Monday, February 26, 2007

Selamat Jalan Sastrawan Sunda

PENGANTAR: ini tulisan keempat dan terakhir saya tentang Klara Akustia, semoga. Sampai suatu saat sebuah "puzzle" tentangnya seutuhnya saya terakan dalam sebuah buku. Tulisan ini semata dorongan hati untuk menanggapi sebuah tulisan dari seorang sastrawan besar yang sangat subjektif, dengan penutup yang membikin miris. Tulisan itu dimuat di sebuah suratkabar Pikiran Rakyat, yang sayang tak memuat tanggapan ini. (Catatan susulan: Tulisan ini akhirnya dimuat Pikiran Rakyat, 10 Maret 2007, seminggu setelah pemuatan tanggapan Martin Aleida)

BELUM 40 hari. Timbunan tanah di pemakaman masih belum kering; menyisakan bunga-bunga bertaburan, juga karangan bunga dari “seorang lawan” Goenawan Mohamad. Belum ada “rumah” permanen bagi yang pergi, juga papan nama. Masih ada sisa duka dan kesedihan, serta kenangan yang mungkin tak sepenuhnya utuh. Sastrawan itu, A.S. Dharta atau Klara Akustia (dua dari sekian nama penanya) sudah berpulang 7 Februari 2007, sekitar pukul 05.30 di rumahnya di Cianjur, karena sakit paru-paru dan komplikasi jantung. Dia dimakamkan di pemakaman keluarga, tak jauh dari rumahnya.

Sekali ini saya menengok kamarnya. Gelap. Pengap. Lemari penuh buku. Koran-koran bertumpukan. Di dalam sebuah kardus, saya menemukan kertas usang seribuan halaman: Kamus Bahasa Sunda-Indonesia, yang dia bikin untuk menyambut permintaan Atje Bastaman dan Moh. Kurdi alias Syarief Amin –keduanya tokoh Sunda dan pernah bekerja di Percetakan Sumur Bandung. Inilah kerja terakhir Dharta yang belum usai. Kelak, keluarga berharap, ada yang berkenan meneruskan enam abjad terakhir dan menerbitkannya.

Dalam kamarnya, masih ada surat dari Ajip Rosidi, tentang penerbitan Ensiklopedia Sunda. Sebuah buku tebal-fotokopian, Kantjungkundang, tergeletak di meja. Dalam buku ini, ada sejumlah karya Dharta –di luar buku itu, saya juga menemukan sajak-sajaknya dalam bahasa Sunda. Semestinya pembicaraan tentang karya dan sosok sastrawan Sunda inilah yang kita harapkan dari Ajip Rosidi, dalam pembicaraan soal “Akhir Hidup Pengarang Lekra” di Pikiran Rakyat, 17 Februari 2007. Mari bicara karya, ketimbang pengalaman personal yang tak bisa dibantah si empunya nama. Dari situlah perjalanan kreatif penulis, pengalaman hidup yang menempanya, serta pemikirannya akan lebih memperkaya bahasa dan kesusastraan Sunda.

Ada juga surat pribadi wartawan-cum-sastrawan Sunda Rachamatullah Ading Affandie (biasa disingkat R.A.F.) tertanggal 8 Januari 2001. Isi suratnya dalam bahasa Sunda yang indah, agak bersajak. Isinya hangat, penuh persahabatan, dan mencerminkan kerinduan untuk bertemu. Menurut R.A.F., Dharta-lah yang kali pertama mendeklamasikan sajak (bebas) Sunda. Sajak-sajak Kis. Ws, Afiatin, dan Kusnadi pernah dideklamasikannya dengan gaya modern.

R.A.F. juga menulis, dalam perkembangan bahasa dan sastra Sunda setelah perang, Dharta tergolong orang yang mencintai bahasa dan sastra Sunda. Ia sejajar dengan Achdiat Kartamihardja, Utuy Tatang Sontani, Rusman Sutiasumarga, Rustandi, hingga Ajip Rosidi, yang sekarang menjadi “dewa” dan memegang kiblat sastra Sunda. “Tah ‘mimitina mah’ ka rengrengan sastra Indonesia eta (dina basa & sastra Sunda) dumukna A.S. Dharta teh. Ngan henteu nerus Dharta mah, ‘titik berat” aktivitasna leuwih museur dina pulitik,” demikian bunyi surat R.A.F.


A.S. DHARTA memang akhirnya “berpolitik” tapi setelah melewati proses perjalanan panjang. Ketika remaja, dia turun ke medan pertempuran. Usai kemerdekaan, tak ada hari tanpa kerja. Menjadi wartawan Harian Boeroeh di Yogya, memimpin sejumlah serikat buruh, ikut dalam organisasi pemuda dan buruh internasional, PEN Club-Indonesia, serta sejumlah lembaga kebudayaan. “Dalam kerja itu kita melakukan genesis, melahirkan kita kembali, lieber create man,” ujarnya.

Semuanya memperkaya pengalaman batinnya sebagai sastrawan dan anak zamannya –hal ini juga semestinya dibicarakan Ajip Rosidi. Karya-karyanya bejibun. Bentuknya sajak, cerita pendek, catatan perjalanan, esai, kritik sastra. Bukunya memang satu: Rangsang Detik. Selebihnya masuk dalam antologi puisi bersama sastrawan lainnya. Ada juga naskah drama Saidjah dan Adinda, adaptasi dari novel Multatuli Max Havelaar terjemahan Bakrie Siregar, yang pernah dipentaskan pada 1950-an. Novelnya, Keringat, keburu dimusnahkah pemerintah militer Jepang. Cerita bersambungnya antara lain Tirtonadi Mengaku. Inilah sejumlah karyanya yang bisa dibedah, dikritik, tanpa harus mendengar pembelaan si penulis –ketika sebuah karya terbit, ia menjadi milik pembaca atau masyarakat.

Dharta sudah menulis sajak semasa Jepang. Tapi namanya makin dikenal sejak esainya pada 1949, “Angkatan 45 Sudah Mampus”, menggemparkan kesusastraan Indonesia. Sejumlah sastrawan ikut menanggapinya, antara lain Sugiarti, Sitor Situmorang, Mochtar Lubis, Anas Maruf, Achdiat Karta Mihardja, M.S. Azhar, Asrul Sani, dan HB Jassin.

“Seorang sastrawan tidak mungkin dan tidak bisa berdiri ‘netral’, terlepas dari pengaruh lingkungannya,” tulisnya dalam “Kepada Seniman Universal”, menanggapi tulisan kritikus sastra HB Jassin yang memajukan konsep humanisme universal. “Antara Bumi dan Langit” adalah sajak Dharta yang ditujukan untuk HB Jassin: Kita berdua sama-sama tidak bebas / kau terikat pada dirimu / aku pada Manusia dan zaman kini.

Realisme sosialis atau realisme aktif menjadi pegangan Dharta. Ia juga dipegang, tapi tidak dipaksakan, oleh sastrawan dan seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang secara salah kaprah dianggap sebagai organ Partai Komunis Indonesia (PKI). Dharta pendiri Lekra, bersama M.S. Azhar dan Njoto, pada 17 Agustus 1950. Dharta pula yang ditunjuk sebagai sekretaris jenderal (Sekjen) dan redaktur Zaman Baru, penerbitan resmi milik Lekra. Pada 1958, jabatannya sebagai Sekjen dicabut karena “kemesuman borjuis” –istilah Dharta yang ingin menyadarkan perlunya otokritik, bukan hanya kritik. Juga keanggotaannya di Konstituante –masuk sebagai calon-tak-berpartai lewat PKI.

Tapi, oleh teman-temannya, A.S. Dharta dinilai sebagai orang yang sulit dicari gantinya. Dia jenis manusia yang tak bisa diperintah. Pendiriannya teguh. Dia membangunkan dan mempengaruhi sastrawan era 1950-an. Pergaulannya luas tapi dia tak henti-hentinya mencari generasi muda terbaik. Pramoedya Ananta Toer, novelis tetralogi Bumi Manusia, satu di antaranya.


A.S. DHARTA bukan orang yang berhenti di satu jalan. Dia selalu bergerak. Tapi Bandung selalu menarik hatinya. Pada 1951, dia menjadi pembicara dalam Kongres Kebudayaan Indonesia II, bersanding dengan Hamka. Sebagai Sekjen Lekra, dia mendorong pembentukan Lingkaran Sastra Bandung. Sementara sebagai anggota Konstituante, dia mendorong otonomi daerah dalam konstitusi yang sedang digodok. Untuk Bandung pula, dia menjadi anggota Komite Perdamaian, semacam “kabinet pribadi” Soekarno, untuk menyukseskan Konferensi Asia Afrika. Pada 1960-an, dia mendirikan Universitas Kesenian Rakyat, yang menurut Presiden Soekarno, dalam peresmiannya, adalah universitas pertama di Indonesia dalam bidang humaniora.

Tapi peristiwa G30S mengakhiri semua aktivitasnya. Dia masuk penjara Kebonwaru, Bandung, dan keluar pada 1978. Sejak itu, kesehatan terganggu. Orde Baru memasungnya, juga jutaan orang Indonesia. Orde Baru pula yang menanamkan stigma dalam benak masyarakat. Sejak reformasi, stigma itu perlahan dikikis, meski tak sepenuhnya berhasil. Di sana-sini masih ada spanduk “Awas bahaya laten komunis”, masih ada yang menganggap seorang komunis tak ber-Tuhan. Kita prihatin, stigma itu seolah dihidupkan lagi oleh Ajip Rosidi, seorang budayawan. Rasanya tepat apa yang ditorehkannya, di pintu kamarnya, pada secarik kertas: “Awas! Bahaya kedangkalan logika berpikir”.

A.S. Dharta sudah berpulang, dan saya percaya sudah tersenyum manis di sisi Sang Kekasih, meski tanpa iringan ucapan selamat jalan dari “seorang kawan”.*

------------------------------------------------
Pikiran Rakyat, 3 Maret 2007.

Ah… Ajip Rosidi
Oleh Martin Aleida


SAYA mengenal Ajip Rosidi sebagai sastrawan yang baik hati. Atau kalau ingin menggambarkannya dengan kata-kata yang mewah, maka dia adalah seorang budayawan yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Ketika sastrawan I. S. Poeradisastra (nama lain dari Boejoeng Saleh) dibebaskan, setelah menjalani penahanan sewenang-wenang tanpa alasan selama belasan tahun, termasuk dibuang ke Buru, Ajip memberikan rumah ekstranya di daerah Pasar Minggu untuk dihuni lawan politik namun teman sedaerahnya itu.

Saya kira kebaikan hati seperti itu merupakan keberanian yang tidak dimiliki oleh banyak orang, kecuali siap menanggung risiko berurusan dengan penguasa yang fasistis pada waktu itu.

Namun, Ajip yang saya kagumi mendadak sontak menjadi sosok yang tidak peka, menistakan adat kebiasaan, begitu saya membaca obituari yang ditulisnya mengenai A.S. Dharta, "Akhir Hidup Pengarang Lekra," (Khazanah, Pikiran Rakyat, 17 Februari 2007). Saya tak habis pikir, kesalahan apa yang telah diperbuat Dharta selama hidupnya, sehingga Ajip Rosidi merasa layak mengiringi jenazah penyair dan pendiri Lekra itu ke alam baka dengan cuci maki yang begitu bersemangat.

Saya tergugah dengan keindonesiaan Ajip yang dengan ulet, dan daya tahan yang susah dicari duanya, dalam menjunjung tinggi kebudayaan Sunda, antara lain dengan memprakarsai hadiah sastra Rancage, yang belakangan tidak hanya diberikan kepada mereka yang menghasilkan karya penting dalam bahasa Sunda, tetapi juga dalam bahasa Jawa dan Bali. Wah, tiba-tiba saya terperanjat begitu membaca obituari yang ditulisnya mengenai sastrawan berdarah Cianjur tersebut. "… ternyata Dharta sendiri yang mendahului meninggalkan jasadnya di Cibeber --tapi mungkin sebagai komunis dia tak percaya akan adanya alam di balik kematian-- sehingga dapatkah saya mengucapkan selamat jalan kepadanya?" Sarkasme untuk sebuah kematian. Layakkah? Tetapi, demikianlah Ajip menyudahi tulisannya.

Ajip adalah anggota Akademi Jakarta. Secara berseloroh saya ingin bertanya, apakah menjadi anggota "Akademi" tidak cukup bagi Ajip untuk memahami perbedaan antara "komunis" dan ateis? Filsuf Inggris termasyhur, Bertrand Russell, yang menulis "Why I Am Not A Christian," secara terbuka menyatakan dirinya ateis. Tetapi, dia adalah seorang yang antikomunis sampai ke tulang sumsum. Sesungguhnya akan merendahkan derajat Ajip kalau masih perlu dijelaskan bahwa seorang komunis belum tentu ateis, karena keduanya jelas berbeda. Lagi pula, ruangan yang terhormat ini tidak pantas dijadikan arena untuk menjelaskan apa itu komunis, kecuali mau mengambil risiko karena ada legislasi yang melarangnya. Zaman sudah berubah, namun ternyata taktik kaum fasis untuk menaklukkan musuh-musuhnya masih bergema.

Saya jadi bertanya-tanya, kebudayaan Sunda yang "adiluhung" seperti apa yang ingin dijunjung-dimuliakan oleh Ajip, sehingga dia ragu dan tak sampai hati untuk mengucapkan selamat jalan kepada sesama umat yang sedang diusung menuju pembuktian tentang kebesaran-Nya. Pantaskah mengatakan itu dengan memakzulkan kenyataan bahwa rumah Dharta, yang dikelilingi pematang sawah, adalah gelanggang pertemuan warga dan pusat pengajian yang ramah bagi warga sekitar? Juga kancah diskusi yang hangat buat para pemuda yang memutuskan untuk menyelesaikan hubungan mereka de-ngan Tuhan secara sendiri-sendiri dan memilih berdebat dengan orang yang sudah uzur tersebut tentang politik, tentang kesusastraan. Lagi pula, di mana Tuhan di dalam hati Dharta, siapa yang tahu…?

Ajip jumpalitan, kutip sana-sini, bongkar sana bongkar sini, hanya untuk membikin lukisan gelap tentang seseorang yang sedang menghadap Khaliknya. Seperti orang pusing tujuh keliling mencari tahu siapa gerangan nama sebenarnya A.S. Dharta. Dan sayang, tak sedikit pun ada usahanya untuk menyaksikan lingkungan hidup Dharta. Ketika diundang untuk menjenguk Dharta, dengan mudah dia cuma bilang: ".. di Cibeber (yang) letaknya di luar jalur perjalanan saya sehingga kecil kemungkinan saya dapat menemuinya." Begitu teganya! Ya, Dusun Cibeber, di Cianjur, memang bukan lintasan hidup Ajip yang menikmati hari tuanya di Magelang, Jawa Tengah. Tetapi, Cibeber toh bukan Christmas Island, jauh dari Pantai Palabuhanratu, harus mengarungi samudra kalau mau ke sana.

Tanpa periksa dengan saksama, sehina macam apakah Dharta sehingga dalam kematiannya ini sang istri, anak, dan cucu-cucunya yang belum kering airmata dukanya harus menanggung malu lewat kata-kata yang diumbar oleh budayawan kaliber internasional asal Jawa Barat itu? Mereka selayaknya mengenang Dharta, sang suami, ayah, dan kakek sebagai seorang yang ikut membesarkan dan menjaga mereka, dan bukan sebagai seorang Don Juan Tukang Selingkuh. Maaf, keadiluhungan budaya macam apa ini, Kang …, eh, Bung!

Begitu bersemangatnya Ajip memojokkan Dharta sehingga (dengan tak sengaja) dia membuat kesalahan ketika menyebutkan kumpulan sajak Klara Akustia Rangsang Detik diterbitkan oleh penerbit Lekra. Padahal buku itu terletak menunggu jamahan tangannya, karena dia tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pusat dokumentasi sastra yang ikut didirikan Ajip. Buku tersebut bukan Lekra yang menerbitkannya tetapi Yayasan Pembaruan, tahun 1957.

Sebenarnya, dari orang sebesar Ajip saya mengharapkan tinjauan yang serius mengenai karya Dharta. Sekritis apa pun tinjauan itu asal dilandasi ulasan-ulasan yang meyakinkan, layaknya sebagaimana yang dilakukan Soebagyo Sastrowardoyo dalam Bakat Alam dan Intelektualisme yang diterbitkan Pustaka Jawa, pimpinan Ajip Rosidi sendiri, tahun 1971.

"Sajak-sajak perlawanan Taufiq Ismail dan penyair-penyair segenerasi tidak lebih tinggi nilai sastranya daripada yang dihasilkan oleh Klara Akustia dan kawan-kawan separtainya," ujar Soebagyo. Dalam kesempatan lain, kritikus dan penyair itu juga menyimpulkan bahwa dalam sajak-sajak Taufiq Ismail dan kawan-kawan pada tahun 1966 ditemukan "paralelisme" dengan puisi para penyair Lekra, seperti A.S. Dharta (Klara Akustia), Hadi, Rumambi, Sudisman, F.L. Risakotta maupun Sobron Aidit. Paralelisme! Cap untuk teman, begitulah. Untuk tidak menyatakan epigonisme, karena paralelisme hanya mungkin kalau kedua pihak berada dalam tempat dan waktu yang setara dan sebangun.

Agaknya obituari tentang A.S. Dharta itu ditulis dalam suasana terkenang masa lalu dan dalam keadaan terburu-buru, asal jadi. Karena Ajip sedang sibuk-sibuknya menyusun memoir untuk ulang tahunnya yang ke-70 tahun depan. Semoga beliau terhindar dari kesalahan dan kesilapan, dan kita menunggu memoir itu sebagai sesuatu yang akan memperkaya khazanah sastra kita. Di mana kaliber dan posisi Ajip Rosidi sebagai seorang budayawan tak perlu disangsikan lagi adanya.*

Penulis, Sastrawan, tinggal di Jakarta.

------------------------------------------------
Pikiran Rakyat, Khazanah, Sabtu 17 Februari 2007

A.S. Dharta (1923-2007)
Akhir Hidup Pengarang Lekra
Oleh Ajip Rosidi


PADA dasarnya A. S. Dharta itu seorang romantis. Hal itu tampak di antaranya dari nama-nama pena yang digunakannya. Pada masa revolusi, ketika dia mulai menulis sajak dalam majalah Gelombang Zaman yang terbit di Garut dipimpin oleh Achdiat K. Mihardja dengan Tatang Sastrawiria, dia menggunakan nama Kelana Asmara. Kita tahulah kira-kira orangnya bagaimana kalau mempergunakan nama seperti itu. Entah Kelana yang mencari Asmara, entah Asmara yang berkelana. Kemudian dia gunakan juga nama samaran Yogaswara. Seperti diketahui Yogaswara adalah tokoh utama dalam roman R. Memed Satrahadiprawira yang berjudul Mantri Jero. Agaknya dia kagum sekali kepada tokoh satria muda yang jujur berpegang kepada kebenaran sehingga berani menyelam di Leuwi Panereban untuk membuktikan bahwa dirinya bersih, tidak seperti yang difitnahkan orang kepadanya.

Saya kira dia menggunakan nama samaran A.S. Dharta menjelang akhir tahun 1940-an, ketika dia banyak menulis dalam majalah Spektra yang terbit di Jakarta dan juga dipimpin oleh Achdiat K. Mihardja. Pada waktu itu dia di antaranya menyerang para pengarang ‘45 dengan mengatakan bahwa Angkatan ‘45 sudah mampus, sehingga timbul polemik yang ramai. Selanjutnya nama A.S. Dharta itulah yang dia gunakan sebagai nama sehari-hari, walaupun dia juga kalau menulis mempergunakan nama samaran baru antaranya Klara Akustia. Asrul Sani pernah mengatakan bahwa nama Klara Akustia itu diambil Dharta dari nama Hongaria. Keterangan Asrul itu keliru. Nama Klara Akustia digunakan setelah Dharta ditinggalkan lari oleh istrinya yang sehari-hari dia sebut “Klara”, walaupun namanya sebenarnya bukan demikian. Istrinya itu melarikan diri dengan seorang serdadu KNIL kabur ke negerinya.

Untuk membuktikan bahwa walaupun ditinggalkan lari dan dikhianati oleh istrinya, dia tetap setia, maka digunakannya nama Klara Akus(e)tia.

Menurut Ramadhan K.H. yang pernah bersama-sama dengan dia di HIS Cianjur, nama panggilannya sehari-hari adalah Rodji. Mungkin lengkapnya Fachrurodji. Kalau benar, artinya dia berasal dari lingkungan keluarga Islam yang cukup kental karena nama itu jelas nama Islam. Tetapi ketika Boejoeng Saleh menulis “Perkembangan Kesusasteraan Indonesia” yang dimuat dalam Almanak Seni 1957 bahwa namanya yang sebenarnya adalah Rodji, Dharta naik pitam dan mengancam akan menyeret Boejoeng ke pengadilan. Sayang, Boejoeng tidak sampai benar-benar diseret ke pengadilan sehingga sampai sekarang kita belum tahu siapa nama A.S. Dharta sebenarnya. Mungkin harus ditanyakan kepada keluarga atau sahabatnya sebaya di Cibeber yang kemungkinan besar sudah punah semua, karena ketika meninggal tanggal 7 Februari 2007, usia Dharta hampir 84 tahun, karena dia lahir di Cibeber, Cianjur tanggal 7 Maret 1923. Tampaknya akan sulit mencari kerabat atau sahabatnya yang usianya lebih tua daripadanya atau sebaya dengan dia, yang masih hidup dan ingat akan namanya yang sebenarnya.

Tapi what’s in a name, kata Shakespeare. Dia sendiri lebih dikenal sebagai A.S. Dharta. Nama-nama yang lain hanya dia gunakan sebagai nama pena belaka. Yang dia gunakan sebagai nama pengarang bukunya yang hanya satu yaitu kumpulan sajak Rangsang Detik adalah Klara Akustia. Buku itu diterbitkan oleh penerbit Lekra tahun 1957.


PADA tahun 1949 atau 1950, Dharta bersama dengan beberapa seniman dan pengarang lain (di antaranya Achdiat K. Mihardja dan H. B. Jassin) di rumah sahabatnya, M.S. Azhar di Jalan Siliwangi simpangan kecil dari Jalan Dr. Wahidin Jakarta, mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Lembaga Kebudayaan Rakyat yang kemudian lebih terkenal dengan singkatannya, Lekra. Salah seorang yang hadir pada waktu pembentukan organisasi tersebut adalah Njoto, tokoh yang bersama Aidit menghidupkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah pemberontakan Madiun. Tetapi pada waktu itu tampaknya Njoto belum banyak dikenal, sehingga orang-orang seperti Achdiat dan Jassin tidak memerhatikannya. Dan mereka berdua tidak turut menyusun Mukadimah Lekra yang disahkan pada bulan Agustus 1950.

Dharta dalam organisasi tersebut diangkat menjadi sekjennya. Seperti diketahui, kedudukan sekjen dalam organisasi kiri dianggap sebagai yang terpenting. Kedudukan itu dipegangnya terus sampai tahun 1959. Pada pemilu yang pertama diadakan di Indonesia (1955), Dharta dicalonkan sebagai anggota konstituante oleh PKI dan terpilih. Maka dia duduk sebagai anggota lembaga yang bertugas menyusun UUD baru itu. Tapi setahun sebelum lembaga itu dibubarkan oleh Presiden Sukarno yang didukung oleh Mayjen A.H. Nasution (Angkatan Darat), Dharta dipecat oleh partainya karena ketahuan bahwa dia berselingkuh dengan wanita yang bersuami. Pada waktu itu ada dua seniman anggota perwakilan PKI yang dipecat oleh partai karena tuduhan yang sama: berselingkuh. Selain Dharta yang dipecat dari keanggotaannya di konstituante, pelukis S. Sudjojono juga dipecat dari keanggotaannya di DPR. Sudjojono juga dituduh berselingkuh dengan wanita yang masih menjadi istri orang. Tapi berlainan dengan Sudjojono yang menerima pemecatan itu dan kemudian menikah dengan wanita itu setelah bercerai dari suaminya, Dharta menyatakan menyesal atas perbuatannya dan dia meminta ampun kepada partai, di antaranya dia menerima menjadi kader kembali. Niscaya kedudukan kader itu lebih rendah dari calon anggota. Sebagai tanda bahwa dia benar-benar menyesal, dia harus mengirimkan surat pernyataan menyesalnya entah kepada berapa puluh orang. Saya pernah ikut membaca surat penyesalannya itu yang dikirimkan kepada Achdiat K. Mihardja. Waktu kami membicarakan surat itu setelah membacanya, saya menyatakan kepada Achdiat bahwa saya tidak mengerti bagaimana orang seperti Dharta sampai mau menulis surat yang menghinakan dirinya seperti itu hanya karena mau diterima kembali di lingkungan PKI. Menurut Achdiat, buat orang komunis, diangkat menjadi anggota itu merupakan kehormatan. Oleh karena itu, ada seniman yang kami kenal juga (dia sebut namanya), ketika dinyatakan bahwa dia diterima (atau diangkat) sebagai anggota PKI setelah menjadi calon anggota beberapa lama, dia menangis karena hatinya gembira.

Saya sendiri sejak itu tidak bisa menaruh respek kepada Dharta. Saya bertemu dengan dia terakhir kira-kira bulan November 1965 setelah Gestapu. Ketika itu orang PKI dan Lekra belum ditangkapi, tetapi harus melapor di kantor polisi setiap minggu. Dharta baru selesai melapor di kantor polisi yang ketika itu bertempat di ujung utara Jalan Braga bertentangan dengan Gedung BI. Dia mau pulang ke arah Jalan Banceuy, sementara saya bersama dengan dua orang redaktur Madjalah Sunda yang lain baru pulang dari percetakan Ganaco di Jalan Gereja setelah melewati viaduck mau naik ke arah Jalan Braga. Ketika itu Madjalah Sunda yang saya pimpin dicetak di percetakan Ganaco. Isi Madjalah Sunda banyak mengkritik kaum komunis dan setelah terjadi Gestapu terang-terangan mendukung suara yang mendesak Presiden Sukarno agar membubarkan PKI.

Begitu melihat saya, Dharta berhenti dan mengajak berbicara.

“Sekarang Bung yang menang,” katanya. Dia selalu berbicara bahasa Indonesia walaupun dia juga menulis karya sastra dalam bahasa Sunda. Dia selalu memanggil Bung kepada saya. “Karena itu Bung harus menolong saya.”

“Menolong apa?” saya bertanya.

“Saya perlu uang. Bung kasihlah saya uang.” Dharta memang cenderung suka meminta uang kalau bertemu walaupun sebenarnya kami tidak begitu akrab.

“Kalau Saudara kalah bukan berarti saya yang menang,” jawab saya. “Dan kalaupun saya yang menang, belum berarti saya punya uang. Dan kalaupun saya punya uang, pasti saya tidak akan memberikannya kepada Saudara, apalagi di tengah jalan begini. Kalau ada yang menyaksikan saya memberikan uang kepada Saudara, saya akan dilaporkan bahwa saya membantu kaum pemberontak.”

Seingat saya, Dharta tidak memberi jawaban dan saya segera berjalan menjauhinya. Setelah berada dalam penjara Kebonwaru dia juga saya dengar pernah mengirim surat kepada Kang Atje Bastaman meminta uang sehingga Kang Atje ketakutan dan meminta nasihat kepada Kang Koerdie. Baik Kang Atje maupun Kang Koerdie adalah kenalannya yang cukup akrab.

Pada tahun 1976, dia dibebaskan dari tahanan dan tinggal di kampung kelahirannya di Cibeber, Cianjur. Ketika menyusun Ensiklopedi Sunda saya pernah menelefonnya meminta keterangan tentang Barmara untuk kepentingan penyusunan ensiklopedia, tapi dia menolak memberi keterangan karena dia ingin mendapat honorarium dari sajak-sajaknya yang dimuat dalam Kanjutkundang, padahal begitu Kanjutkundang terbit (1963) saya langsung mengirimkan honorarium kepada semua pengarang yang karangannya dimuat di dalamnya, termasuk kepada Dharta.

Kira-kira sebulan yang lalu saya ditelefon oleh anaknya yang perempuan yang memberitahukan bahwa ayahnya ingin saya jenguk di Cibeber, tapi dia sendiri sudah mulai pikun. Cibeber letaknya di luar jalur perjalanan saya sehingga kecil kemungkinan saya dapat memenuhinya. Saya tidak berani berjanji.

Tapi ternyata Dharta sendiri yang mendahului meninggalkan jasadnya di Cibeber --tapi mungkin sebagai komunis dia tidak percaya akan adanya alam di balik kematian-- sehingga dapatkah saya mengucapkan selamat jalan kepadanya?*

Penulis, Budayawan.

Read More......

Friday, February 09, 2007

In Memoriam: A.S. Dharta (1924-2007)

SEPI sudah. Tak ada diskusi-diskusi, tak ada canda. Tak ada panutan. Selepas pemakaman A.S. Dharta atau Klara Akustia, anak dan cucu-cucunya terdiam di kamar kecil di sebelah kamarnya. Masih ada tangis tersisa. Tapi dia tak mungkin kembali.

A.S. Dharta meninggalkan kita pada 7 Februari 2007, sekitar pukul 05.30 di rumahnya di Cibeber, Cianjur, setelah dua minggu terbaring sakit. Dia terkena penyakit paru-paru, yang menyebabkan jantungnya membengkak. Sempat seminggu menjalani perawatan di Rumah Sakit UKI Jakarta tapi akhirnya dibawa pulang karena desakannya. Dia dimakamkan di pemakaman keluarga, tak jauh dari rumahnya.

Saya menengok kamar A.S. Dharta. Gelap. Pengap. Lemari penuh buku. Koran-koran bertumpukan. Saya memasuki kamar itu, mencoba meraup semua yang pernah dirasakannya. Ada foto masa kecil cucu-cucunya. Ada coretan kapur di lemari dan tembok. Di pintu keluarnya, pada sebuah kertas kecil, tertulis dengan spidol biru torehannya: Awas! Bahaya kedangkalan logika berpikir.

Keluasan berpikir adalah ucapan yang selalu dilontarkan A.S. Dharta setiap kali berdiskusi dengan saya. Kehendaknya untuk melepaskan diri dari pengotak-kotakkan, menjauhkan diri dari bisik-bisik dan omongan palsu, kepercayaan akan perubahan, dan kemauan menjawab persoalan-persoalan masyarakat. Sikapnya ini tercermin dalam tindakan dan karya-karyanya.

Karya-karyanya tercecer di sejumlah media, dalam maupun luar negeri. Bentuknya puisi, essai, kritik sastra, catatan perjalanan. Naskah dramanya Saidjah dan Adinda, adaptasi dari novel karya Multatuli yang diterjemahkan Bakri Siregar, pernah pula dipentaskan. Dia juga berkolaborasi dengan Amir Pasaribu, yang tahun lalu menerima penghargaan Akademi Jakarta untuk bidang musik, menghasilkan antara lain lagu "Irama Mei". Pada 1957, terbit kumpulan puisi Klara Akustia. Judulnya Rangsang Detik, kumpulan sajak periode 1949-1957, yang diterbitkan Jajasan Pembaroean. Selebihnya masuk dalam antologi puisi bersama penyair-penyair lainnya.

Keindahan sajak-sajaknya terutama terletak pada pemikirannya (beauty of thought) dan keindahan relasinya dengan rakyat, dengan manusia. Keindahannya berpadu dengan keindahan emosi dan intuisi, bersumber pada rasionalitas; bersenyawa dengan derita manusia-manusia yang tertindas.

“Masyarakat tak lagi menginginkan seniman-senimannya menjadi penghibur, tetapi wakil-wakil daripada kehidupan kejiwaan dan alam cita-cita, seorang 'ahli nujum' yang mampu menjawab masalah-masalahnya yang paling sulit: seorang dokter yang menemukan dalam dirinya lebih dahulu nyeri-nyeri dan penderitaan manusia umumnya, dan mengobatinya dengan menciptakannya kembali dalam bentuk puitis”. (V.G. Belinsky, “selected philosophical works”)

Soal “menjawab masalah-masalah manusia” ini adalah salah satu pertanggungjawaban pengarang realisme-sosialis, satu sikap kepengarangan yang sudah dilontarkan dalam esai-esainya sejak tahun 1950-an, dan kemudian berujung pada pembentukan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). A.S. Dharta adalah salah seorang di antara sedikit pengarang Lekra yang mampu memenuhinya.

A.S. Dharta memiliki kemampuan untuk membaui dan memetik tema-tema aktuil dan menarik dari antara arus kehidupan dan mengolahnya dengan orisinalitet yang patut dicatat. “DPR Baru”, ”Aku Pelaksana”, dan “Konsepsi Bung Karno”. Dia juga membawa kita bertualang ke Senen, ke daerah Nyi Marsih yang ingin merdeka, ke Peking dan Praha pujaan kepada kerja, ke Capitol dan ke pabrik Coca-Cola, tetapi ia akhirnya berlabuh di pantai hati manusia yang hangat juga! “Antara Bumi dan Langit” adalah sebuah sajaknya, yang menugaskan dirinya menjadi pemenang dalam polemik dua pandangan. Sajak ini ditujukannya untuk HB Jassin: Kita berdua sama-sama tidak bebas/ kau terikat pada dirimu/ aku pada Manusia dan zaman kini.


NAMA sebenarnya Adi Sidharta tapi biasa disingkat A.S. Dharta. Nama aliasnya bejibun. Yang sering dipakai adalah Klara Akustia. Lainnya: Kelama Asmara, Jogaswara, Rodji, Barmara Poetra, dan masih banyak lagi. Lahir di Cibeber, Cianjur, 7 Maret 1924, jiwanya bergejolak sejak menjadi anak angkat Okayaman, salah seorang tokoh pergerakan yang dibuang ke Boven Digul. Dan makin dimatangkan di sekolah Nationaal Handele Lallegiun (NHL) di bawah didikan Douwes Dekker. Di masa revolusi, dia bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang bermarkas di Menteng 31, keluar-masuk hutan, bergerak dari satu medan pertempuran ke medan pertempuran lain. Di Menteng 31 inilah dia mulai mengenal Soekarno, sejumlah tokoh politik, dan juga seniman-seniman.

Dia pernah menjadi wartawan Harian Boeroeh di Yogya, dia memimpin serikat buruh: Serikat Buruh Kendaraan Bermotor, Serikat Buruh Batik, Serikat Buruh Pelabuhan, termasuk di lembaga induknya, Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Lalu dimatangkan lewat International Union of Students (IUS), World Federation of Democratic Youth, dan World Federation of Trade Unions, yang membuatnya berkeliling ke sejumlah negara bekas kolonialisme.

“Dalam kerja itu kita melakukan genesis, melahirkan kita kembali, lieber create man,” ujarnya.

Tapi A.S. Dharta lebih dikenal sebagai sastrawan. Dia mulai menjadi penyair menjelang proklamasi kemerdekaan. Puisi pertamanya dimuat di suratkabar Tjahaja, Bandung. Sejumlah puisi kemudian lahir dari tangannya. Lalu cerita pendek, seperti “Hidup Kembali” dan “Pahlawan Sunyi” yang dimuat di majalah Gelombang Zaman, September dan Oktober 1946. Sejumlah puisinya pada tahun itu juga pernah dimuat di majalah Arena, Gelombang Zaman, dan Revolusioner. Dia juga ikut mendirikan PEN Club-Indonesia dan memimpin Sastrawan Angkatan Baru.

Peristiwa Madiun 1948 menjadi tonggak bagi A.S. Dharta untuk mengingatkan peran sastrawan dalam revolusi. Dia menulis sebuah esai yang mengemparkan dunia kesusastraan Indonesia: “Angkatan 45 Sudah Mampus” di majalah Spektra, 27 Oktober 1949. “Di Madiunlah dikuburnya Angkatan 45” begitulah A.S. Dharta menulis, “Dan matilah ia, pemikul Hari Esok.”

Tulisan ini begitu kerasnya. Tegas. Tapi argumentasinya jelas. Beberapa sastrawan ikut-serta mempersoalkan Angkatan 45, antara lain Sugiarti, Sitor Situmorang, Mochtar Lubis, Anas Maruf, Achdiat Karta Mihardja, M.S. Azhar, Asrul Sani, dan lain-lain.

Esai itu hanya lecutan pertama A.S. Dharta, untuk menggerakkan konsep yang lebih luas: di mana posisi sastrawan atau seniman di dalam perubahan masyarakat. Di sini pula dia memunculkan perlunya generasi pemikul hari esok. Secara lebih jelas dan kongkret, dia jabarkan dalam tulisannya, “Sekitar Angkatan 45”, yang merupakan tanggapannya atas tulisan Mochtar Lubis “Hidup, Mati?” di majalah Siasat, 4 Desember 1949. “Ya, dan kita akan terus/ dari agitasi ke organisasi / dari elan keinginan / ke energi pelaksanaan!”

Dari agitasi ke organisasi. Jelas sudah. Dan akhirnya, pada 17 Agustus 1950, A.S. Dharta mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang kelak secara salah kaprah selalu dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia, bersama M.S. Azhar dan Njoto. Dia pula yang ditunjuk sebagai sekretaris jenderal (Sekjen). Sementara sikap berkesenian Lekra dituangkan dalam Mukadimmah. Disebutkan antara lain, ”Lekra bekerja khusus di lapangan kebudayaan, terutama di lapangan kesenian dan ilmu. Lekra membantah pendapat bahwa kesenian dan ilmu bisa terlepas dari masyarakat.”

Sebagai Sekjen, dia aktif menjelaskan realisme sosialis. Juga berpolemik dengan sastrawan lain. Termasuk dengan kritikus sastra HB Jassin. “Seorang sastrawan tidak mungkin dan tidak bisa berdiri ‘netral’, terlepas dari pengaruh lingkungannya,” tulisnya dalam esai “Kepada Seniman Universal”. Tulisan itu merupakan tanggapannya atas tulisan HB Jassin di bulanan Zenith, edisi kebudayaan mingguan Mimbar Indonesia, 15 Maret 1951, tentang adanya dan hak hidupnya apa yang disebut Angkatan 45.

Dalam esai itu A.S. Dharta menjelaskan perbedaan sikapnya soal isi dan bentuk (dalam istilah Jassin visi dan gaya), juga ketidaksetujuannya dengan konsep humanisme universal (yang bagi A.S. Dharta adalah baju baru untuk l’art pour l’art).

Jassin memajukan ucapan Asrul Sani untuk menjawab konsep itu: “Derita dunia adalah derita kita, karena kita adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia.” Tapi Jassin sendiri mengakui: “Satu keberatan bisa dikemukakan terhadap keuniversalan ini. Sangat banyak kemungkinan-kemungkinan, tapi toh orang harus memilih dalam praktiknya dan apabila telah memilih boleh bertengkar lagi.”

Sementara A.S. Dharta menjawab: “Di dalam praktik kita melihat, bahwa 'seni universal' dipergunakan untuk lebih menjauhkan, untuk lebih mengasingkan, seniman dan seni dari masyarakat. Dengan ini menjadi jelas, bahwa kesusastraan universal tidak netral, tidak berdiri di atas segala. Di dalam praktik dia menjadi sekutu kelas yang antiperubahan masyarakat ke arah perbaikan.”

Lebih jelas lagi, sikap A.S. Dharta ditunjukkan dalam esai “Dari Idealisme ke Realisme” yang dimuat di Harian Rakjat, 13 November 1951. Di sini A.S. Dharta menggambarkan perjalanan kesusastraan Indonesia sejak Pujanggan Baru hingga pecahnya Angkatan 45 menjadi dua kutub sejak persetujuan KMB – meski pernah diikat dan sependirian bahwa revolusi tidak mencapai tujuannya. Pertama, kesusasteraan idealisme yang meneruskan kebangkrutannya dengan etiket “humanisme universal”. Kedua, kesusasteraan realisme-kreatif yang baru menyusun diri dengan konsep perjuangannya kesusasteraan untuk rakyat-banyak.

“Bagaimanapun juga, perkembangan kesusasteraan adalah sejalan dengan perkembangan perjuangan bangsa. Dan bagi kita sebagai bangsa tidak ada alasan untuk pesimistis. Apalagi sebagai sastrawan! Jelas terbentang kebangkrutan dari idealisme dan kebangkitan realisme-sosialis, “ tulisnya.

Dalam preadvisnya di Kongres Kebudayaan Indonesia II di Bandung pada 1951, A.S. Dharta menulis: "Kesusastraan wajib menginjakkan kakiknya di atas dunia yang nyata dan memancangkan mata ke hari esok, bukan dengan romantik kuno tapi dengan romantik yang hidup dan maju."

Realisme sosialis atau realisme aktif menjadi pegangan A.S. Dharta dalam berkarya. Ia juga dipegang, tapi tidak dipaksakan, oleh sastrawan dan seniman Lekra.

Sebagai gerakan kebudayaan, Lekra sendiri perlahan tumbuh dan besar. Dalam empat tahun saja, Lekra bisa begitu mapan, bisa berkembang. Karena tak pakai sistem keanggotaan, tak jelas berapa jumlah anggota Lekra. “Lekra adalah fenomena unik dalam sejarah dunia. Menurut saya, berdasarkan penelitian saya, cukup jelas bahwa Lekra berkembang karena cara membangunnya sangat organik dan sesuai kondisi lokal,” ujar Stephen Miller, yang sedang riset tentang Lekra untuk tesis doktoral di Australian National University, dalam diskusi di Jaringan Kerja Budaya, Jakarta.

”Itu bukti bahwa zaman membutuhkan. Bukti bahwa kita punya understanding terus-menerus. Organisasinya terus-menerus dimodernkan, diefisienkan, supaya yang di bawah pegang kendali,” ujarnya kepada saya. Klara Akustia juga redaktur Zaman Baru, penerbitan resmi milik Lekra.

Pada 1957, dalam sebuah kongres Lekra, A.S. Dharta melakukan otokritik. Dia mengatakan telah melakukan ”kemesuman borjuis”. Dia kembali menyadarkan perlunya otokritik, bukan hanya kiritk. Dia resmi dipecat dari Lekra pada 4 November 1958. Sekjen Lekra kemudian beralih ke tangan Djoebar Ajoeb. Keanggotaannya di Konstituante (dari calon-tak-berpartai lewat Partai Komunis Indonesia) juga dicabut.

”Saya akan rebut kembali apa yang sudah saya kerjakan selama ini dengan kerja, ” ujarnya.


SELEPAS dari Lekra, A.S. Dharta pulang ke Cianjur. Di sana dia mengajar kursus bahasa Inggris untuk masyarakat sekitar. Dia juga masih menulis. Setelah itu dia membentuk Masjarakat Seni Djakarta Raja (MSDR) pada 1960-an. Pada 1962, bersama Hendra Gunawan, A.S. Dharta mendirikan dan menjadi rektor Universitas Kesenian Rakyat di Bandung. Presiden Soekarno, dalam peresmiannya, mengatakan ini universitas yang pertama dalam bidang humaniora. Tapi keinginannya mensarjanakan masyarakat tak terwujud. Iklim politik berhembus ke kanan. Terjadi peristiswa terkelam dalam sejarah Indonesia pada 1965. A.S. Dharta masuk penjara di Kebonwaru, Bandung.

Selepas dari penjara tahun 1978, tak ada yang bisa dilakukannya lagi. Tak boleh melakukan aktivitas apa-apa. Kamus Sunda-Inggris-Indonesia yang sempat dibikinkannya tak sampai selesai. Semua karyanya juga telah dirampas. Selama bertahun-tahun, A.S. Dharta hanya duduk dan membaca, menemui anak-anak muda dan sejawat yang ingin berdiskusi, hingga meninggalnya.

A.S. Dharta bukan saja sastrawan, tapi juga pejuang, pemikir, pendobrak. Melalui karya-karyanya, juga sosoknya, dia telah membuka pikiran dan mata hati banyak orang yang mendambakan kebaruan dalam perspektif yang benar. Matanya hanya tertuju pada satu tujuan. Dengan kejeniusannya ia menuntut disatukannya kembali manusia untuk ikut dalam gejolak perubahan dan kemajuan.

”Kalau tidak bisa, berarti kamu sudah menjadi benalu!” ujarnya, pasti. ”Tapi ingat, kamu mau tahu atau tidak mau tahu, ikut atau tidak, hukum pantare itu akan terus berjalan. Sudah pasti terjadi.”

Dalam diskusi-diskusi, dia juga selalu menekankan pentingnya pelaksanaan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Dia mengimpikannya hilangnya kebodohan dalam masyarakat Indonesia.

Oleh banyak teman-temannya, A.S. Dharta dinilai sebagai orang yang tak ada gantinya. Dia jenis manusia yang tak bisa diperintah. Teguh pendiriannya. Pergaulannya luas. Tapi dia juga orang yang tak henti-hentinya mencari generasi-generasi muda terbaik, mengajaknya berdiskusi, menanamkan sikap kerakyatan. Pramoedya Ananta Toer, novelis tetralogi Bumi Manusia, satu di antaranya. Dia telah membangunkan dan mempengaruhi banyak sastrawan dan senima tahun 1950-an.

Cita-citanya sendiri ”mensarjanakan rakyat” mungkin belum usai. Tapi masih akan ada tunas-tunas baru, penerusnya, seperti yang dia tuliskan dalam sajaknya: ”Rukmanda”.

Aku kini tiada lagi
bersatu dengan bumi tanah air tercinta
tapi lagu aku tamatkan
bersama bintang seminar kelam
dengan debar jantung terakhir
yang melihat fajar bersinar
kelahiran tunas penyambung keremajaanku.


Selamat jalan, A.S. Dharta.*

Read More......

Wednesday, February 07, 2007

Pulang (2)

BAPAK benar-benar pulang.

Dia sudah sampai di rumah. Dia tidak lagi menempati kamarnya yang penuh dengan buku. Dia kini menempati ruangan yang selama ini kosong. Dari jendelanya mengalir udara sejuk pegunungan, gemericik air sungai di belakang rumah. Sebuah tabung oksigen tegak berdiri di tepi ranjang. Bapak pasti senang.

Saya mendatangi bapak hari Jumat bersama Scott Schlossberg, Pamela, dan Alam. Mama bilang sudah menyiapkan durian untuk nanda. Scott juga suka. Hari itu, kata mama, bapak mogok bicara. Dia mau menghemat energi untuk bertemu saya dan Scott.

Scott mahasiswa S3 Department of South and Southeast Asian Studies Universitas Berkeley, Amerika Serikat. Dia sedang mengerjakan disertasi soal Lekra. Kami sudah berdiskusi ketika sama-sama menengok bapak di Rumah Sakit UKI. Scott orang menyenangkan. Humoris. Pintar berbahasa Indonesia dan India. Saya suka berdiskusi dengannya. Tapi suara bapak sudah tak jelas lagi. Pelan. Nyaris tanpa suara. Sesekali saja mengumpulkan tenaga dan menyebut nama satu di antara kami. Bapak lebih banyak menggerakkan tangannya, memberi petunjuk apa yang diinginkannya. Lama-lama kami mengerti bahasa isyarat bapak.

Scott hanya menginap semalam, dan berjanji akan datang lagi.

Tiap saat kami bergantian menjaga bapak. Mengipasinya. Menggeser tubuhnya, membawanya ke toilet, atau memindahkannya ke kursi kesayangannya. Bapak suka memegang tangan kami erat-erat. Pasti bapak sedang menahan sakit. Kulit pinggulnya melepuh, kakinya membengkak. Bapak memang hanya bisa berbaring. Bapak juga kesulitan buang air.

“Budi… pangku.” Bapak mengulurkan kedua tangannya.

Saya menegakkan posisi duduknya. Mama bilang, bapak ingin pindah ke ranjang. Badan bapak terasa berat. Kami juga mesti pelan-pelan mengangkatnya.

Hari Selasa, Pamela, Alam, dan Ratih kembali ke Jakarta. Mereka harus menyelesaikan pekerjaan. Saya memutuskan tidak mengajar kursus di Pantau, dan tentu tidak ikut rapat keesokan harinya. Saya tak mau mama sendiri.

Seharian itu saya mengetik di ruang tengah. Sesekali saya menengok kamar bapak, membantu mama dan Ibu Komariyah. Tapi malam itu semuanya lelah. Suara pengajian terdengar dari masjid terdekat. Saya sedang mengirimkan laporan pekerjaan lewat internet. Mamang yang menjaga bapak beranjak pulang. Saya bergegas ke kamar. Mama dan Ibu Komariyah tertidur.

Saya mendekati ranjang bapak. Tangannya menggapai, dan saya memegangnya erat. Bapak tertidur sejenak. Nafasnya terdengar keras, menggapai oksigen yang mungkin bisa diraupnya. Tiba-tiba dia terbangun. Tangannya terangkat. Kedua jarinya menunjuk. Saya tahu, bapak menanyakan waktu.

“Jam empat…”

Bapak mengangguk pelan. Bapak mungkin sudah menentukan waktu terbaiknya.

Saya masih mengenggam tanganya. Dingin. Tapi nafasnya sudah mulai teratur. Pelan. Lalu bapak mengarahkan tangannya ke wajah. Saya tak tahu apa yang diinginkannya. Saya membangunkan mama, yang mengajaknya bicara. Ibu Komariyah yang tidur di sisi bapak juga terbangun. Waktu seolah berjalan cepat. Sekitar pukul 05.30 bapak menghembuskan nafas terakhir. Pelan. Lembut. Ibu Komariyah menangis. Mama histeris. Saya menahan tubuh mama.

Bapak benar-benar pulang. Persis saat fajar menyingsing, waktu yang sudah ia torehkan dalam sajaknya: "Rukmanda"

Rukmanda

Sebutkan segala penjara
dan itu adalah aku

Sebutkan segala badai
kepahitan pembuangan
kerinduan pada kecapi
kesunyian malam sepi
kenangan pada Priangan
dan kelayuan dari menanti.

Aku yang telah menghitung
rangkaian detik
berpuluh tahun
aku serahkan segala
pada pesta perlawanan
selama ini jiwa remaja
setiap detak nafas nyawaku
dan kala ini juga diminta
aku nyanyikan “bangunlah kaum terhina”

Aku kini tiada lagi
bersatu dengan bumi tanah air tercinta
tapi lagu aku tamatkan
bersama bintang seminar kelam
dengan debar jantung terakhir
yang melihat fajar bersinar
kelahiran tunas penyambung keremajaanku.

Sebutkan segala penjara
dan itu adalah aku
tapi sebutkan juga kesetiaan
kegairahan dan kepahlawanan
itulah aku!


Sajak ini ditulisnya pada 1954. Saya suka sajak ini. Banyak orang lain juga mengaguminya. Saat teman-temannya dipenjara, sajak ini pula yang memberi mereka semangat.

Bapak telah pulang, tapi semangatnya akan tetap di hati siapapun yang mengenalnya.*

Read More......