Wednesday, November 22, 2006

Tan Boen Kim

KUDUS, 1918. Pada suatu malam, beberapa saudagar Tionghoa bertemu di Kudus Tua. Mereka membicarakan penyakit influenza yang tengah melanda Kudus dan menewaskan banyak orang di sana. Mereka berdiskusi mengenai bagaimana cara mencegah penyakit tersebut karena upaya yang dilakukan pemerintah tidak begitu berhasil. Penyakit influenza ini –kemudian dikenal dengan sebutan flu Spanyol— juga telah menewaskan puluhan juta orang di seluruh dunia, yang menunjukkan betapa ganasnya penyakit ini.

Setelah mengobrol kesana-kemari, akhirnya mereka sepakat untuk mengadakan slamatan; sembayangan dan perarakan toapekkong dengan upacara.

Tepat pada waktu yang telah ditentukan, acara itu pun digelar. Perarakan pertama berjalan lancar. Begitu pula perarakan kedua dan ketiga yang diadakan beberapa hari kemudian. Penduduk pribumi sepertinya senang mendapatkan hiburan gratis yang meriah.

Tapi, perarakan terakhir pada tanggal 30 Oktober, berakhir rusuh. Terjadi keributan kecil akibat ulah beberapa orang pribumi yang menertawakan rombongan perarakan. Tindakan ini dibalas dengan tempelengan oleh orang Tionghoa yang tak bisa menahan amarahnya. Penghinaan balasan juga dilakukan. Suasana jadi memanas, tapi perselisihan itu kemudian bisa dilerai, bahkan dengan kesepakatan damai.

Tapi, api telah membakar sekam. Kesepakatan itu tinggallah janji kosong belaka. Perselisihan yang terjadi pada siang hari di dekat menara Kudus itu rupanya membangkitkan dendam lama yang sempat terpendam di hati sebagian penduduk pribumi, terutama pedagang kayanya. Sejak lama, kemajuan usaha rokok dan batik mereka tersendat akibat kalah bersaing dengan pengusaha Tionghoa. Bahkan banyak pekerja pribumi yang pindah ke pengusaha Tionghoa yang mau memberi gaji lebih besar. Dari perselisihan itulah mereka mendapat momentum yang pas untuk melampiaskan dendamnya. Dengan memanfaatkan pengaruh Sarekat Islam (SI), organisasi politik beraliran Islam yang berkembang pesat di masa itu, pemimpin SI cabang Kudus yang kebanyakan haji dan pedagang kaya merencanakan pembalasan dendam.

Keesokan harinya, pada suatu malam, mereka mengumpulkan orang-orang dari Demak, Mayong, juga Welahan, yang kemudian disebar dalam kelompok-kelompok di wilayah pecinan, terutama di Kudus Tua. Begitu suara batu berdentangan di atap-atap rumah orang Tionghoa sebagai tanda perintah penyerangan, dimulailah aksi mereka. Rumah-rumah dihujani dengan batu. Pintu dan jendela didobrak. Perabotan diporakporandakan, dan beberapa di antaranya dijarah. Bensin dan minyak tanah disiram, lalu dinyalakan dengan api. Dengan cepat deretan rumah itu terbakar dan menghanguskan isinya.

Kepanikan menyelimuti wajah penduduk Tionghoa yang rumahnya menjadi sasaran penyerangan maupun tidak. Mereka berhamburan dari rumah untuk menyelamatkan diri. Sebagian bersembunyi. Nyaris tanpa perlawanan. Bahkan beberapa opas pribumi yang berdatangan untuk meredam kerusuhan mengurungkan niatnya karena jumlahnya kalah banyak. Kerusuhan baru bisa dipadamkan setelah beberapa jam kemudian datang bantuan polisi dari Semarang yang dipimpin komisaris besar Reumpol. Mereka bertindak cepat. Seketika itu juga massa membubarkan diri, dan beberapa di antaranya ditangkap.

Tapi ketakutan masih bergelayut di benak orang-orang Tionghoa. Saat itu juga mereka bergerak ke arah Semarang dengan berjalan kaki. Beruntung kemudian datang mobil-mobil bantuan dari Ing Giap Hwe, perkumpulan orang muda Tionghoa di Semarang. Ing Giap Hwe juga menyediakan penginapan dan uang makan selama mereka di Semarang. Untuk keperluan itu, datang pula bantuan dari orang Tionghoa di beberapa tempat, yang kemudian dikumpulkan oleh komite Fonds Koedoes yang didirikan di Semarang, Surabaya, dan Jakarta.

Terhadap kerusuhan tersebut, perkumpulan Tionghoa menyesalkan sikap para pejabat setempat karena tidak adanya jaminan keamanan. Dalam sebuah konferensi untuk membicarakan masalah Kudus, yang dihadiri perkumpulan-perkumpulan Tionghoa dari beberapa daerah, diambil keputusan antara lain bahwa masalah tersebut tidak dihubungan dengan politik dalam negeri, mengangkat komisi untuk memprotes dan menekan pemerintah, meminta hukuman yang layak bagi para pelaku, serta melakukan upaya agar orang Tionghoa bisa hidup rukun dengan orang pribumi.

SI, terutama pemimpin SI Kudus dan beberapa anggotanya, dianggap terlibat dalam kerusuhan di Kudus ini. SI melalui organ resminya, Oetoesan Hindia yang terbit di Surabaya dan Sinar Hindia (Semarang) membela diri dan menuding orang Tionghoa sebagai pencetusnya. Sebaliknya, perhimpunan Tionghoa menuding SI. Pertikaian politik itu akhirnya bisa reda setelah pada 30 November 1919 terjadi pertemuan yang diprakarsai Tjokroaminoto, pemimpin SI Surabaya, di gedung Tiong Hoa Oen Tong Hwee di Molenvliet, Batavia.


KUDUS, 1919. Tan Boen Kim bersama Tjiong Koen Liong, pemilik percetakan Goan Hong & Co. di Betawi, mendatangi Kudus yang telah dilanda kerusuhan rasial anti-Tionghoa. Mereka hendak mencari keterangan lebih jauh tentang kerusuhan tersebut dengan mewawancarai banyak orang di sana. Mereka tak peduli besarnya biaya yang harus ditanggung, asal bisa mendapatkan keterangan dan bahan-bahan penting untuk membuat sebuah buku. Keduanya datang ketika perselisihan antara Sarekat Islam dan perhimpunan Tionghoa sudah rampung.

Proses pemeriksaan terhadap terdakwa kerusuhan tersebut masih berlanjut. Enampuluh sembilan orang telah ditangkap dan dipenjara, beberapa di antaranya pemuka agama di Kudus. Selang 15 bulan kemudian, mereka diperiksa di pengadilan. Mereka dijatuhi hukuman antara sembilan bulan sampai limabelas tahun kurungan potong tahanan. Tujuh orang dibebaskan.

Berdasarkan wawancara dengan banyak orang, ditambah dengan pemberitaan pers, keterangan polisi, dan proses verbal di pengadilan, Tan Boen Kim menuliskan peristiwa rasial di Kudus itu menjadi sebuh buku berjudul Peroesoehan di Koedoes, yang kemudian diterbitkan percetakan Goan Hong & Co pada 1920. Percetakan Goan Hong & Co. memang biasa menerbitkan ceita-cerita baru dari kejadian sesungguhnya, selain juga menerbitkan rupa-rupa cerita Tionghoa, buku pelajaran, syair, pantun, undang-undang, dan sebagainya.

Peroesoehan di Koedoes menjadi catatan sejarah yang penting, yang menggambarkan betapa sentimen rasial sudah hidup lama di negeri ini, bahkan menunjukkan bentuknya dalam beberapa kerusuhan rasial anti-Tionghoa. Kerusuhan rasial seperti api dalam sekam. Dipicu masalah sepele saja kerusuhan itu bisa meletus. Umumnya timbul terutama karena sentimen dagang; orang Tionghoa dipandang sebagai penghalang usaha ekonomi pribumi. Kerusuhan kali pertama terjadi di Solo, yang saat itu menjadi pusat kapital, produksi, dan perdagangan batik. Kemudian menjalar seperti api di beberapa tempat di tanah air; Bangil, Tuban, Rembang, Cirebon, dan Kudus.

Di Kudus kerusuhan terjadi pada 31 Oktober 1918. Kejadiannya jauh lebih besar karena meliputi hampir seluruh kota yang disertai pembakaran pecinan, perampokan, dan pembunuhan. Latar belakangnya karena sentimen dagang yang sudah berlangsung lama. Perkembangan perusahaan rokok dan batik milik Tionghoa mengkhawatirkan pengusaha pribumi, terutama yang dikelola para haji.

Tan Boen Kim menyadari bahwa sentimen rasial ini sulit untuk dipadamkan. Karena itu dalam pengantar bukunya, Peroesoehan di Koedoes, ia mengingatkan “bagimana bintjana ada deket sekali, djika boeat lakoekan satoe perboeatan orang tida maoe pikir lebih djaoe”. Ia tak ingin sejarah kelam seperti di Kudus tidak terulang lagi.


TAN BOEN KIM terbilang penulis produktif di zamannya. Menurut Claudine Salmon dalam Literature In Malay by The Chinese of Indonesia, tidak jelas apakah ia pernah menerima pendidikan formal. Dilahirkan pada 1887, lelaki ini menjadi penulis dan wartawan secara otodidak. Pernah bekerja sebagai jurutulis di sebuah bank, ia mulai menulis untuk Sin Po, tempat ia biasa menyumbangkan karangannya berupa “pidato mingguan” berjudul Zaterdagsch Causerie dengan nama pena Indo China.

Ia lalu malang-melintang di dunia jurnalistik. Sekitar tahun 1916 ia diminta untuk memegang jabatan direktur dari harian Thjioen Thjioe yang didirikan di Surabaya pada 1914. Tak lama kemudian ia kembali ke Batavia, dan pada 1917 menjadi editor mingguan Ien Po. Pada 1926, ia tinggal di Palembang selama beberapa bulan, dan bekerja untuk mingguan Kiao Po. Sebagai jurnalis, Tan Boen Kim kritis. Gaya tulisannya penuh sarkasme, sehingga membuat banyak musuhnya tak ragu untuk menggunakan kekerasan untuk melawannya. Ya, ia bahkan dipenjara beberapa kali karenanya. Dalam bahasa Wartawan P.W. dalam Pantja Warna, “Tan Boen Kim kenjang dibatjok dan keluar masuk pendjara”.

Novel pertama Tan Boen Kim tampaknya telah dipublikasikan pada 1912. Belakangan ia menulis banyak kisah besar yang didasarkan pada peristiwa aktual atau soeatoe tjerita jang betoel terdjadi pada waktoe jang belon sebrapa lama, seperti perampokan dan pembunuhan. Salah satunya yang terkenal adalah Nona Fientje de Feniks (1915) yang berkisah tentang pembunuhan pelacur terkenal Fientje de Feniks. Novel ini mendapat perhatian banyak orang, sehingga mengalami cetak ulang. Bahkan Tan Boen Kim akhirnya menulis sambungannya; Njai Aisah atawa djadi korban dari rasia (1915) dan G. Brinkman atawa djadi korban dari perboetannja (1915). Kisah Fientje de Feniks ini juga kemudian ia gubah menjadi syair berjudul Sair Nona Fientje de Feniks dan sekalian ia poenja korban jang benar terdjadi di Betawi antara taon 1912-1915. Artinya, Tan Boen Kim juga mulai mencoba menulis syair. Tapi, ia mengaku mengalami kesulitan ketika menulis syair. “Menulis sebuah syair dalam sajak enam baris sungguh urusan amat sulit. Sebuah syair tidak bisa berbicara sebaik sebuah kisah dalam prosa, karena sangat hemat kata. Jika Anda ingin memahaminya lebih jernih, saya menganjurkan –dengan semua respek—agar Anda membaca versi prosanya,” ujarnya.

Tan Boen Kim menulis kerusuhan anti-Tionghoa seperti Peroesoehan di Koedoes yang menggambarkan masalah di Kudus pada 1918 ketika perusahaan-perusahaan rokok dan batik milik Tionghoa mengkhawatirkan dan berkompetisi dengan pengusaha santri. Kebanyakan novelnya memang berkisah mengenai masyarakat Tionghoa Peranakan dengan mengambil setting Indonesia.

Ketertarikannya pada negara China mendorongnya untuk menerjemahkan beberapa novel, bahkan menulis biografi Sun Yat Sen. Perlu disebutkan pula koleksi pidatonya Tan Boen Kim’s Pridato yang memberikan bermacam keadaan yang muncul pada 1929. Buku ini dicetak ulang pada 1931 yang juga berisi pidato tokoh nasionalis Indonesia seperti Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Hatta, dan sebagainya. Pada akhir hidupnya dia tertarik astrologi, dan menerbitkan beberapa buku tentang topik tersebut.

Tan Boen Kim menjalani tahun-tahun terakhir hidupnya dengan kemelaratan; tinggal di dalam sebuah ruangan Jinde yuan, satu dari kelenteng Tionghoa tertua di Kota, Jakarta, hingga meninggal pada 1959.

Saya terkenang Tan Boen Kim setelah menemukan karyanya di atas tumpukan buku dan makalah yang berceceran. Saya senang Tan Boen Kim telah mencatatkan peristiwa rasial anti-Tionghoa di Kudus agar bisa dijadikan pelajaran. Membaca Peroesoehan di Koedoes, bagi saya, seperti membaca sebuah novel yang penuh detil. Ini tak lepas dari kemauannya untuk datang ke lokasi kejadian untuk melihat langsung dampak kerusuhan, mencari data dan wawancara. Tan Boen lalu Kim menuliskannya dengan gaya bertutur sehingga enak dibaca. Ketegangan, kecemasan, kepedihan, dan konflik bergulir dalam jalinan cerita yang rapi dan terjaga.

Sayangnya, penulis hanya mengulas latar belakang peristiwa dari kacamata ekonomi. Aspek politis atau kekuasaan tidak disinggung sedikit pun kecuali faktor keamanan yang kurang memadai dan faktor ekonomi. Dan tentu saja ada bias penulisan di sana-sini karena latar belakang penulisnya sebagai orang Tionghoa, pihak yang menjadi korban dari peristiwa itu –meski ini juga bisa menjadi sebuah kelebihan.

Tapi, saya juga sedih ketika sadar bahwa apa yang diharapkan penulisnya tak terwujud. Peristiwa rasial kembali meletus di Indonesia, tepatnya Mei 1998. Saat itu di beberapa tempat, terutama Jakarta dan Solo, puluhan rumah dan toko milik orang Tionghoa dirusak, dibakar, dijarah isinya. Kabarnya beberapa gadis diperkosa. Sejarah pun kembali mencatat: untuk kali kesekian, kerusuhan rasial anti-Tionghoa terjadi di Indonesia.

Seandainya masih hidup, Tan Boen Kim mungkin merasakan kepedihan yang sama, dan mungkin pula mencatatkan kembali peristiwa kelam tersebut.*

Read More......

Wednesday, October 04, 2006

Isi Perut dan Jiwa

INI hari berat baginya. Di tengah malam, tanggal 31 Mei 1945, ia masih tak bisa memejamkan matanya. Ia bahkan menangis. Besok, ia mendapat giliran berpidato di hadapan anggota sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) –lembaga bikinan pemerintah militer Jepang pada Maret 1945. Ia berpikir keras tapi tak juga ilham itu datang.

Ia keluar rumah. Langit terang. Kepalanya menengadah ke langit yang bertaburkan bintang. Ia berdoa, meminta petunjuk-Nya.

”Ya Allah ya Rabbi, berikanlah kepadaku ilham. Indonesia yang akan menjadi negara merdeka ini, harus berdasarkan atas dasar apa? Supaya Indonesia ini kompak, tetap bersatu, bangsa Indonesia ini tetap kompak bersatu, tidak terpecah belah.”

Lalu ia kembali ke dalam rumah, dan beranjak tidur. Keesokan harinya, 1 Juni, tiba-tiba ia mendapatkan ilham, dan ide itulah yang ia sampaikan di depan BPUPKI. Isinya tentang ”dasar-dasar yang nanti di atasnya negara Republik Indonesia akan diletakkan.” Atas petunjuk seorang teman ahli bahasa, diberinya nama Pancasila: lima sila, yang masing-masing tidak bisa dipisahkan. Lima menjadi satu, satu-kesatuan, panca-pancaning atunggal.

Pancasila tidak mendasarkan diri hanya pada satu agama atau kepercayaan, kepentingan golongan, maupun ideologi yang dianut. Mantra keberagaman tertera jelas dalam semboyan “bhinneka tunggal ika”. Pancasila mengakomodasi faham demokrasi, yang intisarinya diambil dari sistem yang sudah berurat-berakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia (musyawarah). Dengan faham ini, sistem perwakilan (bukan sistem kerajaan yang absolut) mewujud dalam alam demokrasi di Indonesia. Terakhir, keadilan bagi seluruh rakyat.

“Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi,” ujar Soekarno dalan pidato Lahirnya Pancasila.

Nilai sosial terpenting dari Pancasila adalah toleransi. Dengan Pancasila, Soekarno berhasil meyakinkan kaum nasionalis sekuler, baik yang beragama Islam maupun tidak, bahwa negara baru ini tidak akan memprioritaskan Islam di atas lainnya. Meski, sejak itu, Pancasila menjadi bagian tak terpisahkan dari perdebatan politis dan ideologis.

Dalam perjalanannya, Pancasila belum teruji sebagai bagian dari jiwa dan semangat manusia Indonesia. Sejak Soekarno hingga sekarang, Pancasila hanyalah semboyan tanpa makna. Selalu disebut tapi tak ada perwujudan yang jelas. Terlebih di masa Orde Baru, Pancasila menjadi bagian dari upaya pemerintah memberangus ideologi lainnya. Pemerintah membuat penafsiran tunggal. Semua warga wajib mengikuti penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Dari dulu sampai sekarang, korupsi merejalela. Konflik daerah tak kunjung padam. Kemiskinan. Diskriminasi. Lalu orang menyatakan perlunya revitalisasi Pancasila.

Saya sendiri tak tahu kapan keberadaan Pancasila pernah dianggap tak vital. Ketika ia lahir, tentu ia sangat vital untuk, mengutip pidato Soekarno, ”dasar-dasar yang nanti di atasnya negara Republik Indonesia akan diletakkan.” Sebuah bayi akan lahir, dan ia butuh pijakan, bahkan tempat berpijak. Ketika Orde Baru berdiri, Pancasila menjadi vital, bahkan membuktikan ”kesaktiannya” terhadap masuknya ideologi lain yang berusaha merongrong keutuhan bangsa dan negara –begitulah jargon pemerintah. Sampai saat ini pun Pancasila masih dianggap penting, meski hanya sebagai penghias bibir para pejabat pemerintah. Tapi apakah Pancasila sudah menyatu dalam jiwa dan dalam setiap langkah, itu tampaknya menjadi persoalan.

Iseng-iseng, saya bertanya pada sejumlah orang tentang apa Pancasila itu masih penting di zaman ini. Umumnya terdiam sejenak dan berusaha menimbang. Ada juga yang hanya tersenyum, mungkin tersipu malu. Tapi ada pula yang langsung menjawab.

”Pancasila masih penting agar rakyat Indonesia bersatu.”

”Penting kalau dilaksanakan, bukan cuma omongan.”

”Jangan tanyakan ke saya. Tanyalah ke para pejabat, konglomerat-konglomerat ..., karena merekalah yang justru tidak memahami dan menjalankan Pancasila dengan benar.”

Yang agak ekstrem adalah jawaban ini: ”Pancasila tak bikin kenyang. Kalau sekarang yang lebih penting adalah bisa makan.”

Kesusahan hidup sudah menjadi gambaran Indonesia kini. Barang-barang kebutuhan hidup melambung. Lapangan pekerjaan susah didapat. Jawaban pragmatis akhirnya menjadi pilihan. Seandainya Soekarno masih hidup, mungkin ia akan sedih melihat kondisi ini. Sedih karena rakyat Indonesia ternyata belum beranjak dari kemiskinan, padahal kemerdekaan sudah lama teraih. Dulu di masanya, ia juga tak mampu menangani persoalan pangan ini. Bahkan seribu dewa dari khayangan tak mampu menyelesaikan masalah ini dalam satu malam. Lalu, ia juga sedih karena rakyatnya hanya memikirkan makan tok!

”Saya tidak mau membangun satu bangsa Indonesia yang memikirkan pangan saja. Saya tidak mau membangun satu bangsa Indonesia yang mau mikir isi perut saja. Tidak. Saya membangun bangsa Indonesia ... yang memperhatikan isi perut tetapi juga memperhatikan isi jiwa,” ujar Soekarno dalam pidato di depan anggota Ikatan Pembela Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Paduan Suara Gelora Pancasila (Medan), 25 Juni 1966.

Isi perut dan isi jiwa adalah sama penting. Menyelesaikan persoalan kemiskinan menjadi agenda pemerintah yang harus diselesaikan dengan cepat. Di sisi lain, sebagai makanan jiwa, revitalisasi Pancasila juga sangat urgen dan mendesak. Persoalan yang dihadapai bangsa ini sudah begitu akut. Semua orang seolah kehilangan pegangan dan tak punya tujuan. Pancasila penting terutama untuk menunjukkan bahwa bangsa Indonesia punya satu sejarah dan satu tujuan.

Itu bisa dimulai dengan menjadikan dasar negara ini kembali sebagai wacana publik. Masyarakat perlu diingatkan bahwa Pancasila masih ada dan masih dibutuhkan bagi negara-bangsa Indonesia. Sarananya bisa melalui pendidikan, tanpa harus mengikuti jejak indoktrinasi di masa lalu. Ada penataran P4, ada pelajaran Pendidikan Moral Pancasila yang mengharuskan kita hafal Pancasila, butir-butir nilai P4, UUD 1945, bahkan nama-nama menteri. Ada kewajiban menonton film-film sejarah. Masih banyak lagi. Ketika kuliah, ada mata kuliah kewiraan, filsafat Pancasila, dan seterusnya. Harus ada penjabaran dan langkah-langkah yang lebih kongret untuk mewujudkan upaya revitalisasi ini.

Apakah Pancasila sudah bersemayam di dalam hati kita? Tak mudah menjawabnya. Mungkin tidak, karena di dalam hati ini masih penuh gejolak, masih dipenuhi oleh tantangan dan persoalan hidup. Mungkin iya, karena ia sudah merasuk dan menggerakkan, sadar atau tidak, setiap gerak dan langkah kita. Selama dua tahun ini saya bikin dan ikut upacara bendera di lingkungan rumah, saya masih merasakan getaran lembut di dada kala mendengarkan pembacaan Pancasila.

Tapi sekarang saya sudah memutuskan menarik sebuah buku saku yang selama ini terselip dan terbengkalai di rak buku. Saya membelinya di pinggir jalan dari penjual buku loakan. Harganya sangat murah. Tebalnya 64 halaman. Isinya tentang UUD 1945 dengan penjelasannya, hasil amandemen, Piagam Jakarta, nama-nama menteri, dan –yang ini sungguh saya tak ingat lagi– 45 butir nilai P4. Berulang-ulang saya baca, karena untuk menghafal lagi seperti di masa sekolah menengah terasa berat.

Saya baca lagi, lalu merenungkan isinya dalam hati: apakah saya sudah menghayati dan mengamalkan Pancasila? Apakah Pancasila sudah menjadi kebutuhan dan makanan jiwa saya, ataukan selama ini saya masih hanya memikirkan isi perut saja?*

Read More......

Saturday, September 23, 2006

Kampanye Media

DAVID S. Broeder adalah wartawan-cum-kolomnis yang pernah bekerja buat The Washington Post dan peraih hadiah Pulitzer, hadiah prestisius bagi karya jurnalistik yang punya pengaruh luas. Pada 1992, bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Berita Di Balik Berita. Ini buku yang bagus tentang bagaimana wartawan menyikapi peliputan politik. Broeder memang seringkali meliput di Gedung Putih dan tahu bagaimana para politisi, dan juga presiden Amerika Serikat, menghadapi situasi sulit menjelang pemilihan.

Broeder dengan sangat jujur dan kritis menuliskan berita di balik berita mengenai kampanye pemilihan. Dia membedah kompleksitas strategi kampanye, sisi manusiawi seorang kandidat dalam menghadapi serangan-serangan kandidat lainnya, dan sebagainya. Di dalamnya diulas pula bagaimana sepak terjang tim kampanye, peranan (lembaga) polling, perilaku kandidat selama pemilihan, dan terutama sekali bagaimana korupsi dalam jurnalisme terjadi –dalam bahasa Broeder disebut sebagai jurnalisme klik, komplotan atau kelompok–, dan bagaimana wartawan sering mengalami kesulitan mencari jalan keluar.

Dia menghapus sebagian mitos penyampaian berita untuk melihat jurnalisme modern secara lebih realistis dan kritis. Menurutnya, wartawan sering salah menilai seorang tokoh, keliru melihat alur cerita, bahkan meski kadang fakta-fakta terlihat jelas tapi wartawan masih bisa tersesat karena salah memahami atau salah menilai konteks di mana fakta-fakta itu terdapat. Dengan kata lain, wartawan juga manusia, bisa salah.

Di Indonesia buku semacam itu atau liputan media kurang melihat segala aspek yang berperan dalam sebuah peristiwa politik. Tokoh politik cenderung digambarkan secara permukaan. Wartawan dianggap sebagai “orang suci”. Peristiwanya sering lepas dari konteks, tak bisa melihat jauh ke dalam kenapa peristiwa itu terjadi. Bahkan, di era persaingan media yang ketat ini, wartawan seolah jadi penyambung lidah politikus, gandrung dengan “talking news”.

Di belahan dunia manapun, televisi punya pengaruh besar bagi perubahan media, juga politik. Adanya televisi telah mengubah pola kampanye. Jika sebelumnya seorang kandidat mempersiapkan pidato kampanye yang panjang dan bisa enjoy dengan wartawan, maka kini dia harus siap dengan ucapan-ucapan singkat, dengan penampilan elegan di depan kamera. Tak mau kalah, wartawan media cetak kemudian terjebak pada perburuan berita model bergini. Sampai kemudian muncul istilah “jurnalisme pacuan kuda” yang hanya menekankan strategi dan taktik mendapatkan berita, tapi meremehkan masalah pokoknya, substansinya, dan tidak mempertimbangkan secara serius kualifikasi calon.

Dalam pemilihan umum, menyingkap kualifikasi calon bisa mudah bisa susah. Ini era komunikasi modern, yang segala sesuatunya dikemas mengikuti hukum budaya massa yang lebih menekankan aspek hiburan. Jangan kaget jika berita politik di media seolah jadi drama. Ada kemenangan, ada kepedihan. Kandidat politik main bola bisa jadi berita menarik. Kandidat “dianiaya” kandidat lain jadi berita. Padahal jiwa komunikasi di manapun adalah informasi. Seberapa media punya kesadaran itu, dengan melihat kampanye tidak hanya permukaannya? Menelisik lebih jauh kampanye di balik kampanye.

Kampanye di balik kampanye? Ya, karena apa yang disebut sebagai kampanye seringkali dimaknai secara sempit. Kita punya pengalaman pada Pemilu 2004. Definisi kampanye dalam undang-undang dan aturan Komisi Pemilihan Umum cenderung kabur dan seperti karet, sehingga seringkali menimbulkan perdebatan ketika ada pihak yang memaknainya lain. Kampanye sebenarnya tidak (hanya) terjadi pada waktu yang ditentukan penyelenggara Pemilu. Sejak mencalonkan diri sebagai kandidat, seseorang akan rajin melakukan kunjungan ke daerah dengan nama apapun: ulang tahun partai, kegiatan sosial, silaturahmi, peresmian, macam-macam. Dia juga jadi rajin nongol di media, tangkas menjawab suatu persoalan aktual.

Ketika masa kampanye dimulai, strateginya pun bukan hanya dalam bentuk yang terlihat di permukaan, seperti pawai, rapat akbar, dan iklan politik. Biarkan saja agar pemilih mendapat lebih banyak informasi tentang kandidat. Kalau pun ada politik uang atau dengan nama sumbangan untuk pembangunan jalan, misalnya –sarana kampanye yang dianggap lebih cocok untuk Pilkada ketimbang periklanan politik– terserah hati nurani pemilih, mau menerima atau menolak. Makin panjang kampanye makin banyak uang yang mesti dikeluarkan, tapi berapa dana yang mesti dikeluarkan seorang kandidat?

Tapi di sinilah peran media untuk mengimbangi informasi yang disebarkan masing-masing kandidat. Bukan hal mudah membedah kualifikasi kandidat, kompleksitas strategi kampanye, sisi manusiawi seorang kandidat dalam menghadapi serangan-serangan kandidat lainnya, dan sebagainya. Sejak itu pula muncul desakan untuk menghapus batasan masa kampanye, karena hanya menguntungkan kandidat yang punya nama dan punya jabatan.

Bagaimana dengan Pilkada di Kalimantan Barat, arena yang menjadi liang kubur bagi begitu banyak kandidat politik?

Media pasti akan diuntungkan dalam Pilkada. Di sini hampir semua kandidat akan kampanye periklanan untuk mempersuasi khalayak sasaran. Media mana yang akan dipilih tentu akan sangat tergantung dari efektivitas dan khalayak sasarannya. Media cetak dipilih karena keunggulan dan efektivitas pada kemampuannya memuat informasi dan iklan lebih terperinci. Kelemahannya, media cetak hanya bisa dinikmati dengan membeli, tidak seperti radio atau televisi. Radio memang hanya mengandalkan pesan yang hanya bisa didengar (audio) tapi pendengarnya terspesialisasi, tersegementasi, serta pesannya bisa menjangkau lapisan terbawah dalam masyarakat. Radio juga sangat mobile, mudah dibawa ke mana saja.

Lebih dari radio, televisi bukan hanya bisa didengar tapi juga dilihat (audio visual). Pesannya lebih mudah direkam pemirsanya, apalagi jika ditayangkan berkali-kali. Media televisi biasanya menjadi prioritas bagi kandidat. Bentuk iklan yang ditampilkan pun beragam, dari yang paling sederhana berupa orasi pemimpin partai, iklan testimonial, dokumentasi kegiatan, hingga berupa mini sinetron. Semuanya kemudian ditutup dengan ajakan mencoblos. Pengalaman selama kampanye pemilu legislatif 2004, televisi lokal sudah unjuk bicara dalam perolehan iklan. Jawa TV dan Bali TV bahkan mengungguli Global TV yang notabene stasiun televisi nasional, masing-masing dengan pemasukan Rp 3,8 milyar dan Rp 767 juta. Sementara Borobudur TV, stasiun televisi lokal di Jawa Tengah, meraup Rp 113 juta.

Tapi Pilkada bisa jadi lain dari Pemilu 2004, karena kekhasan dan lokalitasnya. Media cetak dan radio akan jadi sasaran utama karena relatif lebih duluan dikenal dan dinikmati masyarakat. Bisa jadi, jika televisi lokal sudah mengudara di Kalimantan Barat, dan mudah diakses, mata warga lebih akan mengarah ke sana, menonton berita seputar kampanye, kesibukan para kandidat, drama politik, dan deretan iklan-iklan politik.

Pertarungan menarik hati pemilih sesungguhnya memang terjadi di media massa. Dalam hal pemberitaan, para kandidat akan berusaha agar setiap kegiatan kampanyenya mendapat liputan luas dan menimbulkan citra positif. Kandidat akan punya kecenderungan yang sama seperti peserta Pemilu 2004. Ruang di media massa kurang dimanfaatkan secara maksimal untuk berkampanye. Tak ada jabaran program, visi, dan misi. Kampanye seolah jadi ajang hafalan nomor saja. Semestinya, iklan politik akan banyak menyinggung aspek-aspek politik, yakni berbagai isu berbangsa dan bernegara yang akan dijanjikan dalam jargon-jargon para politikus. Materi kampanye yang memuat visi dan misi akan menjadi tumpuan dan alasan bagi rakyat menentukan pilihan. Aspek pendidikan politik dengan menggunakan media modern tidak ditekankan para kandidat.

Di sisi lain, banyaknya kandidat, acara kampanye, dan pelbagai hal selama kampanye membuat media terjebak dalam arus informasi yang kurang dalam. Dalam Pemilu 2004, pemberitaan media televisi mengenai kegiatan kampanye hanya mengambil dari segi orasinya. Media televisi kurang menggali pesan-pesan politik yang disampaikan juru kampanye. Publik juga disuguhi berita yang kurang lengkap, sehingga keakuratan berita diragukan.

Media cenderung mengikuti dan terjebak pada agenda yang diusung masing-masing kandidat dan tim suksesnya. Dari kampanye tanpa isi, talking news, isu yang tak jelas informasinya, dan sebagainya. Pada Pemilu 2004, isu negatif seorang kandidat bertebaran, dari SBY yang kristen, Wiranto yang melanggar HAM, Mega yang tidak direstui kalangan Islam karena perempuan, Amien yang plin-plan, dan seterusnya. Isu itu memang berita. Ada sebagian yang mungkin benar. Tapi media tidak mengungkapkan semua itu ke dalam berita yang lebih dalam dan lengkap, yang bisa memberikan informasi memadai bagi pemilih. Isu itu bisa jadi memang dibikin pesaing untuk menjatuhkan saingannya. Bisa pula diciptakan sendiri untuk menarik simpati sebagai seorang “korban”. Ya komunikasi modern ketika bersinggungan dengan budaya massa menuntut semacam media hiburan: ada drama, ada selebritas.

Media semestinya tidak sekadar berlomba berebut kue iklan. Media juga punya peran dalam pendidikan pemilih. Bukan sekadar agar pemilih mau mendatangi kotak-kotak suara, tapi juga agar tidak datang dengan “mata buta” sehingga salah menentukan calon pemimpinnya.

Bukan hal mudah membedah kompleksitas kampanye. Aspek geografis dari sasaran konstituen di Kalimantan Barat sangat luas dan penuh keberagaman. Tapi menghadapi Pilkada, media seyogyanya punya agenda tersendiri dalam kampanye Pilkada. Media ikut memberikan pendidikan pemilih, bukan sekadar untuk mengajak pemilih datang ke kotak suara, tapi lebih dari itu, memberikan informasi yang memadai tentang kualifikasi calon, tentang persoalan yang menjadi tantangan pembangunan di Kalimantan Barat. Menghilangkan prasangka dengan berita yang benar. Menghilangkan sentimen atas nama apapun, agama maupun etnik. Memberikan kesempatan kepada semua kandidat untuk menjabarkan programnya tanpa alpa mengkritisi. Tidak memihak, sehingga tidak melukai suatu kandidat atau kepentingan yang lebih besar: akses informasi yang sama dan adil kepada kandidat.

Peran ini bisa jadi akan mengorbankan banyak hal dari media, atau wartawan: iklan malas mendekat, juga hubungan perkawanan.

Pada 1972, di sebuah restoran di New Hampshire, Broeder kebetulan bertemu dengan sahabat lamanya, seorang pengacara yang ternyata membantu kampanye kepresidenan dari Partai Demokrat. Mereka bercapak-cakap, sahabatnya berkata, “”Kamu tidak menulis tentang ini, bukan?”

Broder segera tahu masalahnya. Sahabatnya menjawab semua pertanyaan dengan jujur, tapi sebagai seorang sahabat.

“Kamu bukan orang yang tidak terkenal,” ujar Broeder.

“Kau tidak boleh melakukan itu. Ini akan merusak semuanya”

“Seharusnya kau pikirkan itu semua sebelum kau datang ke sini. Tidak mungkin kau dan kawan-kawanmu terlibat tanpa diketahui orang.”

Broder menuliskan cerita itu dan persahabatannya berakhir seperti yang diperkirakannya. Broeder tidak merasa yakin bahwa dia telah melakukan hal yang benar. Dia merasionalisasikan “pengkhianatannya” dengan dalih bahwa kalau saya tidak menulis cerita ini, wartawan lain akan melakukannya. Tapi ini tidak menentramkan hatinya.

Tapi inilah tugas wartawan dan risiko yang harus ditanggung. Akan banyak pengalaman yang akan merisaukan seperti itu. Karena tugas wartawan adalah melayani kepentingan warga.

“Kebebasan pers pada akhirnya tergantung dari seberapa pentingnya pekerjaan kami bagi Anda (pembaca),” ujar Broeder.*

Read More......

The Candidate

SEORANG pemuda aktivis sosial yang menarik, pintar, dan bersemangat suatu ketika didekati seorang manajer kampanye profesional. Diyakinkannya pemuda itu agar mencalonkan diri bagi jabatan pemerintah. Sang pemuda setuju. Manajer itu lantas bergerak cepat. Sebuah tim sukses dibentuknya. Ada rombongan pollster (petugas polling), pembuat film, pembuat iklan, wartawan, penulis pidato, perias, dan sebagainya. Semuanya bekerja dengan satu tujuan: mencetak, mengepak, dan menjual kandidat itu melalui kampanye periklanan massal yang canggih.

Pemilihan usai. Sang kandidat menang. Tapi keraguan menerpanya. Dengan rasa khawatir dia merenung, apakah dirinya benar-benar memiliki kualifikasi sebagai pejabat pemerintah. Dia kembali kepada (mantan) manajer kampanyenya, seorang bayaran yang telah siap mencari wajah baru untuk dijual, dan bertanya, “Tapi, apa yang kita lakukan sekarang?”

Adegan penutup film The Candidate itu sangat bagus dan bermuatan satiristik. Adegan itu menjelaskan bahwa “produk” tak dikenal dapat dijual kepada pemilih sebagai konsumen. Dan Nimmo, dalam karya monumentalnya Komunikasi Politik, menyebutnya sebagai objek pelajaran dalam dimensi periklanan dari persuasi politik.

Dalam pemilihan umum (Pemilu) 2004, juga Pemilu 1999, kita menyaksikan bagaimana sejumlah kandidat, entah itu legislatif maupun presiden, sudah menggunakan cara-cara komunikasi modern. Kandidat kepala daerah di sejumlah dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) mungkin sudah menerapkan pula. Mereka menerapkan apa yang dikenal dengan political marketing, yang merupakan serangkaian aktivitas terencana, strategis tapi juga taktis, untuk menyebarkan makna politik kepada para pemilih.

Apa saja komponennya? Dalam pemasaran ada yang dikenal dengan istilah bauran pemasaran, lazim disingkat 4P. Product berarti kandidat dan gagasan-gagasannya. Price bisa dilihat sebagai atribut dan pernik-pernik dari sang kandidat. Promotion adalah upaya periklanan, kehumasan, dan promosi. Place merupakan tempat konstituen dapat menemukan berbagai hal tentang seorang kandidat –contohnya Warung Wiranto dalam Pilpres 2004.

Tentu saja konsep pemasaran, yang lazim untuk produk komersial, tidak bisa diterapkan begitu saja. Perlu pendekatan yang khas karena produk politik berbeda dari produk komersial. Apalagi waktunya relatif singkat. Selain itu para kandidat akan dihadapkan pada soal keterbatasan dana, jaringan yang tertata rapi dan solid, pengalaman, dan rekam jejak dalam kegiatan politik.

Di sinilah tim sukses, atau konsultasi komunikasi yang menanganinya, mesti menyiapkan dan membuat program kampanye yang bagus, tepat sasaran, dan menjual. Mengembangkan isu. Menyusun kebijakan politik. Membangun citra personal maupun sosial. Melakukan pendekatan emosional, dan sebagainya.

Tim sukses mesti menentukan segmententasi terlebih dulu, baik secara demografis, geografis, psikografis, geopolitik, maupun sistem nilai. Segmentasi juga bisa didasarkan atas isu atau kepentingan politik di masing-masing wailayah yang tentu saja berbeda-beda. Skala prioritas (captive market) penting karena faktor “kepastiannya”. Seorang kandidat cenderung punya pendukung utama di wilayahnya. Faktor agama dan etnik juga bisa dipakai untuk mengikat atau memberikan penawaran kepada konstituen. Dan tak kalah penting, positioning, yang pada dasarnya bagaimana masuk di benak konsumen melalui keunggulan sang kandidat. Misalnya, ada kandidat menegaskan diri sebagai pengayom “wong cilik”.

Tim sukses juga mesti memilih media yang tepat, serta menyiapkan pendekatan, cara, dan strategi kampanye seefektif dan seefisien mungkin. Baik melalui below the line (media cetak) maupun above the line (media elektronik). Dari situ membuat program komunikasi, melakukan analisis SWOT, menentuan khalayak sasaran, menentukan inti pesan, hingga langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menerapkan strategi kampanye. Pada akhirnya adalah penerapan dan penjabaran strategi kampanye dengan memperhatikan situasi maupun state of mind (tingkat kesadaran) khalayak sasaran. Di sini pesan sebagai inti komunikasi harus relevan, benar, dan tepat. Pesan-pesan harus berangkat dari kekuatan dan aset utama kandidat.

Dan inilah pesta demokrasi. Pesta bagi media menangguk iklan. Percetakan dan tukang sablon mendapat order. Bagi warga, yang kini bisa menentukan pemimpinnya sendiri, berebut kaos. Diperkirakan, karena hendak merebut hati pemilih, uang juga bertebaran, jalan-jalan akan mulus. Nikmati saja tanpa lupa bersikap selektif dan kritis. Mungkin pertanyaan dan jawaban sekaligus yang dibuat Dan Nimmo bisa jadi acuan:

Apakah semua persuader berbohong? Tidak, tapi banyak yang berbohong.
Apakah semua persuader menggunakan kata, tindakan, logika, dan gaya hanyalah sebagai akal-akalan penjaja untuk menyelimuti maksud mereka dan fakta yang sebenarnya? Lagi-lagi tidak, tapi ada yang dengan seksama menonjolkan tanda-tanda kecantikan dan menggunakan kosmetik untuk menutupi cacat.
Apakah setiap ide itu pura-pura dan setiap akal-akalan adalah palsu? Tidak perlu, tapi biarlah pembeli waspada.

Untuk para kandidat, ingatlah bahwa, dalam bahasa pemasaran, membujuk kembali seorang konstituen yang kecewa akan jauh lebih sulit daripada mencari seratus simpatisan baru. Lebih parah lagi, ke-100 simpatisan tersebut akan lebih mendengar pengalaman dari orang yang kecewa itu ketimbang seratus pesan politik Anda.*

Read More......

Tuesday, May 23, 2006

Ketika Propaganda Tak Ada Lagi

SEBUAH kejutan datang menjelang akhir tahun. Sejumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berkunjung ke Mimika daerah untuk melakukan sosialisasi UUD 1945 hasil amandemen. Kejutan? Ya karena sudah lama kita tak mendengar kegiatan semacam itu lagi.

Dulu, rasanya kita sudah dibuat muak dengan apa yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Sejak kecil kita diharuskan menghafal Pancasila, UUD 1945, bahkan nama-nama menteri. Setiap tahun kita seolah dipaksa menonton film Pengkhianatan G30S/PKI, yang menurut pemerintah berhasil ditumpas berkat kesaktian Pancasila. Ada program Kelompencapir atau Laporan Khusus di TVRI, televisi pemerintah dan satu-satunya stasiun televisi di Indonesia saat itu. Prinsipnya, pemerintah merasa harus melakukan itu dengan alasan demi “pembangunan” dan “stabilitas nasional”.

Indonesia di masa Orde Baru seolah zaman perang. Musuh diciptakan, dengan nama yang beraneka ragam: bahaya laten PKI, organisasi tanpa bentuk, gerakan pengacau keamanan, dan sebagainya. Penangkalnya juga macam-macam, bisa melalui BP7, institusi yang didirikan agar warga “mengamankan dan mengamalkan Pancasila”, atau Departemen Penerangan, yang benar-benar menjadikan pers sebagai alat propaganda. Seperti Nazi Jerman yang melancarkan propaganda anti-Yahudi dan propaganda melawan Sekutu dalam Perang Dunia. Seperti Amerika Serikat saat ini yang di bawah pemerintahan George W. Bush mempropaganda perang melawan terorisme.

Tapi reformasi meruntuhkan semuanya. Departemen Penerangan dihapus. BP7 tak terdengar lagi kabarnya. Tak ada lagi pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), tak ada lagi penataran Pendidikan, Penghayatan, dan Pengalaman Pancasila (P4). Bahkan kita merasa tak perlu menghafal nama-nama menteri. Toh, nama-nama menteri itu bisa kapan saja berubah. Tapi dampaknya, pemerintah dihadapkan pada persoalan mengomunikasikan dan menyosialisasikan program dan kebijakan pemerintah? Persoalan komunikasi politik sudah muncul sejak pemerintahan Habibie.

Sekarang kita hanya bisa tahu secara samar-samar program pemerintah lewat iklan layanan masyarakat di media massa. Sesekali ada pesan masuk dari presiden, langkah yang diikuti instansi lain, lewat short message service (SMS).

Pemerintahan SBY tampaknya memahami sifat dasar kampanye politik kontemporer, yang menurut ahli komunikasi politik Dan Nimmo, terletak pada upaya bagaimana memersuasi warga melalui periklanan massa (komunikasi massa) dan retorik (komunikasi interpersonal), bukan pada propaganda. Bentuk komunikasi semacam ini mampu menyebarkan informasi kepada khalayak dengan cara yang halus, disusupkan, dan tidak mengundang antipati.

Hanya saja, bentuk komunikasi yang dijalankan pemerintah sering mengabaikan hukum komunikasi: dua arah. Semuanya monolog. Bagaimana warga bisa memahami kebijakan dan program pemerintah? Bagaimana mungkin partisipasi warga ikut tergerak, lalu menyampaikan pesan-pesan itu kepada pihak yang lebih luas?

Memang bukan hal mudah bagi pemerintah untuk menyampaikan pesan. Media juga sudah tak begitu tertarik meliput program-program pemerintah, atas nama rating, dan lebih memilih membuat program kriminalitas atau gosip artis. Inilah tantangannya.

Jika MPR, dengan dukungan pemerintah, kini menyosialisasikan UUD 1945 hasil amandemen bisalah dipahami. Amandemen UUD 1945, yang dulu disakralkan, merupakan salah satu prestasi penting MPR. Hasil amandemen telah mengerdilkan potensi kekuasaan tanpa batas. Hasil dari amandemen itu sudah kita rasakan, yakni pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, penghapusan Dwifungsi TNI/Polri, kebebasan berpendapat, perlindungan hak asasi manusia, dan sebagainya. Tapi hasil amandemen itu selama ini hanya diketahui segelintir orang.

Tapi keraguan juga tak bisa disalahkan. Ragu karena jangan-jangan model lama akan dipakai lagi. Pemerintah maupun MPR sendiri tidak menjabarkan secara jelas apa bentuk dan model sosialisasi yang akan dipakai? Apakah kelak semua warga negara juga akan diwajibkan mengikuti sosialisasi?

Sejauh ini saya masih agak tenang karena janji Ketua Umum MPR Hidayat Nurwahid sudah di tangan. Pada suatu kesempatan, ia menegaskan bahwa sosialisasi UUD 1945 hasil amandemen tak akan menggunakan sistem indoktrinasi, dengan penataran atau monolog. Semoga itu bukan janji kosong semata.*

Read More......