SEORANG pemuda aktivis sosial yang menarik, pintar, dan bersemangat suatu ketika didekati seorang manajer kampanye profesional. Diyakinkannya pemuda itu agar mencalonkan diri bagi jabatan pemerintah. Sang pemuda setuju. Manajer itu lantas bergerak cepat. Sebuah tim sukses dibentuknya. Ada rombongan pollster (petugas polling), pembuat film, pembuat iklan, wartawan, penulis pidato, perias, dan sebagainya. Semuanya bekerja dengan satu tujuan: mencetak, mengepak, dan menjual kandidat itu melalui kampanye periklanan massal yang canggih.
Pemilihan usai. Sang kandidat menang. Tapi keraguan menerpanya. Dengan rasa khawatir dia merenung, apakah dirinya benar-benar memiliki kualifikasi sebagai pejabat pemerintah. Dia kembali kepada (mantan) manajer kampanyenya, seorang bayaran yang telah siap mencari wajah baru untuk dijual, dan bertanya, “Tapi, apa yang kita lakukan sekarang?”
Adegan penutup film The Candidate itu sangat bagus dan bermuatan satiristik. Adegan itu menjelaskan bahwa “produk” tak dikenal dapat dijual kepada pemilih sebagai konsumen. Dan Nimmo, dalam karya monumentalnya Komunikasi Politik, menyebutnya sebagai objek pelajaran dalam dimensi periklanan dari persuasi politik.
Dalam pemilihan umum (Pemilu) 2004, juga Pemilu 1999, kita menyaksikan bagaimana sejumlah kandidat, entah itu legislatif maupun presiden, sudah menggunakan cara-cara komunikasi modern. Kandidat kepala daerah di sejumlah dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) mungkin sudah menerapkan pula. Mereka menerapkan apa yang dikenal dengan political marketing, yang merupakan serangkaian aktivitas terencana, strategis tapi juga taktis, untuk menyebarkan makna politik kepada para pemilih.
Apa saja komponennya? Dalam pemasaran ada yang dikenal dengan istilah bauran pemasaran, lazim disingkat 4P. Product berarti kandidat dan gagasan-gagasannya. Price bisa dilihat sebagai atribut dan pernik-pernik dari sang kandidat. Promotion adalah upaya periklanan, kehumasan, dan promosi. Place merupakan tempat konstituen dapat menemukan berbagai hal tentang seorang kandidat –contohnya Warung Wiranto dalam Pilpres 2004.
Tentu saja konsep pemasaran, yang lazim untuk produk komersial, tidak bisa diterapkan begitu saja. Perlu pendekatan yang khas karena produk politik berbeda dari produk komersial. Apalagi waktunya relatif singkat. Selain itu para kandidat akan dihadapkan pada soal keterbatasan dana, jaringan yang tertata rapi dan solid, pengalaman, dan rekam jejak dalam kegiatan politik.
Di sinilah tim sukses, atau konsultasi komunikasi yang menanganinya, mesti menyiapkan dan membuat program kampanye yang bagus, tepat sasaran, dan menjual. Mengembangkan isu. Menyusun kebijakan politik. Membangun citra personal maupun sosial. Melakukan pendekatan emosional, dan sebagainya.
Tim sukses mesti menentukan segmententasi terlebih dulu, baik secara demografis, geografis, psikografis, geopolitik, maupun sistem nilai. Segmentasi juga bisa didasarkan atas isu atau kepentingan politik di masing-masing wailayah yang tentu saja berbeda-beda. Skala prioritas (captive market) penting karena faktor “kepastiannya”. Seorang kandidat cenderung punya pendukung utama di wilayahnya. Faktor agama dan etnik juga bisa dipakai untuk mengikat atau memberikan penawaran kepada konstituen. Dan tak kalah penting, positioning, yang pada dasarnya bagaimana masuk di benak konsumen melalui keunggulan sang kandidat. Misalnya, ada kandidat menegaskan diri sebagai pengayom “wong cilik”.
Tim sukses juga mesti memilih media yang tepat, serta menyiapkan pendekatan, cara, dan strategi kampanye seefektif dan seefisien mungkin. Baik melalui below the line (media cetak) maupun above the line (media elektronik). Dari situ membuat program komunikasi, melakukan analisis SWOT, menentuan khalayak sasaran, menentukan inti pesan, hingga langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menerapkan strategi kampanye. Pada akhirnya adalah penerapan dan penjabaran strategi kampanye dengan memperhatikan situasi maupun state of mind (tingkat kesadaran) khalayak sasaran. Di sini pesan sebagai inti komunikasi harus relevan, benar, dan tepat. Pesan-pesan harus berangkat dari kekuatan dan aset utama kandidat.
Dan inilah pesta demokrasi. Pesta bagi media menangguk iklan. Percetakan dan tukang sablon mendapat order. Bagi warga, yang kini bisa menentukan pemimpinnya sendiri, berebut kaos. Diperkirakan, karena hendak merebut hati pemilih, uang juga bertebaran, jalan-jalan akan mulus. Nikmati saja tanpa lupa bersikap selektif dan kritis. Mungkin pertanyaan dan jawaban sekaligus yang dibuat Dan Nimmo bisa jadi acuan:
Apakah semua persuader berbohong? Tidak, tapi banyak yang berbohong.
Apakah semua persuader menggunakan kata, tindakan, logika, dan gaya hanyalah sebagai akal-akalan penjaja untuk menyelimuti maksud mereka dan fakta yang sebenarnya? Lagi-lagi tidak, tapi ada yang dengan seksama menonjolkan tanda-tanda kecantikan dan menggunakan kosmetik untuk menutupi cacat.
Apakah setiap ide itu pura-pura dan setiap akal-akalan adalah palsu? Tidak perlu, tapi biarlah pembeli waspada.
Untuk para kandidat, ingatlah bahwa, dalam bahasa pemasaran, membujuk kembali seorang konstituen yang kecewa akan jauh lebih sulit daripada mencari seratus simpatisan baru. Lebih parah lagi, ke-100 simpatisan tersebut akan lebih mendengar pengalaman dari orang yang kecewa itu ketimbang seratus pesan politik Anda.*
Saturday, September 23, 2006
The Candidate
at
7:45 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment