Friday, January 03, 2003

Mati Ketawa ala Sepakbolaria

SEMUA tokohnya berkepala gundul. Ini sudah lama berlangsung, sebelum trend kepala plontos melanda pesepakbola dunia seperti Ronaldo dan Fabien Barthez. Tapi, tokoh sentralnya mudah dikenali. Ia punya dua helai rambut di kepalanya. Namanya: Si Gundul.

Di lapangan, Si Gundul punya satu keistimewaan. Ia bisa berperan sebagai apa saja: kiper, penyerang, wasit, maupun pelatih. Sayangnya, ia tak selalu bisa memanfaatkan keistimewaan itu karena kekurangannya: goblok dan sial. Lihat saja ketika ia jadi penjaga gawang. Terjadi perebutan bola dalam sebuah kemelut di depan gawangnya. Ia berhasil menangkap bola. Tapi, sial, celananya lepas dan jatuh ke tangan penyerang lawan, yang membawa masuk ke gawang. Si Gundul mengejar, ikut masuk gawang, dan … gol.



Memang tak masuk logika sepakbola manapun. Sepakbola ala Si Gundul punya aturan sendiri. Penciptanya bernama Hanung Kuncoro, kartunis tabloid olahraga Bola yang menuliskan nama di kartu penduduknya: Nunk, saja. Sepakbola ala Si Gundul ini terbit tiap minggu di tabloid Bola, milik Kelompok Kompas Gramedia, dengan nama rubrik “Sepakbolaria”.

Nunk sendiri tak berkepala gundul. Rambutnya lebat. Wajahnya juga tak seimut tokoh rekaannya. Ada sedikit kesan sangar dari kumisnya yang lebat –dengan sehelai rambut berwarna putih. Tubuhnya tinggi, kurus, berkulit agak hitam. Matanya agak sayu. Orangnya mahal senyum. Pokoknya jauh dari kesan lucu, apalagi menggemaskan. Jika mengobrol dan ada sesuatu yang lucu dia sering tertawa belakangan.

Jaya Suprana, ketua Perhimpunan Pencinta Humor, sempat kaget juga ketika bertatap muka dengannya. “Orangnya sederhana, dan sosoknya tidak menampilkan kejenakaan. Kalau saya kan orang melihat saja sudah ketawa. Tapi, justru itulah kelucuan dia,” ujarnya.

Sosok seseorang memang tak bisa jadi ukuran kelucuan karyanya. Faktanya, Sepakbolaria bisa bikin orang tersenyum, tanpa harus mati karena ketawa.

“Senyum!” teriak Si Gundul sembari berkacak pinggang dan pasang muka cemberut. Sebagai pelatih, dia gemas karena para pemainnya tak juga tersenyum ketika dua fotografer hendak mengambil gambar.

“Senyum!”

Belum juga ada yang tersenyum.

Sang fotografer tak kurang akal. Dia menghampiri Si Gundul, dan memelorotkan celananya. Kontan para pemain tertawa, dan dua fotografer itu pun bisa mengambil gambar. Klik, klik, klik.

Begitulah salah satu kesialan Si Gundul. Nunk sengaja memilih tokoh yang bisa membuat orang gemas. Jadi da memilih karakter anak di bawah lima tahun (balita).

Nunk punya alasan. Bukan semata-mata karena anak balita pasti menggemaskan dan lagi lucu-lucunya. Mereka juga tanpa dosa. Buka celana atau bugil sekalipun tak akan menimbulkan kesan jorok. Nunk mengaku belajar dari maskot-maskot olahraga, yang kebanyakan mengambil tokoh anak-anak –meski seringkali berbentuk binatang. Kekuatannya terletak pada karakter yang menggemaskan.

“Sekilas Si Gundul mirip Anda?” tanya saya dalam satu dari dua sesi wawancara dengannya Oktober lalu.

“Wou, sangat tidak mirip,” ujar Nunk, terbahak.

“Banyak kartunis yang tokohnya mirip dengan dirinya. Kalau saya… ini kan sangat tidak notunis. Misalnya (Si Gundul) tidak punya telinga, trus bentuknya abstrak. Kalau dijadikan boneka, susah, karena matanya di samping kayak wayang. Tapi nggak masalah. Saya punya banyak contoh maskot olahraga.”



HANUNG Kuncoro mengenal kartun secara otodidak. Sedari kecil dia suka melihat kartun di majalah-majalah yang dilanggan orangtuanya, Soeroso Hadiwidjojo dan Sumiyatun. Dia mulai menggambar kartun sejak SMP untuk majalah dinding sekolahnya.

“Saya punya banyak ide lucu tapi nggak bisa mengungkapkan dengan kata-kata dan tingkah laku. Saya sangat pendiam dari sononya. Salah satu jalan mengekspresikannya ya dengan kartun,” ujarnya.

Baru ketika duduk di kelas satu SMA pada 1977, dia mulai berani mengirimkan kartun-kartunya ke Krida, majalah terbitan Korps Pegawai Negeri Jawa Tengah di Semarang. Kartunnya dimuat. Dia senang ketika mendapat honor dan nomor bukti pemuatan. Sejak itu dia mulai aktif menggambar kartun.

Selepas SMA, dia ikut ujian saringan masuk perguruan tinggi. Pilihan pertamanya arsitektur. Dia gagal. Justru pilihan keduanya yang berhasil. Dia diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang. Karena desakan orangtuanya, dia kuliah, meski ogah-ogahan.

Nunk masih menggambar kartun dan mengirimkannya ke media-media seperti Gadis, Suara Pembaruan, dan Suara Karya. Dia juga menjadi anggota Semarang Cartoonist Club, meski tak aktif. Sesekali dia ikut pameran atau lomba kartun. Di sinilah dia mulai mengenal karya Deliege, komikus Belgia, yang amat mempengaruhinya.

“Judul komiknya Si Bob Napi Badung. Ia nggak selaku Asterix, Tintin, atau Lucky Luke. Gambarnya juga gak begitu bagus, sederhana, tapi kuat di ide dan ekspresif sekali. Karakternya kuat. Humornya juga tak kalah sama Tintin,” ujarnya.

Komik Si Bob Napi Badung berkisah tentang seorang narapidana di penjara Inzepocket. Dengan berbagai cara, dia berusaha melarikan diri. Asistennya, Kees, membantu pelariannya, yang sayangnya justru selalu mengacaukan rencananya. Di Belanda, serial ini bernama Jaap, sedangkan di Prancis, Bobo.

Lulus kuliah, Nunk ingin bekerja di media. Pada masa menganggur dia membaca Bola, saat itu masih sisipan harian Kompas sejak 1984 yang dilanggan orangtuanya. Penggemar sepakbola ini berpikir bagaimana agar kartunnya bisa menghiasi Bola. Dia ingin kartunnya muncul secara berkala seperti kartun strip Panji Koming atau Konpopilan di Kompas dan Pak Bei di Suara Merdeka.

“Kayaknya kalau kartun strip olahraga belum ada nih. Kalau olahraga otomatis sepakbola. Pasti. Itu olahraga paling populer,” pikirnya.

Nunk menuangkan ide-idenya. Semuanya berjumlah 20 gambar. Dia memberi nama untuk kartun stripnya: Sepakbola Lalala, yang menurutnya bagus dan bersajak. Dia mengirimkannya ke Bola.

Sepakbola Lalala menarik perhatian Clements Stefanus, yang jadi penjaga gawang artistik Bola. Sudah lama, Bola ingin punya maskot sendiri seperti Om Pasikom di Kompas. Dan coretan-coretan Nunk dianggap bisa mewujudkan keinginan itu. Stefanus membicarakan karya Nunk dengan Ignatius Sunito, pemimpin umum Bola.

“Mas, ini kayaknya bisa dibuat seperti Om Pasikom yang Mas Nito inginkan. Ini calom saya,” ujarnya.

Bersamaan dengan pemuatan kartunnya, Nunk hendak berangkat ke Jakarta. Seorang teman memberi tahu adanya lowongan kerja di Perusahaan Gas Negara di Jakarta. Karena desakan orangtuanya, Nunk melamar dan mendapat panggilan untuk tes. Di atas kereta, iseng-iseng dia membeli Kompas. Dia terkejut ketika melihat gambarnya dimuat di Bola pada 17 Juni 1988. Dia girang bukan kepalang.

Nunk tak lulus tes kerja di Perusahaan Gas Negara. Tapi dia tetap tinggal di Jakarta selama dua bulan, menginap di rumah temannya, Tohir Nur Ilhami, di Tanjung Duren. Sementara kartun stripnya, Sepakbola Lalala, dimuat secara tetap sampai Agustus 1988.

Pada suatu waktu, Nunk datang ke kantor redaksi Bola. Clements Stefanus menawarinya pekerjaan di bagian artistik. Nunk kaget. Ragu. Meski bekerja di media menjadi keinginan lamanya, dia merasa belum siap dan ingin bikin banyak karya dulu. Tapi ini kesempatan bagus. Setelah menimbang, dia menyatakan bersedia.

Justru Ignatius Sunito yang menolaknya. Bola masih berupa sisipan Kompas, dan Sunito tak berani merekrut tenaga baru.

“Saya belum bisa menerima Anda, apalagi background Anda ekonomi. Saya masih ragu,” ujarnya.

Sunito ingin Nunk bekerja di bagian pemasaran. Soal hobi berkartun, Sunito menawarkan dispensasi. Nunk menolak. Dia takut kerjanya jadi tak maksimal. Dia juga sudah memilih kartun sebagai pilihan hidupnya.

Sebulan kemudian Nunk mendapat panggilan lagi dari Bola. Kali ini dia diterima sebagai karyawan. Dia mendapat jatah tetap menggambar Sepakbola Lalala, yang setelah vakum sebulan berubah nama menjadi Sepakbolaria. Tokoh Si Gundul terus disempurnakan. Ketika Sepakbola Lalala bentuknya masih sederhana dengan coretan dan ekspresi yang masih lemah, bahasa tubuh maupun geraknya.

Nunk juga mempelajari karya-karya luar seperti Walt Disney. Dia ingin tahu letak kekuatannya. “Ternyata kekuatannya, selain ide, bagaimana mengekspresikan mimiknya,” ujarnya.

Perlahan Si Gundul mulai menemukan bentuk. Nunk menciptakan sekitar duapuluhan karakter Si Gundul. Dia juga membuat Si Gundul dalam berbagai posisi: berdiri, menendang bola, dan sebagainya. Perubahan juga dilakukan pada aksesoris. Nunk pernah memberi rambut pada semua tokohnya. Kini, semua tokohnya gundul, kecuali tokoh utamanya, yang punya dua helai rambut di kepala.

Teman-temannya di redaksi bertanya: “Namanya siapa?” Nunk sadar, tokoh utamanya harus punya nama. Kemudian disepakati namanya: Si Gundul.

“Gambarnya sudah mantap karena lama sekali menjadi ciri khas Bola. Karakter tokohnya menarik karena semua nyaris rata, kayak kokim Smurf. Jadi bisa lincah bikin set para pemainnya,” ujar Priyanto Sunarto, kartunis majalah Tempo.

Smurf adalah serial komik karya Pierre Culliford –dikenal sebagai Peyo– yang muncul kali pertama pada 1958. Serial komik ini mengisahkan suka-duka kehidupan sekelompok makhluk mini berwarna biru yang tinggal di sebuah desa kecil di tengah hutan, dengan seluruh bangunannya berbentuk jamur. Belakangan, komik ini menjadi alat propaganda komunis selama perang ideologi melawan kapitalisme Amerika.

Si Gundul jadi maskot Bola. Kartun opini dan semua ilustrasi juga memakai tokoh Si Gundul. Pada 1992, hak paten maskot Si Gundul didaftarkan ke Departemen Kehakiman atas nama tabloid Bola. Juga logo Bola –dengan alasan, banyak aksesoris olahraga meniru logo ini.

Nunk tak tahu-menahu. Dia pernah dipanggil Sunito untuk menandatangani formulir pengajuan hak paten. Nunk tak membaca isinya; langsung tanda tangan. “Saya gak mempermasalahkannya, eh tahu-tahu untuk Bola,” ujarnya.



NUNK memasuki toko olahraga Bola di kompleks Kelompok Kompas Gramedia di Palmerah Selatan. Toko ini berdiri pada 1988, berbarengan dengan lepasnya Bola sebagai sisipan Kompas. Di sini tersedia beragam perlengkapan olahraga, terutama sepakbola, beserta pernah-perniknya.

Dia menghampiri rak plastik kecil di atas meja yang memajang buku Sepakbolaria 3.

Sepakbolaria jilid 1 dan 2 masih ada?”

“Sudah habis. Kita nggak punya stok,” ujar penjaga toko.

Nunk merasa puas. Dia lalu mengamati pernik-pernik olahraga, seperti bola, topi, poster, stiker, dan sebagainya, di dalam meja. Umumnya melekat logo Bola dan maskotnya, Si Gundul. Di dekatnya terdapat kotak plastik tembus pandang yang berisi boneka Si Gundul menenteng bola.

“Nggak beli bonekanya sekalian?”

“Nggak,” ujar saya.

Saya hanya mau membeli buku Sepakbolaria 3. Harganya murah, Rp 8.000. Sepakbolaria 3 diterbitkan Elex Media Komputindo. Dua jilid sebelumnya diterbitkan secara berbarengan pada Juli 1992, dan sudah empat kali cetak ulang.

“Kalau dijadikan buku, Sepakbolaria mungkin sudah sampai tujuh jilid. Saya masih punya beberapa ratus yang belum dibukukan. Dari 1990 sampai sekarang sudah ada sekitar 600 karya,” ujarnya.

Bagaimana Nunk bisa bertahan 12 tahun lamanya hanya dengan satu tema: sepakbola?

“Itulah yang saya kagumi. Dia konsisten, bertahan, mengkhususkan diri hanya pada sepakbola. Dan mungkin Sepakbolaria tetap ada selama sepakbola masih ada,” ujar Jaya Suprana.

Nunk suka menonton bola. Dia tak hanya melihat permainannya, tapi juga ulah penonton. Akhir-akhir ini saja dia mulai jarang menonton, kecuali partai-partai menarik serta babak semifinal dan final.

“Yang jelas, saya suka sepakbola Indonesia karena banyak adegan yang kadang di luar dugaan. Misalnya begini. Ada pemain cidera, terus bagian kesehatan masuk, membawa tandu. Nah, mereka mengambilnya terbalik, berhadap-hadapan, jadi mau jalan kan susah. Itu ide, itu rezeki, nggak perlu cari,” ujarnya.

Tapi Sepakbolaria hadir bukan untuk memberi petuah atau melontarkan kritik mengenai persepakbolaan Indonesia. Paling banter, menyentil. Isinya pun tak selalu aktual dan faktual. Kalau pun ada, Nunuk memelesetkannya. Seperti ketika menara kembar World Trade Center ditabrak pesawat pembajak pada September 2001. Televisi CNN menayangkan tragedi itu dengan teks di bawahnya: “America Under Attack”. Kebetulan, beberapa hari kemudian, kesebelasan Indonesia dipermalukan tim lemah Myanmar dengan skor 0:1 dalam perebutan medali perunggu Sea Games XXI di Kuala Lumpur. Nunk menggambarkannya: Si Gundul menonton siaran itu di televisi yang memasang teks “Indonesia Under Attack”.

Nunk kadang kewalahan mencari ide orisinal. Biasanya dia menyiasatinya dengan mendaur-ulang ide-ide sebelumnya. Pengembangan ini tak selamanya berhasil. Ada yang tidak menunjukkan perbedaan signifikan dari gambar sebelumnya. Nunk kurang jeli.

“Itu sih wajar. Karya-karya Shakespeare ada duplikasinya. Dia kan manusia biasa. John Sebastian Bach, banyak juga karya-karyanya yang diulang-ulang. Picasso juga. Itu sisi lain dari kekurangan manusia,” ujar Jaya Suprana.

Untuk menghindari duplikasi, Nunk meluaskan idenya. Keberadaan di Gundul kini tak melulu di lapangan bola. Kadang di rumah, di perjalanan,… di mana saja. “Yang pasti ide itu makin lama makin kering,” ujar Nunk.

“Susah memang mencari ide dengan tema sama terus. Kadang membosankan atau stereotip, atau dibuat-buat. Kadang terpaksa bermain d zona saru. Mas Hanung merasakan penderitaan itu. Tapi kadang juga segar dan lucu atau aneh,” ujar Priyanto Sunarto, yang juga mengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain di Institut Teknologi Bandung dan Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta.

Persoalan lainnya, Sepakbolaria lebih menonjolkan banyolan fisik atau slapstick. Tokohnya selalu sial. Artinya, Sepakbolaria belum beranjak dari masalah klasik kartun-kartun Indonesia.

“Dia mungkin merasa puas dengan model begitu, sehingga tak beranjak dari situ. Gag cartoon kan seperti mie instan, cepat saji. Mungkin kebiasaan waktu melajang, bikin gambar untuk kejar setoran,” ujar Pramono R. Pramoedja, wakil pemimpin redaksi Sinar Harapan dan ketua Persatuan Kartunis Indonesia, tertawa.

Syahrinur Prinka dari majalah Tempo tak melihat kesan slapstick dalam kartun Nunk. Menurutnya, hampir semua kartunis pernah terkena gag cartoon, termasuk dirinya. “Kalau saya, berpikir mengenai keunikan dia: hanya sepakbola. Yang terpenting bagi semua karya kan kita punya ciri khas. Dia termasuk kartunis yang punya ciri khas dengan gambarnya,” ujarnya.

Salah satu banyolan Nunk adalah memunculkan simbol “burung” untuk menggantikan alat kelamin laki-laki. Dan ini pernah ditanyakan Aom Kusman, tokoh kelompok lawak Kabayan yang menggemari Sepakbolaria. “Kenapa seringkali melibatkan peranan manuk,” tanyanya seperti dikutip dari kata pengantar buku Sepakbolaria.

Dalam Sepakbolaria 2, peranan manuk (burung) ini dikumpulkan dalam satu tema: helm. Salah satunya seperti ini. Si Gundul pakai helm untuk melindungi kepalanya dari lemparan penonton. Penyerang lawan menendang bola dengan keras dan mengenai kemaluannya. Si Gundul menarik celanannya ke depan, memeriksa alat kelaminnya –dalam gambar, muncul simbol burung terkapar. Agar tak terulang lagi, Si Gundul melepas helmnya dan mengenakannya di bagian kemaluannya.

Nunk mengatakan tak punya niat berjorok-ria ketika menggunakan simbol burung. Burung, menurutnya, lebih aman ketimbang simbol "pisang ambon" atau "peluru kendali". “Saya pernah lihat juga di kartun luar, menggambarkan alat vital laki-laki dengan burung. Ternyata nggak cuma di Indonesia,” ujarnya.

Penggemar Sepakbolaria bukan hanya Aom Kusman. Kurniawan Dwi Julianto, pemain sepakbola nasional, membeli Sepakbolaria. “Bagus. Suka. Kartunnya gampang dimengerti,” ujarnya. Angket Bola, yang selalu menempatkan Sepakbolaria di tiga besar, juga menunjukkan kepopulerannya.

Sepakbolaria juga dinikmati orang luar. Sepakbolaria jilid 1 dan 2 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Anuar Othman dan diterbitkan Asiapac Books Singapore dengan judul Soccer Joy. Dan yang mengagetkan, Sepakbolaria sempat muncul di AFC Magazine, majalah internal milik Asian Football Confederation (AFC) atau Persatuan Sepakbola Asia yang bermarkas di Hongkong pada 1993. Pemuatan itu tanpa sepengetahuan dan seizin Nunk. Nunk kaget ketika melihat kartunnya dimuat di media itu tiga kali berturut-turut –redaksi Bola berlangganan majalah itu. Elex Media Komputindo, penerbit bukunya, juga tak tahu-menahu. Nunk segera melayangkan surat protes ke AFC Magazine. Pemuatan itu ternyata hanya seizin Asiapac Books Singapore. Setelah itu, pemuatan kartun stripnya pun dihentikan.

“Saya punya obsesi go international. Mungkin ke depan saya akan mencoba menembus sindikasi kartun internasional. (Kartunis) Indonesia belum ada,” ujarnya.



SORE itu teras kantor redaksi Bola masih ramai. Beberapa anggota redaksi duduk-duduk dan makan-makan sembari mengobrol. Mereka baru selesai rapat redaksi setelah merampungkan Bola edisi Selasa.

Sejak 1995, Bola terbit dua kali dalam sepekan. Edisi Selasa mengulas olahraga secara umum, sementara edisi Jumat hanya sepakbola. Sejak itu pula pekerjaan Nunk bertambah. Selain Sepakbolaria, dia harus membuat Si Gundul, kartun strip yang bertema olahraga secara umum –dari judulnya, sudah terlihat tokohnya ya Si Gundul.

“Kalau saya bikin sepakbola saja, terus bagaimana cabang olahraga lain. Masak saya nggak ngasih ruang untuk mengekspresikan karya dalam kartun strip dengan tema selain sepakbola,” ujarnya.

Untuk membuatnya, Nunk sesekali membuka ensiklopedia olahraga. Dia harus tahu bentuk lapangan atau atribut-atribut dari cabang olahraga yang mau dia gambar.

Seringkali Si Gundul hanya berisi kelucuan-kelucuan yang bisa digali dari cabang olahraga tertentu. Tapi Nunk juga mengabadikan kejadian politik dengan plesetan gaya Si Gundul. Misalnya ketika Jakarta digoncang kerusuhan Mei 1988. Pembakaran gedung terjadi di mana-mana. Petugas pemadam kebakaran kelabakan. Si Gundul terbengong di kolam renang. Air kolam terkuras habis untuk menyiram gedung-gedung yang terbakar.

Selain Si Gundul, Nunk juga menggambar kartun opini dua kali sepekan di halaman dua. Temanya aktual, dan lepas dari kebijakan editorial redaksi. Karenanya Nunk mesti rajin membaca koran. Jarang sekali dia membaca liputan teman-temannya –berita terhangat sudah dilahap habis oleh media harian. Sesekali dia membuat berdasarkan surat pembaca yang masuk.

“Biasanya saya mencari tema sendiri. Kalau sudah mentok, mencari sendiri nggak ada, baru nanya, ‘Ini isu yang lagi hangat soal apa?’ Nanya sama redaktur pelaksana,” ujarnya.

Sebenarnya Nunk bisa menggunakan halaman ini untuk melepaskan diri dari tokoh Si Gundul. Sayangnya, dia belum berani mengeksplorasi diri. Karakternya masih sama dengan kartun stripnya. Tokohnya masih Si Gundul. Untuk memperjelas sasaran kritiknya, dia hanya menuliskan labelnya, katakanlah Wismoyo Arismunandar atau ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia di dada, di meja, atau di kursinya. “Saya memang lemah bikin karikatur,” ujarnya.

Tapi kritik Nunk dalam kartun opininya lugas. Bukankah kebobrokan juga melanda dunia olahraga kita? Nunk menyentil kasus pemakaian obat bius di kalangan atlet, amburadulnya tinju profesional, kekalahan tim pencak silat Indonesia dalam kejuaraan silat Asia-Pasifik, hingga Bob Hasan, penghuni penjara Nusakambangan yang masih menjabat sebagai ketua umum Persatuan Atletik Seluruh Indonesia.

Ada kalanya kartun opinnya biasa-biasa saja. Mungkin tak ada masalah yang hangat. Meski demikian, kartunnya tetap mengundang senyum. Misalnya gambar pertarungan antara Mike Tyson dan Andrew Golota. Tyson pernah menggigit telinga lawan mainnya, Evander Holyfield. Golota dikenal suka memukul bagian kemaluan lawan. Di atas ring, sebelah tangan Tyson menutup daerah kemaluannya, sementara sebelah tangan Golota menutup sebelah telinganya.

“Kalau kartun opini lebih berat. Saya harus menguras energi. Saya bisa ke sana-ke mari mencari ide. Kalau pas lagi banyak kasus sih enak. Tapi kalau lagi sepi, tidak ada event, wah pusing. Kalau Sepakbolaria, saya masih enjoy,” ujarnya.

“Tujuan saya bikin kartun nomor satu itu menghibur. Itu saja deh. Saya nggak ingin muluk-muluk. Mencerdaskan atau mengkritik pun dengan cara saya. Saya usahakan, dengan kartun opini, yang dikritik tertawa, jangan sampai marah,” ujarnya.*


Pernah dimuat di majalah Pantau, Januari 2003.

Read More......