyakarta 55225
Tel +62 274 545609, 554986
Fax +62 274 554985
Email: galangpress@jmn.net.id
http://www.galangpress.com/

BUKUkita
Jalan H. Montong No. 57 RT 006/02, Ciganjur
Jagakarsa, Jakarta Selatan 12630
Tel +62 21 7888 3030 (Hunting)
Fax +62 21 787 3446 (Direct)
+62 21 786 4440, 727 0996
Email: marketingbukukita@gmail.com

ISBN: (13) 978-979-24-9913-1
ISBN: (10) 979-24-9913-x

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
All right reserved


Sampul Belakang:

SEORANG pemuda aktivis sosial yang menarik, pintar, dan bersemangat didekati oleh manajer kampanye profesional. Diyakinkannya pemuda itu agar mencalonkan diri bagi jabatan pemerintahan. Sang pemuda setuju. Manajer itu bergerak cepat. Sebuah tim sukses dibentuknya. Ada rombongan petugas polling, pembuat film, pembuat iklan, agen pers, penulis pidato, artis perias, dan sebagainya. Semuanya bekerja dengan satu tujuan: mencetak, mengepak, dan menjual kandidat itu melalui kampanye periklanan massal yang canggih. Pemilihan usai. Sang kandidat menang. Tapi keraguan segera menyergapnya: “Apakah saya benar-benar memiliki kualifikasi sebagai pejabat pemerintah?”.

Dia kembali kepada (mantan) manajer kampanyenya, seorang bayaran yang telah siap mencari wajah baru untuk dijual, dan bertanya, “Tapi, apa yang kita lakukan sekarang?”

Sepenggal adegan film The Candidate itu bermuatan satiristik bahwa “produk” tak dikenal dapat dijual kepada pemilih sebagai “konsumen”.

Bagaimana dengan para kandidat di Indonesia menjelang dan selama pemilihan umum? Buku ini layak dibaca kalangan praktisi periklanan, pembuat regulasi, praktisi media, politisi, mahasiswa, dan masyarakat umum.

“Kalau Anda memang (sebelum membaca buku ini pun) sudah telanjur relatif sinis, Anda toh masih bisa tetap mencoba optimis; motto “Bersama kita Bisa” itu juga boleh dibaca “Bersama Kita Bisa Memperbaiki Diri dan Masa Depan Iklan Politik”.
Effendi Gazali, Phd, Koordinator Program Magister Manajemen Komunikasi Politik, Program Pascasarjana Komunikasi UI

“Periklanan politik kadang dirindukan tapi juga dicacimaki karena pesan-pesannya dianggap membodohi dan menyesatkan masyarakat. Seyogyanya ada pijakan untuk menilainya secara arif. Dan buku ini layak jadi rujukan.”
Indra Abidin, President Director PT Fortune Indonesia

“Dari hasil survey pendapat publik, yang dibutuhkan masyarakat pemilih bukanlah iklan politik dengan pesan-pesan yang obral janji ataupun etalase tanda gambar dan nomor urut semata, melainkan pesan-pesan yang jujur dan mulus. Siapapun mesti membaca buku ini.”
Yanti B. Sugarda, President Director Polling Center

“Iklan politik tidaklah sekadar janji dan daya pikat, tetapi mengandung tawaran program, panduan publik, serta menumbuhkan ketulusan dan kepercayaan. Iklan politik adalah strategi image, pendidikan kewarganegaraan, dan strategi politik. Untuk itu, buku ini menjadi penting di tengah dinamika politik dan media serta hubungan bisnis, politik, dan pendidikan kewarganegaraan.”
Garin Nugroho, Koordinator Koalisi Media untuk Pemilu Jujur dan Adil

“Seringkali iklan dipersepsikan mendorong pola hidup konsumtif. Buku ini memberikan pemahaman peran iklan dalam mendorong demokratisasi dan peran publik dalam penentuan perjalanan bangsa.”
Aswan Soendojo,President Director Matari Advertising

“Ada banyak hal yang tercecer dan luput dari perhatian kita selama pemilihan umum berlangsung, dan semuanya bisa terekam dengan baik dalam buku ini.”
RTS Masli, International Advertising Association – Indonesia Chapter President

Read More......

Thursday, December 20, 2007

Obsesi

SEJUMLAH lembaga membuat program menanam pohon. Pemerintah giat mengajak warga menanam pohon. Sebuah ajakan yang bagus. Tapi saya sedikit geli. Tanpa itu pun warga sudah menanam pohon, mempercantik pekarangan rumah mereka. Coba berjalan ke sejumlah tempat dan lihat di beranda rumah-rumah: begitu hijau, asri, dan cantik.

Tahun ini ibarat tahun tanaman. Entah bagaimana mulanya. Tiba-tiba orang hafal nama-nama tanaman seperti adenium, sansievera, euphorbia, dan anthorium. Yang terakhir ini malah sangat populer; orang menamainya “gelombang cinta”. Konon, di sejumlah tempat, harga tanaman ini dibeli dengan harga milyaran rupiah. Di tempat lain beredar kabar athorium yang dicuri orang –biasanya sebelumnya menolak tawaran harga setengahnya. Ada yang lebih konyol lagi. Seorang suami menjual sapinya untuk membeli anthorium. Dia berharap bisa mendapat keuntungan dari hasil penjualannya. Karena marah, istrinya merajang tanaman itu lalu menjadikannya oseng-oseng. Oh dunia….


Saya sendiri tak tahu apa kelebihan anthorium. Konon, itu tanaman raja-raja zaman dulu. Harga tanaman ini juga pernah melesat beberapa tahun lalu. Tetap saja saya tak tahu letak keindahannya. Namanya indah untuk tanaman yang biasa-biasa saja. Ia sejenis tanaman talas, dengan sisi-sisi daun bergelombang. Seorang teman membeli bibitnya –masih kecil, setinggi sekira 10 cm– dengan harga Rp 75.000. Entah berapa lama dia harus menunggu hingga gelombang cintanya mekar.

Saya melihatnya seperti goreng-gorengan lukisan. Jadi tak sedikit pun saya meliriknya.

Tapi, bisa jadi Susan Orleans benar untuk berhati-hati punya hobi tanaman. Ia mampu menarik hatimu, lalu membuatmu begitu terobsesi padanya. Orlean wartawan The New Yorker, penulis buku Si Pencuri Anggrek. Dalam bukunya, Orlean menggambarkan betapa kecintaan pada anggrek telah membuat banyak orang terobsesi, bahkan bisa melupakan kehidupan lainnya. Karena anggrek, orang rela meninggalkan keluarga, karier, masuk hutan, melalang buana, dan bertarung hidup dan mati. Demam tanaman di sini nyaris seperti Simeleone kecil. Sering saya mendengar berita mengenai pencurian tanaman di rumah-rumah warga. Bahkan di kampung halaman saya, kabar pencurian tanaman juga merebak.

Mungkin saya lagi terobsesi oleh tanaman.

Awalnya, setahun lalu, di sesela bertandang ke Semarang, saya membeli dua buku soal bonsai di Pasar Johar. Harganya murah; masing-masing Rp 5.000. Setelah membacanya, rasanya tak begitu sulit membuat bonsai. Tanamannya juga mudah didapat di mana saja. Tapi saya belum tergerak untuk mencari tanaman pertama saya, meski tanaman bukanlah barang asing. Selagi kecil, pekerjaan rutin saya ya menyirami tanaman.

Tanaman pertama saya bukanlah bonsai tapi lidah mertua. Tanaman daun ini biasa saja. Daun-daunnya agak keras dan menjulur ke atas. Warna kuning menyisiri sisi daun, sementara warna hijau dan putih berbaur di tengah-tengahnya. Orang Jawa percaya, meletakkan tanaman ini di depan rumah baik untuk menjaga keharmonisan rumah tangga: bakal disayang mertua! Saya sendiri memilihnya karena ia jenis tanaman dalam ruangan. Tahan tanpa sinar matahari dan penyiraman. Selain itu, lidah mertua dipercaya bisa menyerap polusi udara, terutama asap rokok. Klop kan, saya bisa tetap merokok tanpa bau apak yang memenuhi kamar.

Ada juga three colour. Ia juga tanaman dalam ruangan. Ukurannya kecil. Daunnya bersulur lurus bak jarum perak. Warna merah cerah mendominasi daunnya.

Lalu, seorang teman memberi saya adenium. Bagi saya, adenium tak begitu unik. Jelas ia tanaman pekuburan: kamboja. Bedanya ia pendek –sehingga orang sering menamainya Kamboja Jepang. Bonggolnya agak gemuk. Warna bunganya variatif. Bahkan dalam satu pohon, melalui teknik okulasi biasa, bisa muncul bunga aneka warna. Adenium sempat menjadi trend.

Saya sendiri tak begitu tertarik mengikuti trend. Saya sudah memutuskan untuk membuat dan merawat bonsai. Bonsai punya seninya sendiri. Ia bagian dari peradaban manusia. Menurut Budi Sulistyo dan Limanto Subijanto, keduanya penggemar bonsai dan pernah aktif di Perkumpulan Penggemar Bonsai Indonesia, dalam buku Bonsai, seni ini sudah lama di kenal di China sejak dinasti Tsin (265-420). Ia menjadi kegemaran kalangan atas. Tapi perlahan seni bonsai menyebar hingga keluar China. Penggemarnya pun mulai beragam. Hingga kini harga bonsai relatif stabil.

Begitu tanaman pertama di tangan, hasrat menambah tanaman muncul. Mulailah saya berburu. Selokan di sepanjang jalan yang saya lalui menuju ke kantor menjadi sasaran pertama. Beringin paling gampang ditemui. Saya juga menemukannya di atap gedung, tembok rumah, pinggir jalan… Bonsai beringin adalah khas Indonesia.

Tapi beringin yang saya dapatkan masih terlalu muda. Butuh waktu lama agar mereka mengeluarkan akar-akar yang menonjol keluar. Beringin yang agak besar saya peroleh di tembok rumah. Ia tumbuh berdiri tegak di sisi bangunan rumah berlantai dua. Talang air menjadi satu-satunya jalan mendekati pohon itu. Jalannya mesti merapatkan punggung ke tembok. Beringin itu muncul dari pipa pembuangan kamar mandi. Saya tak bisa membedolnya. Akarnya sudah terlalu dalam dan kuat. Saya mengergaji akarnya. Beringin itu seukuran lengan. Saya sudah memangkas semua dahan, daun, dan akarnya. Saya menaruhnya di pot. Sekarang beringin ini sudah mengeluarkan tunas-tunas baru. Lebat. Sebagai bonsai, ia memang belum sedap dipandang mata.

Bonsai memang bukan tanaman sekejap mata: begitu tanam, langsung bisa dinikmati. Butuh waktu tahunan hingga bentuknya yang eksotik menggoda mata Anda. Kakak saya sudah membuat bonsai tujuh tahun lalu, dan hingga kini belum ada satu pun bonsai jadi. Butuh proses lama, kesabaran, ketelatenan, dan juga kreativitas.

Saya tak berpikir membeli bonsai jadi. Di daerah Puncak, penjual bonsai berjejeran. Dari dalam mobil, saya sering melihatnya dengan takjub. Seorang teman pernah menawar bonsai pohon asem jawa. Harganya: Rp 700 ribu! Dia urung membelinya. Saya juga tak akan membelinya dengan harga semahal itu. Selain itu, saya suka dengan prosesnya. Karenanya, saya lebih suka mencarinya sendiri, lalu merawat dan mendesainnya hingga berbentuk bonsai jadi.

Kadang saya membelinya dari penjual tanaman tapi dengan harga sangat miring. Standar harga saya adalah Rp 5-15 ribu, tergantung ukuran pohon. Kelihatannya tidak masuk akal, tapi saya bisa mendapatkannya. Teman-teman saya, yang kadang mengantar ke penjual tanaman, sering geleng-geleng kepala melihat saya menawar.

Meski tak seperti Laroche, saya mulai terobsesi pada tanaman. Saya terus memburu tanaman lainnya. Saya beli satu lusin pot, dan saya pikir sudah cukup. Ternyata tambah lagi, dan tambah lagi. Kini koleksi saya hampir empat lusin. Ada beringin, beringin putih, beringin karet, beringin dolar, beringin korea, sasilas, pusaka, melati kosta, dewandaru, asem kranji, kemuning, buegenvil, cendrawasih.

Masih banyak tanaman yang belum saya dapatkan. Daftarnya sudah ada: wareng, ulmus, trenggulun, sisir, serut, pinus, rukem, kabesa, kepel, mustam, murbei, minten, maja, landepan, kembang jepun atau nagasari, kawista, kacapiring, jeruk kingkit, delima, cempaka kuning atau kantil, azaela, cantigi, bunut, dan sawo.

Saya terobsesi bonsai hingga pernah membawanya ke dalam mimpi. Saya terobsesi olehnya, hingga tanaman-tanaman ini mampu membuat saya bangun lebih pagi. Untuk apa lagi kalau bukan menyirami dan menyentuhnya.

Yang hadir bukan hanya kenangan masa kecil tapi juga kecintaan pada yang hidup. Mungkin bonsai-bonsai ini akan setua hidup saya nanti.

Bagaimana dengan ajakan menanam pohon? Menjadikan bumi ini hijau memang pekerjaan mulia. Teruskan. Tapi, agar efektif, mungkin perlu juga belajar dari penjual tanaman yang bisa menggoreng tanaman dan menggugah obsesi banyak orang.*

Read More......

Wednesday, November 21, 2007

Cinema Paradiso

SAYA ingin nonton bioskop lagi. Tapi dengan tempat duduk yang nyaman. Tak perlu empuk. Cukup biarkan saya menyandarkan punggung ke kursi dengan kaki nangkring di atas sandaran kursi di depannya. Pengelola bioskop tentu tak akan mengizinkan. Setiap film hendak diputar, larangan posisi duduk semacam itu selalu ditayangkan. Tapi tidak di bioskop-bioskop kampungan.

Menonton bioskop adalah pengalaman personal. Bukan pengalaman komunal. Bukankah sesama penonton tak saling mengenal, dan menghayati sebuah film dengan perasaan masing-masing? Dan pengalaman personal itu pernah saya dapatkan di bioskop kampung saya, di sebuah kota kecamatan di tengah pulau Jawa.



Namanya bioskop Aladin. Letaknya di sisi barat pasar. Semasa kecil, kalau pergi ke pasar, saya selalu menyempatkan diri mampir dan melihat poster-poster film di gedung bioskop. Saya suka poster-poster itu. Saya akan menunggu mobil bioskop keliling kampung, dengan suara khas penumpangnya yang berteriak lantang: “Saksikanlah….” Begitu datang, saya akan mengikutinya, berharap dan berebut dengan teman-teman poster film yang disebarkan. Poster-poster itu saya jadikan sampul buku sekolah.

Saya sering mengunjungi Aladin. Letaknya tak jauh dari rumah. Saya senang melihat antrian penonton yang hendak masuk. Teman-teman saya sering nekat menerobos, menyelip di antara antrian penonton. Saya tak berani. Begitu pintu bioskop dibuka, tanda film akan berakhir, barulah saya masuk untuk melihat sisa film –juga tingkah para penontonnya, yang satu per satu meninggalkan kursi.

Ada saat-saat tertentu bioskop menjadi sangat ramai. Ramainya mengalahkan pasar di sebelahnya. Penonton datang dari desa dengan truk-truk, sekadar ingin melihat film idolanya… Rhoma Irama. Film-film India juga relatif sesak penonton. Begitu pula film-film yang lagi dibicarakan orang macam Saur Sepuh.

Sedari kecil, saya suka nonton bioskop. Biasanya bersama adik saya. Kami biasa menabung uang jajan, dan uang itulah yang kami pakai untuk membeli tiket. Kami suka film-film kungfu, dari Jaka Sembung sampai The Bastard Swordsman (Pendekar Ulat Sutra). Film China ngamuk –begitu kami biasa menyebut film-film Mandarin– juga tak terlewatkan. Kami suka film-film Jacky Chan. Kocak. Penuh aksi. Hampir semua filmnya sudah saya tonton.

Menginjak sekolah menengah, ada seorang pemuda Tionghoa naksir kakak saya. Dan dia sering memberikan kami tiket gratis. Satu tiket berlaku untuk dua orang. Kami tinggal menunjukkan tiket ke loket untuk mendapatkan stempel, lalu melenggang masuk.

Saya ingin menonton bioskop lagi, dengan suasananya yang khas. Tidak di bioskop papan atas yang tertib dan santun, yang sebuah siulan menyambut kedatangan sang jagoan bisa membuat seisi bioskop mengeluh.


SAYA menghabiskan masa kecil di sebuah kota kecamatan. Aktivitas kota ini terpusat di pasar dan bioskop. Tahun 1980-an, bioskop mungkin satu-satunya hiburan warga kampung. Televisi masih satu channel. Acaranya begitu-begitu saja, lebih banyak program pemerintah. Video masih sedikit yang punya. Saya beruntung punya teman sekolah yang punya video. Saya bisa menonton Goggle V atau Megaloman Fire di rumahnya. Sementara kalau menonton video di rumah tetangga, saya harus membayar beberapa rupiah.

Bioskop juga hiburan keluarga. Orangtua saya sering mengajak nonton bersama saat malam minggu. Kalau film Warkop mampir, kami pasti menontonnya –labelnya memang untuk semua umur, tapi penampilan pemain-pemainnya… huh. Saya sering menutup mata dibuatnya. Film lainnya ya macam Walisongo. Kakak-kakak saya sesekali mengajak saya nonton film-film remaja: Gita Cita dari SMA, Catatan Si Boy, atau Si Roy. Film midnight adalah jatah orangtua saya –saya sering melihat mereka berangkat tengah malam.

Pemerintah Soeharto sadar betul hiburan ini bisa jadi sarana propaganda yang ampuh. Jadilah menonton bersama sebagai program pemerintah Orde Baru. Setiap anak sekolah wajib menontonnya: Serangan Fajar, Robert Wolter Monginsidi, Pengkhianatan G30S/PKI, hingga Operasi Trisula. Kami harus berjalan kaki dari sekolah menuju bioskop, yang jaraknya sekira 3 km. Bioskop penuh. Penonton berjubel. Saya sempat mendapat tempat duduk di kursi paling depan. Kepala langsung pening.

Ia juga masuk ke ruang-ruang privat, ruang-ruang keluarga. Setiap tahun film Pengkhianatan G30S/PKI diputar melalui televisi.

Budi Irawan dalam Film, Ideologi, dan Militer tak mengherani fenomena itu. Menurutnya, sinema Indonesia sejatinya bersifat politis. Sebab, jika menilik sejarahnya, ia tak pernah sepenuhnya bebas dari medan pengaruh kekuasaan politik. Melalui sinema yang diklaim sebagai “film sejarah”, rezim Orde Baru mengkonstruksikan format relasi sipil-militer, memberi legitimasi historis yang mungkin artifisial terhadap Dwifungsi ABRI, serta memperkuat cengkeraman kekuasaan Soeharto dengan penonjolan perannya semasa revolusi fisik. Tapi Soeharto runtuh, dan klaim sejarah itu pun menguap.


RUANGAN sudah gelap. Film hendak diputar. Saya menyandarkan punggung ke kursi dengan kaki nangkring. Saya hembuskan asap rokok sambil sesekali melihat sekeliling ruangan. Sepi. Cuma enam penonton. Tapi saya menikmati keheningan ini.

Saya suka menonton pukul 21.00. Sepi. Tidak berisik. Tidak ada pedagang asongan berkeliaran menjajakan dagangannya. Tidak ada orang berteriak-teriak, memaki, atau bahkan berantem sesama penonton. Saya menguasai bioskop ini sepenuhnya.

Sekolah saya berada di kota kabupaten, sehingga saya tinggal di sana bersama kakak, menempati rumah orangtua yang belum sepenuhnya rampung. Saya jadi jarang nonton bioskop. Jarak bioskop terlalu jauh. Ada dua bioskop di sini: Subur dan Sanjaya –Subur masih bertahan, sementara Sanjaya sudah beralih fungsi menjadi lapangan tenis.

Sesekali saya masih menyempatkan diri menonton di sana. Bersama teman, sepulang sekolah, kami menonton bioskop. Masih film-film China ngamuk. Sesekali kami bolos sekolah dan pergi ke kota sebelah. Di sana ada banyak bioskop. Yang pernah saya kunjungi adalah bioskop Maya di dekat terminal (lama). Ini bioskop murah. Satunya lagi bioskop Dewi di dekat alun-alun kota. Ruangannya dibagi dua, dipisahkan oleh papan memanjang. Di depan untuk kelas festival. Rasanya gerah. Lain dengan di belakang, yang mendapat pendingin dari AC sentral. Ada juga balkon, yang tiketnya tentu paling mahal.

Tapi tetap saja bioskop-bioskop ini tak bisa menggantikan bioskop di kampung saya. Dan seminggu sekali saya pulang ke rumah orangtua, sebuah rumah dinas di sebuah kota kecamatan. Saya mendatangi bioskop Aladin seminggu sekali, meresapkan kenangan masa kecil.


SEMASA kuliah di Semarang, awal 1990-an, saya masih suka nonton bioskop. Karena rumah paman, di mana saya tinggal, dekat Pasar Johar, saya sering nonton di bioskop Gris dan Semarang di Jalan Pemuda –keduanya berhadap-hadapan. Kalau ke Johar dan hendak mencari buku bekas, saya menonton di bioskop Kanjengan.

Setahun kemudian, saya mengontrak rumah bersama teman-teman kampus. Di sini hobi nonton bioskop tak terbendung lagi. Kalau mau nonton film Mandarin, ya datang ke bioskop Murni di Jl Gadjah Mada. Tak jauh dari Murni, ada bioskop Manggala, biasanya film-film Hollywood. Tak jauh dari Manggala, ada bioskop Gajah Mada Theater, Plaza Theater, dan belakangan, setelah dibangun Mal Ciputra, ada Citra –semuanya mengepung Simpang Lima. Agak ke timur, dekat kantor RRI, ada bioskop Admiral.

Saya dan teman-teman kadang menjelajah bioskop lainnya. Berjalan kaki menyusuri Jalan MT Haryono, kami mampir di bioskop Gelora yang lebih sering memutar film-film Hollywood. Kalau tidak ya, menonton di bioskop Indra di belakangnya, jika ingin menonton film Mandarin. Bioskop Anjasmoro dan Atrium 21, yang posisinya berhadap-hadapan di Jalan Siliwangi, menjadi sasaran berikutnya.

Belakangan, saya jadi jarang nonton bioskop. Zaman sudah berubah. Rental VCD bertebaran. Bahkan kemudian, ketika saya sudah bekerja, saya lebih sering menonton VCD. Sampai kemudian era DVD datang, dan saya sudah pindah ke Jakarta, saya lebih memilih mencari DVD di Ratu Plaza, Glodok, atau Mangga Dua.

Tapi pengalaman menonton film di rumah tak kalah menyenangkan. Sebulan sekali, biasanya malam minggu, teman-teman datang ke rumah. Mereka datang dengan segepok film. Kami punya kesenangan yang sama: menonton film. Genrenya juga nyaris sama: film-film festival. Sepanjang malam hingga menjelang pagi, beberapa film diputar. Sesekali komentar meluncur, dari akting pemain sampai ending cerita. Dan mereka menyebut kamar saya…. Cinema Paradiso.

Ya, nama itu terinspirasi judul film Cinema Paradiso. Ini film yang indah. Ada kelucuan dan keharuan. Kami sama-sama suka film ini. Teman saya bahkan rela mencari versi original, dan mendapatkannya dengan harga Rp 300.000.

Menonton Cinema Paradiso seolah melihat sejarah sebuah bioskop, film-filmnya, orang-orangnya … sebuah bioskop yang menjadi kebanggaan warga kampung, yang kemudian dirobohkan atas nama ekonomi. Menonton Cinema Paradiso mengingatkan saya pada bioskop di kampung saya, pada kenangan masa kecil.

Aladin kini sudah mati. Saya sempat melewatinya lebaran kemarin. Tak ada yang tersisa dari bangunan yang dulu terlihat megah. Sebuah minimarket telah menggantikannya. Mungkin kalau saya masih tinggal di sana, saya akan ikut melihat bagaimana bangunan itu dirobohkan, dan menangisinya –sama seperti dilakukan orang-orang kampung di film Cinema Paradiso. Bioskop menjadi bagian dari identitas kota.

Zaman memang sudah berubah. Bioskop sudah ditinggalkan pemiliknya karena merugi. Konon, masalahnya soal monopoli distribusi film-film. Praktis hanya beberapa bioskop kelas atas saja yang masih bertahan. Stasiun televisi juga bejibun, dengan beragam acara hiburan. DVD bajakan makin mudah didapat. Orang juga lebih memilih ruang privat, di kamar atau ruang keluarga, menonton televisi atau memutar DVD.

Saya ingin nonton bioskop lagi. *


Ide tulisan ini sempat saya lontarkan ke sejumlah teman. Cak Kartolo, begitu biasa disapa, yang sering mengajak saya ke Glodok dan menonton film di kamar saya, membalasnya dengan sebuah tulisan yang manis. Saya sertakan di sini.

Pengalaman Pribadi Nonton Bioskop


NENG kuto asalku Tulungagung Jawa Timur (kurang lebih 30 km dari Gunung Kelud yang mau meletus), pada era 1980 sampai pertengahan 1990-an, ada lima bioskop (perlu saya sebutin namanya?) yang kini sudah punah, diganti pusat perbelanjaan, hotel, dan tempat karaoke! Di bioskop-bioskop itulah semua film kungfu tak tonton kabeh, termasuk The Bastard Swordsman alias Pendekar Ulat Sutera!

Yang mungkin ente belum pernah dengar, pada era 1980-an, bioskop-bioskop itu membagi tempat duduknya dalam 3 kelas. Kelas 1 –deretan paling belakang dengan harga paling mahal – Rp 1.000. Kelas 2 – deretan tengah, kurang lebih Rp 700. Deretan paling depan, yang bikin sakit mata, Rp 300. Bandingkan dengan harga di Blitzmegaplex Jakarta yang sekarang Rp 40.000.

Pada masa ketika film kungfu Mandarin mengalami “renaissance” awal 1990-an, satu bioskop memutar “Extra Show atau Student Show“. Harga tiketnya Rp 1.000-an. Kita harus berdesak-desakan untuk antri beli tiket kalau mo nonton. Dan setelah di dalam, belum tentu dapat tempat duduk! Pas Basic Instinct lagi diputer tahun 1992, wis ora karuan akehe penontone. Seperti pada kasus wong ndeso sing nyewo truk untuk nonton film Rhoma Irama atau Saur Sepuh. Nonton berjubel-jubel dengan asap rokok dan umpatan-umpatan kotor itu ternyata menimbulkan sensasi tersendiri –yang tidak bisa kita dapatkan kalau nonton di Cineplex– yang penontonnya orang-orang beradab, he-he-he.

Mungkin alasan “pengalaman kolektif” itulah yang membuat ABG-ABG sekarang tidak bosan-bosannya nonton film horor. Kata Kang Giorgio Arwani, “Mereka nonton terutama bukan karena seneng filmnya. Mereka ingin mengalami seneng bareng-bareng, ketawa bareng-bareng, dan takut bareng-bareng.” Sensasi kolektif ini yang dulu saya rasakan bersama penonton kampung lainnya ketika menyaksikan “tendangan tanpa bayangan” Jet Lee di Once Upon a Time in China.

Soal antusiasme penonton, acara tahunan JIFFEST (Jakarta International Film Festival) masih menyedot cukup banyak penonton –tentu karena promonya. Tapi karena rata-rata yang diputer art-house cinema, ya sensasi kolektif itu tidak terlalu MAK-NYUSSS! –karena penontonnya sibuk mikir! Paling banter ketawa sopan bareng-bareng. Aku dhewe wis suwi ora nonton film-film “seru dan renyah”. Jika ada JIFFEST tahun ini, aku mungkin njajal milih sing enteng wae, biar mengalami sensasi kolektif lagi. Ketika baru-baru ini di TIM ada “Tribute to Michelangelo Antonioni”, waktu pemutaran L’ Aventura – gratis, hanya 3 orang yang mampu bertahan sampai selesai: Kartolo karo 2 bule Italia –karena filme “pelaaaan abis”. Waktu nonton Opera Jawa di Blitzmegaplex jam 21.30 hanya ada 4 penonton, tanpa suara, dari awal sampai akhir.

Bagaimana ya kira-kira atmosfernya, ketika disebutkan bahwa penonton di Cannes memberikan standing ovation selama 30 menit untuk film Mexico Pan’s Labyrinth atau standing ovation untuk “film mikir” Denmark - Dancer in the Dark.

By the way, film yang 1 bulan lalu aye dapat dari Mangga Dua (Chacun son cinema) ternyata merupakan kumpulan film-film pendek (5 menitan) dari 20-an sutradara top “art cinema” - untuk memperingati 60 tahun Cannes Film Festival. Tentang interpretasi mereka soal PENGALAMAN NONTON FILM dan kecintaan terhadap film.

Sutradara Israel, Amos Gitai, menampilkan cerita tentang muda-mudi yang nonton bioskop di Israel. Ketika sedang asyiknya-asyiknya, ada tentara masuk mengumumkan pemutaran harus dihentikan karena ada peringatan serangan udara. Ketika penonton masih malas bangun dari kursi atau mendebat sang tentara, tiba-tiba… buuum! Bom ditembakkan ke bioskop!

Sutradara Denmark, Bille August, bikin film tentang mahasiswi Iran yang nonton bioskop di Denmark. Karena tidak mengerti bahasa Denmark, dia janjian nonton dengan temannya, orang Denmark, sebagai penerjemah. Setiap dialog langsung ditejemahkan, dan itu mengganggu sekumpulan penonton laki-laki (gang) di depan mereka. Mereka terlibat adu mulut. Si gadis dan temannya harus keluar gedung. Namun akhirnya, gerombolan pemuda itulah yang akhirnya justru menjadi penerjemah.

Zhang Yimou bikin film tentang pengalaman nonton layar tancap di suatu desa di China. Pada saat film diputar, justru sang bocah yang jadi tokoh utama ketiduran, capek nunggu. Adegan-adegan di sekitarnya sebelum film dimulai justru telah berubah menjadi film itu sendiri.

Roman Polanski – bikin pengalaman nonton film semi porno dalam segmen CINEMA EROTIQUE. Wis ora usah tak critani yen soal iki.

Yen nonton BF utowo semi, enake pengalaman kolektif atau personal???? Koyone enak nonton dhewean neng kamar sambil..... minum kopi .... huak ak ak ak. *

Read More......

Sunday, September 30, 2007

Semut Terjepit Dua Gajah

RUMAH ini asri. Pepohonan rindang memenuhi pekarangan rumah. Dari pintu masuk, aroma wangi yang khas tercium. Sebuah apotik menghadap pintu masuk, menawarkan beragam jenis obat tradisional berbentuk cair hingga kapsul. Di sisi kanan, di sebuah lahan yang lapang, sejumlah tanaman obat berjejer rapi.

Rumah ini tak pernah sepi. Ada aktivitas meditasi dengan mengandalkan kekuatan alam. Sesekali rombongan tamu datang, sekadar melihat-lihat, membeli obat, atau mempelajari pengobatan tradisional. Sebuah papan pengumuman di dinding rumah menjadi petanda: sejumlah lembaga pernah bertandang ke sini.



Putu Oka Setia, si empunya rumah, sudah berada di teras belakang. Ia asyik berbincang dengan tamu yang mulai berdatangan.

Putu Oka seorang sastrawan asal Bali. Pernah mendekam selama 10 tahun di penjara karena aktivitasnya di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), gerakan kebudayaan yang berdiri pada 17 Agustus 1950. Pengalamannya sebagai tahanan politik dia tuangkan dalam sebuah novel Merajut Harkat.

Ia berbincang dengan Scott Schlossberg, mahasiswa S3 Universitas Berkeley, Amerika Serikat. Scott sedang mengkaji Lekra. Saya melihat perbincangan itu ibarat perploncoan. “Apa yang mau kamu tulis; Lekra sebagai hantu gentayangan atau Lekra sebagai semangat berkesenian,” ujar Putu Oka.

“Kalau mau menulis Lekra sebagai hantu gentayangan, ke kuburan saja.”

Putu Oka tertawa. Ini memang pertemuan yang cair. Nama pertemuannya sendiri dibuat santai: temu kangen seniman.

Sudah sering seniman Lekra berkumpul. Awalnya betul-betul temu kangen. Dalam perkembangan, muncul ide untuk membuka diri, memberi kesempatan bagi orang lain untuk bergabung dengan mereka. Acaranya ya makan-makan, bertukar kabar, kemudian diskusi santai mengenai satu topik yang sudah diagendakan dari awal.

Temu kangen digelar di ruang tamu. Katrin Bandel, dosen-tamu di program magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, membuka diskusi. Ia membedah sejumlah karya sastra Indonesia yang terbit selama dan sesudah Orde Baru, terutama yang menyinggung peristiwa 1965. Mula-mula novel Pergolakan karya Wilda Yatim yang terbit pada 1974. Lalu Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pramudya Ananta Toer, Anna Gretta Budi Darma, Sri Sumarah Umar Kayam, Ronggeng Dukuh Paruh Ahmad Tohari, Saman dan Larung Ayu Utami, dan sebagainya. Ia kutip adegan atau dialog dari buku-buku itu lalu mengkritisinya.

Menurutnya, karya sastra Indonesia masih mencerminkan versi pemerintah. Karya sastra Orde Baru memberikan empati terhadap korban-korban 1965 tapi lebih kepada orang yang tak tahu apa-apa. Sekalipun Orde Baru runtuh, logika dan versi sejarahnya belumlah berubah; lebih menyoroti pergolakannya, sementara sisi ideologinya dianggap tidak penting. Menurut Bandel, tidak tepat jika karya-karya sastra yang terbit belakangan menjadi versi tanding Orde Baru.

Ini berbeda dari karya-karya korban. Versinya jelas berbeda, meski ada teks-teks mengenai korban yang tak bersalah atau merasa tak bersalah dan bagaimana mereka mengatasi situasi ini. Ada sedikit kesamaan. Perbedaannya terletak pada pendalaman psikologisnya.

Bandel usai, Saut Situmorang bicara. Saut memaparkan pandangannya tentang apa yang dialami generasinya, generasi pasca-1965, yang menurutnya terjepit di antara “dua gajah yang sedang bertarung.” Generasinya kehilangan pegangan, tanpa pijakan. Di masa Orde Baru, sastrawan Horison menjadi dewa –Horison adalah nama majalah sastra yang diterbitkan sejumlah sastrawan “Manifest Kebudayaan” dan menjadi standar mutu sastra Indonesia. Setelah reformasi, mitos Lekra sebagai setan berubah menjadi dewa.

Meski setelah 1965 kelompok Manifest Kebudayaan “menang”, pertarungan dua kekuatan itu tidak meredup. Kebenaran sejarah menjadi hal yang tak pernah selesai: apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu.

“Generasi sekarang menjadi korban, terjepit, lost generation. Padahal generasi kami yang memberikan pengakuan terhadap dua kekuatan itu,” ujar Situmorang.

Saya suka istilah Saut tapi tak sepakat dengan keterjepitan generasinya. Kalau pun benar, yang hilang bukan hanya generasinya tapi juga sejarah sejarah sastra Indonesia yang utuh.


PADA suatu ketika, menjelang tahun 1950, sastrawan Adi Sidharta (biasa disingkat A.S. Dharta) bertemu dengan M.S. Azhar dan Njoto. Tak jelas apa yang membuat mereka bisa bertemu. Tapi saat itu, menjelang dan sesudah kemerdekaan, pergaulan masih terasa sempit, sehingga ada kebutuhan untuk bertemu dan mengenal orang lain. “Ingat hukum jenis mencari jenis,” ujar Dharta kepada saya.

Njoto seniman musik. Semasa di Solo, gitaris hawaian. Pengetahuannya tentang musik luar biasa. Komponis-komponis Jakarta hormat kepadanya. Pengetahuannya juga luas, mencakup segala bidang. MS Azhar novelis. Perasaannya sangat kuat, dan terasa dalam karya-karyanya.

Mereka bertemu kali pertama di rumah Azhar di Jl Wahidin No 10, rumah dinas Departemen Perhubungan. Awalnya hanya sekadar mengobrol, tentang apa saja, kadang sambil bermain catur. Njoto terkenal jago memainkan bidak. Dari obrolan ringan itulah meluncur perbincangan mengenai perkembangan seni di Indonesia. Mereka merasa Jakarta butuh lembaga kesenian yang ikut memberi andil bagi Indonesia yang masih belia. ”Ternyata dalam diskusi, muncul pemikiran yang lebih luas. Indonesia bukan hanya Jakarta. Jakarta bukan Indonesia. Tapi Indonesia ada Jakarta,” ujar Dharta.

Pada 17 Oktober 1950, atau beberapa bulan setelah penyerahan kedaulatan, didirikanlah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Sejumlah sastrawan hadir dalam deklarasi Lekra itu. Sikap berkesenian mereka dituangkan dalam Mukadimah. Njoto pembuat konsepnya.

”Lekra membantu aktif perombakan sisa-sisa ’kebudayaan’ penjajahan yang mewariskan kebodohan, rasa rendah, dan watak lemah pada bangsa kita. Lekra menerima dengan kritis peninggalan-peninggalan nenek moyang, juga hasil-hasil ciptaan klasik dan batu dari bangsa lain, menuju ke penciptaan kebudayaan yang nasional dan ilmiah. Lekra juga mendorong inisiatif dan keberanian kreatif, menyetujui setiap bentuk, gaya, dan sebagainya, selama ia setia kepada kebenaran dan selama ia mengusahakan keindahan artisitik yang setinggi-tingginya.”

”Lekra menolak sifat antikemanusiaan dan antisosial dari kebudayaan bukan rakyat, menolak perkosaan terhadap kebenaran dan nilai-nilai kebenaran. Lekra bekerja untuk membentuk manusia baru yang memiliki segala kemampuan untuk memajukan dirinya dalam perkembangan kepribadian yang bersegi banyak dan harmonis. Lekra berpendapat bahwa secara tegas berpihak pada rakyat dan mengabdi kepada rakyat adalah satu-satunya jalan mencapai hasil yang tahan uji dan tahan waktu.”

Menurut Lekra dalam Menjambut Kongres Kebudajaan Bandung, 6-11 Oktober 1951, Lekra didirikan setelah kurang lebih 15 orang peminat dan pekerja kebudayaan di Indonesia menerima Mukadimah dan konsepsi Lekra. Sekretariat Pusat Lekra terdiri dari A.S. Dharta, M.S. Azhar, dan Herman Arjuno, masing-masing sekretaris I, II, dan III. Henk Ngantung, Njoto, dan Joebaar Ajoeb menjadi anggota. Aktivitasnya meliputi seksi sastra, seni rupa, seni suara, seni drama, film, filsafat, dan olahraga. Majalah Lekra diterbitkan tiap minggu: Zaman Baroe, kantornya di Surabaya tapi belakangan pindah ke Jakarta. Redaksi diisi oleh Iramani (Njoto), Klara Akustia (A.S. Dharta), dan M.S. Azhar.

Tak dinyana, meski tanpa sistem keanggotaan, dengan cepat cabang-cabang Lekra berdiri di sejumlah daerah. Tak jelas berapa jumlah anggota Lekra. Pram, pada 1963, pernah menyebut angka lebih seratus pekerja kebudayaan. Setahun kemudian, DN Aidit mengklaim hampir setengah juta orang, malah ribuan bahkan jutaan orang ambil bagian dalam mengembangkan Lekra.

”Itu bukti bahwa zaman membutuhkan. Bukti bahwa kita punya understanding terus-menerus. Organisasinya terus-menerus dimodernkan, diefisienkan, supaya yang di bawah pegang kendali,” ujar Dharta.

Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Stephen Miller, pengajar bahasa Indonesia di University of New England, menyebut Lekra sebagai fenomena unik dalam sejarah dunia. ”Berdasarkan penelitian saya, cukup jelas bahwa Lekra berkembang karena cara membangunnya sangat organik dan sesuai kondisi lokal,” ujarnya. Stephen Miller saat ini sedang melakukan riset tentang Lekra untuk tesis doktoral di Australian National University.

Tapi gerakan itu langsung habis begitu Soeharto melancarkan ”gerakan pembersihan”. Lekra dianggap sebagai onderbouw Partai Komunis Indonesia, partai yang disalahkan atas peristiwa pembunuhan para jenderal. Para aktivitasnya dipenjara dan sebagian dibuang ke Pulau Buru tanpa proses pengadilan.



SEMASA saya remaja, Lekra adalah nama yang asing di telinga. Saat ini pun nama itu pun tidak begitu dikenal masyarakat. Orde Baru dibangun dengan propaganda dan pembelokan sejarah untuk melegitimasi kekuasaan. Penggambaran Lekra sebagai bagian dari PKI begitu melekat. Dan salah satu gambaran itu yang sangat berhasil, menurut saya, adalah keluarnya buku Prahara Budaya karya DS Moeljanto dan Taufik Ismail.

Di masa itu, ketika akses informasi terbatas dan sejarah tandingan bukanlah makanan yang mudah ditemukan, saya sendiri terheran-heran membaca buku itu. Kedua penulisnya berhasil menggambarkan kekejaman seniman-seniman Lekra. Kasar. Main sikat. Tukang berangus. Setelah Orde Baru runtuh, gambaran itu memudar, menjadi simpati yang luar biasa. Dan ikonnya adalah Pramudya Ananta Toer, novelis tetralogi Bumi Manusia yang karyanya berkali-kali diberangus pemerintah.

Tapi tahun belum berakhir. Gambaran itu masih melekat di benak sejumlah orang. Mereka juga masih mengaitkan Lekra dengan PKI.

Stephen Miller tak bisa menerima gambaran Lekra sebagai alat PKI. Alasannya, hubungan antara gerakan komunis dan Lekra tak mungkin jalan seperti yang digambarkan selama ini. Miller mengatakan, Lekra muncul begitu saja atas inisiatif pemimpin PKI. Tapi banyak orang yang ikut Lekra di masa awal sudah punya basis sebelumnya. Mereka sudah aktif di sanggar-sanggar seperti Sanggar Pelukis Rakyat dan Sanggar Seniman Indonesia Merdeka (SIM) atau punya kedudukan dalam masyarakat. Lekra hanya semacam badan koordinasi yang mengembangkan organisasi dan kegiatan tersebut.

Lekra bekerja sama dengan organisasi lain, misalnya serikat-serikat buruh dan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Lekra juga membangun organisasi-organisasi baru yang kemudian berkembang sealiran dengan Lekra, misalnya badan nasional untuk pemain ketoprak dan Sarbufis (Sarekat Buruh Film Indonesia). Perhatian pun datang dari tokoh-tokoh terkemuka, termasuk Presiden Soekarno. Soekarno sering datang ke pameran Lekra, atau membuka acara-acara resmi Lekra. Seniman dan sanggar Lekra memenangi kontrak-kontrak seni dari negara.

Keberhasilan Lekra mengilhami kelahiran lembaga-lembaga lain: Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Lembaga Seni Budaya Muslimin (Lesbumi), Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi), dan lain-lain.

Keith Foulcher, dalam risetnya Social Commitment in Literature and Arts, idem dito. Menurutnya Lekra bukanlah alat PKI, tapi sealiran (politik) dengan PKI. Penggambaran Lekra sebagai “alat” PKI, menurut Foulcher, mengada-ada karena seakan-akan ada jalur komando dari Moskow dan Peking melalui Politbiro PKI, lalu ke Pimpinan Pusat Lekra, sampai ke basis keseniannya. Gambaran macam begini tak mungkin terjadi dalam organ sukarela seperti Lekra yang tak punya keanggotaan yang terikat, misalnya dengan kartu anggota atau iuran wajib. Fungsi Lekra di sini lebih pada jaring penghubung antara organ budaya satu dengan yang lainnya dan sekaligus mesin melek politik revolusioner.

Hubungan keduanya mungkin lebih tepat diistilahkan sebagai “keluarga komunis” –meminjam Saskia Elonara Wieringa, penulis buku Penghancuran Gerakan Perempuan. Istilah itu menggambarkan hubungan lentur ketimbang hubungan organisatoris dalam menunjukkan relasi PKI dengan organ-organ konsestannya.

Dalam temu kangen ini, para seniman Lekra juga menolak gambaran itu. Mereka berpendapat Lekra juga tidak satu. Hubungan PKI dan Lekra, juga Gerwani dan Pemuda Rakyat, seperti minyak dan air. Tak bisa bersatu. Dan ini belakangan menjadi masalah bagi Dipo Nusantara Aidit. Ia ingin menjadikan Lekra sebagai organisasi resmi di bawah PKI.

Menurut Joebaar Ajoeb dalam memoarnya Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia, menjelang akhir 1964, gagasan itu disampaikan kepada sejumlah anggota Pimpinan Pusat Lekra. “Jika Lekra setuju pada gagasan itu, yang praktis mem-PKI-kan Lekra, maka hal itu akan diumumkan secara formal. Tapi Lekra menolak gagasan itu. Bahkan Njoto, anggota Sekretariat Pusat Lekra yang juga wakil ketua II CC PKI, ikut dalam penolakan itu,” ujar Ajoeb.

“Kami di Lekra menolak. Saya juga menolak, karena tidak bisa, misalnya, seorang Pram diperintah menjadi merah,” ujar Oey Hay Djoen dalam Tuan Tanah Kawin Muda.

Dan yang hendak dimerahkan bukan saja Lekra, tapi juga lembaga lain seperti Gerwani dan Pemuda Rakyat. Karena tak berhasil, PKI membuat organisasi sendiri: Gerakan Wanita Komunis (Gerwis) dan Pemuda Komunis. Sementara di bidang kebudayaan, PKI membuat KSSR. Mereka juga memiliki media sendiri: Kebudayaan Rakjat.

Upaya Aidit dilakukan antara lain melalui rapat Pleno II CC PKI pada 1963. Salah satu resolusinya adalah Konferensi Nasional Sastra dan Seni, yang akhirnya diadakan pada 27 Agustus hingga 2 September 1964 –dengan nama Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR).

Dalam referetnya, “Dengan Sastra dan Seni yang Berkepribadian Nasional Mengabdi Buruh, Tani, dan Prajurit”, Aidit mengulang apa yang pernah dikatakannya. “Pekerjaan politik adalah otaknya partai, sedang sastra dan seni adalah hatinya partai. Orang komunis adalah manusia yang mempunyai otak dan hati yang terbaik. Oleh karenanya kaum komunis tidak menarik garis pemisah antara kerja politik dengan kerja kebudayaan.”

Setelah diskusi dengan partisipan, referat Aidit diadopsi sebagai program aktivitas kebudayaan revolusioner. Konferensi juga mendeklarasikan bahwa “Sastra dan seni harus diintegrasikan dengan tugas-tugas politik yang kongkret.”

Sejak itu, menurut Keith Foulcher, KSSR dijunjung tinggi sebagai pedoman semua kebijakan kebudayaan Lekra. Sekjen Lekra Joebaar Ajoeb membuat serial artikel yang diadopsi dari ceramahnya dengan judul “Mengapa dan Bagaimana Mengabdikan Kebudayaan kepada Buruh, Tani, dan Prajurit”. Judul itu mengindikasikan bahwa setelah KSSR, bukan saja formula “buruh, tani, dan prajurit” ditinggikan, tapi juga merefleksikan petunjuk dan ketentuan dari Aidit yang disebut “integrasi” dimulai. Sekalipun seringkali “integrasi” itu sendiri menjadi masalah dalam tubuh Lekra sendiri.

Setahun kemudian, peringatan 1 tahun Konferensi diadakan meriah dengan seminar yang menghadirkan sejumlah figur penting Lekra. Media Lekra melaporkan antusiasme atas keberhasilan perkembangan terarah dalam seni revolusioner, khususnya dalam hubungannya dengan aktivitas “turun ke bawah” (Turba). Bagi Keith Foulcher, kenyataan ini menunjukkan bahwa KSSR dan Lekra sama-sama peduli terhadap perkembangan seni dan kebudayaan Indonesia. Tapi tidak ada indikasi bahwa perjuangan itu mengambil tempat dalam kerja politik yang lebih luas saat itu, juga mengancam posisi Lekra.

Meski KSSR itu sendiri sering dianggap sebagai “cacat” dalam sejarah Lekra, tak ada “pertarungan” antara KSSR dan Lekra hingga meletus 30 September 1965. Tak terbayangkan bahwa peristiwa itu akan menjadi tahun yang tak pernah berakhir. Dan “cacat” itu, meski tak banyak diketahui orang, menjadi pembenaran sejarah versi pemerintah.



TAK satu pun para seniman, yang bertemu kangen ini, membicarakan pengalaman kelam mereka setelah 30 September 1965: ditangkap, disiksa, dibuang, dipenjara tanpa proses pengadilan. Mereka lebih banyak bercerita tentang proses penciptaan. Lalu masing-masing saling melengkapi metode penciptaan Lekra, yang dikenal dengan asas 1-5-1: kegiatan meluas dan kegiatan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individu dan kearifan massa, serta realisme sosialis dan romantik revolusioner.

“Kalau ada seniman Lekra tidak punya wajah 1-5-1, maka ia telah ditinggalkan,” ujar Amrus Natalsya, pelukis dengan teknik cukilan kayu, anggota Sanggar Bumi Tarung.

“Saya tak peduli 1-5-1. Pokoknya saya menulis dan saya pikir (hasilnya) sesuai dengan 1-5-1,” ujar penulis cerita pendek Martin Aleida.

“Satu-satunya lembaga yang membuat metode penciptaan adalah Lekra,” ujar Putu Oka.

Temu kangen berakhir.

Bagi saya sendiri, sejarah Lekra tetap tak bisa diabaikan dalam perkembangan kebudayaan di Indonesia. Pada akhirnya gajah-gajah itu hanya akan meninggalkan gading. Generasi Saut dan saya mungkin tak akan menemukan kebenaran tunggal mengenai posisi Lekra dan lembaga kebudayaan lainnya. Tapi sudah semestinya, seperti dalam permainan pinsut, semut selalu menang melawan gajah. Generasi sekarang harus membuat sejarahnya sendiri.*

Read More......

Wednesday, August 22, 2007

Pram, Peram

SEKIRA 10 tahun lalu, saya sempat bertandang ke rumah Pramudya Ananta Toer di Utan Kayu. Saya hendak mewawancarainya mengenai nasionalisme untuk majalah kampus saya, Hayamwuruk. Ini bukan kali pertama bagi Hayamwuruk. Dua tahun sebelumnya majalah ini pernah menampilkan wawancara mendalam dengan Pram, nama singkatnya, mengenai sastra Indonesia. Judulnya “Saya Sudah Tutup Buku dengan Kekuasaan Ini”. Karena pemuatan ini, petinggi kampus hingga militer ribut. Untung tidak kena bredel.

Sosoknya tegar dengan tubuh yang terlihat rapuh. Asap rokok mengepul terus dari mulutnya. Sempat dia menawari saya mengurus perpustakaannya yang penuh tumpukan koran. Saya menolaknya karena masih kuliah di Semarang. Tapi saya takjub dengan keuletannya melakukan kerja dokumentasi.



Pram menjadi sebuah nama sakral. Buku-bukunya dikopi dan dibaca secara sembunyi-sembunyi. Ia dibicarakan, bahkan jadi idola, di penghujung Orde Baru.

Pram sudah benar-benar menutup buku, bahkan menutup lembaran hidupnya. Tapi buku itu sendiri belum sepenuhnya rampung. Masih ada yang membukanya, mengoreksinya langsung di halaman tengah –tahun-tahun gemuruh ketika dia menjadi salah seorang pengurus Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Berawal dari sebuah rilis Masyarakat Pecinta Buku dan Demokrasi beberapa minggu silam. Isinya mengecam pelarangan buku-buku pelajaran sejarah, diikuti pembakaran, yang tidak mencantumkan label Partai Komunis Indonesia dalam peristiwa G30S. Rilis ini juga menyebar ke dunia maya.

Selang beberapa hari kemudian, Arya Gunawan mengirim posting di sebuah mailing list. Ia mempertanyakan kenapa rilis itu tidak mencantumkan pembakaran buku yang dilakukan Pramudya Ananta Toer di masa lalu. Dia mempertanyakan apakah para penandatangan, terutama orang macam Goenawan Mohamad dan Arief Budiman, tidak membaca terlebih dahulu rilis itu? Gayung pun bersambut.

Arya mendasarkan argumentasinya pada buku Prahara Budaya karya Taufik Ismail dan D.S. Moeljanto. Keduanya mengumpulkan makalah, kliping koran dan majalah yang terbit pada tahun-tahun itu untuk membuktikan adanya “prahara budaya”, di mana Lekra/PKI menyerang kelompok-kelompok di luar mereka. Sejumlah orang meragukan otentitas buku itu. Tapi Arya tetap berpendapat, selama belum ada karya lain, dia akan berpegangan pada buku itu.

Saya membaca buku itu tak lama setelah ia terbit. Isinya bikin bulu kuduk meremang, melihat keganasan Lekra, dengan bahasa yang berapi-api dan menohok. Buku itu nyaris membuat saya percaya.

Prahara Budaya bahkan menjadi rujukan banyak orang. Ketika Pram menerima Hadiah Magsaysay, yang menimbulkan polemik, buku ini menjadi pijakan penolakan beberapa orang. Mereka yang menolak mengherani anak-anak muda yang mendukung Pram tapi dengan alasan konyol: “Kalaupun mereka ketika itu masih bercelana monyet, atau bahkan belum lahir di dunia, toh mereka bisa membaca buku Prahara Budaya.” Saya membaca kembali polemik itu dalam buku Polemik Hadiah Magsasay dengan perasaan takjub sekaligus geli.

Betapa sulitkah dialog antara yang tua dan muda?

Saya merasa jengah dengan orang-orang tua. Pernah saya berselisih pendapat dengan sastrawan Ajip Rosidi. Kebetulan saya sedang mengerjakan biografi A.S. Dharta, salah seorang pendiri Lekra yang menjadi Sekjen Lekra pertama. Setelah meninggal dunia, Ajip menulis obituari di Pikiran Rakyat. Isinya: melulu soal kejelekan. Saya terperanjat kaget: sebegitu mendalamkah luka itu, sehingga dendam tetap ditancapkan di kala sang lawan sudah di liang lawat? Kenapa kecaman politik (bahkan cenderung masalah personal) selalu lebih menonjol ketimbang pembicaraan soal sastranya? Dia juga sibuk soal kekomunisan Dharta, belakangan senang ketika tahu bahwa Dharta sudah menjalankan ibadah salat.

Prahara Budaya bisa disalahpami jika tidak dibaca secara kritis. Buku itu sendiri hanyalah kumpulan guntingan koran, yang oleh penulisnya dikumpulkan dan dianalisis –atau lebih tepat diberi tafsir. Dalam ilmu sejarah, koran memang termasuk sumber primer, meski tidak sepenting arsip atau dokumen cetak lainnya. Tapi apapun sumbernya, tetap perlu dilakukan kritik sumber: siapa yang menerbitkan sumber itu, siapa penulisnya, apa motifnya, bagaimana jenis kertasnya, dan lain-lain.

Satu misal yang meragukan dalam buku itu, antara lain, mengutip berita di Harian Rakjat tanggal 3 Oktober 1965. Roysepta Abimanyu mempertanyakan kesahihan kutipan itu. Benar bahwa pada tanggal itu, dua hari setelah kudeta yang gagal itu, Harian Rakjat masih terbit. Tapi terbitnya harian Partai Komunis Indonesia ini juga sebuah pertanyaan. Siapa yang menerbitkan di kala “orang-orang” PKI sendiri digebuk di sana-sini?

Kudeta Kolonel Untung gagal begitu dimulai. Tentara, di bawah komando Mayor Jenderal Soeharto, langsung menyapunya. Fasilitas publik yang penting langsung dikuasai tentara. Koran-koran dibredel, kecuali koran Angkatan Bersenjata dan …. Harian Rakjat! Ada apa? Masih gelap. Tapi sebagian beranalisis bahwa Harian Rakjat dibiarkan tetap terbit, dengan redaksi berbaju hijau, dan berita yang mendukung “kudeta”, untuk membenarkan bahwa PKI yang melakukan kudeta. Artinya, penyunting buku itu kurang hati-hati atau tidak kritis dalam menyeleksi tulisan.

Pram sendiri punya pendapat soal buku itu. “Kalau sejarah Indonesia diibaratkan seekor cecak, maka buku tersebut hanya ujung buntutnya. Kehilangan konteks dari sejarah Indonesia sesungguhnya,” ujar Pram dalam Polemik Hadiah Magsaysay.

Alex Supartono pernah mengkritisi buku ini dalam skripsinya, “Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia”. Menurut Alex, pengantar Taufik Ismail dalam buku itu tidaklah analitis, selain ketidaksetujuannya pada marxisme dan pengalaman subjektifnya. DS Moeljanto sendiri hanya memaparkan berbagai peristiwa budaya yang penuh dengan pertentangan antara tahun 1946-1965 secara singkat, tapi tidak berhasil menunjukkan keterkaitan peristiwa-peristiwa itu.

Kelemahan lainnya, editor mengubah judul setiap tulisan, dan judul aslinya ditaruh di pengantar yang diberikan pada tiap tulisan. Selain itu di beberapa bagian tertentu diberikan komentar –seringkali tidak ada hubungannya dengan tulisan yang dikomentari. Tidak jelas kenapa ini dilakukan, tapi Alex melihatnya sebagai upaya editor untuk mengarahkan pembaca.

Beberapa tulisan tidak ditampilkan secara utuh. Misalnya pidato Pram di Universitas Indonesia yang menjelaskan realisme sosialis –belakangan terbit dengan judul Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Editor juga tidak menampilkan keadaan sosial-politik, di tingkat nasional maupun internasional. Pilihan pedebatannya juga tidak bermutu, seringkali personal: saling tuding, caci dan maki.

Alex melihat dua kesalahan Taufik Ismail dari epilog dalam buku itu. Pertama, menerima begitu saja bahwa G30S adalah pemberontakan PKI –satu hal yang masih diperdebatkan. Kedua, menganggap Lekra adalah cabang kebudayaan PKI.

Stephen Miller dalam diskusi di Jaringan Kerja Budaya, tidak bisa menerima gambaran Lekra sebagai alat PKI, yang dikembangkan dan dipertahankan selama masa Orde Baru. Gambaran itu juga dikembangkan oleh sejumlah budayawan terkemuka melalui buku serta puluhan artikel dan esai. Penulis yang paling menonjol mungkin Wiratmo Soekito dan Taufiq Ismail. Steph menggolongkan sebagian besar tulisan merupakan polemik politik saja, bukan penelitian sejarah. Tulisan Goenawan Mohamad malah dia golongkan penelitian sejarah.

Gaya Pram mungkin terlalu berapi-api, membikin kecut nyali lawan-lawannya. Tapi tindakan Pram juga bisa dilihat dari kerja jurnalistiknya. Dalam penelitiannya, “Pramoedya and Politics: Pramoedya Ananta Toer and Literary Politics in Indonesia, 1962–1965”, Steph menunjukkan, dari 155 artikel Pram di Lentera, hanya 9 (6%) yang secara langsung terkait dengan polemik kebudayaan di masa itu, dan 12 artikel (7.5 %) ditujukan serangan kepada orang-orang liberal dan konservatif. Lebih dari 50% (81 artikel) bertemakan sejarah, khususnya mengenai kemunculan bahasa dan sastra Indonesia modern serta hubungannya dengan perkembangan dan pertumbuhan nasionalisme Indonesia.

Pembakaran buku oleh Pram masih kontroversial. Tentu saja, dalam sejumlah wawancara, Pram tidak mengakui tuduhan itu.

“Tidak benar saya pernah membakar buku-buku karya orang lain. Saya justru berterima kasih pada setiap usaha mengabadikan pikiran Indonesia dalam bentuk buku,” ujar Pram pada 1995.

Menurut Steph, penindasan terhadap orang kanan, orang Manikebu, juga terjadi pada orang kiri. Kalau Mochtar Lubis ditahan akhir tahun 1950-an, Pram ditahan awal tahun 1960-an. Aktivis Lekra juga dihajar, khususnya di daerah. Jadi memang ada situasi pergulatan kekuasaan waktu itu.

Dalam kasus “pembakaran” buku oleh Pram, layak disimak pendapat Martin Aleida, juga dalam diskusi di JKB. Menurutnya, adalah berbahaya dan menyesatkan mempersonifikasikan Lekra dengan Pram. Apa yang ditulis Pram di lembaran budaya Bintang Timur tidak mencerminkan garis Lekra. Kadang-kadang dia anarkis di sana. Tapi kalau ditendang, Lekra akan kehilangan.

Basuki Resobowo, dalam Bercermin di Muka Kaca, menulis: “Siapa saja, selama tidak menghalangi jejak Lekra, tetap diajak jalan bersama,” ujarnya. Dia mencontohkan rombongan sastrawan kiri yang mengajak WS Rendra berkeliling ke negara-negara komunis dan sosialis, dari Moskwa lewat Peking sampai Korea Utara.

Dan buku Prahara Budaya pun, dalam konteks sejarah sastra, makin menambah gelap sejarah sastra itu sendiri.

Penelitian Keith Foulcher secara khusus mempelajari pergulatan gagasan tentang kesatuan atau keterpisahan antara seni (sastra) dan politik. Robohnya Orde Lama oleh Foulcher tidak hanya dipandang sebagai awal kebangkitan dan kejayaan Orde Baru, tapi juga kemenangan pengikut pandangan sastra universal. Kelompok Manikebu mengaku tidak mau meletakkan politik di atas seni, atau sebaliknya –sebuah pernyataan yang juga politis. Tapi ada juga orang-orang Manikebu seperti Goenawan Mohamad, Satyagraha Hoerip, dan Arief Budiman yang belakangan lebih terbuka dan tak menyerang bekas musuh-musuhnya.

Terakhir, saya hanya ingin menyitir pandangan Arief Budiman, salah seorang penandatangan Manikebu yang pada 1968 menolak nilai universal dalam kesusastraan, dan pada 1993 bersama Ariel Heryanto melontarkan gagasan “Sastra Konstekstual”, bahwa sejarah kesusastraan Indonesia modern sudah tidak sehat lagi. Berbeda dari masa-masa sebelumnya, pada masa ini kesusastraan “universal” mencapai zaman keemasan. Kesusastraan ini berjaya secara mapan, hampir-hampir tanpa saingan dan tandingan.

Saya pikir anak muda sekarang jauh lebih kritis. Mereka tak mau tafsir tunggal, bahkan dari pihak yang sekarang kalah sekalipun. Dalam sebuah diskusi temu kangen seniman, sebuah acara rutin mantan anggota Lekra, sikap itu tampak jelas. Saut Situmorang pernah mengeluhkan generasinya yang terjepit di antara dua gajah ini. Saya menyalahkan kenapa mau terjepit atau diam saja kena jepit. Inilah momen bagi generasi muda untuk membuat sejarahnya sendiri. Dalam kesempatan lain, saya juga meminta orang-orang tua ini untuk juga bersikap kritis terhadap diri mereka sendiri, semacam selfkritik: apa yang dilakukan di masa lalu.

Saya suka dengan pernyataan teman asing Nirwan Dewanto, yang dikutip dalam pengantar buku Polemik Hadiah Magsaysay: “Sastra kalian terkubur oleh kekeramatan Pramoedya. Juga oleh hingar-bingar kalian sendiri.”

Pram terus diperam tapi justru terus melahirkan generasi muda pendukungnya.*

Read More......

Friday, May 25, 2007

Keremajaan Klara Akustia

DESA Cikondang, Cianjur, membentangkan hamparan sawah dan pegunungan yang menghijau dan segar. Sebuah rumah sederhana dan lumayan besar terlihat. Halamannya luas. Di sisi kanan gerbang terpampang papan nama sebuah yayasan. Rumah ini rasanya tak pernah sepi. Beragam kegiatan warga setempat meramaikannya. Sangat kontras dari kondisi rumah bercat biru yang terletak tak jauh dari rumah ini. Sepi.

Seorang lelaki tua berkacamata tebal duduk di beranda rumah, membaca berita hangat di koran pagi. Suara gemericik air sungai terdengar lirih dari kejauhan. Sesekali ditingkahi derit kereta melaju pelan. Saya mengenalnya setahun lalu, dan setidaknya sebulan sekali bertandang ke rumahnya.


Rumah menjadi bagian penting dalam pengalaman batin dan proses kreatif seorang penulis. Datang ke rumah ini seolah menggapai tempat yang melahirkan sajak-sajaknya. Atau lebih tepat lagi, mengkaji hubungan antara pengarang, karya sastra, dan lingkungannya. Dari sini pula saya memperoleh dan membaca Rangsang Detik, karya yang mencatatkan perjalanan kreatif, pengalaman hidup yang menempanya, serta pemikirannya dari 1949-1957.

Rumah ini akan selalu mengingatkannya ketulusan hati seorang ibu sekaligus pada sebuah kepedihan. Ini rumah masa kecilnya. Di sini pula ia dilahirkan, 7 Maret 1924. Namanya Endang Rodji –tapi kelak ia menggunakan banyak nama untuk karya-karyanya: Adi Sidharta, A.S. Dharta, Klara Akustia, Kelana Asmara, Rodji, Jogaswara, Barmara Putra, dan mungkin masih ada yang lain.

Tapi kasih sayang orangtuanya tidaklah genap. Hatinya luluh lantak dihantam kesedihan. Ibunya, Fatimah, meninggal dunia karena sakit pada 1930. Kepergian ibunya, orang yang biasa memanjakannya, benar-benar membuat dia sangat kehilangan. Disusul kemudian ayahnya, Moh. Usman. ”Saya seolah terlempar ke neraka,” ujarnya kepada saya. Setelah melewati pengalaman-pengalaman sedih, dia akhirnya pindah ke Bandung, lalu menetap di Jakarta.

Tapi Priangan adalah tanah kelahirannya. Dari sinilah ilham dan segala nafas kehidupan membuncah dalam dirinya. Priangan mengasah rasa, emosi, gairah, dan segala gerak di lubuk hati manusia ini; bergerak merangkak pada sikapnya untuk memanusiakan manusia. Lihat saja betapa ia masih menyebut nama “ibu”, untuk menggambarkan betapa kejamnya perang –sehingga ia menyatakan: karena itu aku kini pahlawan anti perang. Kenangan dan kekaguman pada ayah angkatnya, Okayaman atau Barmara, seorang eks-Digulis, juga terpatri dan mempengaruhi sikapnya: panenmu di hari fajar berdarah / mekar menjadi panen pembebasan.

Priangan pula yang memberikan energi kepada sajak-sajaknya yang mengabarkan kegandrungan kepada kebesaran manusia. Banyak sajaknya bernafaskan kegairahan bumi tempatnya dilahirkan, menyerap saripati dari semangat kepahlawanan para pejuangnya: “Rukmanda”, “Cadaspangeran”, “Bara di Priangan”. Sajak-sajak ini begitu bergumuruh, menantang segala yang menghadang perlawanan demi pembebasan manusia, tapi juga liris; sepi, merindu, melilitkan kenangan pada tanah kelahiran.

Ia juga tak terbersit pergi dari akar budayanya. Ia menulis sajak dalam bahasa Sunda. Karyanya antara lain termuat dalam buku Kantjutkundang, yang disusun oleh Ajip Rosidi dan Rusman Setiasumarga dan terbit pada 1963. Dalam buku ini, ada sejumlah sajaknya: “Poe Anyar” dan “Lagu”, “Kidung Sundayana”, serta “Talatahna Anepakeun”. Kedudukan dan pengaruhnya dalam bahasa dan kesusastraan Sunda juga tak bisa dibilang kecil. Klara Akustia-lah yang kali pertama mendeklamasikan sajak (bebas) Sunda dengan gaya modern, dan menyejajarkan namanya dengan sastrawan Sunda lainnya.

Bahkan sisa hidupnya dia kerahkan untuk tanah Priangan. Di kamarnya, di dalam sebuah kardus, teronggok tumpukan kertas usang seribuan halaman: Kamus Bahasa Sunda-Indonesia. Inilah kerja terakhirnya yang belum usai, menyisakan sentuhan tangan lain untuk meneruskan enam abjad terakhir yang tersisa.


TAPI pengertian rumah tak mesti sekaku itu. Jakarta bagaimana pun rumahnya juga, tempat dia menempa segala pengalaman hidup. Dalam istilah Pramoedya Ananta Toer, dalam tulisannya pada 1955, Jakarta hanyalah kelompokan besar dusun. Tak ada yang berubah dari sejak masuknya kompeni. Tak ada tumbuh kebudayaan kota yang spesifik, semua dari daerah atau didatangkan dan diimpor dari luar negeri: dansa, bioskop, pelesiran, minuman keras, dan agama. Dan bagi Klara Akustia, akhirnya, orang-orang datang dan berkumpul ke Jakarta, menjadi warga Jakarta, untuk mempercepatkan keruntuhan kelompokan besar dusun ini. Tambah banyak yang datang tambah cepat lagi.

Tapi itu sepuluh tahun kemudian. Pada saat Klara Akustia menginjakkan kakinya di Jakarta, kondisinya jauh lebih parah lagi. Jepang sudah menguasai Jakarta, menjadikannya hancur dalam puing-puing. Mayat bergeletakkan di mana-mana. Suasana ini mengoncangkan jiwanya. Ia tergerak, berjuang, menjalani pertempuran demi pertempuran, bertemu dengan kawan dan lawan. Di masa inilah ia mulai menulis sajak. Berdasarkan penuturannya, sajak pertamanya dimuat di suratkabar Tjahaja, Bandung. Isinya mengenai semangat para pemuda yang bergolak, membela tanah air. Sayang, saya belum mendapatkan sajak ini –juga, kalau ada, sajak-sajak lainnya.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia rupanya bukanlah akhir dari perjuangan. Pergolakan belum lagi mengendap. Tak ada perombakan dalam sistem sosial dan budaya masyarakat. Semangat Revolusi Agustus, yang tertanam di jiwanya, bergejolak ketika kemerdekaan sejati belumlah terwujud. Dan inilah masa-masa yang membutuhkan agitasi, daya dobrak, untuk memenuhi tuntutan zamannya. Satu zaman yang membutuhkan generasi baru, yang lebih lengkap, lebih sempurna, lebih kuat dari angkatan sebelumnya, seperti ia nyatakan dalam esai “Angkatan 45 Sudah Mampus”. Hal ini pula tampak dalam sajak-sajak awalnya, yang kental membicarakan soal kasih dan cinta, ketetapan hatinya sebagai pelaksana hari esok, meski mewarisi generasi lama, reruntuk lapuk yang kurombak (“Aku Pelaksana”). Tapi sejak awal dia tak hendak berjalan sendirian. Dalam sajak “Hati dan Otak Kita”, secara tegas dan pasti, dia mengajak: kawan-kawan yang masih tidur / tinggalkan mimpi 40 bidadari.

Ini juga masa-masa keremajaan cintanya bersemi dan berlabuh di hati seorang perempuan: Aini atau ia biasa sebut Klara. Tapi pergolakan revolusi pula yang memisahkan keduanya. Klara dikawin-paksa seorang serdadu Belanda dan dibawa ke negerinya –sejak itulah ia memakai nama Klara Akustia: setia kepada Klara, juga setia kepada cita-cita perjuangan. Kesedihan dan kekecewaan, yang berbalut dengan kemauan untuk tak menyerah, menyelimuti hatinya. Perasaan in ia terakan dalam sajak “Triompator Esok”: Tapi kutahu tuhan kekerasan ini / esok menyerah kepada tuhan rasio.

Usai kemerdekaan sepenuhnya, tak ada hari dilewatkannya kecuali untuk kerja. Menjadi wartawan Harian Boeroeh di Yogya, memimpin sejumlah serikat buruh, ikut dalam organisasi pemuda dan buruh internasional, PEN Club-Indonesia, serta sejumlah lembaga kebudayaan. Inilah aktivitas dan lingkungan yang memperkaya pengalaman batinnya sebagai sastrawan dan anak zamannya. Menurutnya, kerja itu nikmat, dan kenikmatan bukanlah monopoli satu orang. Itulah yang dia sampaikan kepada Rukiah Kertapati dalam “Kata Biasa”.

Kata orang, kita satu bahasa
mari adik, nikmat itu bukan monopoli
kita resapkan kepada mereka yang belum merasa.


Tahun 1950 ibarat kelahirannya kembali. Langkahnya lebih pasti, lebih kongkret. Di lapangan kebudayaan, setelah esainya menimbulkan polemik di jagat kesusastraan Indonesia, ia menggerakkan konsep yang lebih luas: di mana posisi sastrawan atau seniman di dalam perubahan masyarakat. Dalam esainya “Sekitar Angkatan 45”, ia menulis: “Ya, dan kita akan terus / dari agitasi ke organisasi / dari elan keinginan / ke energi pelaksanaan!”

Dan yang menghidupkan kata adalah perbuatan. Pada 17 Agustus 1950, Klara Akustia mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) –yang secara salah kaprah sering dicap organ Partai Komunis Indonesia (PKI)– bersama M.S. Azhar dan Njoto. Dia ditunjuk sebagai sekretaris jenderal (Sekjen) sekaligus redaktur Zaman Baru, penerbitan resmi Lekra. Sebagai Sekjen, dia aktif menjelaskan realisme sosialis, juga berpolemik dengan sastrawan lain.

“Seorang sastrawan tidak mungkin dan tidak bisa berdiri ‘netral’, terlepas dari pengaruh lingkungannya,” tulisnya dalam “Kepada Seniman Universal”, menanggapi tulisan kritikus HB Jassin yang memajukan konsep humanisme universal, sementara ia sendiri menawarkan konsep realisme sosialis atau realisme aktif. “Antara Bumi dan Langit” adalah sebuah sajaknya yang ditujukan untuk HB Jassin. Kita berdua sama-sama tidak bebas / kau terikat pada dirimu / aku pada Manusia dan zaman kini.

Rangsang Detik hanyalah karya satu-satunya yang sempat terbit. Kata dan kalimat dalam sajak-sajaknya, segera dapat bergetar kepada hati dan pikiran manusia, juga menjadi barikade ke jantung perasaan dan pemikiran. Dalam menulis sajak, seperti ditunjukkan dalam esainya ”Surat Kertas Hijau Sitor Situmorang”, ia mengajukan sebuah resep –meski untuk menimbang sesuatu sajak tidak ada resep tunggal. Pertama, adanya pribadi penyairnya dalam sajak-sajaknya. Kedua, mengharukan dan ini sangat subjektif, tergantung kepada sejarah pertumbuhan, suasana dan posisi masing-masing pembaca. Ketiga, setiap kata dan kalimat membawa ide dan formulasi yang padat. Dan saripatinya adalah kesadaran dan keyakinan akan perlunya harmoni antara keindahan dan realitas atau kehidupan.

“Keindahan adalah kehidupan” dan karenanya “Keindahan yang benar-benar tertinggi adalah keindahan yang dijumpai manusia di dunia nyata dan bukanlah keindahan yang diciptakan oleh seni,” demikian N.G. Tjernisevski dalam Hubungan Estetik Seni dengan Realitet, yang diterbitkan Bagian Penerbitan Lekra pada 1961.

Karenanya, ia menyambangi Si Amat; seorang buruh tapi kadang juga jadi tukang becak, yang minta merdeka dari penjajahan sepiring nasi dan mau dunia kembali satu dan sama. Ia mengemukakan penari Senen bernama Nyi Marsih dan Otjim “anak revolusi” yang menanti kapan merdeka, merdeka untuk semua. Ia menuntut keadilan dan pembebasan atas penindasan dan penghisapan di Madiun, Ngalihan, Korea, Vietnam, di mana-mana, di negeri-negeri yang derita rakyatnya masih bergolak, sambil mengagungkan pejuang-pejuangnya. Ia juga tak lupa mengajak untuk merapatkan barisan. Buruh adalah golongan masyarakat yang menjadi titik perhatian dalam sajak-sajaknya, yang tak lepas dari labuhan hatinya. “Cerita pada 1 Mei” misalnya, yang ditujukannya kepada Vaksentraal SOBSI, menggambarkan kerelaannya untuk menyerahkan dirinya utuh, tidak lagi butatuli memperdewa ke-aku-anku.

Tapi ia juga tak berhenti pada satu jalan. Pada 1955, tahun-tahun menjelang pesta demokrasi, Partai Komunis Indonesia menawarinya untuk mencalonkan diri sebagai anggota Konstituante lewat calon-tak-berpartai. Tawaran itu membuatnya bersoaljawab di dalam diri sendiri, menimbulkan konflik dua keakuan. Tapi ia memilih jalan itu, karena pencalonan itu memberikan “kesempatan kepadaku untuk bisa lebih kongkret menguji pelaksanaan segala maksud baik dalam hatiku dan dalam diri orang lain,” demikian esainya di Harian Rakjat, 7 Desember 1955. Dalam sajaknya “Rakyat Memilih” dia mengikis kebimbangan yang semula bertahta di dalam hati: Dan kita maju / berani memilih dari detik ke detik.

Ujung dari perjalanannya ini pun sampai. Klara Akustia dikeluarkan dari Lekra karena telah melakukan “kemesuman borjuis” –istilahnya sendiri. Ia mengakui perbuatan itu untuk menyadarkan perlunya otokritik, bukan hanya kritik. Pada 1958, jabatannya sebagai Sekjen dicabut dan beralih ke tangan Djoebaar Ajoeb. Juga keanggotaannya di Konstituante. Sajak “Berita dari Partai” yang menutup kumpulan puisi ini, menyiratkan sikapnya: selamat tinggal kelampauan / selamat datang keakanan.

Berita Partai tegakkan panji
pertempuran terhadap diri sendiri
hadapkan diriku pada pilihan:
kegairahan dari kehidupan
lacuti nafsu perseorangan
atau layu dalam mati sebelum mati.


Itulah sajak penutup daripada kumpulan sajak ini, pembuka daripada penghidupannya yang lebih baru.


KLARA Akustia kembali menetap di bumi Priangan. Selepas pencabutannya sebagai Sekjen Lekra, ia pulang ke kampung halamannya. Di sana ia mengajar kursus bahasa Inggris untuk masyarakat sekitar, juga menulis sajak –dalam kesepian yang memisahkan segala. “Temui Aku”, sajak yang tak termuat dalam kumpulan puisi ini, menyiratkan kegalauan hatinya.

Temuilah aku
dalam keriuhan yang lahirkan perubahan
di mana kerja adalah cinta
di mana remaja adalah senantiasa.


Kerja, ya itulah yang selalu ia damba. Pada 1962, bersama Hendra Gunawan, ia mendirikan Universitas Kesenian Rakyat di Bandung. Dalam peresmiannya, Presiden Soekarno mengatakan bahwa ini universitas pertama di Indonesia dalam bidang humaniora. Inilah salah satu cita-citanya untuk mensarjanakan masyarakat Indonesia. Tapi keinginan itu belum terwujud sepenuhnya ketika iklim politik berhembus ke kanan. Terjadi peristiswa terkelam dalam sejarah Indonesia pada 1965. Ia masuk penjara di Kebonwaru, Bandung. Selepas dari penjara, tahun 1978, sekali lagi ia bersandar di rumah masa kecilnya. Tapi sakit pula yang menggerogoti tubuhnya. Klara Akustia meninggal dunia pada 7 Februari 2007.

Melalui sajak-sajaknya, ia telah memilih untuk tak mau bersibuk dengan dirinya sendiri, mengakui satu-satunya realitas adalah egonya sendiri, dan karenanya menolak terkurung di menara gading. Ia memilih bersoal-jawab atas masalah-masalah yang dihadapi manusia-manusia di sekitarnya, dengan hasrat memecahkan persoalan-persoalan itu. “Hasrat akan sesuatu yang baru adalah sumber kemajuan,” ujar G. Plekhanov dalam Seni dan Kehidupan Sosial, yang diterbitkan Bagian Penerbitan Lekra.

Ia tak jemu mengajak manusia bergerak dan ikut dalam arus perubahan. Tapi ia juga orang yang tak henti-hentinya mencari generasi-generasi muda terbaik. Pramoedya Ananta Toer, novelis tetralogi Bumi Manusia, satu di antaranya. Dan ia percaya keremajaannya akan terus hidup, seperti tersirat dalam sajaknya, “Rukmanda”:

Aku kini tiada lagi
bersatu dengan bumi tanahair tecinta
tapi lagu aku tamatkan
bersama bintang seminar kelam
dengan debar jantung terakhir
yang melihat fajar bersinar
kelahiran tunas penyambung keremajaanku.


Pada akhirnya rumah ini mewujudkan keinginannya untuk pulang, sebuah konsep yang memiliki magnetnya sendiri. Pulang berarti masuk kembali ke jagad lama yang sudah sangat dia kenal: rumah, sejumput kenangan masa kecil, lalu bau tanah-bumi di pemakaman keluarga, tempat dia kemudian dimakamkan.

Rangsang Detik ini hanyalah penanda, bahwa yang pergi tetaplah akan dikenang, yang tinggal akan meneruskan keremajaannya. Tapi juga seperti judul ini, semuanya bermuara pada gerak, kerja, perubahan –dan itulah kenapa buku ini diberi judul Rangsang Detik.*

Hanjawar, Februari 2007
Budi Setiyono

Read More......

Rangsang Detik

TERBIT sudah. Memang telat dari ancangan semula, yang akan meluncurkannya berbarengan dengan peringatan 50 hari meninggalnya sang penulisnya. Tapi yang penting, ia kini sudah hadir kembali setelah setengah abad tenggelam dalam pusaran sejarah sastra Indonesia yang condong ke “kanan”.

Saya tak tahu kapan rencana penerbitan ulang ini muncul. Jauh sebelum saya mengenal penulisnya, Klara Akustia, dua pemuda sering datang ke rumahnya. Berdiskusi. Bercengkerama bak bagian dari keluarga. Mereka juga mencetak ulang kumpulan puisi ini dalam format sederhana. Hanya satu eksemplar, semacam proyek percontohan. Belakangan, ketika saya lebih sering ke sana, rencana penerbitan ulang ini sudah berjalan. Kabarnya, jauh sebelum sastrawan Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia, dia sudah berpesan kepada anaknya agar menerbitkan karya-karya Klara Akustia.

Saya melihat penulisnya melakukan koreksi di sana-sini. Baginya, penerbitan ulang suatu karya harus melihat konteks zaman. Saya pun didapuk membuat kata pengantarnya. Saya ingat pesannya agar membaca buku-buku George Lucaks, Ilja Ehrenburg, hingga Maxim Gorky.

Saya membaca cetakan pertamanya. Kemasannya sederhana. Di kulit muka tergores buah tangan pelukis Basuki Resobowo: tulisan Rangsang Detik. Tapi di cetakan kedua, ada keinginan menampilkan wajah baru.

Pelukis Jeany Mahastuti membuatkan kulit muka. Pesan yang ingin disampaikan adalah perubahan (pantarei). Lalu jadilah gambar obor dalam lingkaran. Warnanya mencolok. Saya kurang tertarik. Untuk sebuah buku, terlalu kaku. Kurang menarik pembaca untuk membelinya. Saya usulkan agar sketsa penulisnya saja yang ditampilkan dalam sampul. Lebih elegan. Toh tak semua orang mengenal wajahnya.

Saya membuat kata pengantar yang mengaitkan pengalaman dan pemikiran penulisnya yang melahirkan puisi-puisi itu. Kata pengantar ini diletakkan di bagian awal (prolog). Eka Budianta belakangan juga menulis pengantar, yang kemudian dimasukkan sebagai epilog. Menurut Andreas Harsono, rekan saya di Pantau, pengantar saya mirip gaya tulisan orang-orang Lekra. Saya tak tahu di mana kemiripannya, karena saya belum menyelami gaya tulisan orang-orang Lekra –sekalipun saya sudah membaca buku-buku soal Lekra dan karya-karya penulis Lekra.

Saya tak bermuluk-muluk untuk meletakkan posisi kepengarangannya dalam sejarah sastra Indonesia. Tapi saya berusaha dengan mencari bahan-bahan yang mungkin didapat. Saya masih mencari puisi-puisi lainnya di luar kumpulan puisi ini terbit. Saya mesti mencari puisinya dalam bahasa Sunda –menurut sastrawan Sunda R.A.F., Klara Akustia adalah pelopor dalam puisi Sunda. Juga dalam bahasa asing. Dalam sebuah surat yang dimuat di Harian Rakjat, Kas Widjaja dari SOBSI cabang Prabumulih, menceritakan perjalanannya ke Moskow dan Chekoslowakia pada 1951, dan orang-orang di sana mengenal dan menanyakan nama Klara Akustia.

Waktu masih berjalan. Dan detik demi detik terus merangsang untuk mewujudkannya.*

Read More......

Monday, May 07, 2007

Luka dari “Saudara Tua”

DESEMBER 2000, Koichi Kimura dan Mardiyem bertolak ke Tokyo, Jepang. VAWW-NET Jepang (Violence Against Women in War-Net Work), lembaga yang mengundang mereka, lagi menggelar Pengadilan Rakyat Perempuan Internasional (Tribunal Tokyo). Ini sebuah peristiwa penting atas pengalaman yang selama 35 tahun seolah menguap begitu saja. Jepang kalah perang dengan menyisakan luka pada ratusan ribu perempuan di Asia.

Pengadilan ini hendak menuntut pemerintah Jepang sebagai penjahat perang yang melakukan sistem perbudakan seks selama Perang Dunia II. Pengadilan ini dihadiri oleh negara-negara di Asia dan Belanda yang mengalami perbudakan seksual seperti Indonesia, China, Taiwan, Korea Utara, Korea Selatan, Malaysia, Timor Leste, Malaysia, Filipina, dan Belanda.

Keputusan pengadilan diambil di Den Haaq, Belanda, setahun kemudian. Disebutkan, Kaisar Hirohito, para petinggi militer, dan birokrat sipil dianggap bersalah. Selain itu pengadilan menuntut pemerintah Jepang meminta maaf secara individu kepada para korban, memasukkan sejarah Jugun Ianfu Asia ke dalam kurikulum pendidikan sekolah di Jepang, serta memberikan kompensasi berupa dana santunan.

Mardiyem pernah menjadi Jugun Ianfu dan mengalami kekejaman masa Jepang. Sejak 1993, dialah perempuan korban kebijakan Jepang yang berani bersuara. Kimura seorang teolog dan aktivis kemanusiaan asal Jepang. Pernah tinggal selama 14 tahun di Indonesia, mengajar di Sekolah Tinggi Abdiel Salatiga. Dia adalah orang pertama yang menemukan kasus Jugun Ianfu di Indonesia pada 1992. Dia sering menulis artikel mengenai Jugun Ianfu Indonesia di media nasional maupun media di Jepang. Juga hadir di forum-forum internasional, dan mewakili Indonesia.

“Dia ibarat pembuka jalan ke forum internasional,” ujar Eka Hindra.

Eka sudah terlibat dalam kerja advokasi Jugun Ianfu secara independen sejak 1999. Dia juga hadir dalam pertemuan itu sebagai wartawan Kantor Berita 68H Jakarta. Tapi kerjasamanya dengan Kimura baru terwujud dua tahun kemudian.

Saat itu Kimura dan Mardiyem kembali menghadiri pertemuan di Pyongyang, Korea Selatan, yang lebih membahas bagaimana memecahkan masalah Jugun Ianfu. Sepulangnya dari Pyongyang, Kimura dan Eka Hindra mendiskusikan hasil pertemuan itu. Satu masalah di Indonesia, yang juga ditanyakan sejumlah aktivis di Asia, adalah tidak adanya media advokasi. Di luar, sejumlah buku sudah tersedia, bahkan menjadi wacana publik.

“Bagaimana pendapat kamu?” tanya Kimura.

“Okay. Kita jangan buang waktu lagi. Kita tidak tahu berapa tahun Mardiyem bisa mempertahankan memorinya sebagai korban perang.”

Lalu mulailah keduanya melakukan riset dan wawancara dengan Mardiyem. Tapi baru satu tahun berjalan, Kimura memutuskan pulang ke Jepang dan menetap di kota Fukuaka. Pekerjaan ini praktis menempel di pundak Eka. Tanpa dukungan dana, seringkali riset independen ini terbengkalai. Eka harus meninggalkan riset ini sementara, mencari uang dan menabung, lalu kembali menekuni risetnya. Ibarat bawang, selapis demi selapis, Eka menggali memori Mardiyem agar mendapatkan kisah yang utuh.

November 2006, Eka hendak mengakhiri wawancara dengan Mardiyem. Dia sudah lelah. Memori dan psikis Mardiyem juga punya batas.

Persis sepuluh hari sebelum deadline, tiba-tiba keajaiban seolah datang, meski menjadi saat-saat terberat. Banyak informasi penting dari Mardiyem, yang selama wawancara sebelumnya tak pernah keluar, meluncur deras. Semuanya detil.

Tapi malam itu, Mardiyem yang sudah kelihatan lelah memaksa untuk melanjutkan wawancara. Dan ”perselisihan” pun terjadi.

”Apa lagi yang ditanyakan? Saya capek!”

”Besok saja.”

”Nggak, sekarang!”

Eka menangis.

”Kita harus sabar. Kalau Bu Mardiyem gak sabar, perjuangan kita berantakan,” ujar Eka sambil terisak.

Eka juga lelah. Sudah empat tahun lebih dia bergelut dengan riset ini, menghabiskan waktu dan uang pribadinya.

”Biar, saya tak peduli!”

Tapi akhirnya Mardiyem mengalah. Dia juga orangtua yang tahu diri. Keesokan harinya, dia meminta maaf. Eka bisa memahami, ada tekanan emosional yang membuat tekanan darah Mardiyem melonjak. Apalagi masyarakat masih memadang miring Jugun Ianfu. Eka mengantarnya ke Puskesmas. Dan untuk kali pertama, setelah empat tahun lamanya, wawancara berjalan dengan sangat kaku.

”Dia hidup dengan luka perang,” ujar Eka kepada saya.


"AKU diberi nama Momoye dan menempati kamar nomor 11. Sejak itu semua orang memanggilku Momoye. Nama Mardiyem telah hilang di Telawang,” tutur Mardiyem, yang saat itu berusia 13 tahun, dalam buku Momoye, Mereka Memanggilku.

Kamarnya berukuran 3 x 2,5 meter. Di dalamnya sudah tersedia segala perabotan. Ranjang. Dipan. Kelambu. Selimut. Meja dan dua kursi. Ada juga kastok atau gantungan baju. Di sudut kamar terdapat sebuah ruangan kecil yang hanya dibatasi kain. Cairan pembersih kemaluan dalam enam botol sudah tersedia. Firasat buruk hadir di benak Mardiyem, menguatkan kekhawatirannya akan dijadikan “perempuan nakal”.

Semestinya Mardiyem jadi penyanyi. Keinginan inilah yang mendorongnya berangkat ke Borneo, ikut kelompok sandiwara keliling Pantja Soerja. Kekhawatiran pertama muncul sebelum pemberangkatan. Mardiyem harus diperiksa kesehatannya, yang anehnya, termasuk daerah kemaluannya, di klinik dokter Sosrosoedoro –yang belakangan berubah nama menjadi Shogenji Kango dan menjadi walikota Banjarmasin. Sosrosoedoro pula yang dikabarkan mencari tenaga perempuan untuk pelayan rumah tangga, pelayan, koki restoran, dan pemain sandiwara. Tapi begitu sampai Banjarmasin, nasib berubah arah. Mardiyem, bersama 23 perempuan lainnya, harus melayani kebutuhan seks tentara Jepang dan sipil.

Mardiyem tak bisa melupakan perkosaan pertamanya karena begitu menyakitkan. Dia sendiri belum mengalami menstruasi.

”Setelah saya diperkosa oleh laki-laki brewokan, pembantu dokter yang memeriksa kesehatan saya pertama di Telawang, hari pertama di Asrama Telawang, saya dipaksa melayani 6 orang laki-laki padahal waktu itu saya sudah mengalami pendarahan hebat,” ujarnya.

Mardiyem terpenjara. Semuanya serba diatur. Sekalipun ada saat-saat tertentu diperbolehkan keluar asrama, tapi diawasi begitu ketat. Di jalan mereka akan dipandang sinis oleh penduduk sekitar, yang menyebutnya ransum Jepang. Para perempuan nakal di Telawang menganggap mereka sebagai pesaing.

Di asrama setiap saat dia harus siap melayani hasrat seks para tamu. Sistem pembayaran dilakukan seperti membeli karcis bioskop. Ada perbedaan harga bagi kalangan serdadu dan perwira Jepang. Siang hari, untuk pangkat serdadu, harus membayar 2,5 yen, sementara pukul 17.00-24.00 membayar 3,5 yen. Pukul 24.00 sampai pagi untuk pangkat perwira, membayar 12,5 yen.

Meski ada sistem pembayaran, Jugun Ianfu tidak menerima sepeser pun. Mereka cuma menerima karcis dari tamu yang datang. Karcis-karcis itu harus dikumpulkan. Nantinya bisa ditukarkan dengan uang kalau mereka selesai bekerja di asrama. Namun janji itu kosong belaka.

Menolak tamu berarti siksaan. Mardiyem mengalaminya. Dia menolak melayani pengelola Asrama Telawang karena baru mengaborsi paksa kandungannya yang berumur lima bulan. Akibat pukulan dan tendangan bertubi-tubi, dia pingsan hampir enam jam. Kini, dia mengalami cacat fisik dan trauma secara psikologi dan seksual.

Mardiyem beruntung bisa kembali ke Yogyakarta pada 1953, sekalipun dia harus menanggung beban, mendapat cercaan sebagian masyarakat yang memandangnya sebagai ransum Jepang.


SEMENTARA itu di Pulau Buru, tempat buangan orang-orang kiri, sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawannya menemukan kenyataan yang mengejutkan: adanya buangan sebelum mereka, para perawan remaja yang kini telah jadi nenek, orang-orang dari Jawa, yang dijanjikan akan disekolahkan oleh Jepang di Tokyo dan Singapura.

Pram menuliskan kisah mereka berdasarkan penuturan orang kedua dengan gayanya yang khas. ”Surat kepada kalian ini juga semacam pernyataan protes, sekalipun kejadiannya telah puluhan tahun lewat,” tulis Pram dalam Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer.

”Aku percaya kalian tidak akan suka menjadi korban bangsa apapun. Juga tidak suka bila anak-anak gadis kalian mengalami nasib malang seperti itu. Artinya, kalian juga tidak akan suka bila ibu-ibu kalian –para perawan remaja pada 1943-1945– menderita semacam itu. Itu sebabnya kukukhususkan surat ini pada kalian.”

Pram lebih menceritakan kehidupan mereka sebagai ”orang buangan yang dilupakan”. Terutama kisah Siti F, Bolansar alias Muka Jawa, dan Mulyati yang hidup di tengah-tengah masyarakat Alfuru di pedalaman Pulau Buru. Bahasan mengenai apa yang terjadi di masa Jepang hanya disinggung amat sedikit, kecuali bab-bab awal.

Pram mengajukan daftar sejumlah nama perawan yang menjadi korban perang Jepang. Mereka berasal dari kota besar, madya, atau kecil, atau dari kampung desa desa di dalam kawasan kota. Tak terdapat data yang menunjukkan berasal dari kampung atau desa yang jauh dari kota. Mereka pergi bukan secara sukarela, meski dengan jumlah sangat terbatas ada juga yang semau sendiri dan di bawah kesaksian umum telah menjadi gundik Jepang.

Begitu Jepang kalah perang, mereka dilepaskan begitu saja. Tak ada pesangon, tanpa fasilitas, dan tanpa terimakasih dari pihak balatentara Dai Nippon. Praktis, mereka hanya mengandalkan naluri hidup masing-masing –sejumlah perempuan terdampar di Pulau Buru.

Menurut Pram, ada sejumlah alasan kenapa Jepang berhasil cuci tangan dari perbuatannya di masa lalu. Pertama, segera setelah Jepang menyerah, Indonesia belum atau tidak mempunyai bahan otentik untuk menggugat. Kedua, Indonesia sedang terlibat dalam perjuangan senjata untuk mempertahankan kemerdekaan. Ketiga, segera setelah pemulihan kedaulatan, Indonesia yang masih muda terlibat dalam pertentangan kepartaian yang berlarut-larut. Keempat, karena keteledoran pihak Indonesia. Tak ada komisi yang menyelidiki soal ini. Dalam perundingan-perundingan tentang pampasan perang antara Indonesia dan Jepang, juga tak disinggung.

Karena tak ada bukti otentik, baik Eka dan Kimura maupun Pram tidak memasukkan latar belakang politik yang membuat pengalaman buruk ini terjadi. Pram hanya menyebut: sulitnya hubungan laut dan udara menyebabkan balatentara Dai Nippon tak lagi bisa mendatangkan wanita penghibur dari Jepang, China, dan Korea. Sebagai gantinya, para gadis Indonesia dikirimkan ke garis terdepan sebagai penghibur.

Janji militer Jepang akan memberi kesempatan belajar ke Tokyo atau Shonanto (Singapura) atau diberi pekerjaan layak sudah Pram dengar pada 1943. Ketika itu dia bekerja sebagai juru ketik di Kantor Berita Domei. Tapi ia hanyalah sasus. Selama memindahkan konsep-konsep berita dari dewan redaksi ke atas sheet stensil, dia merasa tak pernah mengetik berita itu. Rekan-rekannya juga tak pernah mengetiknya. Juga tidak pernah ada beritanya di koran.

Janji itu beredar dari mulut ke mulut, yang ditangani Sendenbu (Jawatan Propaganda) lalu turun ke pejabat-pejabat lokal seperti bupati, camat, lurah, hingga tonarigumi (RT/RW). Para pejabat lokal ini mengumpulkan puluhan perempuan muda. Para pejabat lokal ini harus memberi contoh dengan menyerahkan anaknya demi keselamatan jabatan atau pangkat. Karena hanya sasus, Pram tak menemukan dokumen resmi.

Selama empat tahun melakukan riset, Eka juga kesulitan menemukan dokumen. Bahkan dalam buku-buku sejarah, persoalan Jugun Ianfu juga tidak disinggung. Dan itulah kenapa Eka maupun Pram lebih menghadirkan kesaksian korban lewat metode sejarah lisan (oral history). Tak ada konteks politik yang melatarinya –satu kelemahan yang ditemukan dalam buku Eka maupun Pram.

“Sumber sejarah pendukung sangat sulit ditemukan, baik itu foto, dokumen, atau kesaksian primer masa itu,” ujar Eka.

Tapi Eka beruntung mendapatkan sebuah alat kesehatan zaman Jepang: dua ampul suntikan, perban empat kotak, serta alat pembuka kemaluan yang terbuat dari besi. Yang disebut terakhir dikenal dengan nama cocor bebek. Alat ini terbuat dari besi panjang. Kalau ditekan ujungnya akan mengembang dan bisa membuka kemaluan perempuan lebih lebar. Melalui alat itu, bisa dilihat apakah kemaluan perempuan itu sudah terserang penyakit atau masih sehat.

Eka mendapatkannya dari Sarmudji, eks Heiho, di Ambarawa. Kartono Mohamad, mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia, yang menjadi tempat Eka berkonsultasi, membenarkan penggunaan alat itu. Bukti sejarah ini sangat penting. Musuem Tokyo yang terbilang lengkap pun hanya memiliki dokumen kertas. Saat ini alat kesehatan itu masih di tangan Eka.

“Alat ini bagian dari mekanisme kontrol militer Jepang untuk memeriksa kesehatan Jugun Ianfu. Artinya, Jugun Ianfu ini didesain begitu sistematis,” ujar Eka.


JEPANG datang ke Indonesia pada 1942, setelah mengalahkan Belanda, dengan mengaku sebagai sebagai ”Saudara Tua”. Ini strategi Jepang untuk meraih simpati rakyat Indonesia demi tujuan memenangi Perang Pasifik. Sejumlah pemimpin politik memberikan dukungan, terlebih Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya dengan menyediakan perempuan penghibur.

”Kukumpulkan 120 orang di satu daerah yang terpencil dan menempatkan mereka dalam kamp yang dipagar tinggi sekelilingnya. Setiap prajurit diberi kartu dengan ketentuan hanya boleh mengunjungi tempat itu sekali dalam seminggu. Dalam setiap kunjungan kartunya dilobangi,” ujar Soekarno seperti dituturkannya kepada Cindy Adams dalam Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Soekarno beralasan, keadaannya sudah begitu gawat ketika itu, yang dapat membangkitkan bencana hebat.

Sayang sekali, dalam otobiografi Soekarno pun tak ada pembahasan soal Jugun Ianfu. Soekarno mengatakan hanya menyediakan pelacur (seperti juga Romusha), menawarkan ide tersebut tanpa paksaan, dan menghindarkan keisengan tentara Jepang menganggu perempuan ”baik-baik”. Mungkinkah Soekarno tidak tahu bahwa ratusan ribu perawan remaja “baik-baik” harus melayani hasrat seks tentara Jepang?

Tak mudah menjawabnya. Macet. Sekalipun Eka meyakini, Jugun Ianfu menjadi bagian mekanisme kontrol Jepang untuk kepentingan pasukannya dalam memenangi Perang Pasifik. Artinya, butuh penelitian lebih lanjut atas apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia dan bagaimana sikap pemimpin politik waktu itu.

”Di Indonesia, Jugun Ianfu tersebar di seluruh Indonesia. Di mana ada barak-barak militer di situ ada Jugun Ianfu, terutama di wilayah Timur,” ujar Eka.

Di Jepang sendiri belakangan bukti-bukti kekejaman Jepang mulai terkuak. Adalah Yoshiaki Yoshimi, sejarawan dari Chuo University, Tokyo, yang membuka tabir yang menutupi kebijakan pemerintahnya di masa lalu. Dia menemukan dokumen yang memperlihatkan bahwa militer Jepang memerintahkan pengadaan rumah-rumah bordil untuk kepentingan tentara.

Ini diawali pada 1931 ketika tentara Jepang menyerbu daratan China. Untuk menguasai daratan China, Jepang membangun pangkalan militer dan mengerahkan sekira 135.000 tentara. Jepang akhirnya menduduki Kota Shanghai dan Nanjing. Tapi bertahun-tahun berperang membuat militer Jepang kehabisan persediaan makanan. Mereka menjarahi rumah-rumah penduduk. Membunuh rakyat sipil dan tentara. Memperkosa perempuan –dengan dampak terburuk bagi militer Jepang: banyak pasukannya menderita penyakit kelamin.

Kabar itu sampai ke Tokyo. Menurut Eka Hindra, kekaisaran Jepang lalu mengirimkan Dr Tatsuo untuk melakukan penyelidikan. Dari situ Tatsuo memberikan rekomendasi agar menyediakan rumah bordil. Sebagai proyek percontohan, militer Jepang membuat kebijakan membangun Ian-jo (rumah bordil) yang berisi perempuan-perempuan ”bersih”. Fasilitas tersebut dibangun di berbagai tempat di Asia yang telah diinvasi Jepang seperti China, Korea Utara, Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Timor Leste. Akibat kebijakan tersebut 200.000 lebih perempuan di kawasan Asia dikorbankan sebagai budak seks untuk memuaskan kebutuhan seksual.

Ada beberapa alasan pendirian rumah bordil militer. Dengan menyediakan akses mudah ke budak seks, moral dan efektivitas militer tentara Jepang akan meningkat. Ini menyingkirkan kebutuhan memberikan izin istirahat bagi tentara. Dengan mengadakan rumah bordil dan menaruh mereka di bawah pengawasan resmi, pemerintah juga berharap bisa menahan penyebaran penyakit kelamin.

Begitu dokumen itu dipublikasikan pada awal 1992, gemparlah. Pemerintah Jepang langsung melakukan penyelidikan soal isu Jugun Ianfu. Lalu, pada 1993, pemerintah mengeluarkan Pernyataan Kono yang menyebutkan, ”Memohon maaf yang amat dalam dan menyesali kejadian itu”. Pemerintah Jepang mengakui keterlibatan langsung tentara Jepang soal perbudakan seks itu.

Maret lalu, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengumumkan pemerintahnya akan melakukan penyelidikan ulang atas kasus Jugun Ianfu. Pernyataan Abe menimbulkan reaksi dari sejumlah negara. Abe beralasan, dia hanya merespons resolusi yang digagas Michael Honda, anggota Kongres dari Partai Demokrat, di parlemen Amerika Serikat yang menyerukan agar Jepang bertanggung jawab penuh atas adanya Jugun Ianfu pada masa Perang Dunia II.

Shinzo Abe naik menjadi Perdana Menteri Jepang pada September 2006. Ia termasuk salah satu perdana menteri termuda dalam sejarah politik Jepang. Abe telah mendesakkan pemeriksaan kembali sentimen bersalah atas aksi militer dalam Perang Dunia II. Dia bahkan menyerukan perubahan dalam teks buku sejarah mengenai peran Jepang dalam perang yang meluluhlantakkan Eropa dan Asia itu.

”Ada sentimen yang memperlihatkan keengganan soal kesalahan Jepang di masa lalu. Itu merupakan sikap untuk menanamkan budaya percaya diri bagi anak-anak muda Jepang, terutama sejak ambruknya ekonomi Jepang di awal dekade 1990-an,” ungkap Yoshimi seperti dikutip KCM, 2 April 2007.

Di Indonesia, sikap pemerintah tidak pernah jelas. Pemerintah beranggapan bahwa persoalan pampasan perang dengan Jepang sudah selesai. Dan perempuan macam Mardiyem pun harus berjuang sendirian.

”Mardiyem adalah ikon ikon agar nasib Jugun Ianfu tidak dilupakan. Yang hebat, dia melakukan transformasi tanpa bantuan gerakan sosial,” ujar Eka.


MARDIYEM membaca sebuah iklan di harian Bernas, Yogyakarta, yang mencari eks Jugun Ianfu. Pemasang iklannya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Saat itu juga dia mendatangi kantor LBH. Mulailah kisah Mardiyem menjadi konsumsi media massa, yang sayangnya hanya menampilkan sisi permukaannya. Mardiyem pula, atas inisiatif sendiri, mencari teman-teman seangkatannya yang masih hidup yang dulu sama-sama ditempatkan di Asrama Telawang.

”Dia punya ingatan yang kuat. Kawan-kawannya sudah lupa. Dia punya kharisma yang dahsyat, dengan memori yang dahsyat pula; ingat tanggal, nama tempat, dan sebagainya,” ujar Eka.

Langkah advokasi yang dilakukan LBH Yogyakarta berawal dari kedatangan lima pengacara Jepang yang tergabung dalam Komite Neichibenren (Asosiasi Pengacara di Jepang) ke Jakarta. Juru bicaranya, Akira Murayama, menginformasikan masalah kompensasi bagi Jugun Ianfu. Berita ini disambut Menteri Sosial Inten Suweno. Tapi Inten Suweno mengatakan bahwa sebaiknya masalah ini ditangani pihak swasta. Sebab, hubungan pemerintah Indonesia dengan pemerintah Jepang sudah baik. LBH Yogyakarta pun kebanjiran para Jugun Ianfu dan Romusa.

Tapi pemerintah Indonesia sendiri bermuka dua. Pada 25 Maret 1997, Memorandum of Understanding (MoU) ditandatangani di Jakarta antara pemerintah Indonesia dan Asia Women’s Fund (AWF), yang didirikan pemerintah Jepang tahun 1995 untuk menyelesaikan masalah Jugun Ianfu di Asia. Masalah Jugun Ianfu pun dianggap selesai.

AWF memberikan dana kompensasi sebesar 380 juta yen atau sekitar Rp 7,6 milyar kepada pemerintah Indonesia yang akan diangsur selama 10 tahun. Pada 1997, angsuran pertama keluar sebesar 2 juta yen atau sekitar Rp 775 juta yang rencananya dialokasikan untuk pembangunan lima panti jompo bagi Jugun Ianfu di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sumatra Utara. Tapi hingga kini, pembangunan panti jompo itu tidak jelas. Para Jugun Ianfu juga tidak pernah menerima dana sepeser pun.

”Dana itu tidak jelas, tidak transparan penggunaannya. Pernah ditanyakan sejumlah LSM tapi jawabannya simpang-siur. Sampai sekarang gak jelas,” ujar Eka.

Mardiyem sendiri sejak awal menolak dana kompensasi itu. Terkecuali pemerintah Jepang mengaku bersalah dan meminta maaf secara langsung kepada para korban, merehabilitasi nama mereka, dan memasukkan Jugun Ianfu ke dalam pelajaran sejarah sekolah-sekolah di Jepang. Sebagian besar para Jugun Ianfu Asia juga menolak dana pemberian AWF, yang dianggap sebagai strategi pemerintah Jepang mengelak dari tanggungjawab.

Mardiyem dan kawan-kawannya sudah berjuang untuk mengembalikan harkat dan martabatnya. Juga lewat buku pengakuannya ini.

“Saya ingin berhenti bercerita. Saya sudah lelah, 14 tahun bercerita, sementara pemerintah tidak punya kemauan politik,” ujar Mardiyem kepada Eka.* [Keterangan foto: www.comfort-women.org]

Read More......