Wednesday, September 17, 2008

Lukisan Batik

BILIK itu sempit. Kanvas bertumpuk tak beraturan. Kaleng cat minyak berjejer di lemari kayu di sisi pintu masuk. Lukisan di dinding menjadi pemandangan yang memanjakan mata kita.

Seorang lelaki paruh baya, berusia 51 tahun, sesekali menyapukan kuas di permukaan kanvas. Ketika sibuk, ia terlihat di beranda biliknya, mewarnai bentangan kain bermotif batik. Kalau tak sibuk, ia memilih terlentang di ranjang atau kursi kayu, melahap buku yang ia pinjam dari tetangga sebelah.

Saya mengenalnya tiga tahun lalu. Dia sering datang ke rumah, meminjam buku. Dia menjadikan rumah saya sebagai galerinya. Lukisan-lukisannya terpajang di dinding-dinding rumah.

“Saya tak akan melepas lukisan-lukisan ini dengan harga murah,” ujar Ambar Nugroho, menunjuk lukisan di ruang tamu dan kamar saya.

Lukisan perempuan berbalutkan kain batik. Syal, juga dengan kain batik, melilit kepalanya. Ia mendonggakkan kepala, tersenyum manis. Di hadapannya, dalam bingkai garis, keramaian mengikuti pertunjukan tarian. Semuanya mengenakan batik dengan beragam motif. Lukisan di kamar juga seorang perempuan. Ia nyaris telanjang. Tangannya menyilang, menutupi dadanya yang ranum. Sehelai kain batik menutupi tungkainya yang halus. Ia setengah duduk sambil menunduk. Matanya sayu. Di belakangnya, gadis-gadis kecil saling melirik dengan tangan saling mengait.

“Bikin motif batiknya setengah mati.”

Di ruang tengah, seorang anak kecil bercawat kain kusam bersandar pada tiang bambu. Kulitnya legam. Rambutnya keriting. Tangannya mengengam ekor cenderawasih. Latarnya motif batik yang khas dan jarang ditemui: batik Papua –adopsi dari ukiran kayu suku Asmat.

Motif-motif batik, dengan pengerjaan amat detil, menjadikan lukisan-lukisan ini istimewa. Ia membuatnya tahun 2004, ketika kenangan akan kejayaan lukisan batik merayap di kepala, dan pengerjaan batik menjadi bagian dalam hidupnya.

Di sesela kesibukannya membatik, Ambar menerima pesanan melukis. Kalau itu lukisan foto perkawinan, motif batik akan menonjol. Kalau lagi tidak mood, ia melukis apa saja. Ada lukisan abstrak. Lukisan telanjang. Ia juga menerima pesanan lukisan potret diri atau perkawinan. Ia mengerjakan lukisan-lukisan itu, “sekadar mengejar setoran.”



AMBAR kecil senang melukis. Semasa taman kanak-kanak di Gereja Pugeran, Yogyakarta, ia sudah memenangi lomba melukis antarsekolah. Lukisannya khas anak-anak tapi juga menggambarkan pamandangan yang umum di pedesaan: gerobak sapi yang melaju pelan, tak peduli sepasang anjing dengan asyik-masyuk kawin di sisi jalan.

“Dasar cah cilik,” ujarnya, tersenyum.

Kelas 3 sekolah dasar, di Jakarta, ia menekuni ilustrasi. Komik lagi berjaya. Ia menyukai komik Jan Mintaraga dan Ganesh TH. Ia membacanya berkali-kali, menirukan coretan-coretan mereka, “sampai hafal, terasah di sana.”

Bakatnya terpenuhi begitu lulus sekolah menengah. Ia masuk Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) di Yogyakarta, bertempat di Akademi Seni Rupa Indonesia, tahun 1974. Tapi ia hanya bertahan sampai kelas 3 karena pikirannya mulai bercabang: mencari uang.

Saat itu lukisan batik mengalami masa keemasan. Lukisan batik kontemporer, yang dipopulerkan oleh Amri Yahya sejak pertengahan tahun 1960-an, mulai mendapat tempat sebagai karya seni pada 1970-an. Bahkan AN Suyanto, Bambang Gunarto, Kuswaji, Sumiharjo, sampai Bambang Oetoro berkeliling pameran di mancanegara. Selain mereka, Bagong Kussudiardja dan Kuswaji Kawindro Susanto ikut merajai lukisan batik di Yogya. Lukisan-lukisan mereka laris manis. “Bule moro dewe,” ujar Ambar.

Ia ikut-ikutan melukis batik, menitipkannya ke artshop di Ngasem atau Prawirotaman, sehingga memberantakkan sekolahnya.

“Aku rusakke neng kene. Kesenengen golek duit. Paling tinggi bisa Rp 15 ribu (per lukisan). Bahkan baru dimalam (dicanting) saja sudah dipesan.”

Namanya lukisan batik, proses pengerjaannya juga sama seperti membatik. Kain digambar dengan pensil, lalu dicanting sesuai guratan pensil dengan tambahan isen-isen, baru dicelup warna. Usai pewarnaan, sebagian ditutupi dengan malam, lalu dicelup lagi dengan warna yang lebih tua. Kain tinggal dilorod (dimasukkan air panas, agar malam mencair) –kalau ingin hasil lebih bagus, misalnya untuk mendapatkan degradasi warna, proses pelorodan bisa berkali-kali.

“Gak ana bedane. Bedane batik kanggo pakaian, lukisan batik kanggo hiasan.”

Ambar mengenal batik sejak kecil. Eyangnya, Atmo–dikenal dengan panggilan Bu Ayu, dikenal sebagai tokoh batik Yogya. Rumahnya di Patehan. Bagong termasuk salah seorang muridnya. Dari Eyangnya-lah Ambar belajar motif-motif batik. Biasanya ia yang menggambar di kain, sang eyang yang akan membatik.

Tapi persaingan ketat batik, yang menjatuhkan harga, berimbas pada lukisan batik. Kejayaan lukisan batik jatuh. Ambar pun mulai menekuni cat minyak. Ia juga bikin ilustrasi cerpen untuk Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, dan Mekar Sari. Sesekali ikut pameran lukisan tapi kapok karena tak ada lukisannya yang terjual.

“Tekor terus.”



SEBUAH majalah seni rupa mengusiknya. Ia membacanya dan terpaku pada satu nama yang tertera dalam sebuah artikel: Diyono SP, pelukis-pematung Bumi Tarung, lembaga yang dulu dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

“Dia guru saya,” ujar Ambar.

Pada 1986, seorang paman mendapatkan proyek pengerjaan gerbang selamat datang Lampung di Tarakan. Pengerjaannya diserahkan kepada Diyono. Ambar ikut membantu, dan senang karena bisa memperdalam keahliannya. Gerbang itu masih berdiri tegar.

Jauh sebelumnya, Ambar sudah di Jakarta. Ia mengisi ilustrasi di majalah Senang, membuat ilustrasi cover buku, sempat mengajar kursus melukis dan membatik di Sasana Olah Kesenian Kak Alex –sama seperti Pak Tino Sidin, mengisi acara melukis di TVRI– dan akhirnya bertambat di butik Rama Sinta. Di sini ia membikin desain, mengurusi produksi, dan lain-lain. Tapi lagi-lagi perubahan terjadi di dunia batik. Batik printing merajalela, menggusur batik tulis. Banyak pembatik tradisional gulir tikar, tergerus oleh mesin.

Rama Sinta gulung tikar.

Ambar pindah ke Harry Darsono, perancang busana, yang sudah dikenalnya di Rama Sinta. Harry sering datang ke Rama Sinta. Pada suatu kesempatan, Ambar menunjukkan desain-desainnya.

“Mas, aku bikin desain-desain ini bagaimana?”

“Kamu ke rumah saja.”

Tawaran lama itu yang mendorong Ambar mendatangi Harry Darsono. Ia diterima jadi asisten khusus untuk motif-motif batik, tenun, dan lain-lain. Salah satu temannya kelak jadi perancang busana juga: Nelwan Anwar. Tiga tahun di sana, dia memilih mengerjakan gerbang selamat datang Lampung.

Balik ke Jakarta, ia bekerja di perusahaan interior Anggitan Cipta selama tujuh tahun. Bosan, ia keluar dan terjun sepenuhnya sebagai pelukis. Lukisan-lukisannya terpajang di Hotel Sheraton di Lombok dan Bandung. Lalu, sejak 2005, Ambar pun mulai menetap di Kebayoran Lama, di bilangan Jakarta Selatan. Ia membantu mengerjakan batik semprotan gradasi warna, andalan Parang Kencana, yang tak dibikin di tempat lain. Juga kembali menekuni lukisannya.

“Konco-koncoku di SSRI sudah punya nama. Mereka masih eksis. Terus terang mbiyen aku ora kuat karo ngelihe. Aku cenderung sing cepet dadi duit. Sing bertahan malah wis sugih-sugih. Diamput!” ujarnya, lalu tertawa.

Tapi ia senang melihat kebangkitan batik di Indonesia. “Sejak Malaysia klaim batik, rasa memiliki batik tersentil. Batik tulis trend lagi. Tapi lukisan (batik) sih sama aja.”*

"Bocah Papua” acrylic on canvas 98 x 56 cm


"Mlengak" acrylic on canvas 67,5 x 67,5 cm


"Nyadang" acrylic on canvas 70 x 70,5 cm


"Bar PakPung" acrylic on canvas


"Harum" acrylic on canvas 68 x 85,5 cm


"Nggrantes" acrylic on canvas 100 x 130 cm


"Sumringah" acrylic on canvas 100 x 130 cm

13 comments:

Bung Imam said...

Hehehe, akhirnya jadi juga profile Pak Ambar. Aku mau bikin ini juga tapi waktu di Jakarta kemarin pikiranku buntu, rak produktif.
Senang membaca tulisan ini.
Tabik,
Imam S

Eko Rusdianto said...

Ambar tentu orang menarik. Saya ingat dia, sering pake kemeja, kancingnya terbuka, celana puntung. Sayang tubuhnya tidak atletis, hehehe.....

Apa kabar Mas?

Eko Rusdianto said...

Apa kabar Mas?

Saya tahu Ambar, yang belakang kontrakan kan. Sering pakai kemeja, kancingnya terbuka, celana puntung, tapi sayang tubuhnya tak atletis. Hehehe...

BUDI SETIYONO said...

Imam,
Dicari Pak Ambar tuh. Katanya mau dijadikan model lukisan terbarunya.

Eko,
Dicari Pak Ambar juga. Mau dilukis juga, menemani Imam. Hehehe

Bung Imam said...

Sampean dulu aja buat eksperimen. Kalau hasilnya ok nanti aku mau. Aku ragu soale kocomotone Pak Ambar soyo kandel, hehehe.

Private Lukis dan Gambar said...

Mantab info nya mas, numpang lewar ya masss.....

Aunul Fauzi said...

ditunggu tulisan tulisan yang lain mas .. buat belajar .. :)

BUDI SETIYONO said...

Fauzi,

Iya nih. Nulis buku jadi kelupaan ngisi blog. Selamat menulis juga. Datang ya di acara temen2 Narasi.

BUDI SETIYONO said...

Mas Ozzy,
Ilustrasi sampeyan asyik. Thanks mau mampir. Met berkarya.

Moses Foresto said...

Bagus. Topik apik, penulisnya juga. Lukisan2nya inspiratif sekali. Tq, senang membacanya.

Galih said...

Mas..bisa kasih info dimana saya bisa beli lukisan-lukisan batik tersebut...saya sangat butuh informasinya.. terima kasih. mungkin bisa melalui email saya di galih.rosanti@gmail.com

BUDI SETIYONO said...

Mbak Galih,

Saya jawab via email Anda. Thanks.

BUDI SETIYONO said...

Wawan,

Saya sudah mampir. Senang mengetahui lukisan batik masih berkembang. Thanks.