LELAKI ini menatap layar kaca. Tapi, tangannya merayap ke rambutnya yang bergelombang, menariknya sejumput dan menyasaknya dengan sisir khusus dari akar hingga ujung rambut, berulang-ulang. Setelah itu, ia memilin-milin rambutnya, segumpal demi segumpal, sampai telapak tangan terasa kapalan dan lecet-lecet. Ketika diurai kembali, rambutnya pun lebih mengembang.
Kini ia mulai merajut helai-helai rambut itu dengan jarum happen. Tapi, pekerjaan ini tak gampang. Kerap ia harus merapikan kembali rajutan rambutnya yang terburai. Proses tersebut memakan waktu dua sampai tiga jam. Setiap hari ia melakukan ini. Namun, pengorbanannya tak seberapa dibanding rasa bangga.
Di jalanan ia bisa tersenyum puas karena tatapan ragu orang-orang dan sahutan teman-temannya, “Ka … Kaka ...!”
Rambut gimbal itu bersepuh coklat di sana-sini. Di atas dahi pemiliknya melingkar bandana ungu dan sebuah kacamata hitam ikut bertengker di kepala. Dandanannya ala junkies; kaos ketat dan jins belel berlutut robek. Sebuah anting tergantung di lubang hidung kiri, dua di telinga kanan dan satu lagi di telinga kirinya. Ia persis Kaka, vokalis Slank, grup musik anak muda ternama.
“Secara pribadi aku senang karakternya Kaka, dari style panggung sampai cara nyanyinya. Lain, yang pasti lain,” ujar Aris Virgiyanto, lelaki itu.
Selain menonton live show Slank, ia juga tak mau ketinggalan nonton penampilan kelompok musik itu di televisi.
“Aku nggak melihat lainnya, cuma lihat perfoma Kaka di panggung kayak apa? Jadi terfokus pada Kaka.”
Aris melakukan semua itu karena ia vokalis kelompok musik imitator Slank bernama Kandidat. Kandidat hanya membawakan lagu-lagu Slank. Selain Aris, personel lainnya adalah Fajar Raharjo (bas), Hendrik Cahyono (gitar), Bayu Ariyana (drum), dan Dana Purnama Dani (kibor). Mereka anak-anak muda yang terbius dengan kehadiran Slank sejak kali pertama melihatnya.
“Begitu melihat video klipnya di TVRI, aku langsung suka. Setelah itu penasaran, cari tahu. Dan ternyata setiap album, beda,” kata Aris.
“Saya suka slengekan asyik, rock n’ roll abis,” kata Hendrik.
“Jelas banget saya menganggap Slank berbeda dari band-band Indonesia lainnya. Mereka jelas-jelas antikemapanan, muda, berani, dan pintar. Mereka benar-benar sosok hero musik rock Indonesia buat saya dan buat banyak remaja lain. We all need a hero,” kata Fajar.
“Aku suka musiknya, slengekannya,” kata Dana.
“Yang menarik dari Slank adalah penampilannya. Asyik lah, cuek abis. Dan mereka bisa membikin fansnya … dia ngomong A ikut A, B ikut B. Mungkin kalau Slank bikin partai, pengikutnya banyak,” kata Bayu.
Kandidat mulai membawakan lagu-lagu Slank ketika tampil di “Tenda Okre”, sebuah acara yang digelar radio RCT 100,9 FM. Sambutan penonton, terutama Slankers, amat meriah. Penampilan pada 1996 itu menjadi pijakan awal Kandidat untuk menobatkan diri sebagai band Semarang Slankers.
Sejak itu Kandidat pun identik dengan Slank. Undangan pentas berdatangan, mulai dari kampus sampai kafe.
Kadung identik, beberapa personelnya mengikuti penampilan personel Slank. Bila Aris berusaha mirip Kaka, maka Bayu memilih Bimbim.
“Terus terang saya fanatik Slank, pertama sama orangnya, lirik nomor dua. Kalau Slank manggung di mana saja, saya selalu ikut, dan nonton harus di atas panggung. Dan kalau di atas panggung pasti yang saya lihat Bimbim, karena saya juga pegang drum,” kata Bayu.
“Bimbim orangnya cuek abis. Ngomongnya enak, enteng, blas blas blas. Trus permainannya tidak neko-neko. Standard tapi bisa enak banget, pas.”
ADALAH Bimbim yang menggeber musik Indonesia melalui Slank. Ia penggemar berat Rolling Stones. Lingkungannya juga penuh dengan penggemar grup musik asal Inggris itu. Ia lalu membentuk kelompok musik Cikini Stones Complex pada 1983 yang terdiri atas anak-anak sekolah menengah atas (SMA) Perguruan Cikini. Sesuai namanya, Cikini Stones Complex membawakan lagu-lagu The Rolling Stones.
“Yang gue lihat dari Rolling Stones, sesama penggemarnya punya rasa kekeluargaan yang kuat. Istilahnya begini. Preman Jakarta sama preman Bandung ketemu, mau berantem, tapi begitu ngobrol dan tahu sama-sama pengemar Rolling Stones, langsung damai, tenang,” kata Bimbim.
“Mereka orang Inggris. Amerika dengan American Dreams-nya, kebebasannya, demokrasinya, segala macem yang diomonginnya, ternyata ada orang Inggris, yang ternyata kalau gue lihat kebebasan dan demokrasinya lebih besar dari bangsa Amerika sendiri. Ada Rolling Stones yang ternyata lebih bebas, lebih freedom dari mimpi-mimpi yang dia ciptakan. Itu kekaguman gue,” lanjut Bimbim.
Anak muda tahun 1980-an sedang ditimpa siklus 20 tahunan. Kelompok musik era 60-an kembali populer, lengkap dengan atributnya.
Lama-kelamaan, hanya membawakan lagu Rolling Stones bikin Bimbim jengah. Ia ingin berekspresi lewat lagu sendiri. Bimbim sadar ia bukan tipe orang yang bisa omong. Ia cenderung tertutup, termasuk ketika menghadapi masalah. Dan lagu, baginya, menjadi sarana untuk berkomunikasi, curhat. Namun, keinginan Bimbim tak didukung teman-temannya.
Cikini Stones Complex pecah. Sebagian personelnya membentuk Cikini Metal Stones, sedang Bimbim membentuk Slank pada 26 Desember 1983, nama yang disesuaikan dengan gaya mereka yang slengekan (seenaknya).
Slank bermarkas di rumah orangtua Bimbim, pasangan Sidharta Soemarmo dan Iffet, di Gang Potlot, di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Slank ternyata tak sekadar kelompok musik, tapi juga mengilhami lahirnya sebuah komunitas. Rumah bernomor 14 yang diteduhi pepohonan itu mulai didatangi anak-anak muda yang getol musik tapi ogah sekolah, anak-anak muda yang hidup seenaknya. Mereka nongkrong, diskusi, main musik—kebetulan Bimbim punya studio musik yang disewakan, bahkan ada yang tidur di sana.
“Kita hanya anak muda yang menjalankan sesuatu dilarang sama orangtua. Pemain band itu dimusuhin orangtua yang punya anak cewek. Akhirnya kita kompak, karena kita musuh sama lingkungan,” ujar Bimbim.
Slank berkali-kali berubah formasi. Pada 1989 Parlin Burman alias Pay menggeser Bongky Ismail Marcel, yang sebelumnya memegang gitar. Bongky kemudian bermain bas, menggantikan Denny. Indra mengisi posisi yang ditinggalkan Adri pada kibor. Kaka, vokalis kelompok musik Lovina, dipinjam untuk mengisi tempat Welly yang kosong.
Slank manggung dari sekolah ke sekolah, dari pentas ke pentas, masih dengan membawakan lagu-lagu Van Hallen, White Snack, atau Guns N Roses. Namun, mereka juga mulai membuat lagu sendiri, dan mencoba rekaman. Uji coba dilakukan dengan ikut rekaman album kompilasi di studio Triple M, sebuah perusahaan rekaman di Jakarta. Mereka menggunakan nama lain, Rockin 96.
Kini mereka makin percaya diri, lalu menawarkan demo kaset ke TEAM Records. Tapi, perusahaan itu tak menghubungi mereka dan nasib lagu-lagu itu tak jelas. Suatu ketika, Boedi Soesatio dari Proyek Q, sebuah perusahaan rekaman di Jakarta, menelepon Indra. Soesatio teman Yudo Salmun, ayah Indra. Ia meminta demo lagu Slank. Bergegaslah para personel Slank ke kantor Soesatio di Jalan Biak.
Demo lagu diperdengarkan. Soesatio langsung kepincut. Ia melihat pasar sudah jenuh. Slank bisa menyegarkan.
Kelompok ini menyajikan perpaduan musik rock 'n roll, jazz, blues, reggae, dan balada. Semuanya dilebur menjadi satu warna musik khas Slank, yang masih terasa asing bagi banyak kalangan, di tengah blantika musik yang berpihak pada God Bless.
“Meski sama-sama rock ‘n roll dengan Rolling Stones, Slank lebih Indonesia. Kita masih ada beat-beat-nya, masih ada javanese rock ‘n roll, masih ada orkes rock ‘n roll,” ujar Bimbim.
Lirik dan tema yang Slank tawarkan pun amat akrab dengan lingkungan sehari-hari. Ada kritik, ada protes. Kebanyakan lagu yang berlirik kebebasan kurang lugas dan ekspresif. Soesatio melihat Slank bisa menjadi corong dan mewakili unek-unek anak muda. Mereka bakal menjadi gaya hidup.
Soesatio dan anggota Slank kemudian menyatukan pendapat, ''Kami bersepakat untuk tidak sepakat.''
Penggarapan album pun dimulai. Adu argumentasi acap terjadi setelah lagu selesai digarap. Lirik lagu yang dinilai agak jorok segera diganti, seperti lagu “Kupu-kupu Malamku” menjadi “Maafkan”.
Slogan Slank adalah anak muda yang slenge'an tapi punya sikap. Logo pun dibuat maskulin, yakni kupu-kupu besi dengan desain warna biru sebagai ikon.
Pada 1990, meluncurlah album perdana Slank bertajuk Suit Suit He..He.. (Gadis Sexy). Dengan pengungkapan yang lugas dan nyeleneh, Slank mengemas kehidupan anak muda dengan problematikanya. Lagu mereka mencerminkan pemikiran dan ketegasan sikap hidup, yang terbilang baru untuk ukuran anak muda Indonesia di masa Orde Baru. Ini selaras dengan penampilan mereka yang informal dan seenaknya.
Memang kantongku memang kering
Jangan menghina yang penting bukannya maling
Memang jaketku memang kotor
Jangan menghina yang penting bukan koruptor
Publik dan beberapa pengamat musik menyambut positif. Mereka dianugerahi penghargaan BASF Award untuk kategori Album Terlaris Kategori Musik Rock dan Pendatang Baru Terbaik.
Anugerah album terlaris kembali diraih lewat hit “Mawar Merah” pada album kedua Slank bertajuk Kampungan (1990). Di album ini warna Slank makin kental lewat lirik-lirik lagu yang menyoroti kehidupan sosial.
Kami butuh sedikit kebebasan
Kami butuh nafas panjang
Tanpa telanjangi harga diri orang
Hanya bicara soal kenyataan....
Slank juga bicara soal romantika cinta lewat “Mawar Merah” dan “Terlalu Manis”, bicara tentang “Aborsi”, atau impian tentang kehidupan di atas “Pulau Biru” yang indah bagai surga.
nggak ada hakim dan terdakwa jauh dari kriminal
nggak ada penjajah dan yang dijajah segala soal selesai dengan bicara
nggak perlu senjata nggak perlu berkhianat
nggak perlu curiga nggak perlu penjara
nggak ada penjahatnya
nggak perlu menyerang nggak perlu menentang
nggak perlu peperangan nggak perlu memakai kekerasan
Bahasa yang lugas, bahkan tak jarang nyerempet vulgar menyusup dalam lagu (“AN+~=+-‘~>”…”, atau anjing).
Slank menjadi figur dan panutan baru anak-anak muda. Sebagai konsekuensi popularitas itulah dibentuk Manajemen Artis dan Fans Club yang diberi nama Pulau Biru, seperti judul lagu dalam album kedua.
Manajemen Artis menangani musisi-musisi muda komunitas Potlot yang kemudian bermunculan, seperti Oppie Andaresta, Anang, Imanez, Kidnap, Andy Liani, dan sebagainya. Fans Club menjadi sarana berkomunikasi dengan para penggemar Slank, yang antara lain berbentuk Bulletin Pulaubiru dan membuka 24 jam Gang Potlot untuk dikunjungi siapa saja.
Rumah di Gang Potlot itu ramai penggemar Slank atau disebut Slankers. Mereka berasal dari Jakarta maupun berbagai daerah di luar Jakarta. Ada yang sekadar kongkow dan numpang tidur. Ada pula yang sengaja melihat aktivitas idola mereka dari jarak dekat.
Para slankers meniru telak penampilan personel Slank. Mereka berkaos ketat yang menggantung di atas pusar, menyelipkan dompet di saku belakang yang terikat rantai ke pinggang, dan mengenakan kalung berleontin logo Slank berbentuk kupu-kupu. Mereka juga saling mengucapkan salam “Piss”—kata yang diadopsi dari bahasa Inggris “peace” sambil menudingkan dua jari yang membentuk huruf ''V''.
Atribut-atribut yang melambangkan sikap antikemapanan itu pernah dicetuskan kaum hippies (flower generation) ketika menentang intervensi negara adikuasa Amerika Serikat dalam Perang Vietnam pada 1960-an. Situasi pascademonstrasi besar menentang kekuasaan Presiden Charles de Gaulle di Prancis pada Mei 1968 turut pula mempengaruhi lahirnya sikap antikemapanan di kalangan anak-anak muda Eropa. Kelompok musik macam The Doors, Sex Pistols, Deep Purple, maupun The Beatles, kemudian menularkan gerakan antikemapanan ini lewat lagu-lagu mereka ke seluruh dunia, bahkan kemudian bereksperimen dengan seks bebas dan obat-obatan terlarang, dari morfin sampai mariyuana.
PUKUL 10.00, di panggung timur Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang. Personel Kandidat sudah berkumpul di belakang panggung. Mereka menjadi bintang tamu dalam acara bertajuk “Say No To Drugs.” Hanya Bayu yang belum datang. Aris, Hendrik, Fajar, dan Dana menunggu gelisah.
Ah, lega. Bayu akhirnya datang juga. Badannya berkeringat. Ia mengunyah permen karet. Mukanya tampak kencang sekali. Tegang. Teman-teman bisa menebak Bayu lagi high. Tapi Bayu tak mengaku dan mengatakan sudah siap main.
Mereka naik panggung. Lagu “Nagih Janji” mengalir. Penonton begitu antusias. Personel Kandidat makin bersemangat.
Janji …..
Bukan yang tong kosong yang nyaring bunyinya
Bukan cuma ngecap udah lewat
Good bye …….
Janji …..
Bersih-bersihan sampai benar-benar bersih
Bikin angkat topi bukan takut nanti tersisih
NAGIH JANJI !! 3x …… NAGIH !!! 4x
Selepas reffrain pertama, begitu musik berhenti empat ketukan, gebukan drum Bayu tak kedengaran lagi. Teman-temannya menengok ke arah Bayu. Mereka mengira ia lupa urutan lagu.
Ketika itu, Bayu sudah terjengkang dari kursi drum. Teman-temannya spontan meletakkan peralatan musik, lalu berlari ke arah Bayu.
Bayu kejang. Mulutnya megap-megap. Semua panitia berkerumun. Suasana jadi gaduh.
"Drummernya kesetrum!"
"Epilepsi nih!"
Fajar memegang mulut Bayu. Ia tak ingin Bayu menggigit lidahnya sendiri, karena giginya terus bergemeletuk, tak terkontrol. Bayu diangkat ke belakang. Kecemasan bergelayut di benak personel Kandidat.
Manajer Kandidat datang dengan mobil, sementara personel Kandidat segera memindahkan Bayu. Di jalan mereka ribut. Wisnu ingin Bayu langsung dibawa ke rumah sakit. Hendrik tak setuju. Ia takut orangtua Bayu mengetahui keadaan anak mereka yang sebenarnya.
Hendrik pun bercerita kejadian semalam saat ia bersama Bayu berkumpul dengan dengan teman-teman dari kelompok musik lain di sebuah hotel. Di sana mereka begadang sampai pagi, menikmati shabu-shabu. Dan pagi ini, Bayu mau meningkatkan efek shabu-shabunya dengan putaw.
Bayu masih kejang dengan gerakan seperti memukul drum, termasuk gerakan kakinya. Fajar terus memegangi rahang Bayu yang tak berhenti bergerak.
Mereka memutuskan kembali ke studio. Bayu dibaringkan di karpet studio. Udara terasa dingin. Gerakan badan Bayu mulai berkurang, tapi ia masih kejang. Gigi-giginya masih bergemeletuk. Teman-temannya berusaha membangunkannya.
Tengah hari Bayu siuman. Matanya mulai berkedip. Mulutnya membuka.
"Ini lagu keberapa?" katanya
Semua tertawa.
Bayu lantas berdiri dan keluar ruangan. Ia langsung disambut teriakan Slankers yang setia menunggu di luar studio, "Huweeee..."
Dua jam kemudian, dengan mengendarai sepeda motor, mereka berkonvoi ke Yogyakarta. Slank mau manggung di sana.
“Sebelum tahu Slank pake, saya memang sudah nakal. Waktu itu aku mikirnya senang tok. Begitu Slank make, aku merasa ada kesamaan,” kata Bayu.
Di Kandidat Fajar dan Hendrik juga suka mabok, sementara Aris dan Dana bersih. Namun hanya Bayu yang kecanduan berat. Ia sempat menjalani rehabilitasi, tapi tak berhasil. Ia masih bisa mendapatkan pasokan putaw dari bandar yang menempelkan barang itu dengan Handyplast di dinding kakus. Bayu lalu pura-pura ke kakus untuk mengambilnya.
“Mungkin karena identik. Kalau bawain lagu Slank pake itu, rasanya enak. Kalau aku main pas pake itu, aku merasa diri sebagai Slank,” kata Bayu.
BALI, 1993. Di sebuah bungalow di kawan Kuta. Usai pentas, Bimbim, Kaka, dan Bongky mendapat tawaran barang dari seorang teman, bubuk berwarna putih yang bisa memberi sensasi hebat. Ini putaw. Tapi, mereka tak tahu. Selama ini mereka hanya menikmati minuman keras serta mengisap ganja. Barang-barang itu telah menjadi bagian dari gaya hidup dan alat pemacu kreativitas.
Ketiganya bersedia mencoba putaw. Hasilnya, mereka muntah-muntah dan tak merasakan sensasi apa pun. Mereka terus mencoba, karena penasaran. Sampai di Jakarta, badan mereka terasa tak enak. Sakit. Sakau. Ketagihan. Untuk menghilangkannya mereka harus mengonsumsi barang itu lagi. “Kita terlalu bebas, terlalu bereksperimen, mencari jati diri, mencari pemikiran baru, akhirnya kita mencoba yang beda. Drugs juga merupakan simbol protes juga sih; terhadap kemapanan, terhadap orangtua, terhadap feodalisme, terhadap kekuasaan, yang kita anggap nggak bener,” ujar Bimbim.
Eksperimen acap dilakukan dan mereka menemukan rasa yang berbeda. Bikin lagu pakai minuman keras dan cimeng jelas lain, baik suasana maupun rasa.
“Rasanya kalau ketika make itu sama aja. Ya nggak tahu ya. Kalau gue sih setiap hari mikirin bikin lagu, mikirin kesenian, mikirin karya, mikirin Indonesia, begitu aja. Sebenarnya itu dopping,” kata Bimbim.
“Kalau gue bilang memang reaksi kimia yang membuat kita jadi apa sih… percaya diri,” ujar Kaka.
Bongky tidak seperti Bimbim dan Kaka. Ia tak kecanduan. Baginya, kalau sudah bikin badan sakit, ogah. Ia melakukannya untuk alasan mencari fenomena ke dimensi lain, ke dimensi bawah sadar, yang di alam sadar tak ia temukan.
“Dan ketemu. Ada sisi lain, ada kepribadian lain dari gue, pola pandang lain dari kaca mata itu, dalam melihat suatu masalah. Cuma, soal objektif atau tidak itu bukan prinsip,” ujarnya.
Barang baru itu kemudian menjadi barang biasa di Potlot. Pemakaiannya merambat ke personel Slank yang lain. Bahkan hampir semua orang di komunitas Potlot terkena wabah ini. Perlahan, markas Slank dipenuhi pemakai dan bandar narkoba.
Pay kali pertama kenal putaw di Yogyakarta. Usai manggung, iseng-iseng ia mencobanya. Ia muntah. Lama-lama ia menemukan asyiknya, dan ketagihan. Sehari tak ketemu putaw, ia sakau. Ia jadi orang sakit. Pakai putaw, jadi normal.
“Kita jadi terpatok di satu arah, padahal kita tuh punya pilihan. Namanya manusia, sudut-sudut di hati kita kan banyak. Ada yang fun, gembira, yang ini. Kalau kita pakai drugs itu satu sudut yang dalam aja. Karena suasananya begitu. Orang, kalau tidur aja gue mimpinya pantai, tapi hitam,” ujar Pay.
Indra terkena belakangan. Ia mencobanya dan muntah. Tapi melihat teman-temannya begitu menikmati, ia jadi penasaran. Indra mencoba terus selama satu minggu. Lama-lama terbiasa dan tak muntah lagi.
“Kalau pas lagi kena begituan sih, main keyboard, bikin lagu, enak aja,” kata Indra.
Pada tahun-tahun pertama mereka menikmati kegemaran ini. Asyik. Kreatif. Mereka bahkan melempar album ketiga Piss (1993). Dalam album ini Slank masih bicara tentang kehidupan masyarakat, dan berharap pemikiran mereka bisa menjadi salah satu jalan keluar, seperti lagu “Piss”, “Main Monopoli”, “Korban Tradisi”, dan “Cekal”.
Cekal dicekal
Kritik beda pendapat
Cekal dicekal
Dianggap biang rusuh
Kami juga punya ide
Kalian juga punya ide
Musyawarah mufakat
Musyawarah untuk mufakat (bener nggak?)
Tanggapan dari kalangan intelektual pun muncul. Slank diundang melakukan pertunjukkan musik atau diskusi sosial. Album Piss kembali meraih BASF Award sebagai Album Terlaris 1993/1994 untuk Kategori Rock Alternatif dengan hits “Mau Beli Tidur” dan “Kirim Aku Bunga”.
Pencarian bentuk Slank dalam bermusik akhirnya sampai pada album keempat Generasi Biru (1994), yang diproduksi Piss Record, perusahaan rekaman milik Slank. Kritik mereka makin tajam. Tentang birokrasi (“Birokrasi Complex”), tentang pencemaran lingkungan (“Nggak Perawan Lagi”), dan tentang “Feodalisme (Warisan Kompeni)”. Mereka juga berteriak lantang, “Hey … Bung” kepada kelompok elite politik agar coba turun ke jalan. Mereka juga memimpikan hidup enak cuma tidur-tiduran (“Blues Males”).
Dan generasi biru, yang juga dijadikan judul album dan lagu, menjadi kristalisasi sikap dan pandangan hidup mereka.
Aku nggak mau di rekayasa
Aku ingin berpikir merdeka
Jangan coba-coba untuk memaksa
Karna aku Generasi Biru
“Kita bilang kita generasi biru karena kita ingin berpikiran bebas sama dalam, seperti luasnya biru langit dan seperti dalamnya biru lautan. Karena kita open mind. Kita harus open mind sama zaman, sama keadaan. Karena kita nggak bisa berpatokan hidup dengan satu cara, tradisi, karena zaman pasti berubah,” ujar Bimbim.
Album ini meraih penghargaan dari BASF Award 1994/1995 dengan predikat Double Platinum Album Category, yakni album penjualan terlaris sepanjang 1994/1995 untuk semua kategori musik.
Setahun kemudian Slank meluncurkan album kelima, Minoritas (1995) dengan hits “Bang-bang Tut”. Ciri khas Slank belum juga hilang. Mereka menyentil remaja untuk sekolah (“Tut Wuri Handayani”). Mereka juga memimpikan—meski nggak mungkin nggak mungkin / semua itu terjadi, “Pak Tani” yang punya laser disc, televisi berwarna, rumah dengan alarm pengaman, dan mobil BMW.
Tapi, personel Slank makin terpuruk dalam pengaruh putaw. Putaw mulai mengganggu proses berkesenian mereka. Jadwal latihan bisa berantakan karena harus mencari barang. Proses rekaman kacau. Kalaupun barang ada atau didapat, latihan tetap berantakan lantaran masing-masing sibuk dengan mimpi-mimpinya. Hanya beberapa saat saja, ketika sober (merasa segar), mereka mulai bekerja dengan penuh percaya diri. Apa saja yang mereka lakukan terasa menyenangkan. Mereka telah menciptakan dunia mereka sendiri, dunia yang bagi mereka normal, tapi tidak bagi orang normal.
Bimbim dan teman-temannya sudah jadi pemadat berat. Putaw pun mengacaukan sistem kerja otak dan perasaan mereka. Mereka jadi tertutup, cepat tersinggung, gampang marah, dan curiga. Mereka mengidap paranoia. Keadaan ini membuat komunikasi antarpersonel jadi mis, pembicaraan jadi tak nyambung. Bongky merasakan betapa komunikasi tak berjalan.
Perselisihan pun muncul, bersumber dari hal-hal kecil. Hanya karena tak berbagi putaw, mereka bisa saling curiga, bahkan bertengkar. Suatu ketika Indra tak membawa persediaan putaw yang cukup ketika manggung di Medan. Badannya terasa sakit. Mencari putaw di Medan bukan perkara gampang, bahkan mungkin tak ada. Ia pun meminta pada teman-temannya, tapi dijawab lagi tak ada. Ia sakit hati. “Pelit amat sih. Ntar gua bales lu,” pikirnya.
Ia manggung dengan menahan sakit.
Kecurigaan juga bisa muncul karena soal pembagian honor. Kesibukan Bongky, Indra, dan Pay di luar Slank pun memicu perselisihan, bahkan soal perempuan.
Puncaknya, Bimbim menandatangani surat pemecatan untuk Pay, Indra, dan Bongky. Alasannya, visi ketiganya sudah melenceng dari visi Slank.
“Ini lebih karena prinsip, jalan hidup yang mau kita tuju. Di Slank itu solidaritas nomor satu, sosialis lebih tinggi, rasa sama rata sama rasa. Tapi gue lihat yang tiga ini udah mulai hidup dengan dirinya sendiri. Sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Udah sibuk bermain musik bukan hanya untuk mengekspresikan diri, tapi udah untuk mencari tambang emas. Hal-hal seperti itu yang bagi kita kemapanan itu, kita coba hindarin,” kilah Bimbim.
Surat pemecatan itu mengagetkan Bongky, Indra, dan Pay. Mereka sakit hati. Mereka tak pernah diajak membicarakan masalah sebenarnya. Alasan pemecatan karena kesibukan di luar tak bisa mereka terima. Sesibuk apapun, kalau mau rekaman, mereka akan menyiapkan waktu.
Ketika itu, Piss Record meminta personel Slank segera masuk dapur rekaman, karena Slank terikat kontrak dengan distributor kaset rekaman PT Virgo Ramayana. Namun karena pengaruh drugs, permintaan itu belum terkabulkan.
Bongky sudah menyarankan kepada Bimbim agar menvakumkan Slank selama setahun untuk proses rehabilitasi seminggu sebelumnya. Tapi, saran itu tak diterima.
Bagi Bongky, Pay, dan Indra, urusan kontrak itu bisa ditangguhkan atau bicarakan ulang. Toh sejak album Generasi Biru, Slank memproduseri sendiri album rekamannya di bawah manajemen Pulau Biru Productions, pengganti Pulau Biru Management.
“Dalam hati gue marah. Basicnya kita main band itu bukan untuk bisnis. Kita ngomong profesional tapi tidak profesional lagi, karena mabuknya udah kebanyakan,” kata Bongky.
“Bimbim itu kan di leader. Dulu gue berantem ama Indra aja yang menengahi Bimbim. Cuma dia juga lagi kacau. Dia juga sensi. Orang yang diharapkan mengeluarkan kita dari masalah itu malah berpikiran pendek dengan bubarin. Kan bisa ditunda dulu, nunggu anak-anak sembuh,” kata Pay.
“Nggak jelas Bimbim ngeluar-ngeluarin. Udah, gua pikir, ‘Wah pada mabok’. Gua beresin alat-alat gua, cabut. Tapi gua pikir bagus juga. Memang kondisinya begitu. Drugs sudah klimaks banget di Potlot. Kalau gua lihat memang dia musti bubarin Slank dulu. Kalau nggak, itu jadi ancur, masing-masing urusannya nge-drugs. Kita sudah perlu merehabilitasi diri,” kata Indra.
Upaya penyelesaian pun dilakukan. Pay berusaha menemui Bimbim, tapi tak bisa bertemu. Begitu pula yang lainnya.
Ketiganya mencoba menggunakan jalur hukum. Bagaimana pun ketiganya punya saham di Pulau Biru Production yang sudah menjadi perseroan terbatas. Namun mereka akhirnya mengurungkan niat itu. (Kelak, ketiganya, terutama Pay dan Indra, masih terbelit narkoba, bahkan sampai menjual peralatan-peralatan musik dan studio mereka. Pada awal 2000, setelah merehabilitasi diri, ketiganya bersama Irang dan Jaka membentuk kelompok musik BIP dengan lagu-lagu yang mengingatkan orang pada warna musik Slank lama.)
Pada masa transisi, dibantu dua musisi pendukung, Reynold (gitar) dan Ivan Kurniawan Arifin atau Ivanka (bas), Slank meliris album Lagi Sedih (1996) dengan hits “Tonk Kosong” dan “Foto dalam Dompetmu”. Sejak album ini Piss Records berubah menjadi Slank Records. Warna musik Slank memang berubah, tapi lirik tetap tajam-menyengat karena Bimbim lah yang selama ini mewarnai lirik lagu-lagu Slank.
UNTUK kali kedua personel Kandidat mendatangi Potlot. Tujuannya untuk menagih janji kepada Budi Susetio, eks manager Slank. Tahun sebelumnya, demo kaset yang mereka berikan ke Soesetio dianggap terlalu berwarna Slank. Soesetio lantas meminta personel Kandidat datang lagi tahun berikutnya dengan demo kaset yang punya ciri lain.
Album itu juga ditawarkan Pulau Biru Production yang membawahi Slank. Bimbim berpendapat sekitar tigapuluhan lagu dalam album itu berwarna Slank. Namun ia menyarankan agar Kandidat sesering mungkin datang ke Potlot untuk sharing, sebuah saran yang tak bisa diiyakan personel Kandidat yang kuliah dan tinggal di Semarang.
Berangkatlah personel Kandidat bersama manajer mereka, Wisnu Surya Saputra, dan seorang teman, Andi. Bermodalkan demo kaset berisi tujuh lagu bercorak alternatif, mereka berangkat naik kereta api Senja Utama. Dalam perjalanan mereka bercanda, dan memimpikan kesuksesan di depan mata, meski duit di kantong tipis.
Di Jakarta mereka langsung menuju kantor Budi Susetio. Namun mereka kecewa karena tak bertemu dengan Susteio. Mereka hanya ditemui asisten Susetio.
Orang tersebut sempat mendengarkan demo kaset itu, tapi tak bersedia mengambil keputusan. Personel Kandidat pun pulang sembari meninggalkan nomor telepon. Dari sana mereka pergi ke Potlot.
Sesampai di Potlot, begitu masuk gang, mereka berpapasan dengan Ivanka. Berebut, mereka salaman dengan gitaris Slank itu.
Mereka masuk pagar. Ada beberapa Slanker nongkrong. Ada juga Imanez, Kaka dan istrinya. Mereka pun berfoto bersama. Mereka pun berfoto bersama Kaka.
Bimbim seharian tak keluar kamar. Bunda Iffet bolak-balik mengetuk pintu sambil memnaggil. "Bim, jadi rekaman, nggak ...?!".
Mereka datang lagi ke Potlot keesokan harinya. Kebetulan Slank lagi berulang tahun. Suasana ramai. Banyak anak baru gede (ABG). Ada satu set alat musik di teras rumah utama. Mereka sempat mengisap ganja bareng Imanez. "Bebas betul Pulau Biru ini" pikir Fajar.
Kemudian mereka pun larut dalam keramaian; ikut acara potong tumpeng, dan melihat Slank main musik live dikelilingi Slankers. Bayu paling enerjik. Dia mondar-mandir sambil membawa kamera saku. Bimbim memutar lintingan ketika memainkan drumnya. Slank menyanyikan lagu “Balikin”, salah satu lagu andalan dalam album Tujuh.
"Lagu aneh…"
"Nggak Slank banget"
Mereka saling memberi komentar, bahkan beranggapan bahwa Slank sudah berakhir. (Kelak, anggapan itu terbantahkan. Lagu itu membawa Slank kembali ke puncak)
Susetio sempat meminta mereka untuk datang keesokan harinya. Spontan mereka histeris, berteriak-teriak girang, berpikir demo kaset mereka diterima. Ternyata itu menjadi hari paling menyedihkan bagi mereka. Susetio mengatakan belum cocok dengan lagu-lagu itu. Dia menawarkan sistem pembiayaan fifty-fifty, tapi personel Kandidat menolak.
DI SEBUAH ruangan sekolah musik di Jalan Pemuda, Ridho yang sedang mengajar, menerima panggilan dari telepon genggamnya. Aha, tak biasanya ia membiarkan handphone-nya hidup. Telepon itu dari teman lamanya, Lulu. Ia manajer Slank.
“Ini Bimbim mau ngomong,” ujar perempuan di seberang telepon.
Perkenalan terjadi, pembicaraan terlayani.
“Ayo kita ngejammin,” ajak Bimbim. “Kita udah mau manggung nih di Bandung.”
“Oh ya sudah.”
Beberapa saat kemudian ia mendapatkan tigapuluhan lagu yang harus dipelajari. Lulusan Musician Institute ini dapat jatah memegang gitar. Selain ia, Bimbim juga mengajak Abdee Negara (gitar) untuk bergabung.
Keduanya lulus audisi, dan mengisi kekosongan tempat yang sebelumnya diisi Reynold dalam album Lagi Sedih. Reynold menggundurkan diri, sementara Ivanka mau bergabung. Bandung kemudian menjadi awal pemunculan Slank dengan formasi baru.
Kedatangan personel baru ini ternyata bisa mempertahankan kejayaan Slank. Slank meluncurkan album baru bertajuk Tujuh (1997), dan tetap mendapat sambutan hangat. Album dengan hits “Balikin” ini bahkan mencatat penjualan tertinggi dibanding album-album sebelumnya.
Bukti eksistensi Slank dibuktikan dengan penghargaan AMI Awards untuk mereka sebagai Album Rock Terbaik, Lagu Rock Terbaik, dan Group Rock Terbaik sepanjang 1997.
Kemudian berturut-turut Slank meluncurkan album Mata Hati Reformasi (1998), Slank A Mild Live (1998), dan double album 999+09 (1999).
Perubahan sudah dilakukan. Yang belum berubah, kebiasaan personel Slank yang kecanduan putaw. Bimbim dan Kaka kemudian malah mengenal dan memakai shabu-shabu. Kecanduan. Pecandu narkoba di Slank bertambah satu: Ivanka. Sejak kuliah, Ivanka mulai mengenal minuman keras, ganja, pil nipam dan sejenisnya. Benda-benda itu membuatnya lebih percaya diri ketika bermain musik. Dari situ ia mulai mengenal heroin, lalu putaw, dan shabu-shabu hingga kecanduan.
Abdee bebas dari narkotiba. Meski dulu pernah mencicipi ganja, pil koplo, dan putauw, juga minuman keras, tapi ia mengaku belum pernah kecanduan. Ridho hanya sekali mencoba, dan langsung overdosis. Ia mencampurkan obat, ganja, bir hitam, minuman keras. Ia merasakan efeknya sampai sekarang; suaranya tak bisa lepas.
Kecanduan ini menganggu jadwal latihan dan manggung. Acap ketika Slank show, penonton membeludak, tapi mereka malah teler di kamar hotel. Ini acap menjengkelkan Abdhee dan Ridho, yang tak bisa mengikuti ritme kerja Bimbim, Kaka, dan Ivanka. Ridho sempat berpikir untuk hengkang dari Slank, dan menyampaikannya ke Bunda Iffet.
Bunda Iffet, ibu Bimbim yang juga kemudian menjadi manajer Slank, terpukul ketika kali pertama tahu Bimbim pakai narkoba. Ia merasa menjadi orangtua yang paling sengsara. Setiap hari ia bekerja keras untuk menyadarkan anaknya dari penggunaan barang terlarang itu. Ia pernah membawa Bimbim untuk berobat secara medis, tapi hasilnya hanya bersifat sementara. Pengaruh obat malah membuat pikiran Bimbim menjadi kosong. Bimbim bisa berbugil ria di dalam kamar, bahkan terkadang jalan-jalan keluar kamar.
SEPTEMBER 1999, Pay muncul di markas Slank. Tempat ini, juga penghuninya, pernah jadi bagian penting dalam hidupnya. Ia pernah disekolahkan orangtua Bimbim. Ia juga pernah menjaga studio milik Bimbim, dan acap menilep uang sewa studio. Pay masih menjaga ikatan persaudaraan itu, meski dulu, tiga tahun lalu, ia pernah sakit hati karena mendapat surat pemecatan dari Bimbim. Kedatangan Pay mengagetkan para penghuninya. Badan Pay sudah gemuk.
“Sembuh lu, Pay.”
“Iya, gue pake obat tradisional …….”
Pay menuturkan keberhasilannya bebas dari narkoba. Ia berobat ke sinse Teguh Wijaya yang berpraktek di Kayu Putih, Pulomas, Jakarta Timur. Pacarnya, Dewiq, menawarkannya pengobatan altematif itu setelah melihat penampilan Teguh Wijaya di suatu acara televisi di RCTI.
Pay memberikan kartu nama Teguh Wijaya.
“Coba deh, Cuma sebentar, minum obatnya cuma 10 hari.”
“Boleh juga nih.”
Kartu nama itu disimpan Kaka. Ya, hanya disimpan. Ada perasaan tak percaya bisa semudah itu Pay sembuh dari ketergantungan narkoba. Untuk memastikannya, seorang kurir dikirim ke rumah Pay untuk mengecek kebenarannya.
Dua bulan dari pertemuan itu, usai manggung di Bali, di tepi pantai, keinginan untuk berhenti muncul dari para personel Slank.
“Kita berhenti yuk, udah masuk milinium baru nih, 2000. Buka suasana baru”.
“Ya udah deh. Gue juga sejak make 1993 itu belum pernah nyoba untuk berhenti. Begitu ada saat, ada moment, ada keberanian, gue berani deh untuk berhenti.”
Mereka ingat kartu nama Teguh Wijaya. Ke sanalah mereka datang untuk berobat. Oleh Teguh Wijaya, Bimbim, Kaka, dan Ivanka diminta menenggak kapsul Khe Ying Ning. Obatnya berbentuk pil kecil-kecil. Mereka harus meminum pil itu empat kali sehari dengan takaran 10 butir sekali minum. Pil itu harus diminum selama 10 hari. Total mereka menelan 400 pil seharga Rp 20 juta. Harga itu masih lebih murah ketimbang jatah narkoba personel Slank yang masing-masing mencapai Rp 1 juta per hari.
Bunda Iffet memotivasi ketiganya agar patuh minum obat. Ia juga mengawasi hubungan telepon ke luar. Sejumlah polisi diminta ikut memonitor sekitar kompleks, bahkan berpatroli malam. Ini dilakukan untuk menghalangi masuknya bandar narkoba yang selama ini memasok personel Slank.
Baru dua hari menenggak kapsul itu, Bimbim, Kaka, dan Ivan mengalami masa kritis. Mereka berperilaku aneh. Bimbim berteriak-teriak seperti orang tak waras. Begitu pula Kaka. Ivan malah ingin mematahkan dan menginjak-injak playstation. Masa kritis ini berjalan hingga empat hari. Selebihnya mereka bengong atau tidur seharian.
Begitu masa sepuluh hari terlewati, ketiganya menjalani penyembuhan mental. Mereka dikarantina di rumah selama tiga bulan. Kalau mereka ingin pergi ke luar rumah, beberapa orang mengawal. Mereka tak dibekali uang dan tak diperbolehkan membawa handphone. Di saku hanya tersedia kartu kredit, yang tak mungkin bisa digunakan untuk membeli narkoba.
Inilah proses terberat. Bahkan bagi Bimbim, sakau kalah berat. “Orang kalau kena drugs, lalu berhenti, itu kayak orang patah hati, kayak orang kehilangan istri, kehilangan anak,” kata dia.
Proses rehabilitasi itu menunjukkan tanda-tanda positif. Selera Bimbim, Kaka, dan Ivanka pada narkoba lenyap. Di mata mereka, bubuk itu terlihat memuakkan.
Namun Bunda Iffet terus mengawasi mereka. Ia akan menelpon kalau satu jam mereka tak ada di rumah; menanyakan berada di mana dan bersama siapa. Ia bisa menyuruh pulang kalau teman-teman mereka dianggap tak baik. Ia juga membuat jadwal latihan dan manggung yang padat untuk Slank. Setiap tiga bulan sekali Bimbim, Kaka, dan Ivanka menjalani tes urin.
Akhirnya ketiganya sembuh. Mereka bahkan mendeklarasikan diri “Perang Melawan Narkoba”. Sebagai ikon anak muda, keberhasilan personel Slank lepas dari narkoba ini kemudian dipakai untuk kampanye antinarkoba. Mereka diundang untuk berbicara di berbagai diskusi dan seminar.
Setelah setahun vakum, dan hanya meluncurkan De Bestnya Slank, Slank akhirnya meluncurkan album baru bertajuk Virus (2001). Untuk mempromosikannya, Slank melakukan tour “Virus Road Show” sebanyak 22 kota di Indonesia. Dari sini Slank merilis album live kali kedua Slank Virus Road Show (2002) dan juga merilis album live bergambar dalam format VCD karya Planet Design Indonesia. Seperti album live sebelumnya, album ini berisikan bonus sebuah lagu baru berjudul “I Miss You But I Hate You” sebagai protes terhadap kenaikan harga pulsa telepon.
Album Virus terjual sampai satu juta keping, sedangkan album sebelumnya, Slank A Mild Live, sebanyak 500 ribu keping. Angka penjualan itu ditambah dengan pemasukan dari konser membuat pemasukan Slank melimpah. Majalah musik Hai menyebut Slank sebagai musisi terkaya di Indonesia, mengalahkan Krisdayanti, Jamrud, Padi, Sheila on 7, dan Dewa.
STUDIO musik itu masih ramai, padahal malam makin larut. Dana bersama teman-temannya masih berkumpul dan mengobrol di teras. Mereka habis latihan.
“Aku sudah keluar dari Kandidat. Aku sekarang bergabung dengan Nu Soul Top 40,” kata dia.
Perubahan formasi di tubuh Slank empat menyesakkan dada penggemarnya, termasuk juga personel Kandidat. Meski Slank masih punya dua kekuatan; vokal Kaka yang khas dan kekuatan lirik bikinan Bimbim yang berjiwa, tapi warna musik Slank hilang.
Perubahan itu berpengaruh pada Kandidat. Dana meninggalkan Kandidat, karena kompisisi lagu Slank sudah tak memakai kibor. Hendrik dan Fajar mengundurkan diri karena alasan pekerjaan di luar kota.
“Aku senang Slank formasi lama. Dulu tuh blues dan rock ‘n rollnya kental banget. Setelah album Tujuh sudah kecampuran alternatif,” kata Dana.
“Slank lebih bagus yang dulu. Seperti BIP itu Slank yang dulu. Beda vokal aja. Slank sekarang tidak slengekan lagi. Liriknya masih, tapi musiknya tidak,” kata Hendrik.
“Terus terang saya lebih suka Slank waktu masih sama Indra, Bongky, dan Pay. Secara musikal Slank formasi baru ini terlalu lurus dan sederhana dibandingkan dulu. Tapi saya masih suka. Setiap Slank nongol di televisi, saya pasti nonton,” ujar Fajar.
Kini, tinggallah Aris dan Bayu di Kandidat. Keduanya berusaha menghidupkan lagi Kandidat setelah vakum setengah tahun. Dengan personel baru, Denny Prasetya dan Dhany Cahyono Santosa, keduanya gitaris, Kandidat masih akan membawakan lagu-lagu Slank.
“Koes Plus dikenang orang sampai sekarang. Mungkin kalau anak-anak masih kompak, 20-25 tahun mendatang, lagu-lagu Slank kayak lagu memori. Dia abadi,” kata Aris.
“Aku senang Slank karena Mas Bimbim-nya. Lainnya ganti nggak masalah,” kata Bayu. “Yang jelas di dalam sini Slank nggak ada matinya. Aku selalu ingat orangnya, lagunya. Biarpun orang bilang ‘Wou, kok bawain lagu Slank’, biarin. Kalau aku main, itu suatu kepuasan tersendiri.”*
Monday, September 02, 2002
Generasi Biru
at
3:28 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
10 comments:
Nice Posting. Peace
udah 11tahun gue jadi slankers baru kali ini gue dapet tentang sejarah pemecatan pay,indra, dan bongky..
emang gitu ya ceritanya?
mas nya dapet informasi dari mana?
makasih y atas informasinya..
..plur bro..
Hai bro,
Ini liputan untuk majalah. Jadi, cerita itu ya aku dapatkan dari wawancara, dengan personel Slank maupun BIP.
bisa tau alamat nya teguh wijaya dimana serta notel nya, tks
Maaf, saya tak punya kontak Teguh Wijaya. Saya kira kalau Anda googling akan menemukannya. Thanks.
aq fanatik slank juga...aq pgn liat kandidat maen.kapan kandidat maen bawain lagu2 slank???
trimakasih
mas aq ingin gabung SFC smg and liat perform kandidat.tlg infonya ya
makasih
Budi harto,
Saya bikin liputan ini lama sekali. Lama pula saya pindah dari Semarang ke Jakarta. Saran saya Anda masuk forum atau milis SFC, mungkin dapat informasi tentang mereka. Thanks
Kandidat: teman-teman sepermainan di Semarang. Asyik banget baca tulisan sampeya ini mas. Salam kenal. Gigih (masgiver.blogdetik.com)
Gigih, salam kenal juga. Rasanya menarik juga kalau tahu bagaimana mereka sekarang.
Post a Comment