Monday, October 01, 2001

Boikot

PERAYAAN ulang tahun, sebuah kemeriahan. Itulah yang terlihat pada peringatan ulang tahun ketiga Partai Nasional Indonesia (PAN) se-Jawa (minus Jakarta), Bali, dan Nusa Tenggara yang dipusatkan di Semarang, Jawa Tengah. Selama beberapa hari beragam acara digelar. Ada musik campursari dengan penyayi Didi Kempot. Ada wayang, gerak jalan sehat, dan berbagai lomba.

Sabtu, 25 Agustus 2001, puluhan wartawan berkumpul di lobi Hotel Grand Candi, Jalan Sisingamaraja, Semarang. Mereka siap meliput jumpa pers yang rencananya dimulai pukul 17.00.

Pukul 17.20 ketua PAN Amien Rais maupun panitia tak juga terlihat. Pihak hotel mengatakan partai itu tak memesan ruangan di sana serta menyarankan para wartawan pergi ke Hotel Graha Santika, Jalan Pandanaran, tempat Amien menginap.

Puluhan wartawan dari media cetak, elektronik, serta dotcom bergegas ke sana. Lama menunggu, para wartawan menyaksikan panitia memboyong Amien ke rumah seorang pengurus Muhammadiyah di daerah Gombel. Wartawan pun mengikutinya.

Magrib telah lewat. Sebagian besar wartawan dipersilakan makan di lantai satu, sedang Amien dan rombongan makan di lantai dua di rumah daerah Gombel itu.

Selesai makan, wartawan masih menunggu. Beberapa saat kemudian Amien menemui mereka. Tapi, wartawan jengkel lantaran Amien, yang juga ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, tak memberikan keterangan pers di sana.

Wartawan pun kembali ke Hotel Graha Santika. Kali ini mereka tak tahan lagi dan sepakat memboikot, tak meliput seluruh kegiatan ulang tahun PAN, termasuk pidato Amien yang dilakukan esok hari. Sebagai bentuk protes, mereka duduk-duduk, peralatan meliput, mulai kamera, tape recorder, kartu pers, sampai bloknot digeletakkan di lobi hotel. Sebagian wartawan ada di ruang diskotek sambil mengikuti lantunan musik.

Rupanya kegusaran wartawan diketahui Amien. Pukul 20:00 atau kira-kira tiga jam terlambat dari janji semula, Amien dan rombongan turun dari lantai atas, menemui wartawan. “Begini saudara-saudara, saya minta maaf. Saya juga diombang-ambing panitia. Jadi ini kesalahan panitia setempat, sehingga rekan-rekan wartawan terlantar. Terima kasih,” kata Amien, bergegas menuju mobilnya untuk menghadiri resepsi di tempat lain.

Bukan Amien saja yang minta maaf. Legislator Alvin Lie dari PAN, pengurus lain termasuk Jip Henky Jana Prasetya, yang sekaligus mewakili panitia, berkali-kali minta maaf serta minta kesediaan wartawan untuk kembali meliput. Tapi mereka tak digubris.

Radio Rasika 107,55 FM, Semarang, juga terkena dampaknya. Sebelum pukul 19.00, Rasika seharusnya menyiarkan wawancara dengan Amien Rais, tapi malah terombang-ambing. Mereka langsung membatalkan kontrak. Kegiatan reportase di lapangan yang berhubungan dengan ulang tahun PAN, dihentikan.

"Selain sebagai solidaritas, boikot ini juga sebagai wacana bagi kawan-kawan di PAN bahwa tak mungkin arogansi terus dikembangkan," ujar Yos Bayu, pemimpin redaksi radio Rasika.Radio ini hanya memberi waktu lima menit untuk Amien minta maaf.

Ecep Suwardani Yasa, ketua Aliansi Jurnalis Independen setempat, memandang tak sepantasnya Amien Rais, dan terutama PAN sebagai partai terbuka, bekerja tak profesional. "Pentingnya bukan sekadar maaf-maafan, karena tak ada alasan untuk tidak memaafkan. Ini penting sebagai pelajaran bagi PAN dan partai politik lainnya untuk tidak berlaku serupa di momen-momen mendatang," ujarnya.

Panitia tak siap, sedang wartawan keburu naik pitam. Aksi Semarang itu menutup maraknya pemboikotan oleh wartawan pada Agustus 2001. Sebelumnya, pemboikotan dilakukan terhadap dua artis, Desy Ratnasari dan Feby Febiola.

Desy yang menikah dengan Sammy Hamzah, seorang direktur perusahaan besar, dianggap melakukan diskriminasi. Ia hanya mengundang 10 media dalam jumpa pers terbatas pada 13 Agustus 2001. Tapi acara itu bocor satu jam sebelum dimulai. Para wartawan berdatangan ke tempat pertemuan.

Pihak manajemen Desy melarang masuk wartawan yang tak diundang. "Tolong dong hargai saya. Saya juga wartawan, kok," katanya.

"Kalau kamu wartawan harusnya tahu apa yang kami lakukan," balas puluhan wartawan, tak mau kalah.

Dua hari kemudian, wartawan hiburan kembali sewot. Pemberkatan pernikahan artis sinetron Feby Febiola dengan Nicolas Hugo Bruce Delteil, pria berkewarganegaraan Prancis yang jadi konsultan ekonomi sebuah perusahaan Amerika, berlangsung tertutup di sebuah hotel Jakarta.

Ketegangan terjadi ketika acara berlangsung. Puluhan wartawan melakukan orasi. Isinya mengkritik manajamen hotel dan kedua mempelai. Mereka tetap ingin masuk.

Sekitar pukul 20.00, Lira Dachlan dari Hotel Gran Mahakam, memberikan keterangan pers. "Pada hari ini, Rabu tanggal 15 Agustus 2001, memang benar sedang dilakukan acara pernikahan Tuan Bruce Delteil dan Feby. Ini kesepakatan antara pihak hotel dan keluarga bahwa acara ini hanya bagi orang-orang dekat saja dan tidak boleh diliput wartawan."

Feby mengatakan, "Kami ingin acara pemberkatan nikah kami ini berjalan dengan khidmat. Saya tahu kalau ada wartawan pasti akan sangat mengganggu. Mungkin kalau terlalu banyak orang jadi kurang khidmat. Karena kami anggap hari ini yang sangat sakral," ujar artis ini.

Lucunya, meski wartawan gencar melancarkan boikot, berita-berita tentang Desy dan Feby tetap muncul di media massa. Harap maklum berita yang dikejar berita selebritas!

Ini beda dengan pidato Amien Rais di Semarang. Dalam pidatonya, Amien mengiyaratkan keinginannya untuk maju sebagai calon presiden bila partainya menang lebih dari 20 persen suara dalam pemilihan umum 2004. Ini berita besar!

Suara Merdeka, suratkabar terkemuka di Semarang, tak memuat berita itu. Suara Merdeka malah memuat berita di halaman pertamanya tentang boikot wartawan Semarang terhadap acara Amien Rais. Harian sore Wawasan sami mawon. Bahkan koresponden-koresponden media Jakarta, cetak maupun televisi, juga tak mengirimkan beritanya.

Lantas bagaimana dengan hak masyarakat untuk tahu? Kalau para wartawan jadi pemberang begini, dan sedikit-sedikit merasa dipersulit dalam mendapatkan informasi, mengapa tak sekaligan saja memboikot berita Presiden Soeharto selama 33 tahun jenderal itu berkuasa?

Bukankah Soeharto juga sering mempersulit wartawan? Mengapa cuma Desy, Amien dan Feby saja yang diboikot?*

Read More......

Ngak Ngik Ngok

RUMAH keluarga Koeswojo lengang. Di sebuah rumah kayu yang menjorok ke kanan dari pintu gerbang, dua orang laki-laki sibuk dengan aktivitas masing-masing. Djon membaca koran, sedang Yok sibuk mengikir batu akik. Sesekali dua pria yang rambutnya memutih di sana-sini itu bercakap-cakap.

Rumah kayu yang tertembus pohon belimbing wuluh yang sedang berbuah itu terasa sesak. Ada dua batu granit bulat-tinggi dan satu pahatan kayu berbentuk babi. Gong besar dan kecil tergantung di samping kanan. Burung kayu yang bergoyang-goyang tertiup angin tergantung di langit-langit. Di dindingnya terpajang wayang kulit, dan hiasan batu dan kayu kecil-kecil di sisi lainnya. Ada juga rak kayu.

Djon duduk di satu dari empat kursi kayu dengan jok pilinan bambu. Yok duduk di kursi lipat, membelakangi Djon, menghadap gerinda yang ditempatkan di sebuah meja kecil. “Saya punya hobi batu akik sejak kecil. Jika menemukan batu bagus, ya diambil,” ujar Yok sambil mengikir.

Di sebuah rak panjang, batu-batu belum dikikir berserakan. Di bawahnya, di dekat pohon mangga, beberapa batu terendam air dalam mangkuk-mangkuk plastik. Di dekatnya ada sikat, gayung, dan batu asah.

“Kalau saja tak ada sidang istimewa, saya sudah jalan-jalan ke desa-desa. Urun rembug sambil melihat-lihat pemandangan dan memancing.”

Yok anak lelaki terakhir di keluarga Koeswojo. Dia menyelesaikan sekolahnya di SMA Triguna, Jakarta. Memancing adalah hobi lamanya. Berburu sudah lama dia tinggalkan karena berkurangnya refleks tangan. Hewan piaraannya seperti ular, kura-kura, kasuari, merak, dan burung sudah tak ada lagi.

Yok menyalakan korek api berbentuk peluru, salah satu koleksinya, kemudian mendekatkan api pada rokoknya. Yok kemudian meneruskan kikirannya. Sesekali dia berhenti untuk melihat hasilnya sembari menghisap rokok.

“Ya begini, Mas, daripada mikirin negara, bikin pusing, mendingan ngikir batu akik, bisa bikin hati senang,” ujar Yok yang mengenakan baju dan celana klaso berwarna putih. Katanya, itu sebagai bentuk protesnya terhadap kondisi negara yang tak karuan. “Kami dulu mengingatkannya lewat lagu, tapi tak juga mau berubah. Kepala batu.”

Agak sulit menemui laki-laki ini. Kali ini pun dia mau karena didesak Djon, kakaknya.

“Saya ini orangnya susah, tergantung mood. Kalau mau kumpul ya kumpul. Diminta rekaman, kalau lagi malas, saya enggak mau. Soal sehari-hari juga tak begitu pusing-pusing. Kadang ada yang kasih (uang), atau dapat royalti kalau lagu saya dipakai. Saya tak ingin manggung. Lagu banyak. Idenya dari mana-mana. Kalau ada yang mau merekam ya rekam,” ujar Yok.

Yok pindah ke kursi kayu.

“Begini saja, Mas. Kalau Anda punya jalan, tolong Kakangku ini juga bisa menulis, tulisannya banyak, tolong dicarikan hubungan yang baik agar bisa dirilis. Karena Mas Djon ini juga perlu sandang-pangan.”

“Tapi isinya umum,” Djon menyela.

“Ya terserah, yang jelas Anda kan suka nulis.”

“Nulis, filsafat dan umum.”

“Tujuannya kan biar bisa dibaca. Wong di pasar itu juga ada dodolan (jualan). Sampeyan dodolan atau tidak?”

“Dodolan. Tapi dodolan itu kan ada misinya.”

Djon, anak pertama Koeswojo, terakhir bekerja di Pembangunan Perumahan sebagai astimeter dan quality surveyer. Kemudian keluar untuk membantu pembangunan studio milik adik-adiknya. Sempat pula beternak ikan, ayam broiler, dan babi. Keseharian Djon diisi dengan membaca, menulis, dan berselancar di dunia maya.

“Saya masih mencari penerbit untuk buku saya,” ujar lelaki beruban yang memakai baju lurik putih-biru yang dibiarkan tak terkancing dengan kaos oblong di dalamnya. Jins warna krem membalut kakinya.

Yok kembali ke kursinya, mengikir batu akik berwarna putih. Djon kemudian lebih banyak bicara, meski kemudian berkali-kali dipotong Yok. Sebuah alat perekam yang sudah dia persiapkan tergeletak di atas meja. Dia mau ikut merekam pembicaraan ini.


“KAMI ini anak seorang pensiunan camat di Tuban. Karena bapak bekerja sama dengan Belanda, lalu dicap kooperator. Walaupun kooperator tapi usaha bapak untuk menyokong perjuangan di hutan tak pernah kurang. Ya kirim makan, ya kirim pakaian. Itu Mas Yok sendiri pernah kirim senjata. Saya juga pernah kirim mesin tulis, kacamata hitam, ya permintaan para gerilyawan,” ujar Djon.

“Ya kirim apa saja,” sela Yok.

“Untung hanya satu tahun.”

Koeswojo senior yang berperawakan kecil dan kurus bekerja sebagai pegawai pangreh praja di Tuban, sebuah kota kecil di pesisir pantai utara Jawa Timur, setamat dari sekolah menengah Meer Uitgebreid Lager Ondrewijs (MULO). Sebelumnya dia sempat menjabat asisten wedana di Babad. Uang yang dipakai untuk mengirimkan kebutuhan gerilyawan diperolehnya dari mark up anggaran proyek pemerintah kolonial.

Perkawinannya dengan Atmini dikarunia sembilan anak. Putri pertama, Soemartijah (Tituk), meninggal semasih bayi. Delapan lainnya: Koesdjono (Djon), Koesdini (Dien), Koestono (Tony), Koesnomo (Nomo), Koesjono (Yon), Koesrojo (Yok), Koestami (Miyiek), dan Koesmurni (Nienuk). Keluarga besar ini tinggal di rumah dinas yang sederhana di Jalan Soekohardjo 44. Halamannya yang luas ditumbuhi pohon jambu, mangga, dan asam. Sumur terletak di halaman rumah. Begitu juga kakus, meski agak menjauh.

Sebagai priyayi, Koeswojo kaku, formal, dan menerapkan perilaku dan tata krama priyayi dalam keluarga. Dia ingin anak-anaknya menjadi sarjana, sehingga bisa dibanggakan kepada kolega-koleganya. Dia tak terbiasa bercanda, agak temperamental, dan berbicara seperlunya. Tak jarang dia menghukum anaknya yang nakal dengan melayangkan gagang sapu ke punggung, menguncinya di kakus, atau menyuruh anaknya duduk bersila hingga sore hari.

Pernah suatu hari, sepulang dari kantor, Koeswojo menerima laporan perkelahian anak-anaknya. Dia menyuruh anak-anaknya duduk bersila, sementara dia membaca koran. Mereka menurut dan hanya bisa diam sampai hukuman itu berakhir. Acapkali Miyiek menggoda kakak-kakaknya sambil mengunyah makanan kecil. Seringkali Atmini harus membela anak-anaknya, yang menyulutkan pertengkaran dengan Koeswojo. Atmini berasal dari keluarga kebanyakan. Dia wanita Jawa yang sederhana, lemah lembut, dan penyabar.

Koeswojo hobi bermusik. Dia mahir memainkan gitar dan mandau, serta gemar menyanyikan lagu-lagu Hawaiian. Ketika menjadi pegawai pangreh praja, Koeswojo bersama teman-temannya, guru-guru Hollands Inlanders Schools, punya perkumpulan musik bernama Tuban Bond yang biasa main di societeit (gedung pertemuan). Tapi dia tak ingin anaknya jadi seniman karena kehidupan seniman yang pas-pasan.

Kehidupan keluarga Koeswojo tak bisa dibilang berkecukupan. Anak-anaknya berangkat ke sekolah bertelanjang kaki. Untuk meringankan beban ekonomi keluarga, Atmini berbisnis kayu. Dia biasa memborong kayu jati, yang kemudian ditumpuk di bawah pohon mangga. Di atas gelondongan kayu jati itulah anak laki-laki Koeswojo suka tetabuhan dan menyanyi.

Suatu kali mereka melingkar di meja makan, siap menyantap hidangan yang telah dipersiapkan Atmini. Beberapa suapan masuk ke mulut.

“Kok enggak enak ya makan begini. Yuk makan di atas meja, mungkin enak ya.”

Mereka naik ke atas meja.

“Kok ya enggak enak. Eh taruh di dulang (tampah kayu) dan makannya di bawah pohon yuk.”

Mereka bergerak. Namun nasi tetap tak dimakan, malahan dijadikan mainan dengan membentuk irama “pok pyok pong pong pyok.”

Mbok Pah, pembantu Koeswojo, sering menangis karena godaan mereka. Namun tangisan itu tak meredakan kenakalan mereka. Dia malah terus diledek, “Pah bar nangis pling-plang-plong ….”

Yang menonjol adalah Tony. Meski baru berusia empat tahun, Tony suka menabuh ember dan baskom besar-kecil yang dibalik di bawah pohon jambu. Pemukulnya adalah lidi yang ditancapkan pada bunga jambu yang masih kuncup.

Pada 1952, Koeswojo harus pindah ke Jakarta, bekerja di Kementerian Dalam Negeri. Setelah mendapatkan rumah, dia berniat memboyong keluarganya. Sebelum berangkat, Koeswojo membeli sepatu loakan di Surabaya untuk anak-anaknya. Pakaiannya baju-celana monyet. Mereka akan berangkat dengan kereta api berbahan bakar batu bara. Beberapa kerabat dan pembantu juga ikut. Rombongan diantar kerabat, tetangga, dan teman-teman anak Koeswojo. Teman-teman Nomo mengikuti sambil membawakan gundu.

Kereta melaju dengan suaranya yang khas. Di stasiun Bojonegoro beberapa saudara Koeswojo telah menunggu. Begitu kereta berhenti, mereka berlari mendekat. Tak lama kemudian kereta pun melanjutkan perjalanannya. Dalam perjalanan itu Yon sempat mencuri telur rebus, bekal ke Jakarta. Dia makan di bawah kolong sambil mengintip kaki saudara-saudaranya. Dia tahu persis, jika saudara-saudaranya tahu, mereka akan minta bagian. Yon makan sendirian karena, “Dari kelas satu sampai mau pindah, saya belum pernah makan telur sendirian.”

Jakarta tahun 1950-an masih sepi. Jalan Jenderal Sudirman lengang. Senayan masih berupa kebun karet. Keluarga Koeswojo dijemput mobil Kementerian Dalam Negeri menuju rumah mereka di Jalan Mendawai III/14. Kamar tidurnya hanya dua, berukuran 3 x 3 meter. Ranjang besar yang dibawa dari Tuban tak bisa masuk, sehingga mereka harus tidur beralaskan tikar dengan selimut jarik.

Ekonomi keluarga mulai membaik ketika Koeswojo pensiun dan kemudian bekerja sebagai pegawai administrasi di Bank Timur hingga 1959. Djon juga mulai bekerja sebagai mandor pelaksana di Biro Yayasan Teknik pimpinan Abikoesno Tjokrosuyoso, salah seorang politisi penandatangan Piagam Jakarta dari Partai Syarekat Islam Indonesia. Berhenti sebagai pegawai bank, Koeswojo bertani dan berbisnis tembakau di Delanggu, Solo. Nienuk ikut ke Solo. Koeswojo pun kerap meninggalkan kelima anak laki-lakinya, Dien, dan Miyiek di Jakarta. Dien kemudian menikah dan ikut suaminya. Miyiek ikut bersamanya. Tinggallah kelima anak Koeswojo yang mulai menginjak remaja.

YOK masih sibuk dengan batu akiknya. Kali ini dia membasuh hasil kikirannya dengan air dari gayung di dekat pohon mangga yang terletak di samping rumah kayu. Kemudian dia duduk di kursi kayu panjang yang disesaki peralatan kerja: pisau, lem, tang, pensil dan spidol dalam pot tembikar, jam mati, topi, dan sebagainya.

Djon mengubah posisi duduknya.

“Tak ada bayangan bakal jadi orang top. Cuma mula-mula, ketika Ton menginjak remaja, kepengin punya gitar. Wong masnya punya duit, saya ajak ke Pasar Baru, ‘Ambil yang paling bagus.’”

Tony serius belajar musik. Dia bisa main gitar, ukulele, piano, dan seruling. Suatu ketika dia mencoba main biola tapi mengalami kesulitan. Saudara-saudaranya suka menganggu dengan menggosokkan lilin pada dawai biolanya. Ketika digesek biolanya tak berbunyi. Dia sering bermain gitar sampai larut malam. Saudara-saudaranya menemani: ikut menyanyi atau main kartu di dekatnya. Miyiek paling sering menemani kakaknya, termasuk jika Tony ke pesta-pesta dansa. Di kamar Tony biasa menyetel radio, mendengarkan lagu-lagu Indonesia dan Barat yang sedang populer.

“Tony selalu ikut di mana ada musik. Tak peduli GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), apa saja, dia masuk. Yang penting, ada musik. Itu saking cintanya pada musik. Cuma ikut main-main, tidak masuk anggota,” kata Yok mulai menyela cerita Djon.

Djon yang sering mendengarkan permainan Tony berkata kepada ayahnya, “Mas Ton ini punya golden fingers.”

“Masak adikmu mau jadi tukang musik. Tukang musik itu hidupnya rekasa (sengsara).”

Koeswojo kemudian bercerita tentang nasib temannya, Senen, seorang pemain biola keliling di Tuban. Ketika meninggal, hanya empat orang yang menggotong kerandanya dan seorang tukang pacul yang mengantar jenazah Senen. Koeswojo tak mau anak-anaknya bernasib sama seperti Senen.

“Kayak begitu lo musisi itu.”

Tapi tekad untuk bermusik tetap mengental. Di sekolah Tony membentuk grup band bernama Gita Remaja yang acap memeriahkan pesta ulang tahun.

Suatu hari Djon berbicara kepada Tony. “Ton, kita sudah kebangetan datang dari Tuban. Kata-katanya, saya dengar dari simbah-simbah, kita masih ada darah keturunan. Jadi bukan dari got. Keturunan perintis Islam di Indonesia dari Sedayu. Misi dan visi kita adalah bagaimana generasi mendatang bisa kembali jaya. Makanya dengan tekad ingin kembali jaya, kita cari jalan bagaimana caranya.”

“Paling mungkin, karena kita tak punya modal, main musiklah.”

“Adik-adikmu bisa enggak.”

“Bisa, bisa.”

Tony yang meninggalkan kuliahnya di jurusan Sastra Inggris Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta dan bekerja di Pusat Perkebunan Negara, kemudian mengajarkan musik kepada adik-adiknya, Yon dan Yok. Nomo yang baru pulang berkelana melihat saudara-saudaranya berlatih, ikut-ikutan. Tahun 1960-an itu Koes Bross yang kemudian diganti dengan nama Koes Brothers mulai dirintis. Mereka berlatih setiap hari dengan bas betot, gitar, dan drum yang dipesan dari Solo serta amplifier merek Robin buatan Jakarta. Alat-alat musik itu dibeli dari gaji Djon dan uang arisan yang baru diperoleh ibu mereka. Koeswojo tak setuju dan memarahi Atmini dan Djon. “Ini anak-anak mau dijadikan apa. Dijadikan tukang musik!”

Tapi anak-anak Koeswojo tetap berlatih. “Kalau sudah niat masuk musik, ya jangan tanggung-tanggung,” kata Tony.

Rumah di Jalan Mendawai itu pun berubah ramai setiap petang. Entakan musik dan nyanyian serta gelak tawa menyeruak di antara asap-asap rokok di sebuah ruang tamu yang sempit. Jan Mintaraga –kemudian lebih dikenal sebagai pelukis komik– yang rumahnya hanya bertaut dua rumah, sesekali ikut latihan dan menyanyi, bahkan sampai menginap. Dia suka mendengar lagu dari radio Australia. Ketika menemukan lagu baru, dia datang. “Nih, saya catatkan lagu-lagu baru.” Sesekali Jan Mintaraga ikut Koes Brothers pentas. Hanya saja suaranya tak bisa tinggi, sumbang, dan lagi Jan suka angin-anginan. “Ah.. sekolah, sibuk belajar.”

Mereka menyanyikan lagu-lagu Barat yang sedang tren: Harry Belafonte, Kalin Twin, Everly Brothers, dan sebagainya. Menyanyikan lagu Indonesia dianggap memalukan. The Beatles belum menarik hati, meski Jan pernah membawakan piringan hitam grup band asal Inggris itu, kiriman dari kekasihnya yang bersekolah di Singapura.

Untuk mengasah kemampuan, mereka mengamen di acara-acara ulang tahun, sunatan, pernikahan. Bayaran tak penting, asal bisa tampil di depan publik serta dapat makan enak lagi gratis. Di rumah mereka hanya makan oncom merah, dua butir kentang, atau mencari kodok ketika kehabisan uang kiriman dari orangtua. Minumannya masih lumayan: segelas susu, yang distok Atmini. Miyiek pernah ikut menyanyi ketika saudaranya mengamen, dan kegirangan ketika mendapatkan bolpoin, sabun mandi, dan buku tulis dari tuan rumah. Kadang ada pula tuan rumah yang memberi uang.

Mereka belum berani bersaing dalam festival-festival band melawan grup band yang punya nama dan peralatan yang lebih baik. Salah satunya Teenager’s Voice, yang kemudian berganti nama menjadi Irama Remaja. Sophan Sophiaan adalah salah satu personelnya.

“Kalau begini terus kita enggak bakalan maju,” ujar Tony yang kemudian melontarkan gagasan membuat album rekaman.

“Itu gagasan gila. Mustahil. Perusahaan rekaman mana yang mau menerima kelompok kita yang kecil-kecilan ini? Jangan mimpi, Mas Ton.”

“Kita harus mencoba. Satu-satunya kekurangan band-band yang ada sekarang adalah mereka menyanyikan lagu-lagu orang lain, lagu-lagu Barat. Memang bagus, tapi nyontek. Kalau kita mau maju, kita harus menembus melalui celah itu.”

Pada 1962, Tony yang kemudian keluar dari pekerjaannya mulai menciptakan lagu. Dalam satu minggu dia menghasilkan dua lagu: “Weni” dan “Terpesona”. Djon berinisiatif merekamnya di rumah dengan alat perekam Grundig yang pitanya sebesar piring. Dibantu Jan Mintaraga, Tony mengetik surat permohonan rekaman ke PT Irama. Dengan naik bus, keenamnya mendatangi PT Irama yang berlokasi di Cikini. Jack Lesmana menerima dan mendengarkan keinginan mereka. Bersama bos PT Irama, Suyoso, yang lebih dikenal dengan panggilan Yos, Lesmana mendengarkan rekaman tersebut. “Kalau you bisa menciptakan lagu dalam dua minggu ini, saya akan memberi kesempatan kepada you untuk rekaman,” kata Lesmana.

Dua minggu kemudian mereka datang lagi. Lesmana terkejut ketika mendengarkan lagu-lagu mereka.

“Wah, bisa ini, Dik. Bisa. Langsung rekaman nanti malam,” ujar Yos.

“Saya tak menyangka you bisa menciptakan lagu-lagu seperti ini,” kata Lesmana kepada Tony.

Malam itu juga Koes Brothers –yang kemudian berubah nama menjadi Koes Bersaudara– rekaman. Djon memegang gitar bass, Tony (melodi), Yon (vokal), Yok (rhythm, vokal), dan Jan (gitar). Drum set dipegang dua orang, karena Nomo belum mahir memainkannya. Nomo dibantu Iskandar, tetangga mereka. Rekaman dilakukan dua track; harus langsung jadi. Namun perulangan tetap saja dilakukan karena terganggu suara kereta api yang lewat. Dalam semalam rekaman hanya menghasilkan satu lagu. Karena Jan harus menghadapi ujian sekolah, dia hanya sempat ikut rekaman tiga lagu: “Senja,” “Bis Sekolah,” dan “Telaga Sunyi.” Lagian Jan lebih tertarik dunia komik dan gambar. Dia sudah melahirkan komik Cinde Laras pada 1961. Jan kemudian melanjutkan sekolahnya di jurusan Interior Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta.

Pukul 16.00, mereka menunggu oplet untuk pulang di daerah Tosari. Pelawak S. Bagyo lewat mengendarai mobilnya. Bagyo menyapa sebentar, lalu melanjutkan perjalanan.

“Kapan ya saya bisa punya mobil sendiri,” gumam Nomo.

“Huu ….”

Album piringan hitam Koes Bersaudara yang berisi 12 lagu diluncurkan bersamaan dengan acara Games of the New Emerging Forces (Ganefo) di Jakarta pada 1963. Dalam album yang tak menyertakan “Weni” dan “Terpesona” itu suara bas Djon tak terlihat. Setelah rekaman, permainan basnya didiskualifikasi, sehingga di-dubbing lagi oleh Yok.

Lagu-lagu Koes Bersaudara mulai mengudara di RRI dan radio Angkatan Udara.

Duet Yon-Yok mengingatkan orang pada popularitas Everly Brothers dan Kalin Twin, dan itu diakui Tony dalam kata pengantar untuk piringan hitam pertama Koes Bersaudara. “Itu tidak dapat kami sangkal dan salahkan. Karena merekalah yang mengilhami kami hingga terbentuknya orkes kami ini.”

“Mulanya ya begitu. Kemunculan duet memang terpengaruh Kalin Twin dan Everly Brothers. Karena yang namanya musik itu selalu ada kaitannya. Misalnya, kita diilhami dari Everly Brothers. Sebelum ada Everly Brother, ada Kalin Twin, penyanyi Inggris yang kembar. Terus di Amerika ada Elvis Presley. Gabungan antara Kalin Twin dan Elvis itu timbul grup yang namanya The Beatles. Itu pasti ada saling keterkaitan. Enggak mungkin tidak. Karena yang namanya musik itu kan bunyi-bunyian yang beraturan,” Yok mencontohkannya dengan dua kepalan tangannya yang dihentakannya di atas meja, membentuk sebuah irama.

“Dulu saya sering mendengarkan lagu-lagu di radio di rumah. Saya juga menyediakan Gerard 95 dengan plat-platnya. Koleksi saya banyak. Nah, itulah yang mempengaruhi selera musik adik-adik saya,” sela Djon.

“Koleksinya Mas Djon itu ya Victor Silverster, The Kilima, Xavier Cugat,” timpal Yok yang diiyakan Djon.

“Kemudian belakangan Everly Brothers dan sebagainya juga punya. Memang dipancingnya ke musik Barat,” kata Djon.

“Dan karena teman saya banyak, ya pinjam kanan-kiri, karena kalau beli kan mahal,” kata Yok.


“DAN engkau, hei pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi; engkau jang tentunja anti-imprialisme ekonomi, engkau jang menentang imprialisme politik; kenapa di kalangan engkau banjak jang tidak menentang imprialisme kebudajaan? Kenapa di kalangan engkau banjak jang masih rock-‘n-roll-rock-‘n-rollan, dansi-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan, dan lain-lain sebagainja lagi? Kenapa di kalangan engkau banjak jang gemar membatja tulisan-tulisan dari luaran, jang njata itu adalah imprialisme kebudajaan?”

Suara Presiden Soekarno, seperti biasanya, lantang dan bergelora. Pidatonya tetap berapi-api, menarik hati siapapun yang mendengarkannya. Dalam pidato peringatan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1959 itu, Soekarno mencanangkan Manipol-USDEK (Manifestasi Politik, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia).

Koes Bersaudara lahir ketika Indonesia dilanda demam musik ngak-ngik-ngok, istilah yang dipakai Soekarno untuk musik Barat. Musik pop itu masuk ke Indonesia melalui piringan hitam, majalah, dan suratkabar asing seperti Time dan Life. Stasiun-stasiun radio Angkatan Udara acap menyiarkannya, yang merupakan koleksi pribadi anggota Angkatan Udara. Radio Republik Indonesia (RRI), radio milik pemerintah, yang menomorsatukan siaran lagu nasional, hanya sesekali memutar lagu rock ‘n roll. Perusahaan rekaman ikut merekam lagu-lagu pop, seperti Irama Record, Melati, Dimita, Remaco, Gateway, dan Parrot. Lokananta, perusahaan rekaman milik pemerintah, tetap membatasi diri merekam musik nasional dan daerah. Bing Crosby, Perry Como, Doris Day, dan Elvis Presley amat populer.

Fenomena menarik adalah kemunculan The Beatles sebagai pelopor musik rock ‘n roll, setelah pamor Elvis Presley menurun. Kelompok musik ini lahir di kota Liverpool. Mereka terdiri dari John Lennon, Paul Mc Cartney, George Harrison, dan Ringo Star. The Beatles dijadikan simbol generasi muda sebagai flower generation (generasi bunga) yang suka hura-hura dan antikemapanan.

The Beatles digandrungi anak-anak muda di Bandung, Jakarta, dan kota-kota lain. Gaya The Beatles juga mempengaruhi para pemusik Indonesia. Dara Puspita, grup band yang terdiri dari Susi Nander, Titiek Hamzah, Titiek AR, dan Lies AR meniru aksi panggung The Beatles, dengan menggerakkan pinggul dan lutut. Begitu juga Lilis Suryani dan Koes Bersaudara. Dandanan Koes Bersaudara mengikuti mode bergaya The Beatles. Rambut berponi, celana ketat, dan bersepatu ala The Beatles yang berhak tinggi dan berujung lancip.

Upaya pemerintah untuk memajukan kebudayaan nasional, termasuk musik, didukung oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang dengan salah kaprah selalu dianggap sebagai onderbouw Partai Komunis Indonesia. Antara lain melalui konsepsi kebudayaan yang dimuat di Lentera, lembaran kebudayaan harian Bintang Timur yang dimulai 16 Maret 1962 dan ditandatangani beberapa seniman seperti Sitor Situmorang, F. Silaban, Pramoedya Ananta Toer, serta Henk Ngantung. Konsepsi Lekra didukung Lembaga Kebudayaan Nasional yang berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia dan Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi) milik Pesindo.

Dalam sidang pleno Lekra yang berlangsung 23-26 Februari 1964 di Palembang, didiskusikan tentang usaha-usaha menjebol “kebudayaan imperialisme Amerika Serikat” dan membangun kebudayaan nasional dengan mengobarkan kebangkitan tani serta membatasi musik komprador di Indonesia.

Dalam sidang penutupnya, seperti dimuat Harian Rakjat, 15 Maret 1964, Pramoedya Ananta Toer mengatakan, “Nah, sekarang kita akan mencoba dengan takzim mendengar lagu-lagu jang setiap hari dipantjarkan di udara Indonesia melalui TVRI, RRI, lagu-lagu jang merambat dari pesta-pesta borjuis sampai petikan-petikan gitar di malam sunji oleh pemuda jang tertikam rindu atau secara realistis dapat dikatakan sudah kebelet kawin, maka lagu-lagu yang dikatakan lagu-lagu Indonesia ini bila diganti kata-katanya dengan kata-kata Inggris, maka akan berubah menjadi lagu Amerika Serikat. Inilah lagu komprador, jang menganggap semua dapat diselesaikan, apabila pahlawan atau pahlawin dapat ketjup-mengketjup bibir-bibir masing-masing. Seluruh persoalan akan beres bila pahlawan dan pahlawin dibenarkan naik randjang bersama-sama.”

“Itulah penjelesaian jang menjalahi kodrat, alias kontrarevolusi, itulah penjelesaian jang anti objektifitas, antihistori, anti realistis, anti perkembangan. Lagu-lagu jang membawa randjang asmara sebagai penjelesaian segala beserta badan-badan yang menjiarkan merupakan unit dari suatu lembaga pendidikan seksual. Lagu sebagai lembaga pendidikan seksual? Ya, itulah arahnja. Dalam pada itu lagu-lagu patriotik-revolusioner dibatasi geraknja pada kesempatan-kesempatan upacara-upacara doang!“

Hampir setahun Lekra berdiri, muncul Manifest Kebudayaan (yang dileceh pihak Lekra sebagai Manikebu) yang menolak politik sebagai panglima. Manikebu keluar pada September 1963, digagas beberapa seniman dan cendekiawan seperti H.B. Jassin, Wiratmo Soekito, Trisno Soemardjo, Goenawan Mohamad, dan Arief Budiman. Sejak kemunculannya, Manikebu berhadapan dengan polemik, tekanan, serta serangan dari Lekra, khususnya melalui Lentera, hingga kemudian dilarang pemerintah pada 8 Mei 1964.

Menindaklanjuti pidatonya pada 17 Agustus 1964, yang lebih dikenal dengan Tahun Vivere Pericoloso, Soekarno mengeluarkan instruksi presiden untuk kembali ke kepribadian dan kebudayaan sendiri.

Upaya pemerintah untuk mencari pemecahan terhadap pengaruh budaya Barat akhirnya diserahkan kepada panitia yang terdiri dari Oei Tjoe Tat, Adam Malik, dan Mayor Jenderal Achmadi melalui sidang presidium kabinet pada 22 September 1964. Hasil kerja tim tersebut kemudian dilaporkan kepada Presiden Soekarno yang antara lain berisi tindakan tegas terhadap warga yang masih mendengarkan dan memainkan musik ngak-ngik-ngok. Penanganan pelanggaran diserahkan kepada Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI). Sebelumnya, pemerintah sudah mengeluarkan Penetapan Presiden No 11/1963 tentang larangan musik ngak-ngik-ngok.

Operasi penanganan dan penanggulangan meluasnya musik ngak-ngik-ngok pun dilakukan. Di Jakarta penanganan dilakukan melalui Operasi Hapus Angkatan Kepolisian VII/Jaya. Petugas menegur Lilis Suryani dan Erni Djohan agar mengubah gaya panggung dan busana yang mereka pakai sesuai dengan orang Timur. Keduanya kemudian menyatakan tak akan menyanyi dengan gaya The Beatles lagi.

Razia dan penyitaan dilakukan terhadap ratusan piringan hitam dan alat perekam beserta kaset The Beatles, Rolling Stones, dan The Shadow. Pihak kepolisian memerintahkan kepada para pedagang piringan hitam agar menyerahkan semua piringan hitam yang berisi musik The Beatles dan musik ngak-ngik-ngok lainnya sampai batas waktu 22 Juli 1965. Operasi rambut gondrong dan sasak serta mode pakaian ala Barat juga dilakukan.

Kejaksaan Tinggi Jakarta mengeluarkan instruksi kepada band dan pelaku bisnis pertunjukan untuk mendaftarkan diri agar memudahkan pihak kepolisian mengawasi.

Operasi juga dilakukan di Semarang, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta. Di Bandung misalnya, kepolisian meminta agar tukang cukur, pengusaha salon kecantikan, pemilik toko, dan pembuat sepatu tak melayani permintaan potongan rambut dan sepatu ala The Beatles.

Setelah pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang memutar lagu-lagu rock ‘n roll di radio, para penggemar musik tersebut mendengarkan radio gelap dan radio luar negeri yang progresif seperti radio Australia (ABC), radio Singapura (Malaysia), radio Luxemburg, dan radio Inggris (BBC). Piringan hitam yang berisi lagu-lagu Barat beredar di kalangan terbatas.

Udara Indonesia dipenuhi lagu nasional, lagu daerah, serta gegap-gempita politik: pembebasan Irian Barat, konfrontasi Malaysia (negara baru bentukan Inggris Raya), dan keluarnya Indonesia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.


SEORANG perempuan muncul dari samping rumah kayu, berbicara lirih kepada Yok, lalu pergi. Yok bergegas menyusul. Djon mengajak saya menuju ruang tamu rumahnya. Dia masuk ke kamar sebentar, dan kembali dengan membawa dua tulisannya yang terjilid rapi. Dia meletakkannya di atas meja. Saya mengambil satu jilid dan membuka halaman demi halaman. Isinya mengenai deklarasi hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa 19 Desember 1949. “Ini kan belum banyak anak sekolah yang tahu,” kata Djon.

Djon kemudian menggeser jilid lainnya ke dekat saya. Sebuah gagasan mengenai hak asasi manusia yang dia peroleh melalui tafsirnya terhadap Alquran, Perjanjian Lama, dan Perjanjian Baru. “Ini masih berlanjut, makanya saya beri nama gagasan. Jadi tak akan pernah selesai. Kalau memang ada yang mau menerbitkan, saya senang jika nanti terjadi polemik.”

Saya membolak-balik isi buku itu. Djon kemudian mengambil ukulele yang tergeletak di sampingnya. “Saya masih bisa menggunakan ukulele ini. Coba Anda menyanyikan lagu. Apa lagu keroncong yang Anda sukai?”

Saya berpikir sejenak. “Selendang Sutra.”

“Coba nyanyikan.”

“Selendang sutra, tanda mata darimu ….”

Djon memainkan jari-jari tangannya. Begitu nadanya ketemu dia pun menyanyi dengan lebih banyak gumaman. Belum puas, dia meminta satu judul lagu lagi. Entah kenapa saya teringat Presiden B.J. Habibie. Karena itu saya langsung berkata, “Sepasang Mata Bola.”

Djon beraksi lagi.

Djon mengaku lebih suka keroncong dan Hawaiian. Karena itulah dia memutuskan untuk keluar dari Koes Bersaudara setelah rekaman pertama. Dengan uang tabungan yang dia miliki, dia memboyong keluarganya ke Tuban, menjadi nelayan. Adik-adiknya sempat menengok. Oleh Djon mereka diajak memancing di laut. “Main musik, jadi apa saya. Dulu kan kecil sekali.”

Selepas dari rumah Djon, saya menuju rumah yang terletak di ujung kiri dari pintu masuk kompleks rumah keluarga Koeswojo. Nomo terlihat santai dengan kaos oblong dan celana pendek. Sebatang rokok terselip di antara dua jarinya. Dia membaca koran, ditemani Francise Koeswojo, istrinya, yang lebih dikenal dengan panggilan Meis. Acapkali dia bercengkerama dengan teman-temannya yang berdatangan.

Nomo dianggap anak paling nakal di keluarga Koeswojo. Dia mendapat julukan crossboy. Dia menyelesaikan sekolahnya di SMP XI dan SMA Taman Madya, keduanya di Jakarta. Koeswojo berharap Nomo menjadi sarjana, tapi Nomo ingin bekerja setamat sekolah menengah atas. Ayahnya tak mengizinkan, tapi Nomo nekat berkelana ke beberapa kota: Surabaya, Medan, dan sebagainya.

“Masak disuruh sekolah terus. Yang bisa mengukur otak saya kan saya, bukan orang lain,” ujar Nomo dengan logat Jawa Timuran –sesekali campur dialek Banyumasan, lucunya, menirukan logat saya.

Yok datang, duduk di sebelah saya. Dia telah merampungkan makan siangnya. Di kedua jarinya terselip sebatang rokok. Di sini Yok juga ikut-ikutan logat bicara Nomo. Djon datang belakangan.


MESKI sudah rekaman, honor Koes Bersaudara amat kecil. Beberapa lagu hitnya di album rekaman pertama tak mempengaruhi kehidupan mereka. Mereka masih saja pentas di mana-mana: dari pesta perkawinan hingga panggung pertunjukan. Pernah juga mereka tak dibayar gara-gara pemilik rumah yang sedang menggelar pesta perkawinan tersiram teh panas.

Satu hal yang bikin repot, penonton selalu meminta Koes Bersaudara agar terus memainkan musik meski pagi menjelang. Tak kurang akal, Yok melepaskan hewan piaraannya, ular, yang sering dia bawa untuk menghibur diri. Dan acara pun bubar.

Koes Bersaudara pentas secara berkala di gedung bioskop Megaria sebagai selingan pemutaran film. Ini strategi dagang agar film-film yang sedang diputar laris. Selain itu mereka juga rutin tampil di International Airport Restaurant Kemayoran (IARK) dua kali seminggu. Meski ada larangan musik ngak-ngik-ngok, pengunjung selalu meminta Koes Bersaudara untuk memainkan dan menyanyikan lagu-lagu The Beatles.

Larangan dan peringatan dari kejaksaan tak diindahkan. Beberapa media mulai menyorotinya. Dalam tajuknya, Warta Bhakti menyatakan perlunya penyelidikan mendalam latar belakang “pembangkangan” tersebut, bahkan menganjurkan tindakan tegas. “Bukanlah sesuatu yang mustahil … telah dijadikan alat oleh kaum imperialis melalui kaum reaksionis di dalam negeri sebagai kaki tangannya untuk mendiskreditkan nama baik Presiden/Panglima Besar Revolusi Bung Karno.”

Koran resmi Partai Komunis Indonesia, Harian Rakjat, menyayangkan bandara pintu masuk ke Indonesia itu menjadi ajang pementasan kebudayaan Barat. “Koes Bersaudara dilarang di RRI, dilarang di Gelora Bung Karno, lho malah muncul di Airport Restaurant Kemayoran,” tulis Harian Rakjat, 14 Maret 1965. Sementara Keng Po memuat karikatur yang memperingatkan bahwa di airport ada jurig (setan).

Pemberitaan itu membuat Koes Bersaudara menerima surat panggilan dari Kepala Kejaksaan Negeri Istimewa yang ditandatangani Jaksa Aroean. Beberapa hari kemudian, Tony dan Handijanto, teknisi Koes Bersaudara, memenuhi panggilan tersebut. Mereka menghadap Aroean, yang memberi teguran dan penjelasan-penjelasan, serta peringatan keras agar tak memainkan musik ngak-ngik-ngok.

Pada 24 Juni 1965 Koes Bersaudara mendapatkan undangan ke sebuah acara makan malam di Djatipetamburan II A 4A, Tanah Abang, Jakarta. Dara Puspita dan Quarta Nada juga diundang. Quarta Nada adalah grup band yang terdiri dari Surachman, Wien Arief, Angky, dan Totok.

Lewat pukul 19.00 mereka datang ke rumah Koesno, seorang kolonel Angkatan Laut, yang mengundangnya. Di sana ada beberapa duta besar, atase militer Amerika Serikat, serta perwira Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Peralatan band tergeletak di depan ruang tamu. Di luar rumah beberapa orang menonton.

Suasana pesta santai. Keempat penghibur itu bermain secara bergantian. Sebagian besar menyanyikan lagu-lagu Barat, karena permintaan tuan rumah dan pengunjung.

“Kenapa menyanyi lagu-lagu begitu?”

“Enggak apa-apa, enggak ada yang dengar,” kata Koesno.

“Ya, ya, mainkan,” teriak pengunjung.

“Lagu The Beatles juga enggak apa-apa.”

Koes Bersaudara kemudian tampil. Baru saja Tony menyanyikan beberapa bait lagu The Beatles, “I Saw Her Standing There,” terdengar suara lemparan batu dari luar yang menimpa atap rumah. Lalu diikuti suara teriakan puluhan pemuda.

“Ganyang Nekolim!”

“Ganyang Manikebu!”

“Ganyang ngak-ngik-ngok!”

Orang-orang di dalam ruangan terperangah. Permainan dihentikan.

“Tenang, tenang. Diam dulu, diam,” kata Koesno.

Beberapa orang keluar untuk mengetahui apa yang terjadi, dan beberapa lainnya berhamburan pulang.

Tony, Nomo, Yon, dan Yok keluar rumah.

“Ada apa? Ada apa?”

“Ganyang ...!”

“Ganyang ...!”

“Ganyang ...!”

“Ganyang imperialis!”

“ ... kapitalis!”

Ban sebuah mobil bernomor plat CD 12-29 sudah kempes, tapi pengendaranya terus tancap gas.

Teriakan belum berhenti. Beberapa pemuda setempat menuntut Koes Bersaudara agar langsung menyatakan minta maaf dan menyanyikan lagu “Nasakom Bersatu” bersama mereka. Tony berbicara, meminta maaf, dan berjanji tak akan memainkan lagu ngak-ngik-ngok lagi. Setelah nama-nama personel dari band penghibur itu dicatat oleh pengunjuk rasa, semua bubar.

Menurut Bintang Timur, 26 Juni 1965, keesokan harinya delegasi pemuda Djatipetamburan mendatangi Front Pemuda Pusat (FPP) di Jalan Veteran 7C untuk melaporkan pengganyangan musik ngak-ngik-ngok ala The Beatles. Soetadjo mewakili FPP membenarkan aksi tersebut. Beberapa hari kemudian Bintang Timur, 5 Juli 1965, memberitakan kedatangan pemuda-pemuda Djatipetamburan itu ke kantor redaksinya. Para pemuda melaporkan bahwa rakyat kampung marah dan mengganyang Koes Bersaudara yang sengaja memainkan lagu-lagu yang bertentangan dengan kepribadian dan bahkan telah dilarang. Di edisi ini juga, Mang Ronda, pojok Bintang Timur, menyentil dugaan adanya antek Nekolim di belakang Koes Bersaudara, yang berarti subversif. Karena itu ia berharap pihak kejaksaan mengambil tindakan serius.

Yok punya versi lain tentang Peristiwa Djatipetamburan itu. Menurutnya, Koes Bersaudara datang hanya sebagai tamu. Penggeropyokan pemuda setempat terjadi ketika mereka sedang duduk menyaksikan permainan musik Quarta Nada.

“Sekali-kali jadi tamu dong,” ujar Yok.

“Tidak main kok ya ditangkap juga, ya.”

“Itu ada rahasianya Pak Djon, cuma sampai sekarang kita tutup rapat. Cuma saya katakan, tak ada warga negara Indonesia yang tidak mau berguna bagi nusa dan bangsa!“

Yok memukul kayu penyangga rumah.

“Waktu itu kita sedang konfrontasi sama Malaysia, ingat!” Yok memukulnya lagi.

“Tapi ini jangan dimasukkan, jangan dimasukkan. Ya.”

Klik! Alat perekam saya matikan. Saya membiarkan Yok bercerita tanpa direkam.


PAGI belum beranjak. Belum banyak aktivitas di rumah keluarga Koeswojo di Jalan Melawai III No 14, Blok C, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Anak-anak mereka sedang bersantai. Tiba-tiba datang mobil kejaksaan dengan bagian belakang tertutup kaca dan jeruji. Tiga orang berpakaian hijau-hijau turun. Mereka datang hendak menjemput Tony ke Kejaksaan Negeri Istimewa untuk interogasi.

Koeswojo, Atmini, dan adik-adik Tony bingung. Tapi mereka berpikiran bahwa penjemputan itu semata untuk interogasi, kemudian akan segera dipulangkan. Tony masuk mobil tersebut.

Tak lama kemudian petugas kejaksaan datang lagi. Kali ini mereka mau menjemput personel Koes Bersaudara lainnya, yang juga katanya akan diinterogasi. Di rumah hanya ada Yon. Yon dibawa petugas tanpa sempat membawa apa-apa.

Ketika pulang berburu, Yok menjumpai tiga petugas kejaksaan sudah menunggunya. Dia diberi tahu ibunya, “Masmu ditahan kejaksaan dan kamu disuruh menyusul.”

Tanpa sempat bersih-bersih, Yok dibawa pula ke kejaksaan.

Menjelang sore, Nomo pulang ke rumah. Dia baru ditahan polisi selama tiga hari karena menabrak orang secara tak sengaja. Dia juga sudah ditunggu seorang petugas kejaksaan, dan langsung dibawa ke pergi.

Hari itu, Selasa, 29 Juni 1965, keempatnya dibawa ke kantor kejaksaan di Jalan Gajah Mada. Mereka dianggap tak mengindahkan peringatan polisi tentang pelarangan musik ngak-ngik-ngok. Penangkapan Koes Bersaudara sesuai dengan Surat Perintah Penahanan Sementara bernomor 22/023K/SPPS/1965 yang dikeluarkan Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta dan ditandatangani Aroean. Isinya, “Oleh karena cukup alasan menyangka dia telah melakukan kejahatan yang tersebut dan diancam dengan hukuman dalam pasal Penpres 11 tahun 1963 KUHP, sedangkan penahanannya sangat diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan, menjaga supaya perbuatan itu tidak diulangi lagi, dan menjaga supaya dia tidak melarikan diri.”

Di kejaksaan mereka diinterogasi, dan kemudian ditahan di dalam sebuah ruang sidang. Kejaksaan tak punya sel tahanan.

Malam sudah turun. Mereka lelah, sehingga satu per satu terlelap. Nomo bahkan tidur di atas meja hijau. Di hari ketiga, mereka diperiksa kembali satu per satu. Saat pemeriksaan, mereka juga diberi wejangan tentang kepribadian nasional. Nomo malah balik bertanya, “Kepribadian nasional itu seperti apa? Kasih contoh?”

“Kulintang, keroncong, gamelan …”

“Keroncong dari Portugis, gamelan itu Jawa, itu suku bukan nasional.”

Petugas itu marah, mengeluarkan pistol, dan meletakkannya di atas meja. Brak!

Setelah pemeriksaan, mereka diputuskan untuk dititipkan ke Lembaga Pemasyarakatan Khusus Glodok.

Penangkapan Koes Bersaudara diikuti dengan penyitaan peralatan musik mereka. Kemudian diikuti juga dengan penggeledahan surat-surat, yang ternyata hanya berisi surat-surat penggemar.

Keluarga Koeswojo mulai panik. Sudah beberapa hari anggota keluarganya tak pulang. Miyiek sibuk mencari informasi nasib keempat saudaranya setelah lima hari tak dipulangkan. Bersama saudaranya, Isuarni dari Yogyakarta, dia mendatangi Kejaksaan Tinggi. Nihil. Dia juga menghadap Jaksa Aroen bersama ibunya dan Meis, pacar Nomo, tapi Aroean hanya menjawab, “Itu perintah presiden.”

Polisi juga melarang peredaran lagu-lagu Koes Bersaudara. Namun para penggemar Koes Bersaudara masih bisa mendengarkan lagu-lagunya melalui radio Singapura. Koes Bersaudara ditahan ketika lagu “Pagi yang Indah” menjadi top hit di seberang lautan.

Penangkapan Koes Bersaudara memunculkan reaksi. 4 Juli 1965, organisasi-organisasi kebudayaan mendatangi kantor Kejaksaan Tinggi. Mereka ingin berdialog dengan pihak kejaksaan mengenai kasus penangkapan Koes Bersaudara dan pelarangan musik ngak-ngik-ngok. Mereka diterima Jaksa Aroean dan Jaksa Agung Brigadir Jenderal Sutardhio.

Dalam dialog tersebut wakil organisasi-organisasi kebudayaan mempertanyakan batasan mengenai musik-musik terlarang dan kurang jelasnya musik yang diperbolehkan berkembang di Indonesia. Menurut Aroean, garis kebudayaan adalah untuk memenangi revolusi, sehingga karya musik tak boleh bertentangan dari garis revolusi. Dia juga menegaskan bahwa tak akan diizinkan sejengkal tanah pun di tanah air untuk digunakan bermain band Beatles-Beatlesan.

Brigadir Jenderal Sutardhio menginginkan masalah generasi muda menjadi perhatian khusus karena generasi muda adalah harapan bangsa. Penangkapan Koes Bersaudara merupakan usaha mencegah kerusakan moral generasi muda.

Beberapa media menyorot penangkapan tersebut. Kompas, 4 Juli 1965, terlihat berhati-hati. Tulisnya, “Peristiwa ini menundjukan segi positif ialah betapa seriusnja kita sekalian ini sedang berusaha menumbuhkan kebudajaan nasional dalam segala pengedjawantahannja.”

Harian Rakjat, 9 Juli 1965, menilai tindakan Kejaksaan Tinggi sebagai permulaan yang baik untuk diteruskan dalam melakukan ofensif Manipolis, ofensif reaksioner di bidang kebudayaan.

waktuku di dalam bui
ku bersedih dan bernyanyi di malam sunyi
ibu dan ayah menanti
berdoa setiap hari
aku kembali


Krompyang! Piring seng berisi nasi campur jagung dengan lauk kangkung rebus plus dua potong ikan teri digeletakkan begitu saja. Cangkir seng berisi air menemani. Tony, Yok, dan Nomo melihat. Yon yang kali pertama mengambil dan memakannya.

“Enak kok.”

Yang lainnya kemudian mengikuti. Yok masih bergeming, dan hanya melihat saudara-saudarannya makan.

“Lebih baik dimakanlah daripada kita kelaparan terus sakit.”

Yok akhirnya memakannya.

Personel Koes Bersaudara dimasukkan ke ruang isolasi berukuran 2 x 2 meter, dibatasi ruang di depannya yang juga berukuran sama. Ruang isolasi ini terpisah dari ruang tahanan lainnya. Di dalamnya tersedia kakus yang dibatasi dinding papan setinggi pinggang. Ruang menghadap udara terbuka. Di pagi hari hanya pintu sel di dalam yang dibuka, sehingga mereka tetap berada di dalam sel. Malam hari pintu digembok.

Beberapa hari kemudian mereka siap dipindahkan ke sel yang lebih besar. Nomo, Tonny, Yon, dan Yok membentuk barisan, kemudian berjalan menuju salah satu sel tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Glodok. Mereka melewati pintu masuk blok.

“Brang-bang-bang-bang ....“

“Tahanan baru!”

“Tahanan baru!”

“Masuk, masuk ... Temanku itu! Minggir, minggir, minggir…,” teriak seorang lelaki.

Lelaki itu ternyata Bambang Sembuto, teman Yok, yang ditahan karena mencuri diesel di Senayan.

Keempatnya masuk ke sel nomor 15. Sel yang berkapasitas enam orang itu diisi tujuh orang. Selain personel Koes Bersaudara, ada tiga narapidana lain: Saleh, koruptor, serta Atun dan Rachim, keduanya pembunuh. Atun dipenjara karena menyuruh Rachim membunuh orang. Ketiganya, kata Yok, narapidana baik-baik yang sengaja dipilihkan untuk mendampingi Koes Bersaudara.

Mulailah mereka melakukan aktivitas rutin yang menjemukan. Tidur, makan, dan sesekali berolahraga jika di luar sel. Pagi mereka dikeluarkan sebentar untuk menikmati matahari, makan, berolahraga, atau duduk-duduk sambil mengobrol. Di luar ruang tahanan terdapat beberapa kamar mandi dan kakus.

Setelah lama di sel, mereka kenal dengan Tan Sio Gie atau Hartanto, yang kemudian menjadi bapak angkat mereka selama di penjara. Tan Sio Gie yang ditahan karena membunuh seorang polisi sering membagikan makanan dan rokok yang dikirim istrinya. Lelaki asal Semarang ini rajin menanam sawi di atas tanah kecil di belakang tahanan. Sawi itu subur. Pupuknya adalah kotoran manusia.

“Kami sudah pernah makan tahinya. Edan, dia menanam sawi, dan tahinya buat pupuk. Asem tenan,” kata Nomo sambil tertawa terbahak.

“Tapi dia baik banget,” kata Yok.

Setiap hari Miyiek mengantarkan makanan kering dan buah-buahan. Tapi dia tak diperbolehkan masuk, sehingga makanan harus diantarkan penjaga. Meis kadang harus bersembunyi di dalam drum di dekat tempat penjagaan, menunggu pergantian jaga agar bisa masuk. Sesekali dia datang diantar Meis, Cori Louise (pacar Yok), atau Sulis, teman sekolah Yok.

Lazimnya kehidupan penjara, jalur belakang acap dipakai. Banyak penggemar dan teman Koes Bersaudara mengirim makanan lewat para penjaga: dari makanan kaleng hingga biskuit.

Djon sesekali membesuk, tapi hanya ditemui Tonny. “Ton, jangan khawatir. Nanti kamu keluar dari sini boom dah. Tuhan memberi rahmat tapi terselubung lewat penahanan.”

Kesempatan bertemu yang leluasa terjadi pada 17 Agustus 1965, karena tahanan bebas keluar sel untuk menemui keluarga. Miyiek datang bersama personel Dara Puspita. Dia berpelukan dengan Yok dan menangis. Tak terasa waktu telah berlalu. Personel Koes Bersaudara segera dimasukkan lagi ke sel.

“Di penjara tengar-tengur (tak ada kerjaan). Cuma terakhir aku ketemu temanku, Johny Klasem, yang habis nggarong di Cibinong, tangisan sama saya,” kata Yok. “Ketemu Johny ketika mau pertandingan tujuhbelasan.“

Pada perayaan 17 Agustus ada pertandingan olehraga antarpenjara di Jakarta.

“Eh, volly kita menang atau tidak, Yok?” sela Nomo.

“Menang. Kita menangan. Lawan Cipinang, menang.”

“Tujuhbelas kan ada lomba, lawannya Cipinang, Salemba, Bogor.”

Pada peringatan 17 Agustus 1965 pula nama Koes Bersaudara disebut-sebut dalam pidato Bung Karno di depan Corps Gerakan Mahasiswa Indonesia, “Jangan seperti kawan-kawanmu, Koes Bersaudara. Masih banyak lagu-lagu Indonesia, kenapa mesti Elvis-Elvisan?”

“Dengan Bung Karno ngomong begitu dan kita ditahan itu kan berarti kita dianggap menentang dia. Tapi kita ini mengemban misi,” ujar Yok lirih tanpa menjelaskan misi yang dia maksudkan.


NOMO sibuk dengan urusannya menjawab telepon. Nomo amat dikenal di daerah Pecenongan. Sejak sekolah menengah atas dia terbiasa nongkrong di sana, yang membuatnya lihai jual-beli kendaraan bermotor. Dua mobil berjajar rapi di teras rumahnya. Di belakangnya tertera tempelan kertas bertuliskan sold.

“Sekarang saya tak mengurusi itu lagi. Biarlah anak-anak,” ujar Nomo ketika saya tanyakan sambil menunjuk teman-temannya yang dia anggap sebagai anak angkat.

Sekali lagi, telepon di dalam rumah berdering. Kali ini Meis mengangkatnya, kemudian keluar mengabarkan peledakan bom di Gudang Peluru. “Sing ngebom kudune dipithes (yang mengebom seharusnya dibunuh),” kata Nomo. “Kasihan kan rakyat kecil, pada takut kayak zaman PKI.”

“Aku ingat Hengky, anaknya Jenderal Slamet. Waktu ada kabar bahwa komunis di Indonesia harus dibasmi seakar-akarnya, saya ngobrol di depan rumah dan bilang enggak setuju kalau PKI dibasmi seakar-akarnya. Wong yang lain kan tak tahu apa-apa. Pak Slamet yang lagi baca koran, pakai kaos oblong tentara sehabis pulang kantor, dengar, ‘Kamu ini bagaimana. Kalau mereka berhasil kalian ini sudah almarhum. Saya punya datanya.’ Jadi kita dianggap antikomunis. Wis diperkirakan bakal mati, disembelih, ngrusuhi.”

Nomo, Yok, dan personel Koes Bersaudara mengalami masih penuh gejolak itu. Malam itu, 29 Spetember 1965, beberapa panser lalu-lalang di jalanan. Personel Koes Bersaudara takjub melihat kesibukan yang tak biasa itu dalam perjalanan pulang ke rumah. Koes Bersaudara baru saja dibebaskan dari penjara dengan syarat harus melapor ke kejaksaan setiap Senin. “Masih dalam pengawasan dan bimbingan Kejaksaan Tinggi Jakarta,” tulis Jaksa Tinggi Dan Sulaiman dalam surat pembebasan. Peralatan musik milik mereka tetap ditahan sebagai barang bukti.

Keluarga Koeswojo gembira atas kepulangan mereka. Setelah melepas kangen Yok, Yon, dan Nomo langsung tidur. Tony keluar rumah, meluapkan kegembiraan dengan berkeliling kota mengendarai mobil Opel milik Handijanto. Sekali lagi dia heran melihat jalanan yang lengang. Pagi harinya Yok, Yon, dan Nomo juga berkeliling kota melihat situasi kota tapi hanya menghasilkan tanya, “Kok sepi. Ada apa, ya?”

Sesampainya di rumah, begitu radio diputar, RRI Jakarta menyiarkan gerakan militer yang dilancarkan satuan-satuan Cakrabirawa yang dipimpin Letnan Kolonel Untung terhadap beberapa jenderal yang dianggap membentuk Dewan Jenderal dan merencanakan kudeta.

“Wah, ada pemberontakan nih. Revolusi nih.”

Peristiwa yang menorehkan luka dalam sejarah Indonesia sedang berlangsung. Angkatan Darat dibawah komando Mayor Jenderal Soeharto bergerak cepat mengambil-alih situasi. Kemudian diikuti pelarangan dan penumpasan PKI beserta organisasi-organisasi onderbouw-nya. Korban pun berjatuhan.

Yon terpaksa menghentikan kuliah arsitekturnya di Universitas Republica (kini Trisakti). Dia ingat bagaimana screening diterapkan di kampus-kampus. “Yang bau-bau PKI saja, ayahnya PKI, tidak boleh kuliah. Bau-bau PKI sedikit, out; bau-bau organisasi yang kiri-kiri, out. Banyak mahasiswa hilang,” ujarnya. “Selama beberapa saat juga tak ada pertunjukan band.“

Pengawasan pemerintah terhadap pertunjukan band diterapkan di seluruh kota besar di Indonesia. Panitia penyelenggara pertunjukan dan para pemain band, bila mengadakan pertunjukan, harus minta izin kepada kejaksaan. Bila ada pertunjukan band yang tanpa izin dari kejaksaan, kepolisian berhak membubarkan pertunjukan tersebut.

Koes Bersaudara masih tetap menjalani wajib lapor. Peralatan musik masih disita. Selama beberapa bulan tak ada aktivitas pentas. Jakarta dipenuhi aksi mahasiswa dan pelajar.

Ketika keadaan mulai mereda, Koes Bersaudara mulai mendapat panggilan pentas. Koes Bersaudara tampil dengan peralatan musik yang masih disita kejaksaan, yang setelah pertunjukan harus dikembalikan lagi. Dalam setiap pentasnya penonton selalu meminta lagu The Beatles, tapi mereka menolak. Selepas pentas mereka harus membuat laporan tertulis dan menyerahkannya kepada kejaksaan. Semuanya sesuai dengan Surat Keputusan Kejaksaan Tinggi Jakarta tertanggal 10 Januari 1966.

Keajaiban datang. Koes Bersaudara tampil sebagai lambang kebebasan atas penindasan penguasa lama dan kesewenang-wenangan politik. Sejumlah organisasi, kesatuan militer, dan kesatuan aksi mahasiswa mengundang Koes Bersaudara untuk tampil di pentas-pentas pertunjukan. Jadwal pertunjukan makin padat. Bahkan pada Agustus 1966 Koes Bersaudara melakukan pertunjukan keliling Jawa dan Bali. Dari uang hasil pertunjukan itu pula Koes Bersaudara bisa pindah rumah ke Jalan Sungai Pawan 21 Blok C, Kebayoran, seluas 500 meter persegi. Tak lama kemudian, pada 1967, Koes Bersaudara mengeluarkan dua buah piringan hitam, Jadikan Aku Dombamu dan To Tell So Called the Gulties, yang berisi 24 lagu.

“Nah ini ditulis, Orde Baru itu mengadakan artis safari. Rencana semula itu wadah untuk artis seluruh Indonesia. Ternyata digerombolin ke Golkar saja. Ngertos mboten. Ini yang tidak cocok. Wong nasional kok digerombolin-gerombolin, ya ora sudi ya,” ujar Yok, masih mencampurkan dengan logat Banyumasan.

“Makanya kita cuma sekali saja. Dan ini boleh diingat, kedua, Mas Tony sudah tidak ada, tapi saya masih mau, tahun 1992 atau berapa. Karena saya pikir saat itu satu-satunya yang bisa menyelamatkan supaya tidak kocar-kacir seperti ini masih Golkar. Tapi nyatanya sudah tidak bisa direm.“

Yok membanting bungkus rokok ke atas meja.

“Kebablasan semua. Nyimpang semua”.

“Tahun 1971 saya ngurusi pemilihan umum, Sekber Golkar ke Golkar, ngirim artis-artis. Semuanya ikut, tapi yang aktif sehari-hari saya. Bukan anggota Golkar lho ya, untuk menentramkan bangsa ini. Dulu kalau bukan Golkar yang menang rusak bangsa ini. Tahun 1973 nganter misi kesenian ke Malaysia. Kemudian saya meninggalkan Golkar, bikin Yukawi,” kata Nomo menyebut nama studio rekamannya.

“Wis ditulis sing apik, sing enak, ben sing moco seneng. Dasare wong iku seneng diapusi (Sudah, ditulis yang bagus, yang enak, agar yang baca senang. Dasarnya orang itu senang dibohongi),” kata Yok.

“Ada yang tak senang diapusi; diapusi pejabat. Kalau diapusi seniman itu senang. Contohnya apa, coba?” timpal Nomo.

”Menonton film.”

“Bukan, seniman musik kok. Orang Indonesia ini lho dibohongi sama Mas Yok. Menggendong bayinya dan memberi minum susu saja tak bisa kok Mas Yok bilang kolam susu. Bukan lautan hanya kolam susu .… Benar, enggak?”

Nomo tertawa, bercanda, tapi Yok menanggapinya dengan serius.

“Itu bukan ngapusi, Mas. Itu kan mengingatkan.”

“Kan enggak mungkin kolam itu kolam susu.”

“Pengertiannya itu bahwa negara kita kaya raya. Itu filosofi. Mau menuruti ya syukur, ora yo wis. Sekarang tongkatnya enggak ditanam-tanam tapi buat rebutan.”

“Ngelingke (mengingatkan),” Nomo mengalah.

Yok kemudian pergi, entah ke mana.

“Sekarang memang susah. Elit-elit itu ribut melulu sementara rakyat pada bingung. Nah, Anda tahu satria piningit? Itu bohong. Rakyat pada bingung. Itu tekadnya bangsa Indonesia. Itu ‘Satriaku.’”

Nomo menyuruh anaknya, Reza, memutarkan kaset berisi dua lagu ciptaannya: “Satriaku” dan “Kopra Berdikari.” Keduanya merupakan akronim dari “Satu Tekad Rakyat Indonesia Akur Kembali Utuh” dan “Koperasi Rakyat Mandiri.” Saya diminta masuk ke ruangan untuk mendengarkannya.

Di mana, oh di mana
Oh di mana
Benar, benar yang benar
Yang mana
….


“Nanti ada koor sebagai backing vocal menyanyikan lagu ‘Tanah Airku,’” kata Nomo.

Lagu kedua mengalun.

Kopra berdikari
Solusi bangsa ini
Kopra berdikari
Koperasi rakyat berdikari


“Sekarang kalau aku berkarya itu berkarya untuk bangsa dan negara. Enggak aku jual, enggak aku apa-apakan,” ujarnya. “Saya keluarkan nanti, wong bangsa ini masih sembrawut. Kalau dikeluarkan malah tak berpengaruh,” ujar lelaki yang mengaku berencana mendirikan perkumpulan tani Pancasila ini.


BURUNG-BURUNG berkicauan sembari melompat-lompat di pepohonan yang memenuhi halaman rumah di Jalan Haji Nawi. Kicauan burung ini seakan menggantikan suara musik berdentam-dentam yang menunjukkan kehadiran Koes Plus, grup musik yang disegani di zamannya. Koes Plus muncul pada 1969 karena kehadiran Murry, pemain drum grup Patas, yang menggantikan posisi Nomo. Nomo keluar dari Koes Bersaudara karena lebih memilih bekerja untuk membiayai hidupnya setelah menikah.

Toh, Nomo tak bisa lepas dari musik. Dia lalu mendirikan studio rekaman Yukawi dan Lieman, mendirikan grup musik No Koes dan Nobo, serta bersolo karier. Atas pemakaian nama itu, orang digiring untuk berkomentar: No Koes itu sama dengan anti-Koes Plus. Nobo? No terhadap Bimbo! Dia sempat bergabung lagi dengan saudara-saudaranya dengan nama Koes Bersaudara dan menghasilkan album Kembali. Pada 1984, Nomo membubarkan studio rekaman miliknya.

Koes Plus perlahan menjadi band populer. Kasetnya meledak. Lagu-lagunya populer, dinyanyikan semua umur. Kepopuleran itu mendatangkan tawaran sebagai bintang iklan minuman ringan F&N dan mobil Kijang, main film, dan pemasangan gambar mereka pada sampul buku tulis. Pembuatan perusahaan film digagas tapi batal karena kekurangan modal.

Sejak Tonny Koeswojo meninggal pada 1987, Koes Plus seperti kehilangan motor penggerak. Koes Plus mengalami bongkar-pasang pemain. Setelah Abadi Soesman, anak ketiga Tony, Damon Wicaksi Wangsa Koeswoyo, sempat masuk menggantikan posisi Soesman.

Yon satu-satunya anggota keluarga Koeswojo yang tetap bertahan. Kini, bersama Murry, Andolin, dan Jack Kasbi, dia berusaha mempertahankan eksistensi Koes Plus.

Setelah beberapa kali mendatangi rumah di Jalan Haji Nawi, saya menemui Yon. Anak lelaki Koeswojo yang paling pendiam ini tinggal di rumahnya yang luas dan asri di Pamulang, Jakarta. Rumahnya di Jalan Haji Nawi ditempati Miyiek. Dia masih memelihara rambut gondrongnya. Selain pentas dan membuat lagu, dia meluangkan waktu untuk hobi yang sudah dua tahun dia tekuni: melukis. Di sebuah bangsal yang dijadikan ruang tamu berderet lukisan-lukisannya.

“Wah, dulu Koes Plus itu rajanya band di Indonesia. Betul-betul meledak ke mana-mana. Saya enggak aman, keluar ke mana-mana dirubung (dikerumuni). Saya kira enggak ada artis Indonesia kayak Koes Plus. Sekarang artis jalan-jalan, aman. Akhirnya, saya jarang keluar karena tahu bakal dirubung,” kenang Yon.

“Kalau saya manggung, honor Koes Plus Rp 3 juta. Harga Corona yang baru itu paling Rp 3,6 juta. Sekarang kalau dikurs sama saja sekali manggung Rp 150 juta. Mana ada sih artis sekarang yang honornya segitu? Kalau di daerah minimal Rp 1 juta. Harga Honda CB itu paling Rp 240 ribu. Jadi dibayar empat kali Honda. Ini harga mobilnya yang gila apa? Ha-ha-ha.... Bingung saya. Sampai saya bisa beli rumah, mobil. Sekarang kecil, enggak karu-karuan.”

Menjelang sore saya pulang, sambil membawa pesan Yon agar datang ke pertunjukannya suatu saat nanti. Mungkin saya tak akan sempat menontonnya, dan lebih memilih mendengarkan lagu-lagu Koes Plus, yang sampai kini masih digemari banyak orang.

Sepanjang sejarahnya, Koes Plus (dan Koes Bersaudara) telah melahirkan sekitar 450 lagu, yang sebagian besar menjadi hit di zamannya. Beberapa lagu diciptakan oleh Koeswojo, yang meninggal pada 2000. Sekurangnya Koeswojo menciptakan 20 lagu, yang beberapa di antaranya cukup populer: “Muda Mudi,” “Oh Kasihku,” “Layang Layang,” “Jangan Bimbang Ragu,” “Nasib Penyanyi Butuh Uang,” dan “Kasih Sayang.” Koes Plus jadi legenda. Penghargaan BASF Legend Awards pada 1992 membaptiskannya.*

Read More......

Tuesday, May 01, 2001

Kartun Berhenti di Kaliwungu

HUJAN bulan Maret mengguyur Kaliwungu. Deras. Dengan bus Semarang-Sukorejo, saya turun di Masjid Agung Kaliwungu. Dan hujan tak peduli, membasahi tubuh meski tertutup jaket. Saya hendak berkunjung ke markas Kelompok Kartunis Kaliwungu (Kokkang).

Hujan bulan Maret menenggelamkan sebagian Jalan Boja, Kaliwungu, jalan menuju markas Kokkang yang terletak sekitar 500 meter dari pusat kota. Dengan becak, genangan air terbelah, tak mampu menahan laju roda. Beberapa mobil tampak mogok di tengah kenangan air.

Markas Kokkang yang berada di dusun Dampetsari, desa Krajan Kulon, Kaliwungu ini mudah dikenali. Bertingkat dua, terbuat dari bambu, menyatu dengan rumah kecil sederhana. Di samping jalan, di depan sebuah sungai yang dipagari tanah merah yang becek, markas Kokkang tampak rapuh. Dindingnya tripleks bercat pink.

Saya bergegas masuk ke sisi ruang yang digunakan sebagai pusat aktivitas kartunis Kokkang. Di dalamnya ada dua lemari besar berisi buku, katalog-katalog dan penghargaan-penghargaan kartun berjejer rapi. Ada lemari arsip kecil, dan lemari sedang yang digunakan untuk menaruh komputer. Pesawat telepon, buku telepon, buku honor masuk dan kas Kokkang, serta kertas dan koran yang tertata rapi menghiasi meja bercat coklat. Beberapa lukisan tergantung di dinding.

Saya duduk di kursi sofa. Satu-dua air hujan menerobos masuk, dan jatuh menimpa sebuah baskom plastik yang sengaja diletakkan di dekat meja. Saya melongok ke atas. Ada sebuah ruangan berukuran 2,5 x 2,5 meter yang terbuat dari bambu dan beratap seng. Tapi tak ada tangga menuju ke atas --ternyata ruangan itu tak lagi dipakai sebagai sanggar karena lapuk.

Saya masih menunggu pemilik rumah, sambil berpikir seolah tak percaya bahwa dari rumah sederhana ini lahir banyak kartunis yang mewarnai dunia.

Tak lama, deru sepeda motor terdengar lirih. Pengendaranya turun, bergegas masuk rumah, dan menuju ruang sekretariat. "Maaf berantakan. Saya sedang merehab total rumah ini," kata Budi Santoso, yang akrab dipanggil Itos, pemilik rumah, sambil menyalami.

Ia kemudian masuk kembali, dan tak lama kemudian keluar dengan kaos hitam lengan panjang dan sarung kotak-kotak. Laki-laki inilah yang bersama Darminto Masiyo Sudarmo, atau biasa dipanggil Odios, serta Nurrochim, yang mendirikan Kokkang pada awal 1980-an.


SIAPA bisa menebak nasib. Begitu juga Itos tak menyangka pertemuannya dengan Odios bakal mengubah garis hidupnya. Saat itu, tahun 1979, Itos mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Pendidikan Seni Rupa, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Semarang. Ia berkenalan dengan Odios, yang juga mendaftar di jurusan yang sama. Keduanya berkenalan, dan surprise karena ternyata berasal dari daerah yang sama pula: Kaliwungu. Hanya beda kampung. Itos berasal dari desa Krajankulon, sedangkan Odios dari desa Plantaran.

Pembicaraan pun berlangsung. Saat itu, Odios mengenggam koran mingguan Bahari.

"Apa istimewanya koran itu?" tanya Itos.

"Karena ada kartun saya, Wak Kamal, yang dimuat secara tetap di sini," jawab Odios.

Odios mengenal kartun sejak kelas 2 sekolah menengah pertama. Saat itu ia sudah mengirim kartun ke majalah Stop, tapi ditolak redaksi. Baru ketika kelas 1 sekolah menengah atas kartunnya dimuat majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat. Sedangkan Itos dikenal sebagai dalang cilik.

Itos belum tahu kartun. Karena itu ia menanyakan ini-itu, dan Odios menjelaskannya. Itos mengaku tertarik dan ingin tahu lebih jauh tentang kartun. Odios pun mengundang Itos mampir ke rumahnya. Di rumah, Odios menunjukkan berbagai jenis kartun. Itos makin tertarik, bahkan ingin belajar.

Baik Itos maupun Odios ternyata tak diterima di Pendidikan Seni Rupa. Itos malah diterima di diploma I jurusan Bahasa Indonesia, sedangkan Idios di diploma I jurusan Bahasa Inggris. Interaksi pun makin intensif.

Liburan kuliah tiba. Odios harus menyelesaikan pekerjaan sambilannya sebagai "Desainer Motif" untuk Joeni Batik di Jakarta. Ia menawari Itos untuk ikut, sambil mengatakan bahwa dia punya banyak waktu untuk mengajari kartun di Bogor, tempat workshop Joeni Batik. Itos mau, dan bersiaplah mereka untuk berangkat. Upacara pelepasan diadakan karena ibu Itos mengkhawatirkan anaknya ayang belum pernah pergi ke Jakarta maupun Bogor.

Dan kebetulan pula saat itu, Majalah Anda memuat lima kartun Odios dalam edisi bulan itu. Odios terus memanas-manasi Itos bahwa tiap kartun berhonor lumayan. Itos makin terpacu. Sehari itu ia melahirkan sebuah figur atau "karakter tokoh" dengan ciri dan visualisasi berbeda.

Sambil memberi dorongan, Odios mengatakan, "Kalau dibolehkan saya akan bagi 75 kartun (yang dapat dia gambar dalam waktu dua hari) ke berbagai media yang cocok," ujar Odios.

Sebulan kemudian, salah satu kartun Itos nongol di majalah Trubus disertai wesel honor Rp 1.000. Itos mabuk gembira. Dan sejak itu, keduanya sering terlibat diskusi. Itos juga acap diajak Odios untuk bergaul dengan para kartunis di Semarang. Salah satunya Jaya Suprana.

Tahun 1982, Paguyuban Kartunis Yogyakarta (Pakyo) mengadakan pameran kartun nasional.

Pameran yang tak dapat mereka ikuti itu membuat mereka iri. "Kami cuma menyantap beritanya dari media massa," kata Odios.

Suatu saat, ketika keduanya hendak ke kantor pos Kaliwungu, tiba-tiba terbersit gagasan untuk membuat perkumpulan sejenis Pakyo. Nurrochim kemudian diajak. Dan lahirlah Komplotan Kartunis Kaliwungu --yang kemudian diganti Kelompok Kartunis Kaliwungu-- 10 April 1982. Markasnya ditetapkan di rumah Itos, yang suka berorganisasi dan senang rumahnya dijadikan markas, di Jalan Boja 106, Kaliwungu.

Menurut Itos, ada sejumlah alasan mengapa Kokkang didirikan. Pertama, awal tahun 1980-an media cetak memberi perhatian cukup besar terhadap sajian kartun. Kedua, ketrampilan mengartun lebih mudah diajarkan ketimbang menulis maupun melukis. Ketiga, honor kartun cukup menggiurkan dan prospeknya cukup menjanjikan. Dan keempat, lingkungan Kaliwungu khususnya warga desa Krajan Kulon yang masih kental dengan budaya kebersamaan, kegotongroyongan, sangat potensial untuk pembentukan paguyuban.

Sementara Odios memandangnya secara sederhana. "Motifnya ya senang-senang dan gagah-gagahan saja," ujar Odios. Kokkang menjadi kelompok kartunis yang pertama di Jawa Tengah.

Untuk menandai deklarasi, digelar pameran kartun di Pendopo Kawedanan Kaliwungu, yang dibuka oleh Jaya Suprana dan Dr. Soewondo PS Art dari Perhimpunan Pencinta Humor, Semarang. "Ibukota Jawa Tengah sebenarnya bukan Semarang, tapi Kaliwungu," kata Jaya Suprana.

Pameran karya Itos dan Odios itu juga merupakan upaya untuk memikat anak-anak muda. Tema-tema kartunnya sederhana (gag cartoon) dengan teknik yang sederhana pula. Itulah pameran kartun kali pertama di Kaliwungu. Dan pameran itu berhasil menarik perhatian para pemuda, yang sebagian besar anak muda putus sekolah. Bergabunglah mereka sebagai anggota Kokkang.

Ketertarikan mereka didukung maraknya media cetak yang memungkinkan keterlibatan kartunis. Ruang untuk kartun melebar, dan itu menjadi tantangan yang perlu disikapi secara profesional. "Sekaligus menjawab tantangan kesulitan tenaga kerja," kata Itos.

Tiap Sabtu dan Minggu, mereka membahas isu-isu aktual sambil mempertajam keterampilan membuat kartun, terutama bagi anggota baru. Jika ada kesulitan mereka berkonsultasi dengan seniornya. "Pendek kata kami sediakan air; mau diminum, mau buat mandi, mau buat cuci muka, terserah, selama itu bermanfaat dan tidak buat mengguyur orang lewat," kata Odios.

Anggota Kokkang yang awalnya terbatas mereka yang bermukim di tiga desa: Krajan Kulon, Kutoharjo dan Sarirejo, kemudian melebar ke desa lain. Bahkan ke luar Kaliwungu. Bisa karena pengaruh keluarga maupun pergaulan.

Misalnya, Itos menularkan kemampuannya kepada adik-adiknya: Pujo Waluyo, Budi Setyowidodo, dan Budi Mulat Purnomo. Karena pergaulan, Itos menularkan hobi kartunnya ke tetangga kampung, Muhammad Nasir. Nasir berhasil menciptakan kartun dan dimuat di media cetak, yang lantas menarik adik-adiknya: Najib, Azis, Nazar dan sebagainya. Mata rantai itu terus berputar, dan memunculkan banyak kartunis baru, baik sebagai hobi maupun profesi. Umumnya adalah kartunis keluarga.

Dalam tenggang waktu tertentu, pertemuan-pertemuan dan kursus-kursus pun acap digelar. Memberi pembekalan prinsip-prinsip kesenirupaan, bagaimana mengenal media, pendalaman filosofi hingga soal-soal teknis semacam penggunaan tinta, pengenalan karakter kertas dan penggalian ide.

“Saya selalu mengajarkan mereka filosofi orang berak. Gambar, kirimkan ya sudah, nggak usah dinanti. Masalah honor itu nanti. Itu kan efek. Yang penting proses, berkarya. Sehingga ditolak pun menjadi sesuatu yang biasa,” tegas Itos.

Pengaruh-mempengaruhi adalah hal wajar dalam paguyuban. Umumnya, kartunis baru akan terpengaruh kartunis satu generasi di atasnya. Kemudian lama-lama mereka akan menemukan bentuknya sendiri. Ciri visual kartunis Kokkang biasanya bermata lebar dan berhidung besar.

"Saya percaya, tidak ada yang baru di bawah matahari. Jadi pengaruh itu sesuatu hal yang manusiawi. Saya memang terpengaruh, terutama oleh produktifnya kartunis Subro, Johny Hidayat AR dan lain-lain. Secara semangat mungkin, tapi secara teknis seingat saya tetap berjuang dengan cara saya," kata Odios.

Perlahan tapi pasti, kartunis-kartunis muda muncul, dan mewarnai penerbitan di Indonesia. Karya mereka acap hadir di Nova, Bola, Gema Olahraga, Intisari, Suara Pembaruan, dan media yang menyediakan ruang kartun. “Intisari adalah media paling lama menyediakan kolom kartun, beroplah besar, paling eksis dan memberi penghargaan paling tinggi. Lainnya, buka tutup,” kata Itos.

“Intisari adalah legenda, sebagai inspirasi dan ukuran bahwa jika sudah dimuat maka menang. Intisari juga berhasil mewibawakan kartun, tidak hanya sebagai stopper. Bahkan kadang satu halaman dan colour,” imbuh Prie GS yang masuk Kokkang tahun 1987 karena mengidolakan Odios dan Itos.

Acap kali ada pihak media yang menelpon dan mengabari tersedia kapling dengan tema tertentu. Atau bahkan menunjuk orang-orang tertentu untuk mengisi ruang.

Beberapa anggota Kokkang juga merambah media cetak, mengisi kebutuhan redaktur, ilustrator, kontributor lepas maupun wartawan: M Nasir (Bola), Prie GS, Nurrochim dan Joko Susilo (Suara Merdeka), Pujo Waluyo (Peluang), Muktafin (Rakyat Merdeka), Hertanto (Warta Kota), Ipong Gufron (freelance Duta Masyarakat), M Komarudin (kontributor Peluang), Wawan Bastian (Aura), Wahyu Widodo (Surabaya Post) dan sebagainya. Meski sebagian ke Jakarta, Kokkang belum habis. Selalu ada kartunis baru lahir.

Oktober 1995, persis tengah malam, sebuah mobil kijang berhenti di pinggir jalan, di depan sekretariat Kokkang. Ada tamu penting yang datang khusus mengunjungi mereka. Seorang bermata sipit, berbadan tegap dan berkaca mata. Dia adalah Kosai Ono, pengamat kebudayaan dari Jepang. Dia diantar antara lain oleh kartunis Priyanto Sunarto, Pramono R. Pramoedja yang juga ketua Persatuan Kartunis Indonesia (Pakarti), Yehana (Semarang Cartoonist Club) dan Prie GS.

Menurut Pramoedja, kedatangan Ono didahului surat-menyurat lewat email antara dirinya dan Ono. Pramoedja mengatakan bahwa di Indonesia, tepatnya di Kaliwungu, terdapat sebuah kampung seperti di Omiwa, kota kecil di Tokyo, Jepang.

Omiwa adalah perkampungan kartunis, yang penduduknya mengartun karena profesi dan mengirimkan karyanya ke segala macam media. Bedanya, kebanyakan kartunis di Omiwa dewasa dan orangtua. Kartunis di Kaliwungu lebih beragam. Ono penasaran, dan datang ke Indonesia khusus untuk berkunjung ke Kaliwungu.

Markas Kokkang seketika ramai. Dialog pun berlangsung meski menggunakan bahasa Inggris. Ono terkesan, dan menuliskan kesan-kesannya pada sebuah buku berbahasa Jepang. "Kok bisa sebuah kampung dengan masyarakat yang sederhana memproduksi kartun yang disebar kemana-mana. Dengan manajemen produksi yang juga unik," komentar Kosai Ono seperti ditirukan Sunarto.

“Tadinya Kosai Ono mengira Kokkang sebagai sindikat. Karena di Jepang nama Kokkang terkenal. Dan setiap lomba kami mengirim dengan satu alamat, dengan banyak orang,” kata Itos.

Sekitar pukul 01.30, Ono pun pamit.

Begitulah kesibukan di sanggar Kokkang. Setiap ada tamu datang, dengan sigap mereka berkumpul dan menemani. Termasuk wartawan. Setiap harinya kesibukan juga selalu tampak. Ada yang membaca koran, membuka katalog kartun atau sibuk menggambar. Sebagian angota Kokkang suka menggambar di sanggar yang menyediakan peralatan dan perangkat menggambar. Di sanggar komunikasi dan diskusi ide juga bisa terjalin.

Aktivitas mengartun di sanggar biasanya dilakukan pagi hari sekitar pukul 08.00-13.00 dan malam hari pukul 20.00-24.00. Ada kalanya mereka menginap di sana. Sebagian lainnya lebih suka menggambar di rumah. “Tapi karena sanggar ini sudah lapuk, aktivitas anggota lebih banyak di rumah masing-masing. Acara kumpul juga seringkali bergilir. Kecuali hari Sabtu dan Senin, “ kata Itos.

Sabtu dan Senin merupakan hari yang selalu ramai didatangi anggota Kokkang. Hari Sabtu karena biasanya wesel kiriman honor dari berbagai media datang, dan Senin digunakan untuk mengirimkan karya. Pengiriman menggunakan amplop berlogo Kokkang. Setiap mengirim karya, setiap anggota juga memakai alamat sekretariat Kokkang di Jalan Boja 106 Kaliwungu atau Po Box 203 Klw. Kendal 51372.

Sistem satu pintu itu menguntungkan. Anggota tak perlu repot-repot ke kantor pos, dan memungkinkan anggota menggunakan banyak inisial untuk kartun-kartun yang dikirim ke media. “Mengusir kebosanan menggambar satu tokoh, dan peluang dimuat besar,” kata Zaenal Abidin, yang rajin mengirim kartun setiap minggu.

Begitu kartun mereka dimuat, honor akan dikirim ke sekretariat. Organisasi tinggal menyunat 10% untuk kas. "Ini memang sudah kesepakatan," ujat Itos. Kas itu berguna untuk keperluan pengayaan literatur, pameran atau bahkan membantu anggota Kokkang yang lagi apes misalnya sakit keras, meninggal dan sebagainya.

Bahkan ada kesepakatan untuk memasang kata Kokkang di bawah nama mereka di dalam karya. "Itu untuk identitas organisasi. Mungkin juga banyak yang diuntungkan oleh seleksi redaksi yang sudah telanjur tahu Kokkang," ujar Odios.

Menurut Itos, ada 15 anggotanya yang menyandarkan hidup melulu dari kartun. Tiap bulan mereka dapat honor antara Rp 300.000-Rp 500.000, dari pemuatan kartun di koran atau majalah.

Zaenal Abidin, misalnya, terbilang sebagai kartunis profesi. Lajang berusia 27 tahun itu kini paling produktif. Tiap hari ia bisa membuat 50-80 kartun berupa gag cartoon dan strip dengan tema yang berbeda. “Memang saya target, dan mengejar setoran,” kata Abidin yang mengaku berpenghasilan sekitar 300.000-400.000 per bulan, tidak termasuk hadiah lomba.

Anehnya, tak ada kartunis perempuan yang muncul. Menurut Itos, dulu ada seorang perempuan menjadi anggota Kokkang. Yulin Prehatna, nama perempuan itu, karyanya sudah pernah dimuat di media. Tapi kemudian tidak aktif lagi.

Perkembangan Kokkang menuntut pemikiran ke arah diversifikasi usaha, tak melulu berkutat pada kartun. Program kerja sama pembikinan film animasi, pembuatan kaos, desain buku, komik dan sebagainya dicanangkan. Dan hampir mendekati kenyataan.

Desember 1995, datang tawaran menarik dan menantang ke sekretariat Kokkang. Seorang pengusaha bernama Slamet Sugianto yang memiliki production house, Anugerah Animasi, meminta beberapa anggota Kokkang ke Jakarta. Kartunis daerah lain juga ikut; Jakarta, Bandung dan Solo, masing-masing satu orang. Sugianto ingin membuat film animasi atau kartun yang membumi. "Obsesi lama hampir menjadi kenyataan " kata Muchid Rahmat, generasi ketiga di Kokkang yang ikut berangkat ke Jakarta.

Sepuluh orang kartunis Kokkang dikirim. Selama satu setengah tahun mereka diajari proses pembikinan film animasi, dari mulai penggunaan alat (komputer), materi-materi seperti bedah naskah, hingga produksi. Selama pelatihan itu pengusaha film animasi lain juga mengajukan penawaran kerja, tapi mereka tolak. Satu klip lagu anak-anak yang diselipi kartun pun sudah jadi. Sayang, proyek itu terhenti.

Sebagian kartunis pulang ke Kaliwungu. Ada yang kembali jadi kartunis, tapi ada pula yang menerapkan keahlian dari pelatihan di Jakarta. Muchid misalnya, mulai tertarik membikin komik. Di samping alasan honor kartun yang sedikit, kapling yang menyempit dan tuntutan hidup. "Apa salahnya diversifikasi," aku Muchid.

Rintangan pertama menghadang. Menulis baginya adalah pekerjaan amat berat. Namun pengalaman membedah naskah di Jakarta cukup membantu. Ia keasyikan, dan kebablasan di komik. Setelah membuat ilustrasi untuk penerbit lokal, seperti Kanisius (Yogyakarta), Mandira (Semarang) dan Intan Pariwara (Klaten), ia kini menjadi komikus freelance di Elex Media Komputindo (Gramedia). Muchid membuat 10 seri fabel Indonesia.

Selain Muchid, setidaknya ada tiga anggota Kokkang yang juga menggeluti komik. Mahfud Saiful yang memengaruhi Muchid berkomik-ria, pernah di Mandira. Sedangkan Tevi Hanafi dan Muhammad Nazrudin sedang menggarap buku komik dari Kanisius. Meski asyik di komik, ternyata mereka tak bisa meninggalkan kartun. "Jiwa saya kartun, meski komik tetap yang utama," kata Muchid.

Para kartunis Kokkang juga membuat desain kaos, papan nama dan baliho. Namun tak begitu berkembang karena kesulitan manajemen. “Kita butuh SDM yang maju secara manajemen. Artis sudah punya, tapi manajer belum kami temukan,” kata Itos.


JUMAT, 16 Oktobet 1998. Kesibukan tampak di lobi Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Beberapa karya kartun dipamerkan di lobi hotel, yang akan berlangsung hingga 18 Oktober. Kartun-kartun itu adalah karya para pemenang dan nominator Festival Kartun 1998.

Presiden B.J. Habibie batal membuka pameran. Ketua dewan juri GM Sudarta sibuk mencari tukang koran di depan hotel. Ia memperolehnya. Dua penjual koran kakak-beradik berusia belasan tahun digandeng GM Sudarta menuju lobi, kemudian duduk di kursi undangan. Beberapa saat kemudian, dua anak bersandal jepit itu memukul gong amat keras berkali-kali. Pameran telah dibuka. Para undangan termasuk beberapa diplomat tertawa.

Pemenang festival kartun bertema reformasi yang diselenggarakan oleh SIMA Communications ini bukanlah nama asing di dunia kartun. Juara I direbut oleh Wawan Bastian (Jakarta); juara II H.O. Dipayana (Jakarta); juara III Muhammad Najib (Jakarta); juara IV masing-masing Dendy Hery Hardono (Bandung), Jitet Koestana (Semarang), dan Muhammad Nasir (Jakarta). Mengalahkan 1.600 peserta.

Pemenang pertama, Wawan Bastian, sebelumnya tergabung dalam Kokkang. Dia pernah mengisi kartun-kartun di majalah Humor, dan pernah memenangi berbagai lomba kartun serta pernah mendapat penghargaan dari Jepang dan Belgia. Bastian menjadi pemenang dalam festival ini dengan karya berjudul “Reformasi Terpecah”. Di situ digambarkan para demonstran dengan membawa huruf masing-masing "R-E-F-O-R-M-A-S-I" berjalan sendiri-sendiri ke berbagai arah. Ada dua nama kartunis lain yang berasal dari Kokkang, yakni Najib dan Jitet Koestana.

Menarik, komentar GM Sudharta dan Wahyu Sardono sebagai dewan juri mengenai karya-karya yang dipamerkan itu. Seperti dilaporkan Kompas, mereka berpendapat, persoalan para kartunis tetap persoalan klasik, yakni kurang kaya dan kurang kuatnya gagasan. Meski dari segi gambar beberapa di antaranya menunjukkan goresan yang kuat.

Beberapa karya kartunis Kokkang, terutama yang masih tinggal di Kaliwungu, dianggap slapstick. Itu juga diherankan Syahrinur Prinka dari majalah Tempo. Menurutnya, meski ada beberapa yang bagus, tapi secara hasil masih standar. “Standar itu lucu. Daya pikir untuk lucu masih ada pada gambarnya, tapi bukan apa yang di belakangnya. Selain gambar, mestinya ada yang dibelakangnya,” ujarnya.

Prinka juga melihat belum ada karya Kokkang yang menonjol. “Dalam artian, belum ada karya yang menonjol karena individualitasnya kuat,” imbuh redaktur senior majalah Tempo ini.

Gag cartoon lebih menonjol ketimbang editorial cartoon. "Mungkin belum, dan belum ada sarana yang bisa memberikan masukan. Pembuat kartun dapat masukan. Pramono, GM Sudharta punya sarana, dapat masukan. Sedangkan mereka (Kokkang) bikin apa yang teringat, kirim," ujar Prinka yang penasaran dan tertarik untuk berkunjung ke Kaliwungu.

Kartunis tetap Suara Merdeka, Prie GS, memandang sisi eksklusivitas editorial cartoon yang tak tersentuh mereka karena ketergantungan media pada kartunis tetap. Dan alasannya masuk akal, media butuh untuk menciptakan maskot, dan kedua butuh silaturahmi teknis; policy media.

Namun ia juga melihat anggota Kokkang, bahkan yang senior pun masih pada strategi yang sama, bacaan dan konvensi-konvensi yang sama, tak beranjak dari tahun 1990-an di era gag cartoon. Padahal tantangan makin baru, dan selera humor juga mulai berubah. “Anggota Kokkang yang ke Jakarta yang tertolong,” ujar Prie GS yang kini memimpin redaksi Cempaka Minggu Ini (Suara Merdeka Group) sambil menambahkan gag cartoon hampir selesai, dan ruang media juga mulai berkurang.

Menurut Pramono R Pramoedja, untuk membuat editorial cartoon, paling tidak kartunis harus berjiwa wartawan. Dan itu tidak dimiliki kartunis Kokkang. Mereka hanya menangkap situasi politik, ekonomi dan sebagainya dari koran. “Kokkang baru pada segi-segi yang humoris, lucu dan menggelitik. Belum yang sakartis, meski tragis,” ujar Pramoedja.

Pramoedja juga menolak ketergantungan pada media. Kartun editorial juga bisa dibuat untuk pameran, koleksi, atau buku.

Tak semua kartun Kokkang slapstick. Priyanto Sunarto tak setuju generalisasi. Meski kartun yang dibuat rata-rata kartun genre atau lelucon sehari-hari tapi tak selalu slapstick (banyolan fisik). "Kan yang bikin sekampung dengan umur, status, profesi dan gender yang berbeda-beda," katanya.

Editorial cartoon, sambung dia, juga berkembang di antara anggota Kokkang. Ia menceritakan pengalamannya membuat pameran Kartun untuk Demokrasi (KuD) selama dua kali. KuD-1 tentang pemilihan umum dan KuD-2 tentang wakil rakyat, diikuti banyak peserta dari Kaliwungu. "KuD-2 malah 40% peserta dari situ. Dan hasil mereka juga bagus-bagus."

Sunarto membandingkan dengan kartun editorial di Jepang yang tersisih dari komik atau manga dan kartun-strip humor. “Di Indonesia masih lumayan diperhatikan. Ada kolom khusus kartun politik di media. Di Jepang orang sudah jenuh kerja, maunya mencari hiburan yang antara lain dengan kartun," kata dosen Institut Teknik Bandung ini.

Odios juga melihat kurangnya iklim apresiasi dan penghargaan di Indonesia yang bisa menopang kartunis hidup layak. Peran media juga amat terbatas. "Nah, kalau tidak ada yang memberi kesempatan, apa harus slonang-slonong. Kan lucu. Media itu penting karena itu ladangnya. Benih kacang tak mungkin tumbuh di udara," ujar Odios berkelakar. Ia kini bekerja di studio kecil di rumahnya; menulis buku, melukis, menulis cerita lucu untuk televisi dan sesekali menulis kolom untuk surat kabar/majalah.

Ide kartun anggota Kokkang bervariasi, dari yang sederhana hingga rumit yang membutuhkan perenungan. Ide bisa muncul ketika melihat kartun-kartun di media maupun katalog-katalog, yang kemudian dikembangkan dalam tampilan yang baru. Acap kali ide juga muncul ketika kartunis sedang dalam proses berkarya. Dari satu ide, muncul ide lanjutannya. Umumnya, tema-temanya berkutat seputar kehidupan sehari-hari. “Kartun itu humor yang universal, apa saja bisa diangkat menjadi kartun,” kata Itos.

Cara lainnya lewat perenungan ketika kekeringan ide atau mencari ide untuk mengikuti lomba yang cenderung tematis. “Meski tematik, katalog atau lomba di luar negeri juga kebanyakan gag cartoon, bukan kartun cerewet,” kata Abidin yang sudah memenangi lima penghargaan internasional.

Kartunis muda Kokkang menyebut editorial cartoon sebagai kartun cerewet yang harus dijelaskan dengan kata atau kalimat.


PADA 23 April 2000, dua anggota Kokkang membuat acara syukuran. Mereka menjamu teman-temannya dari Kokkang dengan hidangan nasi tumpeng dan jajan pasar. Sebuah acara yang rutin dilakukan kalau ada kartunis Kokkang yang mendapat hadiah uang cukup besar.

Keduanya adalah Zaenal Abidin dan Mohammad Muslikh yang baru saja memenangi The Yomiuri Shimbun International Cartoon Contest Tokyo Japan yang diselenggarakan koran Yomiuri Shinbun. Abidin meraih hadiah "Special Prize Selection Committee" dengan karyanya Pintu, dan berhak meraih hadiah: 200.000 atau sekitar Rp 13,4 juta. Sedangkan Muslikh memeroleh hadiah "Excellent Prize". Ia mengantongi uang 100.000 atau sekitar Rp 6,7 juta.

Kokkang selalu langganan menang di lomba kartun, baik nasional maupun internasional. Menurut Itos, sekitar 15 anggota Kokkang rutin meraih penghargaan. Mereka selalu ikut pameran atau lomba di Jepang, Korea Selatan, Turki, Belanda dan Belgia. Karya yang mereka kirim sesuai tema dan ketentuan penyelenggara; kekerasan, hak-hak asasi manusia, pemilihan umum, banjir, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Para anggota paguyuban kartunis ini sudah ikut lomba di luar negeri sejak 1986. Dan hampir tiap tahun ada saja kartunis dari kampung ini berhasil menggondol juara.

Hingga kini, setidaknya 100 penghargaan internasional sudah teraih. Jumlah hadiahnya lumayan besar, dan dalam mata uang asing pula. "Dengan memenangi berbagai macam lomba kartun di luar negeri, kami ikut berperan sebagai duta dalam diplomasi kebudayaan," kata Itos yang kini bekerja sebagai penilik kebudayaan di Departemen Pendidikan Nasional Kabupaten Kendal. Itos pernah meraih hadiah tujuh kali di luar negeri: Jepang (4), Turki (2) dan Korea Selatan.

Setiap tahun selalu ada undangan lomba dari mancanegara. Selain Yomiuri Shimbun, juga ada The Magna Cartoon Exhibition Hokaido Japan, Sport Chosun International Cartoon Contest Seoul of Corea, Internationaal Cartoonfestival Knokke Heist (Belgia) atau International Nasreddin Hodja Cartoon Contest (Turki). Namun kini, mereka selektif untuk mengikuti lomba. Acuannya adalah berapa hadiah yang panitia lomba sediakan. “Jepang wajib, lainnya sunnah,” kata Abidin, yang masuk Kokkang tahun 1994.

Karya-karya mereka juga menghiasi katalog-katalog kartun dalam dan luar negeri.
Dari kampung kecil di Jawa Tengah, Kokkang menjadi duta kesenian Indonesia di mancanegara. Nama Indonesia pun harum bak melati, tanpa mengeluarkan kocek. Sementara di Indonesia sendiri ruang mereka makin sempit. Setidaknya makin sedikit media yang menyediakan ruang kartun. “Kami sudah biasa dikemplang media. Pernah juga tak dibayar,” kata Itos yang pernah meraih Rotary Club Semarang atas pengabdian masyarakat terhadap kebudayaan, tahun 1997.

Artinya, masih panjang pencapaian yang mesti diraih. "Itu soal paradigma. Ketergantungannya terhadap media massa sangat besar," ujar Odios mencoba berotokritik.

Malam makin larut, dan hujan mulai kelelahan. Sambil memamerkan karya-karyanya yang berjumlah ribuan, Itos bersuara lantang tanpa kesan meratap. "Penghargaan terhadap kartunis di Indonesia amat kurang. Pemerintah hanya mendata dan tak pernah melakukan pembinaan. Ibarat mau merumput, saya tak dikasih sabit," katanya.*

Read More......

Thursday, March 01, 2001

Bukan Rosihan Biasa

ROSIHAN Anwar tak berubah gayanya. Ia eksentrik, nyleneh, dan terkesan suka menyelepelakan orang lain. Suaranya meledak-ledak, seraya mengangkat kaki di atas kursi, atau bahkan nangkring di atas meja. Yang penting lagi, ia tetap menulis. Karena itu, Rosihan menolak disebut “mantan wartawan”.

“Saya bukan mantan, tetap wartawan. Walaupun tak punya koran, saya merasa diri wartawan. Saya masih menulis di mana-mana.”

Setidaknya Rosihan mendapat jatah menulis kolom di tabloid hiburan Cek & Ricek. Bila tokoh nasional meninggal, pasti ada media yang menurunkan obituari sang tokoh dan penulisnya Rosihan Anwar. Ketika ada “ulang tahun” peristiwa bersejarah, tulisannya pun tak pernah absen.

Ya, Rosihan adalah saksi hidup sekaligus sejarah itu sendiri. Sejarah yang terbuka. Lembar buku sejarah itu terus saja membuka, seperti tertiup angin.

“Wartawan Indonesia sekarang lebih bagus ketimbang dulu,” katanya baru-baru ini, seraya membandingkan tingkat pendidikan wartawan maupun kemapanan media dimana mereka bekerja, yang tak sebanding dengan apa yang dialaminya pada 1940-an hingga 1960-an.

Sesekali suara batuk berat mengusiknya, dan ia segera menutupinya dengan selembar sapu tangan. Buku itu memang sudah lapuk. Ia sedang sakit.


ROSIHAN bersahabatan dengan bulan purnama, karena dibawah sinarnya lah ia dilahirkan. 10 Mei 1922, di Kubang Nan Dua, Sumatera Barat. Oleh Anwar gelar Maharadja Soetan, ayahnya, pegawai pamongpraja Hindia Belanda berpangkat Asisten Demang, ia diberi nama Rozehan Anwar. Kelak, nama itu lebih dikenal dengan Rosihan Anwar.

Selepas sekolah menengah, Meer Uitgebreid Lager Ondrewijs di Padang, Rosihan Anwar melanjutkan ke Algemene Middelbare School Westers Klassieke Afdeling (AMS A-II), jurusan Sastra Klasik Barat di Yogyakarta. Selama tiga tahun menimba ilmu di sana, ada dua nama yang selalu ia ingat; Dr Tjan Tjoe Siem, pemilik indekostnya, dan H.J. van de Berg, guru sejarahnya. Kedua orang itu lah yang mengusik alam pikiran Rosihan, memperkenalkannya pada ajaran sosialisme.

Van de Berg, menurut Rosihan dalam otobiografinya Menulis Dalam Air, adalah guru sejarah yang pandai bercerita secara menawan. Berg suka menyetensil uraiannya, yang kemudian membagi-bagikan kepada murid-muridnya. Salah satu uraiannya ialah tentang penulis sosialis Jerman, Karl Marx. Rosihan juga acap membaca buku-buku sosialisme milik Meneer Tjan, begitu Dr Tjan Tjoe Siem dipanggil.

Selama menuntut ilmu, Rosihan membaca dan berkenalan dengan sosialisme, tapi belum memahaminya. Hingga suatu ketika, di zaman revolusi, Rosihan mendapatkan sebuah pamflet politik. Sebuah buku kecil, seperti buku saku, tergeletak di meja redaksi Merdeka, dimana Rosihan bekerja sebagai wartawan. Ia ambil, dan membacanya. Pamflet itu berjudul "Perjuangan Kita", ditulis oleh Sutan Sjahrir. Isinya begitu dahsyat. Memancing kemarahan orang-orang politik, terutama yang pernah bekerja sama dengan pemerintahan balatentara Dai Nippon. "Inilah orang yang akan memperjuangkan tegaknya de menselijke waardigheid, martabat kemanusiaan di bumi persada Indonesia," pikirnya.

Setelah melahap habis, ditaruhnya kembali pamflet itu. Ia begitu terpesona. Merasa lebih terbuka melihat peta politik internasional. Kemudian ia membaca buku Sjahrir yang terbit di negeri Belanda, Indonesische Overpeinzingen (Renungan Indonesia).

Rosihan mulai mengenal Sjahrir ketika Sjahrir menjabat sebagai Perdana Menteri. Rosihan juga mulai bergaul dengan Soedjatmoko yang bertugas di Kementerian Penerangan. Juga Sudarpo Sastrosatomo yang mengurusi hubungan dengan koresponden-koresponden asing. Dan Subadio Sastrosatomo, anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat. Ketiganya dikenal sebagai Sjahririest atau orang-orang Sjahrir.

Pertengahan 1946, bersama Koko --begitu Soedjatmoko disapa-- yang mewakili majalah Kementerian Penerangan Het Inzicht dan Rinto Alwi dari Ra'jat, Rosihan berangkat ke Makassar untuk meliput Konferensi Malino yang diadakan Letnan Gubernur Jenderal Dr. H.J. Van Mook. Mereka diinapkan di Oranje Hotel, dengan lampunya yang redup-redup. Rosihan dan Soedjatmoko ditempatkan dalam satu bungalow. Penyesuaian dan pertukaran gagasan, meski berada di kakus sekalipun. Di atas kali kecil yang airnya mengalir deras, pagi-pagi Rosihan dan Koko nongkrong sebelah-menyebelah. Mengobrol dari soal remeh-temeh, politik, sastra hingga filsafat.

"Saya lihat kamu seperti seorang yang tegak di atas jari-jari kakinya agar tampak besar. Kamu tampak arogan," kata Koko.

"Sama. Saya juga melihat kamu sebagai orang yang angkuh," balas Rosihan.

“Eksistensialisme itu apa, Ko?” tanya Rosihan.

"Eksistensialisme ialah suatu filsafat yang menyatakan kebebasan manusia perorangan," jelas Koko.

"Kalau itu saya akur, Ko," ujar Rosihan sambil membebaskan tubuhnya dari kotoran agar jatuh ke selokan.

Dari toilet sessions ini pula muncul gagasan perlunya menerbitkan sebuah majalah politik dan budaya dalam bahasa Indonesia.

“"Ko, sudah saatnya kita membuat majalah yang bisa digunakan sebagai sarana pendidikan politik masyarakat," ujar Rosihan.

"Iya, kita sudah bosan dengan propanda Belanda melalui sarana-sarana kementerian penerangan," timpal Koko.

Hubungan dengan Koko, Soebadio, Soedarpo, dan Sjahrir membuat Rosihan makin dekat dengan kubu sosialis ini. Sesekali ia datang ke rumah Sjahrir di Jakarta untuk berdikusi mengenai sosialisme. Tapi Rosihan enggan menjadi anggota Partai Sosialisme Indonesia, partai politik yang pada tanggal 12 Pebruari 1948 didirikan oleh Sutan Sjahrir bersama Sjahririest. Rosihan memilih bersikap independen, sebagai wartawan.


DESEMBER 1946, Rosihan disibukkan persiapan pendirian majalah politik dan budaya. Segala kebutuhan dipersiapkan. Bantuan datang dari Kementerian Penerangan berupa sejumlah kertas lembaran dan uang tunai sebesar Rp 3.000. Lumayanlah, cukup untuk menerbitkan empat nomor pertama dengan tiras 3.000 eksemplar, format tabloid, 12 halaman. Diputuskan, nama majalah mingguan tersebut adalah Siasat. Rosihan Anwar ditunjuk sebagai pemimpin redaksi, sedangkan jajaran dewan redaksi diisi oleh Soedjatmoko, Sutomo, Gadis Rasid dan A.B. Lubis, dengan dibantu tenaga tata usaha sebanyak empat orang. Siasat terbit pada 4 Januari 1947.

Dalam waktu tiga bulan tiras majalah ini meningkat 12.000 eksemplar. Meski tergolong peningkatan luar biasa, Siasat lebih menonjolkan sisi idealisme. Rosihan butuh perahu lain untuk ia nahkodai, secara lebih bebas. Kesempatan terbuka ketika pada 1948 ia diberi tahu Soemanang Soerjowinoto bahwa R.H.O Dhuanedi memiliki dana dan ingin menerbitkan koran yang membawa suara "kaum kiblik", pendukung perjuangan RI di Jakarta yang telah diduduki Belanda sejak clash militer ke-1. Syaratnya sederhana. Nama depan koran harus dengan huruf P, sama dengan nama depan Pemandangan.

Rosihan mengusulkan nama Pedoman. Djunaedi tak keberatan. Begitu juga ketika Rosihan memboyong orang-orang Siasat ke Pedoman.

Persiapan untuk Pedoman pun dilakukan. Di sebelah kanan masthead dibuat lingkaran yang ditutupi oleh lima azas, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial dan Kemanusiaan. Pada halam pertama sebelah kanan atas dipasang gambar tiga kolom dari bintang film Sofia Waldy dalam adegan film Di Pinggir Kali Citarum.

Sebuah “koran kiblik” memasang gambar wnita cantik! Nyleneh. Seperti disebutkan dalam tajuk memeringati ulang tahun Pedoman ke-4, alasan pemasangan itu karena, "Sofia waktu itu manis. Pembaca surat kabar di negeri mana juga biasanya suka pada gambar wanita-wanita cantik. ... dan gambar pemimpin-pemimpin republik sudah terlalu keseringan dipasang di surat kabar-surat kabar republik." Djunaedi tak puas dengan gambar itu. Apa lacur, koran sudah mulai dicetak. Nomor perdana harian Pedoman pun terbit pada 29 November 1948.

Pendirian Pedoman menurut editorialnya, “Laki-laki dan perempuan yang mengasuh surat kabar ini akan berdaya-guna terus untuk berpegang pada sifat-sifat sebagai surat kabar umum, memisah-misahkan mana yang facts, mana yang opinion, tidak mewarnai berita, tapi tidak pula berarti tanpa pendapat dan pendirian yang tegas, sebagaimana terbukti dan terbayang dalam kolaman tajuk rencana serta pojoknya.”

“Berpuluh-puluh tahun yang lampau telah dikatakan bahwa tugas dan fungsi surat kabar adalah to comfort the afflicted and to afflict the comfortable atau dalam bahasa kita "menghibur mereka yang sengsara dan mencambuk mereka yang keenakan".

Begitulah. Sebuah koran telah lahir di Indonesia, menambah jumlah koran kaum kiblik yang ikut berjuang untuk kemerdekaan. Sekali ia dibredel oleh Regerings Voorlichtings Dienst atau Jawatan Penerangan Belanda Januari 1949. Pasalnya, Pedoman karena memuat berita pidato radio Menteri Luar Negeri (darurat) Indonesia Mr Maramis dari New Delhi, yang berisi anjuran agar kaum republiken meneruskan perjuangan kemerdekaan dengan tekad yang bulat. Setelah enam bulan lumpuh, Pedoman terbit kembali. Tanpa Djunaedi yang tak begitu antusias meneruskan peranannya sebagai penerbit.

Rosihan pun mengembangkan Pedoman. Tahun 1950 Pedoman menjadi pusat Indonesian Press Service, yang menurut Rosihan dalam Ihwal Jurnalistik, merupakan sindikat pertama dalam persuratkabaran Indonesia di zaman kemerdekaan yang boleh dibilang berhasil. Sindikat itu menyebarkan tulisan-tulisan bertema politik, ekonomi, militer dan sebagainya, secara serentak di lima harian; Pedoman (Jakarta), Pikiran Rakyat (Bandung), Suara Rakyat (Surabaya), Suara Merdeka (Semarang) dan Mimbar Umum (Medan). Suatu cara yang lazim dipakai pers luar negeri untuk mempermudah dan membantu kesulitan mendapatkan tulisan bermutu. Untuk karangan-karangan tertentu Haluan (Padang) dan Pedoman Rakyat (Makassar) memuatnya. Kolomnis-kolomnisnya antara lain Dr Sumitro Sjojohadikusmo, Dr Saroso, Dr Moh Sadeli, Kol A.H. Nasution, Letkol Rakhmat Kartakusumah dan Usmar Ismail.

Pelan tapi pasti, oplah Pedoman melesat. Mulai dari 3.000 eksemplar pada 1949, 5.000 (1950), 13.500 (1951), 15.600 (1952), 22.000 (1953), 27.000 (1954), 38.000 (1955), 48.000 (1956) hingga menjadi 53.000 (1960 dan 1961), dan menjadikan Pedoman sebagai koran beroplah terbesar.

Dari sukses itu, Pedoman melebarkan sayap. Dibuatlah "adik-adik penerbitan" Pedoman yang kemudian oplahnya juga tak kalah besar. Tahun 1961 misalnya, seperti dicatat Daniel Dhakidae dalam The State, The Rise of Capital and The Fall of Political Economy of Indonesia News Industry, tiras bulanan Pedoman Anak mencapai 45.000, dwimingguan Pedoman Sport 40.000, bulanan Pedoman Wanita 15.000 dan Pedoman Minggu 42.000.

Keberhasilan itu menjadikan Pedoman sebagai raja media. Mengentalkan istilah personal journalism, yang Rosihan sendiri berusaha menghapus stempel itu. Tapi orang kadung menyebut Pedoman adalah Rosihan Anwar, Rosihan Anwar adalah Pedoman. Seperti BM Diah di Merdeka, seperti Mochtar Lubis di Indonesia Raya.

Ketika Pedoman diberi bentuk hukum berupa Perseroan Terbatas (PT), Rosihan mengusulkan agar hak milik atas surat kabar ini dibagi sama rata. Masing-masing wartawan dan karyawan mendapat jumlah saham yang sama. "Sikap demokratis ini mengikuti ajaran sosialis. Saya tidak mau diperlakukan lebih istimewa dari yang lain dalam hal kepemilikan saham perusahaan, sehingga terbentuk sikap kolektif dan koperasi," kilahnya.

Di kantor, Rosihan --yang acap dipanggil Bung Cian dan Haji Waang -- lebih mirip seniman. Ia jarang mengenakan kemeja, apalagi dasi. Sebuah sapu tangan melingkar di di leher. Di kakinya terinjak sepotong sandal jepit.


PADA awal 1955 suasana politik menghangat. Kabinet silih berganti. Pemilihan umum yang sudah dipersiapkan jauh-jauh tahun, akan digelar. Inilah pesta demokrasi kali pertama setelah Indonesia merdeka.

Partai sibuk, koran juga sibuk. Partai politik giat melakukan propaganda melalui media masing-masing. Yang tak punya koran, dekati pemimpin koran umum. Warna koran menjadi pelangi. Ada merah, hijau, putih. Semua koran terhanyut euforia, sehingga soal fairness nyaris terpinggirkan. Pers akhirnya cenderung berpikir dalam kotak-kotak kepartaian.

Dalam tajuk rencana Pedoman "Objektivitas dalam pers", 9 Pebruari 1955, Rosihan menuliskan kegelisahannya. Sekaligus meyakinkan pembaca Pedoman bahwa "Surat kabar ini adalah surat kabar umum yang menghargai terpilihnya ukuran-ukuran objektivitas dalam pers".

Namun siapa yang tak tergoda dengan iklim politik semacam itu?

Rosihan memutuskan masuk politik. Ia mengira bisa bisa menjadi wartawan sekaligus politisi. Bersama Koko, dia menandatangani secarik kertas yang berisi pernyataan "Bahwa yang bertanda tangan di bawah ini adalah anggota Partai Sosialis Indonesia". Tanpa kop Partai Sosialis Indonesia, tanpa tanda tangan Sjahrir. Setelah menandatanganinya, Rosihan menyerahkannya kepada Soedjatmoko, yang kemudian membawanya. Rosihan menjadi anggota partai untuk memenuhi formalitas dan ketentuan sebagai calon anggota Konstituante. "Konstituante itu kan soal gelanggang menggadu gagasan, mengadu ide, pikiran. Konstitusi nih yang akan kita bicarakan. Saya tertarik. Tak ada obsesi kekuasaan."

Meski sudah menjadi anggota, Rosihan tak pernah mengikuti rapat partai. Kampanye, apa lagi. "Sesudah menandatangani secara formal itu saya nggak pernah ikut anggota partai. Karena saya beranggapan, Kamu toh yang mesti berterima kasih sama saya. Nggak bisa (saya) diinjak-injak oleh disiplin partai. Tanpa mengeluarkan uang satu sen pun dapat koran, koran nomor satu lagi di Indonesia. Tirasnya paling besar; 40.000," kata Rosihan, bangga.

Tak sedikit orang seperti Rosihan dalam PSI. “Orang-orang seperti Rosihan dibutuhkan, dan efektif untuk gerakan sosialis. Karena Rosihan mandiri, bebas, bisa menulis, mengambil sikap menurut kesadaran dia sebagai seorang wartawan yang berbobot. Dia tidak bisa dikendalikan. Paling diajak omong, ia ambil sarinya, jadi berita. Kalau didisiplinkan, efisiensinya jadi hilang,’ ujar salah seorang aktivis Partai Sosialis Indonesia, Murdianto.

Dengan masuknya Rosihan, jajaran redaksi Pedoman yang menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia bertambah. Lainnya adalah A.K. Lubis (pemimpin perusahaan) dan Sanjoto Sastromihardjo (wakil pemimpin redaksi). Sanjoto ikut kampanye di beberapa tempat di Jakarta. Begitu juga A.K. Lubis. Keduanya pengurus Partai Sosialis Indonesia cabang Kebayoran. Masuknya Rosihan menjadi anggota PSI makin memperkuat penyebaran dan perjuangan sosialisme lewat Pedoman. “Dia (Sjahrir –red.) ngerti sendiri, saya juga ngerti sendiri,” ujar Rosihan.

Saat pemilihan umum mendekati hari H, beberapa koran menyiarkan dukungan terhadap partai masing-masing. Pada 26 September 1955, secara mengejutkan keluar dukungan Pedoman terhadap Partai Sosialis Indonesia dalam tajuk rencana "Pilihan Kita: PSI". Disebutkan, dalam senantiasa membela kepentingan umum dan kemajuan rakyat kecil, Pedoman melihat bahwa "partai yang paling positif pendiriannya mengenai bermacam soal yang meliputi tanah air dewasa ini dan juga jelas memberikan gambaran mengenai perspektif masa depan dan cara-cara mewujudkannya adalah PSI".

Kebijakan pemberian dukungan terhadap Partai Sosialis Indonesia adalah inisiatif Rosihan, tanpa dibicarakan di kalangan redaksi. Menurutnya, dalam opini, mendekati hari pemilihan umum harus tegas dinyatakan.

Rosihan menjadi anggota partai begitu saja. Tak ada dilema. Dan toh ia beranggapan bahwa Pedoman tetap koran umum, bukan koran partai. Bagi wartawan Pedoman non-Partai Sosialis Indonesia seperti Amir Daud pun tak terkejut dengan pemunculan tajuk itu. “Tidak jadi problem. Karena semua tahu bahwa ini bukan koran partai, kalau simpatisan PSI memang benar. Dan lagi hampir semua (wartawan Pedoman) itu pecinta PSI, walaupun bukan orang partai,” kata Daud.

Ada 60 tanda gambar peserta pemilu yang mesti mereka pilih. Baik partai politik, organisasi profesi maupun perorangan. Tak seperti dikhawatirkan banyak orang, pemilihan berlangsung aman dan tertib. Tak ada kegaduhan atau huru hara di Jakarta Raya. Hasil pemungutan suara cukup mengejutkan; PSI kalah telak. Ia hanya memeroleh lima kursi di parlemen. Kursi terbanyak diperoleh Partai Nasional Indonesia dan Msayumi (57 kursi), Nadhlatul Ulama (45) dan Partai Komunis Indonesia (39).

Rosihan kecewa. Ia kemudian menganalisa sebab kekalahan itu. Antara lain dalam bentuk kritik untuk Partai Sosialis Indonesia seperti pemuatan tajuk rencana Nieuwsgier yang berjudul "Tekort ener elite" (kekurangan suatu elit), 6 Oktober dan komentar majalah Belanda Groene Amsterdammer yang menyatakan bahwa PSI memperlihatkan lakon yang sedih, een leger van bekwage officieren, zonder soldaten (suatu tentara dari perwira-perwira cakap, tanpa prajurit-prajurit).

Orang masih sibuk menanti pengesahan hasil pemilu. Koran masih memuat kecurangan-kecurangan pemilu, perbedaan suara, dan sebagainya. Tak terasa usia Pedoman bertambah. Direktur Lembaga Pers dan Pendapat Umum Marbangun yang diminta untuk memberi sambutan "Pedoman sedang menjadi journal d'information?" menulis ambivalensi Pedoman sebagai alat pendukung sosialisme (Partai Sosialisme Indonesia) dengan sebagai sebuah perusahaan dagang. Marbangun menganggap Pedoman sudah menjadi alat propaganda partai sebagai “party bound” atau surat kabar partai pada hari-hari menjelang pemilu. “ Hal tersebut sudah tentu sama artinya dengan "kleur bekennen". Kami agak sangsi, apakah pada pemilu yad ini Pedoman kembali akan mengorbankan kemerdekaan jurnalistiknya... Ini menurut pendapat kami bagi Pedoman merupakan suatu dilema.”

Sambutan Marbangun berbalas. Dalam tajuk rencana "Pedoman 7 Tahun" pada edisi itu juga Rosihan membantah dan menjawab keraguan Marbangun. Bagi dia, untuk menjadi “koran partai”, koran itu harus tunduk sepenuhnya kepada politik partainya, mendapat keuangan dari partai, dan sebagainya. Pedoman tidak demikian. “Pedoman dapat mengatakan kepada Saudara Marbangun: Tiga hari sebelum hari pemungutan suara untuk DPR kita menulis tajuk rencana yang berkepala: "Pilihan Kita: PSI". Maka untuk pemungutan suara guna Konstituante nanti pendirian itu masih tetap berlaku, dan kita tegaskan lagi: "Pilihan Kita: PSI".

Penegasan sikap itu disertai pemasangan tanda gambar Partai Sosialis Indonesia di sudut atas halaman muka, terkadang diimbuhi tulisan "Dalam pemilihan Konstituante, Saudara tusuklah tanda gambar ini (bintang, lambang Partai Sosialis Indonesia)” seperti dimuat 29 Nopember. Kemudian Pedoman menegaskan kembali sikapnya dalam tajuk "Konstituante: Pilihan Kita PSI", 12 Desember, yang disebutkan bahwa itu menuruti suatu kebiasaan jurnalistik yang baik. Mengapa Pedoman memilih partai yang kalah dalam pemilihan umum? "... di dalam konstelasi kepartaian sehabis pemilu nanti maka justru partai-partai kecil dapat memainkan pernan yang tidak kurang pentingnya. Partai-partai besar didalam merumuskan suatu program seringkali terlalu harus mengingat kepada "sayap" yang harus disatukan didalam barisannya. penyakit yang demikian tidak ada pada suatu partai kecil seperti PSI."

Pilihan sikap Pedoman itu menjadi bahan ejekan koran lain, suatu hal yang biasa di zaman pers partisan. Suluh Indonesia menganggap Pedoman “wis entek entute”. Alasannya Pedoman adalah bulat-bulat koran Partai Sosialis Indonesia. Karena Partai Sosialis Indonesia gagal besar dalam pemilihan umum, begitu juga Pedoman. Tajuk rencana Pedoman, 14 Desember, menjawabnya dengan tulisan, “menghadapi pemilihan Konstituante, kami tegaskan Pedoman durung entek entute dan begitu pula halnya PSI. (Yakin)”.

Keyakinan yang tak berbuah. Dalam pemilihan Konstituante Partai Sosialis Indonesia hanya memeroleh 10 wakil di Konstituante. Rosihan gagal menjadi anggota Konstituante, sedangkan Soedjatmoko lolos.


SESUDAH pemilihan umum, suasana politik tetap hangat. Pemimpin sipil dan militer di daerah melakukan “pembangkangan” terhadap pemerintah pusat. Beberapa daerah bergejolak, menuntut pembelakuan otonomi daerah. Kebijakan ekonomi pemerintah yang kurang menguntungkan pribumi, dipertanyakan. Pernyataan-pernyataan anti-Cina meluap. Korupsi merajalela.

Sebuah peristiwa yang menjadi makanan empuk pers adalah Peristiwa 13 Agustus 1956. Peristiwa yang terjadi di Percetakan Negara itu melibatkan beberapa pejabat tinggi pemerintah, seperti Piet de Queljre dan Lie Hok Thay, direktur jenderal dan wakil direktur jenderal, serta Sjamsudin St. Makmur, bekas menteri penerangan.

Menteri Penerangan Sudibyo yang sebelumnya sudah diberitahu secara resmi keadaan Percetakan Negara menyatakan tak bisa mengatasi dengan alasan politis. Para pemuda yang tak senang melihat keadaan itu, menculik Lie Hok Thay, dan kemudian menyerahkannya ke kejaksaan agung. Hasil pemeriksaannya cukup menggemparkan; Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani terlibat.

Panglima TT II dari divisi Siliwangi yang sedang melancarkan pemberantasan korupsi, mengeluarkan perintah penahanan Abdulgani. Abdulgani ditangkap CPM, tapi dilepaskan kembali setelah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan Kepala Staf Angkatan Darat A.H. Nasution campur tangan. Dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid IV, Nasution menulis, waktu akan ditangkap Abdulgani dan istrinya menelpon Perdana Menteri Ali, yang segera menghubungi Nasution. Ali mengatakan, “Bagaimanapun juga KSAD harus bertindak, tak bisa seorang menteri ditangkap begitu saja".

Kasus tersebut dilansir secara besar-besaran oleh pers, terutama oleh Pedoman dan Indonesia Raya. Terlebih pemerintah tampaknya tak punya kemauan politik untuk mengusut kasus tersebut. Untuk meredam pemberitaan pers tersebut Mayor Jenderal Nasution selaku Kepala Staf Angkatan Darat mengeluarkan Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat pada 14 September 1956 tentang larangan untuk mengecam atau menghina pembesar-pembesar pemerintah. Tapi nyamuk pers makin berdengung.

Terhadap peraturan tersebut, Pedoman memuat karikatur "Heil Ali! Heil Nasution!" yang merupakan ucapan Bung Tomo atau Sutomo ketika mengajukan pertanyaan kepada pemerintah selaku anggota DPR dari fraksi Partai Rakyat Indonesia. Sutomo, seperti dimuat Pedoman 19 September, menanyakan kenapa Menteri Penerangan Sudibjo menjawab agar ditanyakan kepada Kepala Penerangan AD ketika ditanya apakah Kitab Undang-undang Hukum Pidana tak cukup lagi oleh pemerintah untuk menghadapi pers. “ Dengan mengerahkan kekuasaan militer dalam persoalan yang tidak bersifat militer pemerintah malahan menunjukkan bahwa zonder kekuatan militer pemimpin-pemimpin Indonesia (dalam hal ini menteri-menteri sebagai politikus) tidak dapat mengatasi keadaan yang sampai detik ini hanya bersifat politik saja.”

Peraturan pers itu juga dipertanyakan beberapa anggota parlemen. Anggota parlemen Siauw Giok Tjhan seperti dikutip Pedoman (19/1) menamakan peraturan itu sebagai “mau menyembelih ayam dengan meriam”.

Empat hari kemudian Rosihan Anwar diperiksa dan didengar keterangannya oleh Corps Polisi Militer di Jalan Guntur. Interogasi juga dilakukan terhadap Mochtar Lubis (Indonesia Raya) dan Naibaho (Harian Rakyat) oleh Corps Polisi Militer detaseme Jakarta Raya atas perintah Komandan Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya Mayor Djuhro selaku pemegang kekuasaan Staat van Orloog (SO) atau keadaan bahaya perang.

Rosihan datang di markas Corps Polisi Militer. Pemeriksaan berlangsung dari pukul 09.00-13.00 dan 17.00-22.00 sekitar Peristiwa 13 Agustus, Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat dan karikatur-karikatur yang dimuat oleh Pedoman. Tentang berita sekitar Peristiwa 13 Agustus, Rosihan menyatakan ia yang bertanggung jawab atas segala pemberitaan yang dimuat dalam Pedoman. Rosihan juga menjelaskan berita-berita sekitar penangkapan yang hendak dijalankan kepada Roeslan Abdulgani, agar pihak Corps Polisi Militer memahami bagaimana jadinya berita itu sampai dimuat dalam Pedoman dengan tidak menyebut sumber berita atau informannya, sesuai dengan kode etik jurnalistik.

Pertanyaan mengenai Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat oleh Rosihan Anwar dijawab bahwa itu membatasi kemerdekaan pers dan bertentangan dengan Undang-undang Dasar Sementara pasal 19. Sedangkan karikatur "Heil Ali! Heil Nasution!" merupakan persetujuan Rosihan terhadap anggota parlemen Sutomo yang mengajukan pertanyaan kepada pemerintah.

Usai pemeriksaan, Rosihan diperintahkan untuk menghadap Letnan Kolonel Chandra Hasan, Kepala Bagian Inteligence Staf Umum Angkatan Darat pada 20 September. Begitu juga Mochtar Lubis. Namun keduanya sudah kadung punya rencana, menghadiri seminar International Press Institute di Zurich. Karena perintah lisan, sehingga tak punya dasar hukum, dan perintah tertulis tak juga datang, mereka memutuskan berangkat ke Zurich. Apalagi tiket dan sebagainya sudah siap. 20 September 1956, Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis berangkat ke Zurich bersama pemimpin redaksi yang lain: BM. Diah (Merdeka), Supardi (Suluh Indonesia), S. Tasrif (Abadi), Wonohito (Kedaulatan Rakyat), dan Adam Malik (Antara). Di lapangan terbang Kemayoran mereka tak menemui halangan dari pihak militer sekalipun.

Dalam penerbangan di atas pesawat terbang KLM, berjam-jam di atas laut, menyeberangi Samudera Hindia, terbersit gagasan untuk membuat suatu kesepakatan. “Kami 7 wartawan Indonesia, dalam melewati garis khatulistiwa bersama ini dengan tekad yang bulat menentang bersama-sama setiap percobaan dari pihak manapun untuk mengekang kemerdekaan pers Indonesia, karena kemerdekaan pers itu adalah satu hak asasi manusia merdeka yang telah ditebus dengan darah dan jiwa patriot Indonesia.”

Dari Zurich, Rosihan dan Lubis tak langsung pulang. Ditemani Adam Malik dan Tasrif, mereka melakukan beberapa kunjungan santai ke beberapa negera, antara lain Belanda dan Italia, sambil menunggu keadaan politik mereda.

Keempat wartawan itu kembali ke tanah air dan tiba di Kemayoran pada 19 Oktober 1956, dengan kesiapan mental akan disambut oleh petugas-petugas militer untuk langsung dibawa ke penjara. Tak terjadi. Hanya seorang petugas kejaksaan agung yang datang memberitahu bahwa mereka boleh pulang ke rumah. Selebihnya wartawan dalam negeri dan koresponden asing yang mengerubuti mereka. Rosihan Dan Mochtar Lubis kepada pers di lapangan terbang Kemayoran mengatakan, “Kami akan berjuang mempertahankan kemerdekaan pers dan selama Peraturan KSAD No. 001/9/PKM/1956 itu masih berlaku di Indonesia, maka kami sebagai wartawan akan tetap menentangnya.”

Selanjutnya, dalam statemen, ditegaskan sikap mereka yang akan memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan pers apapun akibatnya, serta penolakan Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat. Statemen itu juga berisi klarifikasi kepergian mereka ke luar negeri. Bahwa kepergian mereka telah diketahui sepenuhnya oleh kejaksaan agung.

Keesokan harinya, Rosihan mendapat panggilan agar datang di kantor Corps Polisi Militer di Jalan Merdeka Timur untuk melanjutkan pemeriksaan yang belum selesai. Rosihan datang, dan menandatangani berita acara pemeriksaan. Selesai. Namun genderang perang sudah ditabuh. Surat kabar Rosihan dan ketiga wartawan lainnya memuat laporan "pedas" tentang tindak-tanduk rombongan Presiden Soekarno sewaktu berada di luar negeri. "Laporan 4 wartawan kepada seluruh rakyat (tentang kelakuan anggota rombongan Presiden Soekarno)", yang berfoya-foya dan bermewah-mewahan bersama perempuan-perempuan cantik dan kendaraan-kendaraan mewah, dimuat Pedoman pada 22 dan 23 Oktober 1956.

Kecuali untuk Mochtar Lubis, kasus sekitar Peristiwa 13 Agustus yang menimpa Rosihan Anwar tak dilanjutkan. Mochtar Lubis harus menghadapi kenyataan pahit; sekitar sembilan tahun mengalami tahanan kota dan tahanan rumah.

Peristiwa 13 Agustus membuat Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengajukan permohonan berhenti pada bulan Maret 1957, bertepatan dengan diumumkannya keadaan perang dan darurat perang. Kebebasan pers resmi ada dalam bahaya paling serius sejak kemerdekaan Indonesia.


DI Sumatera dan Sulawesi gejolak ketidakpuasan terhadap Jakarta belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Bahkan makin memanas. Dinas rahasia Amerika Serikat, Central Intelligence Agency, dikerahkan oleh Washington untuk membantu pasukan di Sumatera dan Sulawesi. Mereka membantu persedian senjata, uang, latihan militer bahkan pilot bayaran untuk menerbangkan pesawat terbang menyerbu kedudukan strategis tentara Indonesia di Sulawesi dan Maluku.

Bantuan Amerika membesarkan hati para perwira pemberontak maupun rekan politisi sipil mereka, antara lain ekonom Soemitro Djojohadikusumo, untuk mengumumkan pengambilalihan kekuasaan di daerah.

Pemerintah Jakarta memberlakukan keadaan perang dan darurat perang di seluruh negeri. Ini menempatkan posisi militer pada posisi yang vital. Tapi darurat perang ini menempatkan pers dalam posisi tak menguntungkan. Tiap komando militer bisa seenaknya memberlakukan peraturan pers di daerah masing-masing.

Bulan Maret 1957, Penguasa Militer Djakarta Raya Letkol. Dachja mengeluarkan peraturan tentang larangan penyiaran berita-berita militer yang tak bersumber resmi dari penerangan angkatan darat atau komando militer Jakarta. Wartawan bekerja dalam suasana yang sangat sulit.

Peraturan itu mulai memangsa korban. Pukul 14.00, 20 April, atas perintah Penguasa Militer Djakarta Raya, surat kabar Pedoman dan Bintang Timur dibredel selama 3 hari dari 23 April sampai 25 April 1957. Tapi menurut keterangan resmi Komando Militer Kota Besar diketahui bahwa pembredelan Pedoman disebabkan karena pemuatan berita: “Dua utusan Dewan Banteng ditahan di Jakarta” tanggal 16 April 1957.

Isi berita tersebut, yang dimuat di halaman dua, adalah: “Lts. Nasution dan Lts. Sinaga keduanya utusan dari Padang untuk menyampaikan surat Ketua Dewan Banteng Letkol. Achmad Hussein kepada KSAD Nasution, telah ditahan oleh CPM pada hari Minggu. Menurut keterangan yang diperoleh setibanya di Jakarta kedua orang utusan itu telah lebih dulu melaporkan diri kepada KMKBDR. Alasan penahanan masih belum diketahui.”

Pedoman belum diperbolehkan terbit ketika pada tanggal 25 April 1957 Rosihan Anwar diundang Corps Polisi Militer untuk diperiksa karena pemuatan berita bertajuk "Informan2 KMKB yang Partikelir Menipu, Memeras, dan Pura2 Menolong" pada tanggal 18 Pebruari. Berita tersebut sebenarnya diambil dari berita bulletin Antara tanggal 16 Pebruari berkepala "Pembantu2 KMKB yang terdiri dari Orang2 Partikelir dihapus". Karena itu, redaksi Antara juga diperiksa.

Rosihan menjelaskan, pengolahan berita dari setiap kantor berita menggunakan dasar bahwa setiap surat kabar mempunyai pribadinya sendiri. Ia berhak memilih berita atau bagian berita mana yang ia perlukan. Kepala berita Pedoman juga tidak dimaksudkan untuk menghina korps informan Komando Militer Kota yang sah.

Pembredelan besar-besaran dilakukan Penguasa Militer Djakarta Raya untuk meredam pemberitaan pers saat berlangsung Musyawarah Nasional yang mempertemukan wakil-wakil tertinggi di kalangan militer dan sipil dari semua daerah, termasuk daerah-daerah yang memberontak. Dua hari sebelumnya, Penguasa Militer Djakarta Raya mengeluarkan seruan agar pers mau membatasi diri berdasarkan pengumuman penguasa militer Djakarta Raya tertanggal 3 September mengenai pemberitaan di sekitar Munas.

Pembredelan pertama menimpa Bintang Timur, Harian Rakyat dan Kantor Berita Antara. Redaksi Pedoman menerima press release dari Komado Militer Kota Besar Djakarta Raya mengenai pembredelan tersebut, dan bisa memahami karena ketiga media itu telah menyiarkan pembicaraan Presiden Soekarno dengan Wakil Presiden Hatta yang dihadiri Perdana Menteri Djuanda beserta 3 wakilnya dan Kepala Staf Angkatan Darat. Peringatan staf kehakiman Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya agar jangan mengeruhkan suasana juga diikuti secara sungguh-sungguh.

Anehnya, tetap saja Pedoman kemudian kena bredel. Tentu saja itu menimbulkan tanda tanya besar: "Apa yang terjadi di Jumat malam", saat pengumuman pembredelan kedua dikenakan terhadap 10 organ pers lainnya, “kita tidak tahu”. (”Pembreidelan pers di ibukota”, tajuk rencana Pedoman, 16/9). Redaksi Indonesia Raya saja, seperti ditulis Mochtar Lubis dalam Catatan Subversif-nya menerima larangan melalui telepon, hingga percetakan koran hari Sabtu terpaksa dihentikan.

Penguasa militer di Jakarta tak mau menanggung risiko menghadapi surat kabar-surat kabar yang biasanya bersuara blak-blakan. Praktis, 10 harian dan 3 kantor berita kena bredel selama Munas. Keesokan harinya, pukul 20.00, juru bicara Penerangan Angkatan Darat Pusat Pringgadi mengumumkan pada para wartawan yang hadir mengikuti Musyawarah Nasional, pembredelan 10 harian dan 3 kantor berita telah dicabut. “Ini sesuatu lelucon yang sama sekali tidak lucu,” tulis Mochtar Lubis.


SELASA, 24 September 1957, Pengadilan Negeri Istimewa tampak lengang. Padahal hari itu ada tiga orang wartawan yang akan disidang. Mungkin bukan hal menarik. Di pengadilan ini menumpuk ratusan perkara pers. Tiga wartawan itu adalah Tahsin, penanggung jawab Harian Bintang Timur, Junus Lubis, penanggung jawab harian Pemuda, serta penangung jawab Harian Pedoman, Rosihan Anwar.

Tahsin dituduh melanggar peraturan militer no 6, yakni menyiarkan berita yang tak berasal dari instansi yang berhak. Antara lain ”Apa itu Batalion Sumatera?”, “Negara Sumatera diproklamirkan 17/4” dan “Tentara partikelir ke arah pemberontakan?”. Rosihan juga terkena pelanggaran yang sama, karena memuat tulisan “Dua utusan Dewan Banteng ditahan di Jakarta”. Serdangkan Junus Lubis dituduh melanggar peraturan mengenai batas waktu pemilu untuk DPRD, yakni dengan mengutip berita dari Harian Rakyat.

Tepat pukul 09.00 sidang digelar. Di dalam ruangan hanya terdapat lebih kurang selusin orang, terdiri dari jaksa dan panitera, dua orang Corps Polisi Militer, tiga orang terdakwa dan satu-dua wartawan. Rosihan duduk di kursi pesakitan. Sidang dimulai dengan tanya jawab antara hakim dan terdakwa. Hakim menanyakan bagaimana cara kerja di redaksi, kemudian ditutup dengan sebuah pertanyaan:

‘’Menurut saudara, apakah berita mengenai ‘Dua Utusan Dewan Banteng ditahan di Jakarta’ itu termasuk bidang militer,’’ tanya hakim.

‘’Menurut interpretasi saya, tidak,’’ tegas Rosihan.

Tanya jawab usai. Hakim mempersilahkan Jaksa untuk membacakan tuntutannya. Jaksa Mr. Anas Jakoeb mengajukan tuntutan agar terdakwa dihukum satu bulan penjara atau denda Rp 300. Hal yang meringankan terdakwa adalah surat kabar terdakwa pernah dibredel oleh penguasa militer Jakarta Raya lantaran berita tersebut.

Tiba giliran Rosihan Anwar membacakan pledoi. Kertas dibuka, kemudian ia mulai membacanya. ‘’Apa yang dimaksud dengan bidang militer (dalam soal pemberitaan) tidaklah selalu jelas bagi para wartawan, justru karena tidak diberikan batas-batas yang tegas dalam interpretasinya.”

“Sebagai ilustrasi, misalnya Kantor Berita PIA dibredel tanggal 16 sampai dengan 23 April 1957, dituduh melanggar Pengumuman No. 6, menyiarkan berita: “Keterangan Kolonel Simbolon tentang Ikrar Bersama 48 Perwira TT-I”. Begitu pula tanggal 23 sampai dengan 26 April 1957, surat kabar Pedoman dan Indonesia Raya dibredel, masing-masing karena menyiarkan berita: “Dua Utusan Dewan Banteng ditahan di Jakarta” dan interview dengan Ketua Dewan Banteng Letkol. Achmad Hussein.”

“Aneh bin ajaib, mengherankan sekali pada waktu itu, bahwa oleh penguasa militer Jakarta Raya tidak pula diambil tindakan pembreidelan terhadap Kantor Berita Antara dan Harian Rakyat. Antara menyiarkan berita dengan dateline 16 April dari Denpasar mengenai latar belakang peristiwa militer di Kupang. Sedangkan Harian Rakyat: "Memorandum KSAD kepada Panglima TT-II".

“Kesimpulan yang dapat kita tarik dari ilustrasi di atas ini ialah bahwa dalam beleidnya menghanteer pengumuman No. 6 itu, KMKBDR bersikap diskriminatif, bersikap pilih kasih, membeda-bedakan antara "surat kabar pihak sini" dengan "surat kabar pihak sana". “

Ketika Rosihan Anwar akan melanjutkan pledoinya tentang soal tersebut, hakim mengetok dan menyatakan bahwa soal beleid KMKBDR itu tidak perlu disinggung lagi. Rosihan Anwar lalu melanjutkan saja. “Bahwa para wartawan tidak dapat mendapat sesuatu pegangan dan patokan yang jelas, apa yang mesti dianggap berita-berita di bidang militer, yang boleh atau tidak boleh disiarkan.”

“Saudara Hakim niscayalah dapat merasakan sendiri dan membayangkan apa akibatnya ini bagi para wartawan pencinta demokrasi, yang karenanya merasa tertekan jiwanya tidak ubahnya seperti keadaan yang berlaku di zaman pendudukan Jepang.”

Terdakwa memperingatkan akan perkataan IPI bahwa kemerdekaan pers boleh dikata telah dihapuskan di Indonesia. Dan juga kata-kata Serikat Penerbit Suratkabar setelah berkoferensi di Tawangmangu, 9-11 Mei. “Tindakan-tindakan yang banyak sedikitnya mengurangi kemerdekaan pers dan menyempitkan ruangan bergerak wartawan adalah tidak menguntungkan pemerintah dan merugikan nama baik negara di pandangan dunia internasional.’’

Kemudian Rosihan menambahkan: ‘’Saya kemukakan pula seterusnya perkembangan kronologis, bagaimana tanggal 25 Mei Pemimpin Redaksi Keng Po Injo Beng Goat dan pemimpin redaksi Marinjo Dick Joseph ditahan oleh KMKBDR, tanggal 25 Juni S. Brata dari “Brata News”, semuanya korban dari pengumuman no. 6 itu. Tetapi terhadap Antara yang pada tanggal 7 Mei menyiarkan “Pimpinan AD kirim delegasi untuk jumpai Soekarno-Hatta” cuma diambil tindakan mendengar keterangan wartawan yang bersangkutan.”

“Kesimpulan saya adalah: 1) betapa pengumuman no. 6 penguasa militer Djakarta Raya sangat "rekbaar" interpretasinya, tidak memberikan sesuatu pegangan kepada para wartawan; 2) betapa beleid praktis menghanteer pengumuman No. 6 itu telah membingungkan para wartawan; 3) betapa pengumuman No. 6 itu dirasakan sebagai membatasi kemerdekaan pers. Oleh karena itu, Saya tetap merasa diri tidak bersalah.’’

Rosihan Anwar kembali duduk. Kemudian hakim mempersilahkan pembela terdakwa, Mr. Lukman Wirjadinata, membacakan pledoinya.

“Terdakwa dituduh melanggar Peraturan Penguasa Militer Djakarta Raya No. 6 tertanggal 13 Maret 1957, yang berbunyi sebagai berikut: Dilarang mengadakan pemberitaan-pemberitaan mengenai keadaan di sekitar dan menyangkut-paut angkatan perang secara langsung atau tidak langsung yang sumbernya tidak berasal dari instansi-instansi yang berhak, dalam hal ini melalui perwira pers untuk daerah KMKBDR dan/atau Penad.”

“Considerans daripada Peraturan Penguasa Militer tersebut menjatakan, bahwa pada dewasa ini masih terdapat pemberitaan-pemberitaan, terutama pemberitaan-pemberitaan mengenai keadaan sekitar dan menyangkut angkatan perang, oleh sementara surat-surat kabar di daerah Djakarta Raya, yang isi dan sumbernya tidak dapat dipertanggungjawabkan sehingga akan dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban umum.”

“Perlu kiranya dikemukakan, bahwa baik dari isi peraturan tersebut, maupun daripada consideransnya ternyata dengan jelas bahwa yang dilarang itu adalah pemberitaan mengenai “keadaan” sekitar dan menyangkut angkatan perang.”

“Selain daripada itu perlu diperhatikan pula, bahwa dari bunyi considerans peraturan itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa pemberitaan yang dilarang itu harus demikian rupa, sehingga akan dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban umum.”

“Saudara ketua, pemberitaan yang menjadi pokok perkara ini, yaitu yang berbunyi “Dua Utusan Dewan Banteng ditahan di Jakarta” memang menyangkut angkatan perang, akan tetapi menurut pendapat saya bukanlah mengenai “keadaan” angkatan perang.”

“Dari pemeriksaan di persidangan dapat dipastikan pula, bahwa berita yang menyangkut pokok perkara itu tidak berasal dari KMKBDR atau Penad, akan tetapi menurut hemat saya tidak terbukti sama sekali, bahwa berita itu dapat menimbulkan gangguan kemananan dan ketertiban umum.”

“Saudara ketua, untuk mendapatkan interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan mengenai Penguasa Militer Jakarta Raya itu, maka bergubung dengan tidak adanya penjelasan, izinkanlah saya mengadakan perbandingan dengan “verordiningen van het Militair Gezag” di zaman Belanda.”

“Dalam hal ini saya ingin menunjuk kepada Verordening No. 14/Dv.0/7A-3 van het Militair Gezag (Javasche Courant 17-5-1940 No. 40 a) jo Verordening No. 66/Dv.0/VII A-3 (Javasche Courant 26-3-1941 No. 24 a).”

Pembela kemudian menjelaskan panjang lebar peraturan-peraturan tersebut dalam bahasa Belanda.

“Dari bunyi “verordening van het militair gezag” tersebut di atas ternyata dengan jelas, bahwa yang dilarang itu bukanlah tiap-tiap berita mengenai angkatan perang, melainkan berita-berita mengenai angkatan perang, yang:

a) Berbahaya untuk kemananan dan ketertiban umum.

b) Menyangkut keadaan angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara, pertahanan negara, dan kepentingan-kepentingan militair lainnya, yang belum pernah diumumkan.”

“Saudara ketua, dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa pemberitaan, yang menjadi pokok perkara ini, tidak merupakan pelanggaran peraturan Penguasa Militer Djakarta raya No. 6, tertanggal 13 Maret 1957.”

“Maka berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas saya mohon, supaya Pengadilan Negeri di Jakarta memutuskan untuk membebaskan terdakwa, setidak-tidaknya untuk melepaskan terdakwa dari segala tuntutan.”

Setelah terdakwa dan pembelanya membacakan pledoinya, hakim memutuskan untuk mengundurkan perkara itu hingga tanggal 1 Oktober.

Perkara Tahsin juga diundur sampai 1 Oktober atas permintaan pembela Mr Tjian Djoe Kiam. Sedangkan Junus Lubis dibebaskan setelah disidangkan pagi itu.

Seperti diputuskan hakim A Razak Sutan Malelo pada sidang sebelumnya, sidang perkara Rosihan Anwar kembali digelar, 1 Oktober, pukul 09.00. Suasana sidang tidak berubah. Hanya ini kali terdakwa tinggal dua orang, Rosihan Anwar dan Tahsin.

Dalam sidang itu pengadilan memutuskan pembebasan Rosihan Anwar karena segala tuduhan tidak dapat dibuktikan bahwa ia telah melanggar Peraturan No. 6 Penguasa Militer Djakarta Raya, dan negara akan memikul segala ongkos pemeriksaan perkara. Hakim Abdul Razak Sutan Malelo dalam pertimbangannya mengatakan: “Bahwa tidak nampak alasan yang sah yang menjadi landasan untuk larangan tersebut di dalam pasal I dan bukanlah dikandung maksud oleh pembentuk undang-undang tersebut untuk dijadikan larangan segala pemberitaan-pemberitaan, sekalipun yang mengenai unsur-unsurnya, karena tiap-tiap larangan itu (verbodsbepaling) ada rationya.

“Akan tetapi, ratio dari verbodsbepaling tersebut dapat dicari dalam considerans dari peraturan itu, yaitu “isi” dan “sumber”-nya itu dapat menimbulkan gangguan kemananan dan ketertiban umum.”

Pengadilan berpendapat bahwa larangan sebagaimana dalam pasal I tersebut baru dapat diancam dengan hukum (strafbaar/strafwaarding) sekira pemberitaan tersebut dapat mengakibatkan “gangguan keamananan dan ketertiban umum”.

Rosihan Anwar terbesa dari hukuman. Menanggapi pembebasan Rosihan Anwar, tajuk rencana Pedoman “Peraturan No 6 pers Jakarta”, 2 Oktober, melukiskannya sebagai suatu kemenangan moril yang besar bagi segenap korps wartawan Jakarta. Pedoman juga menyerukan agar korban di kalangan pers Jakarta, berupa pembredelan surat kabar, penahanan dan pemanggilan terhadap wartawan, untuk diperiksa.

Kemenangan yang tak berumur panjang. Pedoman kena bredel lagi dengan alasan “keamanan” karena memuat surat Jaksa Agung yang diberhentikan oleh pemerintah. Kemudian 22 Maret 1958, Pedoman dibredel atas perintah Penguasa Perang Djakarta Raya dengan alasan "demi hukum dan ketertiban” karena pemberitaan tentang kaum pemberontak yang membentuk Pemerintahan Republik Rakyat Indonesia di Padang. Pedoman baru diperbolehkan terbit kembali 2 April.


MARET 1959. Ketika Presiden Soekarno membubarkan parlemen, Panglima Militer Jakarta memperingatkan pers agar tidak melakukan penyajian redaksional yang keliru. Langkah preventif tersebut membuat pers dalam posisi tak menentu. Sebagai tindak lanjut pembubaran parlemen, Presiden Soekarno menyatakan kembali ke Undang-undang Dasar 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, muncul program manipolisasi pers yang diberi bentuk dengan dikeluarkannya izin terbit. Dengan Peraturan Peperti No. 10/1960, para peminta izin terbit harus menyetujui dan menandatangani pernyataan 19 pasal untuk mendukung Manipol-USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia). Pers yang tak mematuhi ketentuan harus berhenti terbit.

Beberapa penerbit menandatanganinya, beberapa tidak atau memilih berhenti terbit. Rosihan Anwar bersedia menandatangani “19 persyaratan” agar nafas hidup Pedoman tetap ada. Pilihan sikap, yang bagi wartawan Pedoman Amir Daud, berarti mempertaruhkan citra Rosihan. “Kita hendak menyelamatkan koran agar terbit terus. Saya pikir nggak ada kewajiban ini-itu. Nggak ada! Hanya mempertahankan koran. Kan dibilang, ‘daripada nggak terima kita tutup’. Nah bagaimana? Kita mau gagah-gagahan? Nggak bisa dong. Kita koran yang paling besar waktu itu. Orang banyak mesti melihat. Jadi kita coba ajukan. Kalau mau begitu permainannya, playing the game, kita ikuti. Kalau saya tanda tangani itu taktik; mau menyelamatkan Pedoman. Itu saja. Suatu yang biasa dilakukan koran,” ujar Rosihan.

Suardi Tasrif tak bersedia, dan memilih untuk menghentikan penerbitan Abadi tanggal Oktober 1960. Sedangkan Mochtar Lubis sudah tak lagi memimpin Indonesia Raya ketika pemerintah mengumumkan “19 persyaratan”. Harian yang ia pimpin tak diberi izin terbit pada akhir 1958. Ia sendiri masih mendekam dalam tahanan rumah.

Dari “penjara rumahnya”, Mochtar Lubis dengan keras mengecam ketentuan itu dan mengkritik Rosihan Anwar yang ikut menandatangani "19 persyaratan" sebagai "taktik" demi kelangsungan hidup korannya. Lubis, yang menjadi Ketua Komite dari Internasional Press Institute mengirimkan surat kepada International Press Institute menyalahkan pilihan sikap Rosihan. Ia juga mengusulkan agar Rosihan Anwar diberhentikan karena telah menandatangani “19 persyaratan” yang berarti melanggar prinsip International Press Institute mengenai kemerdekaan pers. Lubis dalam penjelasannya pada International Press Institute, dapat mengerti keadaan yang harus dihadapi Rosihan Anwar sebelum menandatangani “19 persyaratan”, tapi tindakan itu berarti “melenyapkan kebebasannya sendiri”.

Pengaduan tersebut diluar sepengetahuan Rosihan Anwar. Ia baru tahu ketika menerima surat dari International Press Institute, seminggu setelah pembredelan Pedoman, berisi keputusan untuk memecatnya sementara. Rosihan kaget, “Mochtar nih ngapain.” Rosihan kemudian mengirim surat balasan kepada International Press Institute memprotes keputusan tersebut.

“Tugas wartawan demokratis tidak mudah. Dia harus mencoba dengan berhati-hati mendorong mundur wilayah kesewenang-wenangan oleh pemerintah dan penyalahgunaan kekuasaan, dan membina suatu jenis hubungan dengan khalayak pembacanya yang akan memungkinkannya memperluas daerah pengaruh dan efektivitasnya. Betapa pun serba terbatasnya satu-satunya tempat bagi wartawan demokratis adalah membela hak-hak manusiawi dan demokratis rakyat...”

“Oleh karena keprihatinannya yang pertama bukanlah pemerintah yang tertib dan efektif, melainkan pembelaan di dalam batas-batas kemungkinan hak-hak azasi manusia. Wartawan demokratis harus melancarkan perjuangan dari daerah operasi mana pun yang disediakan baginya oleh rezim yang berkuasa. Soal yang pokok ialah dia harus berjuang. Menjadi tugas kewajiban pers yang berjiwa demokratis dan wartawan-wartawan yang mengabdi kepada cita-cita kemerdekaan pers untuk menyalakan terus api aspirasi-aspirasi demokrasi berhadapan dengan tekanan dari pihak pemerintah, dan mengobarnya dengan memperkuat kepercayaan rakyat akan hak-haknya serta kesediaannya berjuang untuk hak-hak itu...”

“Demikianlah pers akan harus bekerja dalam batasan-batasan yang ditentukan oleh suatu pemerintah otoriter. Dan selamanya wartawan demokratis yakin bahwa sekalipun di dalam pembatasan itu dia dapat menyampaikan suaranya betapa pun bersifat berhati-hati, beta pun terselubungnya melewati pembatasan-pembatasan itu, maka adalah tugasnya untuk bekerja terus. Tetapi, segera dia melihat bahwa ini tidak mungkin lagi, maka adalah tugasnya menghentikan kegiatan-kegiatannya sebagai wartawan.”

Polemik tersebut menampilkan orang ketiga, Suardi Tasrif, mantan Pemimpin Redaksi Abadi. Dalam tulisannya kepada International Press Institute, ia mengingatkan bahwa keadaan darurat perang akibat pemberontakan di beberapa daerah menyebabkan pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pers. Jika wartawan harus menaati ketentuan-ketentuan pembatasan dari pemerintah, tak berarti mereka berkompromi dengan prinsip-prinsip kebebasan pers dan keyakinan politiknya. Tapi ia menganggap pernyataan “19 persyaratan” sebagai dokumen bersifat politis yang apabila ditandatangi berarti berkompromi dengan prinsip-prinsip yang dianutnya dan dengan keyakinan politiknya. Menandatangi “dokumen 19 pasal”, menurut kesimpulan Tasrif, berarti wartawan bukan saja tidak dibolehkan mengritik, tetapi juga harus secara aktif mendukung pemerintah.

Polemik ini menjadi perhatian dan perdebatan di seluruh dunia melalui sidang-sidang International Press Institute dan IPI Report. Pemimpin Redaksi Nawa-I-Wagt, Pakistan misalnya, seperti dikutip dari Edward C Smith (1986:8-9), lebih berpihak ke Mochtar Lubis. Ia mengatakan pers yang bebas tidak bisa ada apabila para redaktur diharuskan menandatangani janji seperti pernyataan 19 pasal itu. Sementara Pemimpin Redaksi Democratie 61, Paris, mengakui dilema ini. “Dirasakan perlu menetapkan tapal batas antara kompromi dan kapitulasi,” katanya, “tetapi tampaknya bagi saya sangat sukar … mendapatkan rumusan yang dapat diterapkan di semua penjuru dunia …”

Pemimpin Redaksi Cape Argus dari Capetown, Afrika Selatan, menyatakan: “Apa yang cocok dalam suatu lingkungan masyarakat tidaklah cocok dalam lingkungan masyarakat lainnya … dan meskipun seluruh naluri dan simpati kita bersama Mochtar Lubis dalam “berikan aku kebebasan, atau berilah aku maut”, kita hendaknya tidak mudah menjadikannya sesuatu yang mutlak. Kebebasan itu sendiri tidak boleh dijadikan ideologi ….”

International Press Institute, yang menghimpun wartawan berbagai negara secara perorangan, akhirnya mencabut skorsing sementara keanggotaan Rosihan Anwar berdasarkan keputusan sidang umumnya di Tel Aviv. Keputusan yang memang tak bisa mengembalikan keberadaan Rosihan di International Press Institute, ia keluar dari keanggotaan.

Sebelumnya, Pedoman ditutup oleh pemerintah pada 7 Januari 1961, karena dianggap "sering memuat tulisan-tulisan yang nadanya bertentangan dengan atau melemahkan kepercayaan rakyat kepada landasan, tujuan, dan program kepemimpinan revolusi Indonesia". Pembredelan tersebut juga menyangkut seluruh "adik-adik penerbitan" yang diterbitkan Badan Penerbit Pedoman, yaitu Pedoman Minggu, Pedoman Wanita, Pedoman Anak, dan Pedoman Sport. Pembredelan yang berkaitan dengan usaha pemerintah untuk menghentikan penerbitan-penerbitan pers pendukung Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi yang dilarang dan dibubarkan bulan Agustus 1960.

"Meski saya kalah dalam pemilihan Konstituante, kemudian Partai Sosialis Indonesia dan juga Pedoman dibredel, saya tetap seorang sosialis, dan akan memperjuangkan sosialisme sampai kapanpun"*

Read More......