Wednesday, March 17, 2010

Emiria Sunassa: Perupa Genius




Namanya terlupakan dalam sejarah. Padahal ia salah seorang pelopor senirupa Indonesia modern.

“SENIMAN menciptakan sesuatu dari apa yang dinamakan ketiadaan,” ujar Emiria Sunassa.

Emiria sendiri seolah muncul dari ketiadaan, lalu menghilang begitu saja di masa akhir hidupnya. Dalam sejarah senirupa, namanya terdengar asing ketimbang nama-nama besar macam Basuki Resobowo, Sudjojono, Mochtar Apin, Rusli, dan perupa laki-laki lainnya. Padahal ia layak disebut pelopor perempuan perupa di Indonesia karena keberadaannya pada awal perjalanan sejarah senirupa dan konsistensinya dalam berkarya.


Ketika orang mempertanyakan aspek gender dalam senirupa, yang melihat perempuan bukan hanya sebagai objek tapi juga subjek, Emiria Sunassa sudah bergerak lebih maju. Sudjojono, bapak senirupa modern Indonesia, bahkan pernah menyebutnya “genius”. Salah satu karyanya, “Pengantin Dayak”, yang dominan dengan warna merah jambu dan coklat tua, menjadi koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta.

Pada dasarnya Emiria Sunassa tak berpikir jadi pelukis. Sebagai putri Sultan Tidore, ia hidup bergelimang kemewahan. Emiria lahir di Tanawangko, Sulawesi Utara, pada 1895. Meski ayahnya seorang raja yang berpikiran modern, Emiria hanya boleh belajar tak lebih dari kelas 3 Europese Lagere School. Tapi jiwanya “berontak”. Emiria bertekad kelak ia bisa mengunjungi negeri-negeri jauh dan mempelajari banyak hal.

Suatu ketika seorang duta luar negeri sakit. Emiria merawatnya hingga sembuh. Ia tak menyangka ketika lelaki itu melamarnya begitu sembuh dan akan pulang ke negeri asalnya. Emiria menerimanya. Dan sampailah ia ke Eropa.

Emiria belajar tari balet dari Miss Duncan dari Dalcroze School di Brussel dan dari Green di Amsterdam. Di Wina bahkan ia bermain dalam satu balet termasyhur sebagai puteri Timur. Ia muncul sebagai “Sun”, dengan sekujur tubuh berkilauan bak matahari. Penonton senang. Sejak itu ia disebut “Sunny”.

Tapi perkawinannya kandas. Ia bercerai dan kembali ke Indonesia. Di negeri sendiri ia masih senang melakukan perjalanan. Ia punya perkebunan di Halmahera, yang hasilnya bisa membiayai perjalanannya keliling daerah dan kelak apa yang ia lihat tertuang dalam lukisan-lukisannya.

Belakangan ia bertemu dengan Dr Pijper, yang suka seni. Suatu kali Pijper memperlihatkan reproduksi lukisan yang ia peroleh dari Belanda. Ia ingin tahu pendapat Emiria. Rupanya tanpa canggung Emiria melontarkan banyak kritik. Pijper terkesan. “Adakah kau mempunyai banyak pengertian tentang melukis gambar?” tanya Pijper seperti dikutip Soh Lian Tjie, wartawan perempuan, dalam “Emiria Sunassa, Dongeng Tentang Satu Pelukis Wanita” yang dimuat di Pantjawarna, Maret 1953.

Emiria mengangguk.

Pijper tak percaya. Ia belum pernah melihat Emiria melukis, atau melihat lukisannya. Penasaran ia mengusulkan agar Emria membuat satu lukisan sebagai kado ulangtahunnya. Emiria setuju. Tapi di dalam hati ia mengutuk: edan. Nasi sudah menjadi bubur, ia tak mau mundur.

Beberapa minggu telah lewat tapi lukisan jadi. Berkali-kali pula Pijper datang dan menanyakannya. Dengan ketus, Emiria menjawab ia tak dapat melukis sesuatu tanpa pensil, cat, dan kain linen. Pijper memberikan apa yang dibutuhkan Emiria. Lukisan belum jadi juga. Kali ini Emiria beralasan belum pernah jalan-jalan keluar Jakarta. Pijper mengajaknya ke Telaga Warna di daerah Puncak. Pemadangan di sana menakjubkannya. Tapi dengan beralasan ia bilang tak membawa kertas dan potlot. Akhirnya Pijper-lah yang membuat sketsa telaga itu untuknya. Sepulangnya, mulailah Emiria melukis.

Perlahan tapi pasti Emiria mulai menghasilkan banyak lukisan, dikenal, dan ikut pameran lukisan. Ia menjadi anggota Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) yang didirikan Sudjojono dan Agus Djaja pada 23 Oktober 1938. Ketika Bond van Kunstkringen, persatuan seniman Belanda, mengadakan pameran lukisan yang diperuntukkan bagi seniman-seniman Indonesia di Batavia pada 1941, Emiria ikut memamerkan karya-karyanya. Pameran 61 lukisan karya 30 pelukis pribumi ini menampilkan lukisan bertema pemandangan alam dan kehidupan sehari-hari yang merupakan tanda perkembangan seni rupa modern.

Di masa Jepang, Emiria juga masuk bagian seni Keimin Bunko Shidosjo (Pusat Kebudayaan), yang dibentuk pemerintah militer Jepang untuk tujuan propaganda. Pada 29 Agustus 1942, Pusat Kebudayaan memulai kegiatannya dengan pameran lukisan. Emiria satu-satunya perempuan yang ikut. Pameran berlangsung selama 60 hari dan sukses, sehingga dibikin kegiatan lainnya. Begitu pula ketika Poetera (Pusat Tenaga Rakyat) di bawah kepemimpinan Sukarno terbentuk. Emiria menjadi anggota seksi kesenian, yang dipimpin Sudjojono, dan tentu saja aktif mengikuti pameran. Di zaman Jepang, namanya tercatat dalam buku Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa terbitan Goenseikanbu tahun 1944, dengan nama lengkap: Emiria Sunassa Wama'na Putri Al Alam Mahkota Tridore gelar Emma Wilhemina Parera.

Kritikus seni Sanento Yuliman, dalam buku Dua Seni Rupa, menyebutkan bahwa pada akhir April 1943, Emiria memamerkan sejumlah lukisan dengan objek lukisan berupa patung masyarakat suku Indonesia dalam sebuah pameran di Jakarta. Menurut Sanento, karya Emiria merupakan salah satu ciri karya seni lukis yang menampilkan keindonesiaan melalui penggambaran artefak masyarakat suku di Indonesia.

Menurut Soh Lian Tjie, yang mengunjungi Emiria Sunassa pada 1953, jiwanya yang bebas-keras terlihat dalam lukisan-lukisannya. Ia melukis sebagaimana ia melihat objeknya, menurut kesan yang ia dapatkan, tak peduli aturan tentang anatomi atau keinginan pembeli. Ia memilih warna-warna yang luar biasa. Ia melukis objek-objek yang pernah ia kunjungi. Tak heran jika ia menonjolkan unsur etnik. Ada lukisan penari Bali, hutan di Papua, pemukul sagu di Maluku.

Oleh banyak kalangan Emiria juga dianggap menghasilkan karya feminis awal karena sering menampilkan perempuan yang bersumber pada cerita-cerita pribumi, sosok-sosok puak, dan model dari kalangan jelata. Lukisan “Mutiara Bermain”, yang dibuatnya selama empat tahun sejak 1942, menggambarkan dua perempuan telanjang sedang menari di belahan mutiara di dasar laut. Ini menyiratkan betapa tertindas perempuan kala itu, terlebih di masa penjajahan Jepang yang menjadikan perempuan sebagai pemuas nafsu birahi. Karya lain yang bersubjek perempuan antara lain "Kembang Kemboja di Bali" (1958), "Wanita Sulawesi" (1958), "Market" (1952), dan "Panen Padi" (1942). Menurut Emiria, seperti dituturkan kepada Soh Lian Tjie, seni Indonesia modern masih mesti mencari jalannya. “Pelayan-pelayannya”, laki-laki maupun perempuan, harus sadar sepenuhnya, bahwa mereka masih jauh dari tujuan yang ingin mereka capai.

Emiria tinggal di sebuah rumah yang adem dengan pekarangan penuh tanaman. Tapi dinding rumahnya kosong. “Ini semata-mata karena saya tak dapat bekerja apabila saya dikitari barang-barang bagus. Itu agak menganggu pemusatan pikiran saya. Seniman menciptakan sesuatu dari apa yang dinamakan ketiadaan.”

Jejak Emiria Sunassa kemudian lenyap pada 1960-an, meninggalkan tanya bagi banyak orang. Menurut arsip www.nationaalarchief.nl, pada 1960 ia mengajukan permohonan visa ke Nederlands Nieuw-Guinea, nama Papua Barat kala itu, dengan menyebut diri "Ratu dari Nederlands Nieuw-Guinea". Tak jelas untuk apa. Papua Barat, yang sejak abad ke-18 dianggap bagian dari Kesultanan Tidore, hingga masa itu masih menjadi wilayah yang disengketakan antara pemerintah Indonesia dan Belanda. Emiria Sunassa meninggal di Lampung pada 7 April 1964.

Penulisan sejarah seni rupa mulai memberi apresiasi terhadap perupa perempuan Indonesia yang terus tumbuh -dan Emiria Sunassa-lah yang telah meletakkan pijakannya. *


[Dimuat di www.majalah-historia.com, Selasa, 16 Maret 2010 - 16:34:05 WIB]

1 comment:

Unknown said...

Sebagai orang tidore saya sangat bangga