Ia sudah memutuskan kodratnya: sastrawan turun dari ke-aku-annya, berdiri di pihak yang tertindas, menghunus pedang-kata menghadang kaum penindas! Sastrawan mesti berani terus menerompetkan kebenaran. Sastrawan menegakkan tenaga raksasa di hati massa, menempa keyakinan granit di kalbu patriot, memelopori massa ke arah cita yang tinggi murni: bandar humanisme damai bahagia.
Tapi seruannya menembus tembok tebal. Madiun pecah, pertikaian yang meneteskan darah. Sepasang kekasih ini, yang pernah ikut kursus “Marx-House” di pabrik gula Padokan (sekarang Madukismo) dan menempuh “perkawinan-senjata” dengan disaksikan kawan-kawan seperjuangan, terkena imbasnya. Aini dijebloskan ke penjara Tawangmangu, Dharta di Wirogunan.
Tak lama, Belanda memborbardir Yogya. Para tawanan berbaris menuju kantor penjara, minta bebas, untuk kembali membela tanah air. Keluarlah mereka sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dharta segera membebaskan istrinya, lalu meneruskan perjuangan. Ia meninggalkan istrinya di Yogya, berjalan kaki menuju pos baru, mendaki Gunung Slamet dan menuruni lembah-lembahnya.
Pada 1949, dia sudah berada di Jakarta. Juga menyempatkan diri menengok kampung halamannya di Hanjawar, Cianjur. Di rumah masa kecilnya, dengan nama pena Jogaswara, sekali lagi ia serukan peran sastrawan dalam revolusi. Revolusi belum juga usai tapi kini di ambang kehancuran dari dalam. Dia meluapkan amarah: “Angkatan 45 sudah mampus. Mati bunuh diri,” karena sudah bunuh-membunuh, hancur-menghancurkan, dan “Bila kita ingin mencari kuburan Angkatan 45, ia ada di mana-mana, tersebar di seluruh persada Nusantara. Tetapi kuburan-induknya ada di Madiun.”
Tapi Angkatan 45 taklah satu dan sendiri. Dia percaya akan datang “Angkatan Sesudah Kami” yang lebih lengkap, lebih sempurna, lebih kuat: angkatan pelaksana cita-cita Angkatan 45.
Martina Heinschke dalam “Between Gelanggang and Lekra” menulis, Dharta memilih Peristiwa Madiun bukanlah perselisihan antara kekuatan komunis dan nasionalis, tapi lebih sebagai konflik antargenerasi atau angkatan. Angkatan 45, “pemikul hari esok” itu, sepenuhnya gagal karena lemahnya komitmen, perpecahan, dan kurangnya ketajaman politik. Sebagai konsekuensinya, Dharta menuntut para pengarang membuat awal baru, berbasiskan komitmen politik yang tegas.
Dharta sendiri, dalam esai “Kepada Seniman Universal”, tak memaksudkan esai itu dalam kaitan konflik antargenerasi tapi lebih pada hubungannya dengan revolusi. Baginya, Agustus 1945 bukan permulaan revolusi dalam lapangan kesusastraan, tapi permulaan suatu revolusi kemasyarakatan. Kesusastraan terpengaruh olehnya dan “itu hanyalah bukti kesekian kalinya tentang kebenaran pendapat bahwa seorang sastrawan tak mungkin dan tak bisa berdiri ‘netral’, terlepas dari pengaruh lingkungannya.”
Tapi mungkin Heinschke benar mengenai pengaruh esai itu, ketika menulis, “Selangkah demi selangkah, apa yang kemudian menjadi sikap Lekra, seperti tertuang dalam Manifesto tahun 1950, merupakan reaksi positif atas esai Dharta tersebut.”
Reaksi juga muncul dari sejumlah sastrawan: Ibarruri (nama pena Dipa Nusantara Aidit), Sugiarti, Sitor Situmorang, Anas Maruf, Achdiat Karta Mihardja, M. S. Ashar, Asrul Sani, dan lain-lain.
“Dalam politik Angkatan 45 kalah,” tulis Mochtar Lubis dalam “Hidup, Mati?” di majalah
Siasat, 4 Desember 1949. Lubis menyinggung kemunduran revolusi.
“
Juist! Dan politik adalah pelopor dari segala perjuangan!” Dharta menanggapinya dalam esai “Sekitar Angkatan 45”.
Lebih jauh Dharta menggerakkan konsep yang lebih luas: susun barisan eksekutif baru. Sebab, yang lama terbukti tak mampu menyelesaikan revolusi. Apa yang disebut Angkatan 45 gagal dalam cara bekerja!
“Masa baru kini tiba. Masa organisasi, masa mewujudkan, masa bekerja wetenschappelijk plus energi jiwa patriot, masa kesadaran mengisi ucapan pemimpin-pemimpin kita: kemerdekaan adalah jembatan untuk melaksanakan kemakmuran rakyat. Kita tambahi: untuk membebaskan Rakyat dari segala macam penjajahan perut, kebodohan, kebiasaan bobrok, adat lapuk.”
Sebuah embrio organisasi baru mulai bersemi. Tapi pematangannya masih perlu waktu.
Dharta sendiri terpuruk karena kehilangan separo hatinya. Sang kekasih dikawin-paksa dan dibawa kabur ke negeri Belanda oleh Letnan Verwey, seorang perwira Nefis yang sudah lama menguber-uber Dharta, ketika dia melakukan kerja politik di Palembang. Dia ngeloyor masuk ke restoran, menuangkan bergelas-gelas bir ke dalam perutnya. Ia hidup beberapa hari semacam itu. Kawan-kawannya segera membawanya kembali dalam front perjuangan. Dia masuk serikat buruh untuk melawan keputusan Konferensi Meja Bundar di bidang perekonomian. Namun dia tak bisa melupakan sang kekasih, dan sejak itulah lahir nama pena Klara Akustia. “Aku tahu apa yang terjadi, dia adalah korban revolusi,” ujarnya kepada saya.
Pada 17 Agustus 1950, “barisan eksekutif baru” itu akhirnya lahir dengan nama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Dharta ditunjuk sebagai sekretaris jenderal. Rumah M.S. Ashar, rumah Dinas Perhubungan di Jalan Wahidin No 10, tempat gagasan ini lahir, jadi kantor Sekretariat Pusat Lekra, setelah sebelumnya berkantor sementara di Salemba 9, Jakarta.
Menurut Martina Heinschke, di antara Angkatan 45, pengarang Lekra minoritas pada tahun-tahun pertama. Secara politik Peristiwa Madiun mengisolasi mereka, sementara dari sudut pandang artistik, reputasi mereka masih terbatas. Anggota Lekra juga tak masuk dalam aktivitas kebudayaan resmi, baik dalam kongres kebudayaan, Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, dan editorial Indonesia.
“Tesis provokatif yang dikemukakan Dharta mengenai kegagalan Angkatan 45 dan revolusi nasional bukan hanya menarik pengikut, juga menyatukan lawan terhadap gagasan ini,” ujar Heinschke.
DI DESA Tugu, Puncak, Bogor, sebuah vila berdiri anggun di tanah seluas satu hektar. Berlantai dua, berdinding kayu. Ia menghadap ke jurang. Di bawahnya mengalir sungai kecil. Pekarangannya luas dan bertingkat, dengan hamparan rumput menghijau, penuh mawar dan kembang teluki. Ketika dibangun pada 1949, suasananya masih sunyi. Jalan menuju vila tak beraspal, jadi becek kala hujan. Harimau sering turun gunung.
Si empunya rumah, Sutan Takdir Alisjahbana, sering datang di akhir pekan. Dia suka memandangi Gunung Gede di sisi selatan vila. Sesekali berenang. Tapi kegiatan utamanya tetaplah ajeg: membaca, menulis, dan melihat tetumbuhan di sekitar pekarangan.
Takdir ingin menjadikan vilanya, dalam istilah Asrul Sani, sebagai “salon kesusastraan atau seni”. Dia suka mengumpulkan seniman-seniman yang lebih muda darinya di vila, mempertemukan pemikiran-pemikiran yang berbeda.
Momennya juga tepat. Setelah Lekra, muncul Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG), yang terbit kali pertama dalam Gelanggang, sisipan majalah Siasat, Oktober 1950. Syahdan, SKG ini pernah dibacakan dalam sebuah pertemuan budayawan dan intelektual di paviliun Hotel Indes di Jakarta pada Juni 1950. Sejak itu Angkatan 45 dianggap telah pecah, mencari jalan sendiri-sendiri, membawa keyakinan masing-masing.
Awal 1950, apa yang disebut angkatan baru dan angkatan lama, dengan wakil-wakil terbaiknya, bertemu dan berhadap-hadapan: Asrul Sani dan Takdir. Asrul Sani merumuskan Angkatan 45, “bukan sekelompok pemuda, bukan prajurit yang berdiri di medan perang mempertahankan kemerdekaan negara, dan juga bukan suatu aliran kesusastraan, tapi sesuatu percobaan untuk mengadakan hidup baru.” Dan percobaan mencari hidup baru ini dipertentangkannya dengan angkatan Pujangga Baru di zaman kolonial. Baginya, Angkatan 45 mulai dengan kesangsian, yang dilahirkan di zaman Jepang dan revolusi.
Sebaliknya, Takdir melihat kesangsian dan percobaan mencari hidup baru itu sebagai karakter Pujangga Baru. “Begitu sangsi orang-orang Pujangga Baru itu kepada kebudayaan lama, kepada masyarakat kolonial, kepada bahasa Belanda, kepada Balai Pustaka, hingga mereka meninggalkan pantun dan hikayat, meninggalkan bahasa Belanda, meninggalkan Balai Pustaka, dan mulai bekerja dengan sebebas-bebasnya.”
S. Rukiah, yang meliput pertemuan itu, dalam majalah
Pudjangga Baru, Februari 1950, menulis: “Pertemuan-pertemuan yang demikian itu pulalah yang memberikan corak kepada zamannya, dan menghidupkan dunia cipta dalam zaman itu.”
Tapi pembicaraan belumlah usai. Senja di tahun 1951, Asrul Sani kembali datang ke sana. Dia tak sendirian. Di dalam mobilnya ada Rivai Apin, Rustandi Kartakusumah, S. Nuraini, dan Samiati Alisjahbana. Di vila itu, hadir pula Amir Pasaribu, Baharudin, Henk Ngantung, Sudjojono, Hariyadi, Gajus Siagian, J. A. Dunga, dan Sam Udin.
Malam itu, yang mestinya jadi pembicara adalah anggota Lekra. Tapi karena belum juga datang, Asrul Sani yang mengajukan pembahasan. Diskusi membahas pesimisme dan epigonisme dalam sastra Indonesia, yang berlangsung sampai larut malam. Catatan pertemuan ini dituliskan Asrul Sani dalam “Sebuah Pembelaan”, yang dimuat di
Siasat, 20 Mei 1951, lalu masuk dalam bukunya
Surat-Surat Kepercayaan.
Pada pertemuan berikutnya, Dharta dan Njoto datang mewakili Lekra. Sementara dari “pihak lawannya” terdapat Sutan Takdir Alisjahbana, Ir Udin, Resink, R. Nieuwenhuis, Beb Vuyk, Rustandi, Trisno Sumardjo, dan Basuki Resobowo. Boejoeng Saleh dari Lekra dan Asrul Sani dari Gelanggang akan menguraikan soal kebudayaan rakyat serta kebudayaan dan politik. Keduanya tak datang, dan Takdir-lah yang mengupasnya.
Takdir mengupas fungsi seni dalam masyarakat yang “bulat” seperti dalam masyarakat primitif dan dalam masyarakat yang terpecah-pecah seperti di Barat. Lalu sampailah dia pada kesimpulan bahwa yang primer pada seni itu adalah bentuk yang harus indah.
Dharta bereaksi, mencap seni yang hanya mengutamakan bentuk yang indah dan mengabaikan isi sebagai seni formalis. Bagi Lekra, bentuk dan isi itu primer, tak bisa didahulukan yang satu dari yang lain.
“Seni yang indah bentuknya tapi busuk isinya, seperti film-film Amerika yang memperkosa hak-hak kemanusiaan, dengan mempertunjukkan diskriminasi ras terhadap orang-orang Niger yang dianggap sebagai orang-orang jahat dan sebagainya, adalah salah satu contoh dari seni formalistis yang berbahaya. Seniman yang jujur macam Multatuli pernah marah, karena orang hanya memuji gaya bahasanya yang indah, tapi kurang mempedulikan isi karangannya. Padahal yang menjadi maksud utama dari Multatuli ialah mengemukakan isinya,” ujar Dharta.
Bagi Resobowo, isi itu hanyalah objek. Dan baginya objek itu bisa apa saja asalkan merupakan suatu
belevenis (cerita) dari penciptanya.
Takdir mengatakan isi itu penting, dan seni yang besar merangkum pula soal-soal besar mengenai seluruh masyarakat. Dia mengkritik seniman Indonesia sekarang yang melihat ke Barat tanpa menyadari soal-soal kita sendiri.
Diskusi lalu mengalir ke soal pesimisme dan elan. Njoto bicara banyak seniman Indonesia yang penuh elan dan optimistik. Trisno Sumardjo melihat kemajuan dalam seni lukis. Resink menyoroti kemenurunan elan dari orang-orang yang dulu penuh elan. Selesai.
Achdiat K. Mihardja dalam laporannya di
Pudjangga Baru, Februari 1951, menulis pertemuan semacam ini, “…menghilangkan ketegangan yang biasanya timbul dalam konfrontasi antara ideologi dan ideologi.”
Perbedaan pandangan antara Lekra dan Gelanggang pada awal 1950-an masih dianggap wajar. Asrul Sani dalam
Siasat, Desember 1953, yang juga termuat dalam
Surat-Surat Kepercayaan, menulis perbedaan keduanya baru pada penamaan, orientasi, dan penghargaan tapi belum pada produksi (karya). Semata-mata karena keduanya belum lagi beroleh bentuk.
Dalam esai “Dari Idealisme ke Realisme”, Dharta menulis Angkatan 45 menjadi dua: kesusastraan idealisme dengan etiket “humanisme universal” sebagai konsep perjuangan dan kesusastraan realisme-kreatif dengan konsep perjuangan kesusastraan untuk rakyat-banyak. Keduanya masih masih diikat dan sependirian bahwa revolusi tak mencapai tujuan.
“Dalam detik perjuangan sekarang, dalam praktiknya, keduanya bersatu dan mesti dapat bersatu,” tulisnya. Tapi, dia yakin faktor sastrawan generasi baru akan mendorong kebangkrutan humanisme universal dan kebangkitan realisme-sosialis.
Upaya Takdir tentu lebih bermakna ketimbang apa yang terjadi di tahun-tahun kemudian, ketika perbedaan disikapi dengan pertentangan. Kini, di sudut kanan halaman depan vilanya, tepat di bawah serumpun bambu, tampak nisan dari batu marmer berwarna putih dengan torehan nama: Sutan Takdir Alisjahbana. Februari tahun lalu, 100 tahun kelahiran pujangga ini dirayakan di sini. Takdir meninggal pada 17 Juli 1994.
HANS BAGUE JASSIN berbadan gemuk. Pipinya agak tembam. Ada tahi lalat di pipi kirinya. Jassin dikenal sebagai kritikus sastra terkemuka sesudah perang, sehingga mendapat julukan “Paus Sastra Indonesia”. Jassin pulalah yang membela hak hidup Angkatan 45, dan mempopulerkan Chairil Anwar sebagai pelopornya.
Dharta menganggap Jassin sebagai kawan yang menyenangkan. “Saya bersahabat betul dengan Jassin. Dia sebagai manusia mempunyai pengertian; berlelucon, jalan-jalan. Sama dia jadi manusiawi, meski dalam beberapa hal berbeda pendapat,” ujar Dharta kepada saya.
Perbedaan pendapat terjadi di halaman-halaman koran. Jassin menulis esai “Angkatan 45” dalam bulanan Zenith, edisi kebudayaan mingguan
Mimbar Indonesia No. 3 tanggal 15 Maret 1951. Dalam esai itu Jassin menyoroti esai Dharta soal kemampusan Angkatan 45. Dharta menjawabnya melalui esai “Kepada Seniman Universal”.
Jassin menulis, orang terlalu melihat beberapa pemuka Angkatan 45, seperti Chairil Anwar, Idrus, dan Asrul Sani, dari satu sudut dan mengurangkan sudut lainnya. Chairil Anwar menulis “Aku Ini Binatang Jalang” tapi juga membuat sajak “Diponegoro”, “Beta Pattiradjawane”, “Kenanglah Kami”. Orang menafsirkan sajak-sajak mereka secara dangkal dengan pengenalan yang dangkal pula. Dharta bersepakat soal pemuka Angkatan 45. Tapi Dharta tak mau Angkatan 45 hanya dipakai sebagai etiket, sementara karyanya tak selaras dengan isi nama itu.
Jassin menulis soal kekuatan tenaga kata-kata “yang mengandung pikiran-pikiran paling dalam” dalam perjuangan. Dharta sependapat, tapi, “Pikiran-pikiran dalam yang bagaimana?” tanyanya. “Kalau hanya mempersoalkan masalah perseorangan, tidak ada sangkut-paut dengan masalah manusia-banyak, maka ‘pikiran dalam’ itu hanya dalam dan dianggap berguna oleh beberapa gelintir orang. Dan ini adalah individualisme.”
Bagi Jassin, meski berlainan visi di antara Angkatan 45, dalam satu hal mereka sama, yakni dalam gaya (bentuk). Bagi Dharta, isi dan bentuk adalah suatu kesatuan syarat yang tak bisa dipisah-pisahkan, dinomorsatuduakan. Jassin visi dan gaya, Dharta isi dan bentuk.
Jassin memajukan konsep Angkatan 45, yakni humanisme universal, meski “Satu keberatan bisa dikemukakan terhadap keuniversalan ini. Sangat banyak kemungkinan, tapi toh orang harus memilih dalam praktiknya dan apabila telah memilih boleh bertengkar lagi.”
Dharta tak setuju dengan konsep humanisme universal, yang baginya adalah baju baru untuk
l’art pour l’art. “Di dalam praktik kita melihat, bahwa ‘seni universal’ dipergunakan untuk lebih menjauhkan, untuk lebih mengasingkan, seniman dan seni dari masyarakat. … Dengan ini menjadi jelas, bahwa kesusastraan universal tidak netral, tidak berdiri di atas segala. Di dalam praktik dia menjadi sekutu kelas yang antiperubahan masyarakat ke arah perbaikan.”
Tulisan Jassin juga penuh berisi perbedaan antara Angkatan 45 dan Pujangga Baru, dengan titik berat pada gaya. Di akhir tulisannya, Jassin mengajak bicara tentang pengarang orang per orang, “asal kuat pribadinya”, ketimbang bicara soal angkatan. Dharta menganggap kalimat itu banci —menyebut ucapan terakhir dalam karangan itu meruntuhkan apa yang sudah Jassin bangun dan pertahankan. Dharta melihat Angkatan 45 dalam hubungannya dengan revolusi, di mana kesusastraan terpengaruh olehnya, dan sekali lagi membuktikan bahwa seorang sastrawan tak mungkin dan tak bisa berdiri ‘netral’, terlepas dari pengaruh lingkungannya.
Jassin menyinggung perdebatan itu dalam surat kepada Aoh Karta Hadimadja, yang kemudian dimuat dalam syarahan
Mingguan Mimbar Umum, 9 Desember 1951. Dharta menjawabnya lewat esai “Kita Adalah Anak Zaman” yang terbit di
Pudjangga Baru pada 1952 dan diterbitkan ulang Lentera,
Bintang Timur, pada 1962.
Dalam surat itu Jassin menjelaskan soal isme-isme dan —tersirat sependapat dengan Asrul Sani— menolak penamaan dengan isme-isme. “Karena itu kita bisa mengerti sikap sebagian seniman yang mengatakan bikin saja sebagaimana yang kau rasa paling baik. Dan inilah yang disebut orang pula
l’art pour l’art dengan hukumnya sekali seni individualistis, dengan pengertian yang jelek. Tetapi adakah
l’art pour l’art harus jelek, sifat hasilnya harus individualistis?”
Dia juga balik bertanya: “adakah kemungkinan semua baik dan bagus atau semua jelek dan buruk?” Bagi Dharta, Jassin menempatkan dirinya di atas segala dan ini adalah penyakit dewa-dewaan.
Jassin juga menolak penyamarataan Angkatan 45 punya visi individualis, karena Angkatan 45 heterogen. Tulisnya: “Seni Angkatan 45 ialah seni universal, dasar-dasarnya tempat mencipta boleh berlain-lainan, tapi dalam keseluruhannya, sebagai hasil ciptaan, harus mencapai keuniversalan.”
Dharta sekali lagi menegaskan pendirian Lekra: menolak
l’art pour l’art. “Ini adalah formalisme: nomor satu bukan pandangan hidup yang dimanifestasikan oleh hasil seni, tetapi bentuk hasil seni itu mesti berseni. Biar pandangan hidupnya bertentangan dengan kepentingan rakyat, hasil sastra adalah sempurna kalau syarat-syarat seninya dipenuhi!” tulis Dharta.
Dalam surat kepada Aoh K. Hadimadja, tertanggal 15 Desember 1951, Jassin tidak menyinggung lagi esai Dharta. Dia lebih menjawab pertanyaan Aoh tentang humanisme universal. Jassin mulai memakai kata “humanisme” dalam kata pengantar
Gema Tanah Air tahun 1948, yang merupakan reaksi kritis atas pemikiran “humanisme” para seniman dalam redaksi
Gema Suasana. Dia senang, setuju dengan tendens humanisme, tapi juga galau ketika tahu mereka tanpa sadar jadi alat politik Belanda. “Humanisme universal” lalu didukung Jassin ketika konsep itu diangkat oleh Surat Kepercayaan Gelanggang.
Kepada Iramani (nama pena Njoto), Dharta mengatakan, “Jassin hanya mencari untuk mencari, sedang aku sudah tahu di mana tempatku.” Dan Iramani menambahkan: bagi seniman, tahu menempatkan diri adalah salah satu soal terpenting!
Pertemanan mereka taklah runtuh oleh perbedaan itu, mungkin justru mendekatkan keduanya. Beberapa kali Dharta mengirim surat dan kartu pos untuk Jassin. Di bawah isi suratnya, sebelum tertera namanya, dia menulis “sahabat”.
Salah satu surat, tertanggal 20 Februari 1953, dikirim dari Wina, Dharta menulis: “… ini gambar tempat istirahat buruh di Rumania, yang memang bukan sorga, tetapi yang terang kehidupan bersinarkan kegembiraan dan harapan dan di mana manusia adalah manusia dengan segala sifatnya yang baik.” Ya, Dharta ingin menunjukkan dunianya pada Jassin.
Jassin juga bukan orang yang membedakan lawan dan kawan. Sajak Dharta “Nyi Marsih”, misalnya, dimuat di majalahnya,
Siasat, tahun 1951 karena dinilainya sebagai sajak yang berhasil, isi dan bentuknya mencapai kesatuan yang harmonis.
Tak ada demarkasi antara kawan dan lawan, masing-masing menjauhi permainan hitam-putih —seperti larik puisi Dharta untuk HB Jassin “Antara Bumi dan Langit”.
“Kita tetap melihat lebih besar dan lebih kuatnya persamaan antara kita dan kita daripada perbedaannya,” tulis Dharta dalam “Kita adalah Anak Zaman Kini”. “Orang boleh bebas menganut faham pendirian seninya, tapi orang tidak bebas untuk tidak memperhatikan masalah bangsanya, dan kemudian masalah dunia. Ini yang kita harap!”
PADA 7 Maret 1956, Dharta mengirimkan kartu pos untuk karibnya, Samandjaja: “Saya tebak Bung sudah terima surat Sekretariat Pusat tentang research perkembangan kesusastraan. Saya harap… Belum adanya jawaban Bung tentang ini dan tentang Pleno yang akan datang…. Kami pikirkan acaranya sekitar realisme. Jangan kita simpang siur dalam interpretasi subjektif.”
Bulan-bulan ini Dharta begitu getol mengirimkan surat untuk Samandjaja. Pikirannya selalu bekerja, mencari cara memajukan Lekra. Dalam surat-surat itu, selain soal-soal pribadi, dia mengajukan riset perkembangan kesusastraan, gerakan penilaian secara massa, penerbitan kumpulan puisi bertemakan sama, permintaan naskah untuk
Zaman Baru, dan sebagainya.
“Berbaris juga suratku ini, bukan? Nyaris saban hari. Soalnya sangat sederhana: saya butuh omong. Omong yang bisa melahirkan perbuatan praktis dan yang bisa mempertinggi diri,” tulis Dharta dalam surat kepada Samandjaja, 10 Maret 1956.
Kala itu Samandjaja, nama lain Oey Hay Djoen, dikenal sebagai pengusaha nasional yang berkomitmen sosial tinggi. Dia jadi anggota Konstituante mewakili Partai Komunis Indonesia, juga bergabung dengan Lekra di Semarang. Ketika pada 1957 pindah ke Jakarta, karena ditarik ke sekretariat pusat Lekra, dia menawarkan rumahnya di Jl Cidurian 19, di kawasan Cikini, sebagai sekretariat, menggantikan kantor sebelumnya di Jl Dr Wahidin yang tak memadai lagi.
Dalam surat balasannya dari Semarang, tertanggal 8 Juni 1956, Samandjaja memberi sambutan yang hangat atas anjuran Dharta soal riset dan seruan penilaian secara massa. Tapi, “Menurut hematku, dalam hal kedua persoalan, segi di atas ini saja sudah terkandung suatu problem yang maha besar. Sebab ia menentukan posisi kita selanjutnya. Ia menuntut dari kita pemecahan soal cara kerja, soal ‘dari mana memulai’ pekerjaan. Terang, keduanya tidak bisa dilepas-lepaskan. Tetapi terang pula: sistimatik dalam penyelesaian pekerjaan harus ada.”
“Untuk sampai pada keputusannya, masing-masing soal perlu lebih dulu diperbincangkan secara mendalam, bukan sepintas lalu.”
Samandjaja sadar balasan suratnya agak ekstrim. Dia ingin tak ada yang menggantung. Seruan “penilaian secara massa” misalnya —belakangan terbit di
Harian Rakjat, 30 April 1956. Tanpa cara kerja, meski Sekretariat Pusat Lekra bersedia membantu siapa pun yang memerlukan keterangan, ia bisa menyulitkan.
Saya tak menemukan jawaban Samandjaja soal sidang pleno. Sebagai anggota pleno Sekretariat Lekra, Samandjaja mendapat undangan itu. Sidang Pleno itu diadakan di Jakarta pada 27, 28, dan 29 April 1956. Agenda acaranya: “Realisme Sosialis, dalam pengertian dan pekerjaan kita”. Semua anggota pleno diundang, juga di luar anggota seperti Basuki Resobowo, Rivai Apin, Hendra Gunawan, dan Boejoeng Saleh. Saya juga tak menemukan hasil pleno ini.
Tapi, realisme sosialis adalah konsep berkesenian Lekra yang amat penting. Dharta memperkenalkan konsep ini sejak 1951 lewat esai “Dari Idealisme ke Realisme”, meski tidak secara utuh. “Realisme adalah kesusastraan yang menggambarkan kenyataan. Tetapi ini saja tidak cukup. Kesusastraan seharusnya menggambarkan, membongkar kenyataan, plus memberi jalan kepada manusia. Dan inilah realisme kreatif,” tulis Dharta.
Tanpa kejelasan, menyulitkan dalam tataran praktik, berkembanglah penafsiran-penafsiran subjektif di antara seniman Lekra. Tapi realisme sosialis bukanlah konsep yang selesai, masih terbuka bagi kritik. Itulah kenapa perlu pembahasan.
“Realisme sosialis ada setelah Lekra. Itu kan dari Prof. Lukács, dari universitas Hongaria. Maksudnya supaya peranan rakyat, bekerja, ditekankan dalam hasil-hasil kesenian. Supaya hasil-hasil kesenian bersih dari unsur feodal dan borjuis,” ujar Dharta kepada saya.
Georg Lukács adalah filsuf dan kritikus sastra Hongaria, profesor estetika dan filsafat kebudayaan pada Universitas Budapest (1945-1956). Estetika Lukács, seperti dikutip Eka Kurniawan dalam
Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, menekankan hubungan-hubungan sosial sebagai dasar estetikanya. Menurutnya, subjek suatu kreasi seni bukanlah manusia yang dilihat secara statis, yang membuat kreasi seni itu jadi condong kepada subjektivisme dan semboyan. Sastra haruslah dinamis, menata karakter-karakter dalam perspektif sejarah serta memperlihatkan arah, perkembangan, dan motivasi. Agar sastra menjadi dinamis, gerak sejarah utama saat ini haruslah diperhitungkan. Pada abad ke-20, gerakan itu adalah sosialisme. Karenanya gaya sastra kontemporer yang benar, menurutnya, hanyalah realisme sosialis, yang secara praksis berdampingan dengan gerakan sosialis.
Cikal bakal realisme sosialis dipercaya sudah hadir sejak terbit novel Gorky
Mother, yang dianggap sebagai karya puncak realisme sosialis, pada 1906. Artinya, dalam pengertian Pram dalam
Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, istilah realisme sosialis timbul jauh setelah pempraktikkannya. Istilah itu sendiri baru diperkenalkan dalam Kongres I Sastrawan Soviet di Moskwa pada 1934 oleh Andrei Zdanov.
Menurut Dharta, kesusastraan yang berorientasi kerakyatan tidak dimulai oleh Lekra. Dia menyebut karya-karya Asmara Hadi, Sanusi Pane, dan Aoh Karta Hadimadja. Lekra hanya menjadi penerus, yang melanjutkan, dalam suasana dan manusia Indonesia menurut zamannya. “Lekra telah merumuskan garis orientasi kerakyatannya sebagai garis realisme-kreatif. Realisme yang mempunyai kearahan, yang mempunyai sasaran dan tujuan. Dalam kekaburan pengertian inilah masih merajalela kekaburan pengertian tentang Lekra,” tulisnya dalam esai “Kesusastraan Ke Arah Emansipasi Petani”.
“Realisme yang dianut Lekra bukan “
art of facts”…. Tapi kenyataan dengan segala kemungkinan dan perkembangannya.”
“Realisme-kreatif itu sendiri tidak berarti siap-selesai di dalam kelanjutannya. Ia hanya baru menyelesaikan segi orientasinya!”
Taklah berlebihan jika ia dianggap belum sepenuhnya berhasil diterapkan seniman-seniman Lekra. Banyak pula yang menilai rendah mutu karya-karya Lekra, dari dalam maupun luar Lekra. Dalam pertemuan Lingkaran Sastra Lekra cabang Jakarta tahun 1956, terlontar pernyataan serupa: sajak-sajak penyair Lekra umumnya dianggap agitasi, bertendens, dangkal, tak memenuhi syarat-syarat sajak. Ia tidak baik, tidak artistik. Ia bukan sajak, bukan hasil sastra.
Dharta menerima sekaligus mempertanyakannya ukuran apa yang dipakai. Dia mengajak bersikap kritis dan melakukan studi, di sisi lain menekankan —seperti judul esainya— “Penilaian adalah Hasil dari Suatu Sikap Hidup”.
“Ya iya dong masak kita mesti sempurna? Selama masih ada penghisapan oleh manusia atas manusia, selama masih ada sistem kelas, selama itu kekurangan itu tidak bisa hapus, akan selalu ada,” ujarnya kepada saya.
“Stalin ngomong ‘
Nothing is perfect nothing, even communism is not perfect’. Komunisme juga tidak sempurna. Tidak ada yang sempurna! Dalam perbandingan antara komunisme dan kapitalisme, komunisme lebih baik. Kalau kapitalisme itu mempertahankan adanya sistem penghisapan kelas, kalau komunisme mau menghapuskannya.”
Karena ketaksempurnaan itu pula dia menyerukan agar tak henti-henti memperfeksi diri. Dia menulis, menerjemahkan, tulisan-tulisan yang menggambarkan perkembangan kesusastraan di negara-negara sosialis, agar jadi bahan berguna bagi para pengarang. Semuanya disesuaikan dengan keadaan, waktu, dan tempat.
Pidato Mikhail Sholokhov, pengarang terkemuka Soviet, dalam Kongres Partai Komunis Uni Soviet, tak ditelannya mentah-mentah. Sholokhov menganjurkan agar sastrawan hidup di tengah masyarakat, sekaligus membebaskan diri dari segala yang menghambat kerja kepengarangan. “Kita paling banter bisa menganjurkan supaya pekerjaan organisasi itu jangan menelan kegiatan mengarang. Malahan mesti bisa mengatur demikian, sehingga pekerjaan organisasi bisa menjadi rangsang dan sumber bahan untuk mengarang, untuk mencipta,” tulisnya dalam “Menilai dan Menafsirkan Pidato Sholokhov”.
Pada Konferensi Nasional II, 28 Oktober 1957, ketika menyampaikan laporan Sekretariat Pusat Lekra, Dharta kembali menekankan kerja keorganisasian yang mendorong “kelahiran penciptaan-penciptaan yang bernilai” dan “tidak mutlak harus menjadikan diri kita semacam robot.” Dalam laporan itu pula dia menyimpulkan kegiatan-kegiatan Lekra sudah membawa kemenangan azas kerakyatan atas paham ”seni untuk seni”, “ilmu untuk ilmu”, dan “filsafat untuk filsafat”.
Tapi, sejak awal, dia sadar keterbatasan dirinya sebagai manusia. Dalam suratnya kepada Samandjaja, 4 Februari 1956, dia sudah menuliskannya: “Kadang-kadang diriku malu oleh kebesaran kasih manusia. Malu karena aku tak becus untuk melukiskannya secara tepat, secara memadai. Apa boleh buat, tugas kita, hanya memberikan maksimum yang ada pada kemampuan kita. Intensif dan tak bersyarat!”
SEBUAH kudeta merangkak menenggelamkan semuanya. Gerakan kebudayaan itu langsung habis begitu Soeharto melancarkan ”gerakan pembersihan”. Para aktivitasnya dipenjara dan sebagian dibuang ke Pulau Buru tanpa proses pengadilan. Lekra dianggap sebagai
onderbouw Partai Komunis Indonesia, partai yang dipersalahkan atas peristiwa pembunuhan para jenderal.
Hubungan PKI dan Lekra ibarat minyak dan air. Aidit ingin Lekra jadi organisasi resmi PKI. Salah satu resolusi rapat Pleno II CC PKI pada 1963 adalah menggelar Konferensi Nasional Sastra dan Seni, yang akhirnya diadakan pada 27 Agustus hingga 2 September 1964 dengan nama Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner.
“Siapa? Dari mana?” tanya Dharta kepada saya. Nadanya keras.
“CC PKI.”
“Tidak logis, secara teori nggak kena!” ujarnya. “Dasar teorinya apa? Nggak ada. Pertama dasar teorinya bagaimana perbandingan di partai yang sudah ada, apa itu di partai luar negeri. Nggak ada! Siapa anggota CC itu? Akh, ngawur itu! Terbelakang sekali orang itu!”
“Intinya kan mengingatkan bahwa kebenaran itu tidak dimonopoli oleh PKI. Ada kebenaran lain yang sama, kebenaran yang diperjuangkan oleh kebudayaan, oleh Lekra, oleh kultur. Jangan ada anggapan bahwa partai itu sempurna!”
“Apakah dia tidak tahu bahwa (perlu) ada faksi supaya jadi tantangan untuk menguji hingga di mana salah-benarnya PKI. Ini kan malah menguntungkan PKI. Itu bagaimana sih sampai nggak ngerti!”
Saya tak pasti apakah dia benar-benar tidak tahu, mengingat kedekatannya dengan Aidit. Tapi ketika itu berlangsung, di tahun 1964, tempatnya bukan lagi di Lekra —meski dia menjadi salah satu peninjau dalam Konferensi Lekra di Palembang. Sejak 1962, Dharta mendirikan dan memimpin Universitas Kesenian Rakyat di Bandung, yang kemudian juga hancur oleh “pembersihan”.
Dharta sendiri diciduk di rumahnya di Bandung, lalu masuk penjara Kebonwaru. Selepas dari penjara tahun 1978, nama A.S. Dharta seolah menghilang. Banyak kawannya yang bahkan mengira dia sudah meninggal dunia. Padahal, dia berada di Cianjur, di rumahnya yang asri. Sehari-hari dia hanya membaca koran, buku, atau menonton sepakbola. Belakangan, sesekali dia menelpon atau menemui teman-temannya yang bertandang ke rumahnya. Dua tahun lalu saya mengenalnya, berdiskusi dengannya, bahkan menjadi bagian dari keluarganya.
“Hormat kepada Tursaho. Dia bisa bikin saya 15 tahun nggak ngapa-ngapain. Dia berhasil membikin saya lumpuh, membikin saya impoten tanpa penyakit AIDS. Hebat dia! Hebat Maestro! Hebat Tursaho!” ujar Dharta kepada saya, berkelakar. Tursaho adalah Soeharto —Dharta memang suka memelesetkan nama orang.
Orde baru memasungnya, juga jutaan orang Indonesia. Tapi apa yang dibangunnya pada 1950 seolah masih hidup, dalam bentuknya yang paling buruk. Kasar. Main sikat. Tukang berangus. Banyak orang merujuk buku
Prahara Budaya karya karya Taufik Ismail dan D. S. Moeljanto.
“Taufik Ismail itu ngomong bahwa kita tuh ... kan nggak pernah sebut fakta toh! Jadi kapan kita merugikan mereka kan nggak ada. Kenapa tidak turun kepada fakta. Sebutkan dong! Kemungkinan benar, kenapa tidak! Karena Lekra kan tidak mungkin beres, selalu beres, kenapa tidak mungkin salah!”
Tapi roda sejarah sudah berputar. Sejarah ”versi pemenang” terus direproduksi. Penelitian Keith Foulcher,
Social Commitment in Literature and Art, secara khusus mempelajari pergulatan gagasan tentang kesatuan atau keterpisahan antara seni (sastra) dan politik. Robohnya orde lama oleh Foulcher tidak hanya dipandang sebagai awal kebangkitan dan kejayaan orde baru, tapi juga kemenangan pengikut pandangan sastra universal.
Dan kemenangan itu membawa kemapanan. Arief Budiman, salah seorang penandatangan Manifest Kebudayaan, yang pada 1968 menolak nilai universal dalam kesusastraan, melihat sejarah kesusastraan Indonesia modern sudah tidak sehat lagi. Kesusastraan “universal” berjaya secara mapan, hampir-hampir tanpa saingan dan tandingan. Pada 1984, bersama Ariel Heryanto, dia menggagas “sastra kontekstual”. Gagasan itu menyiratkan keinginan sastrawan muda untuk meninjau kembali nilai-nilai sastra yang mapan dan peranan sastra dalam perubahan sosial. Gagasan ini mengingatkan saya pada esai Dharta menjelang tahun 1950 —mungkin juga semangat kelompok Manifest Kebudayaan pada 1960-an.
Tapi lagi-lagi, sastrawan generasi tua khawatir status quo-nya akan tergerogoti, juga takut bangkitnya “musuh” lama: Lekra. “Sastra kontekstual” pada 1984 dihubung-hubungkan dengan Lekra. Arief Budiman dianggap sebagai pembela Lekra. Tinjauan kritis tak pernah mencapai hasil. Menurut Ariel Heryanto dalam “Politik Kesusastraan Indonesia Mutakhir” di majalah
Prisma tahun 1988, pertentangan di masa lalu antara Lekra dan Manifest berakhir pada lingkup politik, tapi belum tuntas dalam tingkat konseptual dan emosional.
Kumpulan esai ini menjadi sebuah upaya untuk menghadirkan kembali pemikiran dan perdebatan yang muncul di awal 1950-an, dalam tataran konseptual (merujuk artikel Heryanto), ketika kepentingan politik belum muncul dan saling serang tidak dijadikan senjata.
Generasi muda sekarang jauh lebih kritis. Mereka tak mau tafsir tunggal, bahkan dari pihak yang sekarang kalah sekalipun. Dalam sebuah diskusi di Jakarta, sikap itu tampak jelas. Saut Situmorang, sastrawan asal Yogyakarta, pernah mengeluhkan generasinya yang terjepit di antara “dua gajah”. Saya menyalahkan kenapa mau terjepit, atau diam kena jepit. Dalam kesempatan lain, saya juga meminta seniman-seniman tua untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri, atau membuka dialog sejarah dengan generasi di bawahnya.
Begitu sulitkah dialog yang tua dan muda?
Ketika itu tampaknya sulit terwujud, esai Dharta terngiang di benak saya, dalam bentuknya yang baru: “Angkatan Lekra sudah mampus, angkatan Manifest Kebudayaan sudah mampus, karena sudah bunuh-membunuh, hancur-menghancurkan.” Generasi baru mesti menegaskan sikap generasinya.
Pada 7 Februari 2007, A.S. Dharta menghembuskan nafas terakhir di rumahnya di Cibeber, Cianjur. Satu per satu yang tua mati, yang muda tumbuh.
Pada akhirnya gajah-gajah itu hanya akan meninggalkan gading. Generasi sekarang mungkin tak akan menemukan kebenaran tunggal. Tapi sudah semestinya, seperti dalam permainan pinsut, semut selalu menang lawan gajah. Generasi sekarang harus membuat sejarahnya sendiri.*
Kebayoran Lama, Juli 2008
Budi Setiyono
Wartawan Pantau di Jakarta
[
Catatan: tulisan ini merupakan kata pengantar untuk buku
Kepada Seniman Universal, kumpulan esai sastra AS Dharta]