Monday, October 01, 2001

Boikot

PERAYAAN ulang tahun, sebuah kemeriahan. Itulah yang terlihat pada peringatan ulang tahun ketiga Partai Nasional Indonesia (PAN) se-Jawa (minus Jakarta), Bali, dan Nusa Tenggara yang dipusatkan di Semarang, Jawa Tengah. Selama beberapa hari beragam acara digelar. Ada musik campursari dengan penyayi Didi Kempot. Ada wayang, gerak jalan sehat, dan berbagai lomba.

Sabtu, 25 Agustus 2001, puluhan wartawan berkumpul di lobi Hotel Grand Candi, Jalan Sisingamaraja, Semarang. Mereka siap meliput jumpa pers yang rencananya dimulai pukul 17.00.

Pukul 17.20 ketua PAN Amien Rais maupun panitia tak juga terlihat. Pihak hotel mengatakan partai itu tak memesan ruangan di sana serta menyarankan para wartawan pergi ke Hotel Graha Santika, Jalan Pandanaran, tempat Amien menginap.

Puluhan wartawan dari media cetak, elektronik, serta dotcom bergegas ke sana. Lama menunggu, para wartawan menyaksikan panitia memboyong Amien ke rumah seorang pengurus Muhammadiyah di daerah Gombel. Wartawan pun mengikutinya.

Magrib telah lewat. Sebagian besar wartawan dipersilakan makan di lantai satu, sedang Amien dan rombongan makan di lantai dua di rumah daerah Gombel itu.

Selesai makan, wartawan masih menunggu. Beberapa saat kemudian Amien menemui mereka. Tapi, wartawan jengkel lantaran Amien, yang juga ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, tak memberikan keterangan pers di sana.

Wartawan pun kembali ke Hotel Graha Santika. Kali ini mereka tak tahan lagi dan sepakat memboikot, tak meliput seluruh kegiatan ulang tahun PAN, termasuk pidato Amien yang dilakukan esok hari. Sebagai bentuk protes, mereka duduk-duduk, peralatan meliput, mulai kamera, tape recorder, kartu pers, sampai bloknot digeletakkan di lobi hotel. Sebagian wartawan ada di ruang diskotek sambil mengikuti lantunan musik.

Rupanya kegusaran wartawan diketahui Amien. Pukul 20:00 atau kira-kira tiga jam terlambat dari janji semula, Amien dan rombongan turun dari lantai atas, menemui wartawan. “Begini saudara-saudara, saya minta maaf. Saya juga diombang-ambing panitia. Jadi ini kesalahan panitia setempat, sehingga rekan-rekan wartawan terlantar. Terima kasih,” kata Amien, bergegas menuju mobilnya untuk menghadiri resepsi di tempat lain.

Bukan Amien saja yang minta maaf. Legislator Alvin Lie dari PAN, pengurus lain termasuk Jip Henky Jana Prasetya, yang sekaligus mewakili panitia, berkali-kali minta maaf serta minta kesediaan wartawan untuk kembali meliput. Tapi mereka tak digubris.

Radio Rasika 107,55 FM, Semarang, juga terkena dampaknya. Sebelum pukul 19.00, Rasika seharusnya menyiarkan wawancara dengan Amien Rais, tapi malah terombang-ambing. Mereka langsung membatalkan kontrak. Kegiatan reportase di lapangan yang berhubungan dengan ulang tahun PAN, dihentikan.

"Selain sebagai solidaritas, boikot ini juga sebagai wacana bagi kawan-kawan di PAN bahwa tak mungkin arogansi terus dikembangkan," ujar Yos Bayu, pemimpin redaksi radio Rasika.Radio ini hanya memberi waktu lima menit untuk Amien minta maaf.

Ecep Suwardani Yasa, ketua Aliansi Jurnalis Independen setempat, memandang tak sepantasnya Amien Rais, dan terutama PAN sebagai partai terbuka, bekerja tak profesional. "Pentingnya bukan sekadar maaf-maafan, karena tak ada alasan untuk tidak memaafkan. Ini penting sebagai pelajaran bagi PAN dan partai politik lainnya untuk tidak berlaku serupa di momen-momen mendatang," ujarnya.

Panitia tak siap, sedang wartawan keburu naik pitam. Aksi Semarang itu menutup maraknya pemboikotan oleh wartawan pada Agustus 2001. Sebelumnya, pemboikotan dilakukan terhadap dua artis, Desy Ratnasari dan Feby Febiola.

Desy yang menikah dengan Sammy Hamzah, seorang direktur perusahaan besar, dianggap melakukan diskriminasi. Ia hanya mengundang 10 media dalam jumpa pers terbatas pada 13 Agustus 2001. Tapi acara itu bocor satu jam sebelum dimulai. Para wartawan berdatangan ke tempat pertemuan.

Pihak manajemen Desy melarang masuk wartawan yang tak diundang. "Tolong dong hargai saya. Saya juga wartawan, kok," katanya.

"Kalau kamu wartawan harusnya tahu apa yang kami lakukan," balas puluhan wartawan, tak mau kalah.

Dua hari kemudian, wartawan hiburan kembali sewot. Pemberkatan pernikahan artis sinetron Feby Febiola dengan Nicolas Hugo Bruce Delteil, pria berkewarganegaraan Prancis yang jadi konsultan ekonomi sebuah perusahaan Amerika, berlangsung tertutup di sebuah hotel Jakarta.

Ketegangan terjadi ketika acara berlangsung. Puluhan wartawan melakukan orasi. Isinya mengkritik manajamen hotel dan kedua mempelai. Mereka tetap ingin masuk.

Sekitar pukul 20.00, Lira Dachlan dari Hotel Gran Mahakam, memberikan keterangan pers. "Pada hari ini, Rabu tanggal 15 Agustus 2001, memang benar sedang dilakukan acara pernikahan Tuan Bruce Delteil dan Feby. Ini kesepakatan antara pihak hotel dan keluarga bahwa acara ini hanya bagi orang-orang dekat saja dan tidak boleh diliput wartawan."

Feby mengatakan, "Kami ingin acara pemberkatan nikah kami ini berjalan dengan khidmat. Saya tahu kalau ada wartawan pasti akan sangat mengganggu. Mungkin kalau terlalu banyak orang jadi kurang khidmat. Karena kami anggap hari ini yang sangat sakral," ujar artis ini.

Lucunya, meski wartawan gencar melancarkan boikot, berita-berita tentang Desy dan Feby tetap muncul di media massa. Harap maklum berita yang dikejar berita selebritas!

Ini beda dengan pidato Amien Rais di Semarang. Dalam pidatonya, Amien mengiyaratkan keinginannya untuk maju sebagai calon presiden bila partainya menang lebih dari 20 persen suara dalam pemilihan umum 2004. Ini berita besar!

Suara Merdeka, suratkabar terkemuka di Semarang, tak memuat berita itu. Suara Merdeka malah memuat berita di halaman pertamanya tentang boikot wartawan Semarang terhadap acara Amien Rais. Harian sore Wawasan sami mawon. Bahkan koresponden-koresponden media Jakarta, cetak maupun televisi, juga tak mengirimkan beritanya.

Lantas bagaimana dengan hak masyarakat untuk tahu? Kalau para wartawan jadi pemberang begini, dan sedikit-sedikit merasa dipersulit dalam mendapatkan informasi, mengapa tak sekaligan saja memboikot berita Presiden Soeharto selama 33 tahun jenderal itu berkuasa?

Bukankah Soeharto juga sering mempersulit wartawan? Mengapa cuma Desy, Amien dan Feby saja yang diboikot?*

No comments: