Wednesday, August 22, 2007

Pram, Peram

SEKIRA 10 tahun lalu, saya sempat bertandang ke rumah Pramudya Ananta Toer di Utan Kayu. Saya hendak mewawancarainya mengenai nasionalisme untuk majalah kampus saya, Hayamwuruk. Ini bukan kali pertama bagi Hayamwuruk. Dua tahun sebelumnya majalah ini pernah menampilkan wawancara mendalam dengan Pram, nama singkatnya, mengenai sastra Indonesia. Judulnya “Saya Sudah Tutup Buku dengan Kekuasaan Ini”. Karena pemuatan ini, petinggi kampus hingga militer ribut. Untung tidak kena bredel.

Sosoknya tegar dengan tubuh yang terlihat rapuh. Asap rokok mengepul terus dari mulutnya. Sempat dia menawari saya mengurus perpustakaannya yang penuh tumpukan koran. Saya menolaknya karena masih kuliah di Semarang. Tapi saya takjub dengan keuletannya melakukan kerja dokumentasi.



Pram menjadi sebuah nama sakral. Buku-bukunya dikopi dan dibaca secara sembunyi-sembunyi. Ia dibicarakan, bahkan jadi idola, di penghujung Orde Baru.

Pram sudah benar-benar menutup buku, bahkan menutup lembaran hidupnya. Tapi buku itu sendiri belum sepenuhnya rampung. Masih ada yang membukanya, mengoreksinya langsung di halaman tengah –tahun-tahun gemuruh ketika dia menjadi salah seorang pengurus Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Berawal dari sebuah rilis Masyarakat Pecinta Buku dan Demokrasi beberapa minggu silam. Isinya mengecam pelarangan buku-buku pelajaran sejarah, diikuti pembakaran, yang tidak mencantumkan label Partai Komunis Indonesia dalam peristiwa G30S. Rilis ini juga menyebar ke dunia maya.

Selang beberapa hari kemudian, Arya Gunawan mengirim posting di sebuah mailing list. Ia mempertanyakan kenapa rilis itu tidak mencantumkan pembakaran buku yang dilakukan Pramudya Ananta Toer di masa lalu. Dia mempertanyakan apakah para penandatangan, terutama orang macam Goenawan Mohamad dan Arief Budiman, tidak membaca terlebih dahulu rilis itu? Gayung pun bersambut.

Arya mendasarkan argumentasinya pada buku Prahara Budaya karya Taufik Ismail dan D.S. Moeljanto. Keduanya mengumpulkan makalah, kliping koran dan majalah yang terbit pada tahun-tahun itu untuk membuktikan adanya “prahara budaya”, di mana Lekra/PKI menyerang kelompok-kelompok di luar mereka. Sejumlah orang meragukan otentitas buku itu. Tapi Arya tetap berpendapat, selama belum ada karya lain, dia akan berpegangan pada buku itu.

Saya membaca buku itu tak lama setelah ia terbit. Isinya bikin bulu kuduk meremang, melihat keganasan Lekra, dengan bahasa yang berapi-api dan menohok. Buku itu nyaris membuat saya percaya.

Prahara Budaya bahkan menjadi rujukan banyak orang. Ketika Pram menerima Hadiah Magsaysay, yang menimbulkan polemik, buku ini menjadi pijakan penolakan beberapa orang. Mereka yang menolak mengherani anak-anak muda yang mendukung Pram tapi dengan alasan konyol: “Kalaupun mereka ketika itu masih bercelana monyet, atau bahkan belum lahir di dunia, toh mereka bisa membaca buku Prahara Budaya.” Saya membaca kembali polemik itu dalam buku Polemik Hadiah Magsasay dengan perasaan takjub sekaligus geli.

Betapa sulitkah dialog antara yang tua dan muda?

Saya merasa jengah dengan orang-orang tua. Pernah saya berselisih pendapat dengan sastrawan Ajip Rosidi. Kebetulan saya sedang mengerjakan biografi A.S. Dharta, salah seorang pendiri Lekra yang menjadi Sekjen Lekra pertama. Setelah meninggal dunia, Ajip menulis obituari di Pikiran Rakyat. Isinya: melulu soal kejelekan. Saya terperanjat kaget: sebegitu mendalamkah luka itu, sehingga dendam tetap ditancapkan di kala sang lawan sudah di liang lawat? Kenapa kecaman politik (bahkan cenderung masalah personal) selalu lebih menonjol ketimbang pembicaraan soal sastranya? Dia juga sibuk soal kekomunisan Dharta, belakangan senang ketika tahu bahwa Dharta sudah menjalankan ibadah salat.

Prahara Budaya bisa disalahpami jika tidak dibaca secara kritis. Buku itu sendiri hanyalah kumpulan guntingan koran, yang oleh penulisnya dikumpulkan dan dianalisis –atau lebih tepat diberi tafsir. Dalam ilmu sejarah, koran memang termasuk sumber primer, meski tidak sepenting arsip atau dokumen cetak lainnya. Tapi apapun sumbernya, tetap perlu dilakukan kritik sumber: siapa yang menerbitkan sumber itu, siapa penulisnya, apa motifnya, bagaimana jenis kertasnya, dan lain-lain.

Satu misal yang meragukan dalam buku itu, antara lain, mengutip berita di Harian Rakjat tanggal 3 Oktober 1965. Roysepta Abimanyu mempertanyakan kesahihan kutipan itu. Benar bahwa pada tanggal itu, dua hari setelah kudeta yang gagal itu, Harian Rakjat masih terbit. Tapi terbitnya harian Partai Komunis Indonesia ini juga sebuah pertanyaan. Siapa yang menerbitkan di kala “orang-orang” PKI sendiri digebuk di sana-sini?

Kudeta Kolonel Untung gagal begitu dimulai. Tentara, di bawah komando Mayor Jenderal Soeharto, langsung menyapunya. Fasilitas publik yang penting langsung dikuasai tentara. Koran-koran dibredel, kecuali koran Angkatan Bersenjata dan …. Harian Rakjat! Ada apa? Masih gelap. Tapi sebagian beranalisis bahwa Harian Rakjat dibiarkan tetap terbit, dengan redaksi berbaju hijau, dan berita yang mendukung “kudeta”, untuk membenarkan bahwa PKI yang melakukan kudeta. Artinya, penyunting buku itu kurang hati-hati atau tidak kritis dalam menyeleksi tulisan.

Pram sendiri punya pendapat soal buku itu. “Kalau sejarah Indonesia diibaratkan seekor cecak, maka buku tersebut hanya ujung buntutnya. Kehilangan konteks dari sejarah Indonesia sesungguhnya,” ujar Pram dalam Polemik Hadiah Magsaysay.

Alex Supartono pernah mengkritisi buku ini dalam skripsinya, “Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia”. Menurut Alex, pengantar Taufik Ismail dalam buku itu tidaklah analitis, selain ketidaksetujuannya pada marxisme dan pengalaman subjektifnya. DS Moeljanto sendiri hanya memaparkan berbagai peristiwa budaya yang penuh dengan pertentangan antara tahun 1946-1965 secara singkat, tapi tidak berhasil menunjukkan keterkaitan peristiwa-peristiwa itu.

Kelemahan lainnya, editor mengubah judul setiap tulisan, dan judul aslinya ditaruh di pengantar yang diberikan pada tiap tulisan. Selain itu di beberapa bagian tertentu diberikan komentar –seringkali tidak ada hubungannya dengan tulisan yang dikomentari. Tidak jelas kenapa ini dilakukan, tapi Alex melihatnya sebagai upaya editor untuk mengarahkan pembaca.

Beberapa tulisan tidak ditampilkan secara utuh. Misalnya pidato Pram di Universitas Indonesia yang menjelaskan realisme sosialis –belakangan terbit dengan judul Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Editor juga tidak menampilkan keadaan sosial-politik, di tingkat nasional maupun internasional. Pilihan pedebatannya juga tidak bermutu, seringkali personal: saling tuding, caci dan maki.

Alex melihat dua kesalahan Taufik Ismail dari epilog dalam buku itu. Pertama, menerima begitu saja bahwa G30S adalah pemberontakan PKI –satu hal yang masih diperdebatkan. Kedua, menganggap Lekra adalah cabang kebudayaan PKI.

Stephen Miller dalam diskusi di Jaringan Kerja Budaya, tidak bisa menerima gambaran Lekra sebagai alat PKI, yang dikembangkan dan dipertahankan selama masa Orde Baru. Gambaran itu juga dikembangkan oleh sejumlah budayawan terkemuka melalui buku serta puluhan artikel dan esai. Penulis yang paling menonjol mungkin Wiratmo Soekito dan Taufiq Ismail. Steph menggolongkan sebagian besar tulisan merupakan polemik politik saja, bukan penelitian sejarah. Tulisan Goenawan Mohamad malah dia golongkan penelitian sejarah.

Gaya Pram mungkin terlalu berapi-api, membikin kecut nyali lawan-lawannya. Tapi tindakan Pram juga bisa dilihat dari kerja jurnalistiknya. Dalam penelitiannya, “Pramoedya and Politics: Pramoedya Ananta Toer and Literary Politics in Indonesia, 1962–1965”, Steph menunjukkan, dari 155 artikel Pram di Lentera, hanya 9 (6%) yang secara langsung terkait dengan polemik kebudayaan di masa itu, dan 12 artikel (7.5 %) ditujukan serangan kepada orang-orang liberal dan konservatif. Lebih dari 50% (81 artikel) bertemakan sejarah, khususnya mengenai kemunculan bahasa dan sastra Indonesia modern serta hubungannya dengan perkembangan dan pertumbuhan nasionalisme Indonesia.

Pembakaran buku oleh Pram masih kontroversial. Tentu saja, dalam sejumlah wawancara, Pram tidak mengakui tuduhan itu.

“Tidak benar saya pernah membakar buku-buku karya orang lain. Saya justru berterima kasih pada setiap usaha mengabadikan pikiran Indonesia dalam bentuk buku,” ujar Pram pada 1995.

Menurut Steph, penindasan terhadap orang kanan, orang Manikebu, juga terjadi pada orang kiri. Kalau Mochtar Lubis ditahan akhir tahun 1950-an, Pram ditahan awal tahun 1960-an. Aktivis Lekra juga dihajar, khususnya di daerah. Jadi memang ada situasi pergulatan kekuasaan waktu itu.

Dalam kasus “pembakaran” buku oleh Pram, layak disimak pendapat Martin Aleida, juga dalam diskusi di JKB. Menurutnya, adalah berbahaya dan menyesatkan mempersonifikasikan Lekra dengan Pram. Apa yang ditulis Pram di lembaran budaya Bintang Timur tidak mencerminkan garis Lekra. Kadang-kadang dia anarkis di sana. Tapi kalau ditendang, Lekra akan kehilangan.

Basuki Resobowo, dalam Bercermin di Muka Kaca, menulis: “Siapa saja, selama tidak menghalangi jejak Lekra, tetap diajak jalan bersama,” ujarnya. Dia mencontohkan rombongan sastrawan kiri yang mengajak WS Rendra berkeliling ke negara-negara komunis dan sosialis, dari Moskwa lewat Peking sampai Korea Utara.

Dan buku Prahara Budaya pun, dalam konteks sejarah sastra, makin menambah gelap sejarah sastra itu sendiri.

Penelitian Keith Foulcher secara khusus mempelajari pergulatan gagasan tentang kesatuan atau keterpisahan antara seni (sastra) dan politik. Robohnya Orde Lama oleh Foulcher tidak hanya dipandang sebagai awal kebangkitan dan kejayaan Orde Baru, tapi juga kemenangan pengikut pandangan sastra universal. Kelompok Manikebu mengaku tidak mau meletakkan politik di atas seni, atau sebaliknya –sebuah pernyataan yang juga politis. Tapi ada juga orang-orang Manikebu seperti Goenawan Mohamad, Satyagraha Hoerip, dan Arief Budiman yang belakangan lebih terbuka dan tak menyerang bekas musuh-musuhnya.

Terakhir, saya hanya ingin menyitir pandangan Arief Budiman, salah seorang penandatangan Manikebu yang pada 1968 menolak nilai universal dalam kesusastraan, dan pada 1993 bersama Ariel Heryanto melontarkan gagasan “Sastra Konstekstual”, bahwa sejarah kesusastraan Indonesia modern sudah tidak sehat lagi. Berbeda dari masa-masa sebelumnya, pada masa ini kesusastraan “universal” mencapai zaman keemasan. Kesusastraan ini berjaya secara mapan, hampir-hampir tanpa saingan dan tandingan.

Saya pikir anak muda sekarang jauh lebih kritis. Mereka tak mau tafsir tunggal, bahkan dari pihak yang sekarang kalah sekalipun. Dalam sebuah diskusi temu kangen seniman, sebuah acara rutin mantan anggota Lekra, sikap itu tampak jelas. Saut Situmorang pernah mengeluhkan generasinya yang terjepit di antara dua gajah ini. Saya menyalahkan kenapa mau terjepit atau diam saja kena jepit. Inilah momen bagi generasi muda untuk membuat sejarahnya sendiri. Dalam kesempatan lain, saya juga meminta orang-orang tua ini untuk juga bersikap kritis terhadap diri mereka sendiri, semacam selfkritik: apa yang dilakukan di masa lalu.

Saya suka dengan pernyataan teman asing Nirwan Dewanto, yang dikutip dalam pengantar buku Polemik Hadiah Magsaysay: “Sastra kalian terkubur oleh kekeramatan Pramoedya. Juga oleh hingar-bingar kalian sendiri.”

Pram terus diperam tapi justru terus melahirkan generasi muda pendukungnya.*

No comments: