Friday, May 25, 2007

Keremajaan Klara Akustia

DESA Cikondang, Cianjur, membentangkan hamparan sawah dan pegunungan yang menghijau dan segar. Sebuah rumah sederhana dan lumayan besar terlihat. Halamannya luas. Di sisi kanan gerbang terpampang papan nama sebuah yayasan. Rumah ini rasanya tak pernah sepi. Beragam kegiatan warga setempat meramaikannya. Sangat kontras dari kondisi rumah bercat biru yang terletak tak jauh dari rumah ini. Sepi.

Seorang lelaki tua berkacamata tebal duduk di beranda rumah, membaca berita hangat di koran pagi. Suara gemericik air sungai terdengar lirih dari kejauhan. Sesekali ditingkahi derit kereta melaju pelan. Saya mengenalnya setahun lalu, dan setidaknya sebulan sekali bertandang ke rumahnya.


Rumah menjadi bagian penting dalam pengalaman batin dan proses kreatif seorang penulis. Datang ke rumah ini seolah menggapai tempat yang melahirkan sajak-sajaknya. Atau lebih tepat lagi, mengkaji hubungan antara pengarang, karya sastra, dan lingkungannya. Dari sini pula saya memperoleh dan membaca Rangsang Detik, karya yang mencatatkan perjalanan kreatif, pengalaman hidup yang menempanya, serta pemikirannya dari 1949-1957.

Rumah ini akan selalu mengingatkannya ketulusan hati seorang ibu sekaligus pada sebuah kepedihan. Ini rumah masa kecilnya. Di sini pula ia dilahirkan, 7 Maret 1924. Namanya Endang Rodji –tapi kelak ia menggunakan banyak nama untuk karya-karyanya: Adi Sidharta, A.S. Dharta, Klara Akustia, Kelana Asmara, Rodji, Jogaswara, Barmara Putra, dan mungkin masih ada yang lain.

Tapi kasih sayang orangtuanya tidaklah genap. Hatinya luluh lantak dihantam kesedihan. Ibunya, Fatimah, meninggal dunia karena sakit pada 1930. Kepergian ibunya, orang yang biasa memanjakannya, benar-benar membuat dia sangat kehilangan. Disusul kemudian ayahnya, Moh. Usman. ”Saya seolah terlempar ke neraka,” ujarnya kepada saya. Setelah melewati pengalaman-pengalaman sedih, dia akhirnya pindah ke Bandung, lalu menetap di Jakarta.

Tapi Priangan adalah tanah kelahirannya. Dari sinilah ilham dan segala nafas kehidupan membuncah dalam dirinya. Priangan mengasah rasa, emosi, gairah, dan segala gerak di lubuk hati manusia ini; bergerak merangkak pada sikapnya untuk memanusiakan manusia. Lihat saja betapa ia masih menyebut nama “ibu”, untuk menggambarkan betapa kejamnya perang –sehingga ia menyatakan: karena itu aku kini pahlawan anti perang. Kenangan dan kekaguman pada ayah angkatnya, Okayaman atau Barmara, seorang eks-Digulis, juga terpatri dan mempengaruhi sikapnya: panenmu di hari fajar berdarah / mekar menjadi panen pembebasan.

Priangan pula yang memberikan energi kepada sajak-sajaknya yang mengabarkan kegandrungan kepada kebesaran manusia. Banyak sajaknya bernafaskan kegairahan bumi tempatnya dilahirkan, menyerap saripati dari semangat kepahlawanan para pejuangnya: “Rukmanda”, “Cadaspangeran”, “Bara di Priangan”. Sajak-sajak ini begitu bergumuruh, menantang segala yang menghadang perlawanan demi pembebasan manusia, tapi juga liris; sepi, merindu, melilitkan kenangan pada tanah kelahiran.

Ia juga tak terbersit pergi dari akar budayanya. Ia menulis sajak dalam bahasa Sunda. Karyanya antara lain termuat dalam buku Kantjutkundang, yang disusun oleh Ajip Rosidi dan Rusman Setiasumarga dan terbit pada 1963. Dalam buku ini, ada sejumlah sajaknya: “Poe Anyar” dan “Lagu”, “Kidung Sundayana”, serta “Talatahna Anepakeun”. Kedudukan dan pengaruhnya dalam bahasa dan kesusastraan Sunda juga tak bisa dibilang kecil. Klara Akustia-lah yang kali pertama mendeklamasikan sajak (bebas) Sunda dengan gaya modern, dan menyejajarkan namanya dengan sastrawan Sunda lainnya.

Bahkan sisa hidupnya dia kerahkan untuk tanah Priangan. Di kamarnya, di dalam sebuah kardus, teronggok tumpukan kertas usang seribuan halaman: Kamus Bahasa Sunda-Indonesia. Inilah kerja terakhirnya yang belum usai, menyisakan sentuhan tangan lain untuk meneruskan enam abjad terakhir yang tersisa.


TAPI pengertian rumah tak mesti sekaku itu. Jakarta bagaimana pun rumahnya juga, tempat dia menempa segala pengalaman hidup. Dalam istilah Pramoedya Ananta Toer, dalam tulisannya pada 1955, Jakarta hanyalah kelompokan besar dusun. Tak ada yang berubah dari sejak masuknya kompeni. Tak ada tumbuh kebudayaan kota yang spesifik, semua dari daerah atau didatangkan dan diimpor dari luar negeri: dansa, bioskop, pelesiran, minuman keras, dan agama. Dan bagi Klara Akustia, akhirnya, orang-orang datang dan berkumpul ke Jakarta, menjadi warga Jakarta, untuk mempercepatkan keruntuhan kelompokan besar dusun ini. Tambah banyak yang datang tambah cepat lagi.

Tapi itu sepuluh tahun kemudian. Pada saat Klara Akustia menginjakkan kakinya di Jakarta, kondisinya jauh lebih parah lagi. Jepang sudah menguasai Jakarta, menjadikannya hancur dalam puing-puing. Mayat bergeletakkan di mana-mana. Suasana ini mengoncangkan jiwanya. Ia tergerak, berjuang, menjalani pertempuran demi pertempuran, bertemu dengan kawan dan lawan. Di masa inilah ia mulai menulis sajak. Berdasarkan penuturannya, sajak pertamanya dimuat di suratkabar Tjahaja, Bandung. Isinya mengenai semangat para pemuda yang bergolak, membela tanah air. Sayang, saya belum mendapatkan sajak ini –juga, kalau ada, sajak-sajak lainnya.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia rupanya bukanlah akhir dari perjuangan. Pergolakan belum lagi mengendap. Tak ada perombakan dalam sistem sosial dan budaya masyarakat. Semangat Revolusi Agustus, yang tertanam di jiwanya, bergejolak ketika kemerdekaan sejati belumlah terwujud. Dan inilah masa-masa yang membutuhkan agitasi, daya dobrak, untuk memenuhi tuntutan zamannya. Satu zaman yang membutuhkan generasi baru, yang lebih lengkap, lebih sempurna, lebih kuat dari angkatan sebelumnya, seperti ia nyatakan dalam esai “Angkatan 45 Sudah Mampus”. Hal ini pula tampak dalam sajak-sajak awalnya, yang kental membicarakan soal kasih dan cinta, ketetapan hatinya sebagai pelaksana hari esok, meski mewarisi generasi lama, reruntuk lapuk yang kurombak (“Aku Pelaksana”). Tapi sejak awal dia tak hendak berjalan sendirian. Dalam sajak “Hati dan Otak Kita”, secara tegas dan pasti, dia mengajak: kawan-kawan yang masih tidur / tinggalkan mimpi 40 bidadari.

Ini juga masa-masa keremajaan cintanya bersemi dan berlabuh di hati seorang perempuan: Aini atau ia biasa sebut Klara. Tapi pergolakan revolusi pula yang memisahkan keduanya. Klara dikawin-paksa seorang serdadu Belanda dan dibawa ke negerinya –sejak itulah ia memakai nama Klara Akustia: setia kepada Klara, juga setia kepada cita-cita perjuangan. Kesedihan dan kekecewaan, yang berbalut dengan kemauan untuk tak menyerah, menyelimuti hatinya. Perasaan in ia terakan dalam sajak “Triompator Esok”: Tapi kutahu tuhan kekerasan ini / esok menyerah kepada tuhan rasio.

Usai kemerdekaan sepenuhnya, tak ada hari dilewatkannya kecuali untuk kerja. Menjadi wartawan Harian Boeroeh di Yogya, memimpin sejumlah serikat buruh, ikut dalam organisasi pemuda dan buruh internasional, PEN Club-Indonesia, serta sejumlah lembaga kebudayaan. Inilah aktivitas dan lingkungan yang memperkaya pengalaman batinnya sebagai sastrawan dan anak zamannya. Menurutnya, kerja itu nikmat, dan kenikmatan bukanlah monopoli satu orang. Itulah yang dia sampaikan kepada Rukiah Kertapati dalam “Kata Biasa”.

Kata orang, kita satu bahasa
mari adik, nikmat itu bukan monopoli
kita resapkan kepada mereka yang belum merasa.


Tahun 1950 ibarat kelahirannya kembali. Langkahnya lebih pasti, lebih kongkret. Di lapangan kebudayaan, setelah esainya menimbulkan polemik di jagat kesusastraan Indonesia, ia menggerakkan konsep yang lebih luas: di mana posisi sastrawan atau seniman di dalam perubahan masyarakat. Dalam esainya “Sekitar Angkatan 45”, ia menulis: “Ya, dan kita akan terus / dari agitasi ke organisasi / dari elan keinginan / ke energi pelaksanaan!”

Dan yang menghidupkan kata adalah perbuatan. Pada 17 Agustus 1950, Klara Akustia mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) –yang secara salah kaprah sering dicap organ Partai Komunis Indonesia (PKI)– bersama M.S. Azhar dan Njoto. Dia ditunjuk sebagai sekretaris jenderal (Sekjen) sekaligus redaktur Zaman Baru, penerbitan resmi Lekra. Sebagai Sekjen, dia aktif menjelaskan realisme sosialis, juga berpolemik dengan sastrawan lain.

“Seorang sastrawan tidak mungkin dan tidak bisa berdiri ‘netral’, terlepas dari pengaruh lingkungannya,” tulisnya dalam “Kepada Seniman Universal”, menanggapi tulisan kritikus HB Jassin yang memajukan konsep humanisme universal, sementara ia sendiri menawarkan konsep realisme sosialis atau realisme aktif. “Antara Bumi dan Langit” adalah sebuah sajaknya yang ditujukan untuk HB Jassin. Kita berdua sama-sama tidak bebas / kau terikat pada dirimu / aku pada Manusia dan zaman kini.

Rangsang Detik hanyalah karya satu-satunya yang sempat terbit. Kata dan kalimat dalam sajak-sajaknya, segera dapat bergetar kepada hati dan pikiran manusia, juga menjadi barikade ke jantung perasaan dan pemikiran. Dalam menulis sajak, seperti ditunjukkan dalam esainya ”Surat Kertas Hijau Sitor Situmorang”, ia mengajukan sebuah resep –meski untuk menimbang sesuatu sajak tidak ada resep tunggal. Pertama, adanya pribadi penyairnya dalam sajak-sajaknya. Kedua, mengharukan dan ini sangat subjektif, tergantung kepada sejarah pertumbuhan, suasana dan posisi masing-masing pembaca. Ketiga, setiap kata dan kalimat membawa ide dan formulasi yang padat. Dan saripatinya adalah kesadaran dan keyakinan akan perlunya harmoni antara keindahan dan realitas atau kehidupan.

“Keindahan adalah kehidupan” dan karenanya “Keindahan yang benar-benar tertinggi adalah keindahan yang dijumpai manusia di dunia nyata dan bukanlah keindahan yang diciptakan oleh seni,” demikian N.G. Tjernisevski dalam Hubungan Estetik Seni dengan Realitet, yang diterbitkan Bagian Penerbitan Lekra pada 1961.

Karenanya, ia menyambangi Si Amat; seorang buruh tapi kadang juga jadi tukang becak, yang minta merdeka dari penjajahan sepiring nasi dan mau dunia kembali satu dan sama. Ia mengemukakan penari Senen bernama Nyi Marsih dan Otjim “anak revolusi” yang menanti kapan merdeka, merdeka untuk semua. Ia menuntut keadilan dan pembebasan atas penindasan dan penghisapan di Madiun, Ngalihan, Korea, Vietnam, di mana-mana, di negeri-negeri yang derita rakyatnya masih bergolak, sambil mengagungkan pejuang-pejuangnya. Ia juga tak lupa mengajak untuk merapatkan barisan. Buruh adalah golongan masyarakat yang menjadi titik perhatian dalam sajak-sajaknya, yang tak lepas dari labuhan hatinya. “Cerita pada 1 Mei” misalnya, yang ditujukannya kepada Vaksentraal SOBSI, menggambarkan kerelaannya untuk menyerahkan dirinya utuh, tidak lagi butatuli memperdewa ke-aku-anku.

Tapi ia juga tak berhenti pada satu jalan. Pada 1955, tahun-tahun menjelang pesta demokrasi, Partai Komunis Indonesia menawarinya untuk mencalonkan diri sebagai anggota Konstituante lewat calon-tak-berpartai. Tawaran itu membuatnya bersoaljawab di dalam diri sendiri, menimbulkan konflik dua keakuan. Tapi ia memilih jalan itu, karena pencalonan itu memberikan “kesempatan kepadaku untuk bisa lebih kongkret menguji pelaksanaan segala maksud baik dalam hatiku dan dalam diri orang lain,” demikian esainya di Harian Rakjat, 7 Desember 1955. Dalam sajaknya “Rakyat Memilih” dia mengikis kebimbangan yang semula bertahta di dalam hati: Dan kita maju / berani memilih dari detik ke detik.

Ujung dari perjalanannya ini pun sampai. Klara Akustia dikeluarkan dari Lekra karena telah melakukan “kemesuman borjuis” –istilahnya sendiri. Ia mengakui perbuatan itu untuk menyadarkan perlunya otokritik, bukan hanya kritik. Pada 1958, jabatannya sebagai Sekjen dicabut dan beralih ke tangan Djoebaar Ajoeb. Juga keanggotaannya di Konstituante. Sajak “Berita dari Partai” yang menutup kumpulan puisi ini, menyiratkan sikapnya: selamat tinggal kelampauan / selamat datang keakanan.

Berita Partai tegakkan panji
pertempuran terhadap diri sendiri
hadapkan diriku pada pilihan:
kegairahan dari kehidupan
lacuti nafsu perseorangan
atau layu dalam mati sebelum mati.


Itulah sajak penutup daripada kumpulan sajak ini, pembuka daripada penghidupannya yang lebih baru.


KLARA Akustia kembali menetap di bumi Priangan. Selepas pencabutannya sebagai Sekjen Lekra, ia pulang ke kampung halamannya. Di sana ia mengajar kursus bahasa Inggris untuk masyarakat sekitar, juga menulis sajak –dalam kesepian yang memisahkan segala. “Temui Aku”, sajak yang tak termuat dalam kumpulan puisi ini, menyiratkan kegalauan hatinya.

Temuilah aku
dalam keriuhan yang lahirkan perubahan
di mana kerja adalah cinta
di mana remaja adalah senantiasa.


Kerja, ya itulah yang selalu ia damba. Pada 1962, bersama Hendra Gunawan, ia mendirikan Universitas Kesenian Rakyat di Bandung. Dalam peresmiannya, Presiden Soekarno mengatakan bahwa ini universitas pertama di Indonesia dalam bidang humaniora. Inilah salah satu cita-citanya untuk mensarjanakan masyarakat Indonesia. Tapi keinginan itu belum terwujud sepenuhnya ketika iklim politik berhembus ke kanan. Terjadi peristiswa terkelam dalam sejarah Indonesia pada 1965. Ia masuk penjara di Kebonwaru, Bandung. Selepas dari penjara, tahun 1978, sekali lagi ia bersandar di rumah masa kecilnya. Tapi sakit pula yang menggerogoti tubuhnya. Klara Akustia meninggal dunia pada 7 Februari 2007.

Melalui sajak-sajaknya, ia telah memilih untuk tak mau bersibuk dengan dirinya sendiri, mengakui satu-satunya realitas adalah egonya sendiri, dan karenanya menolak terkurung di menara gading. Ia memilih bersoal-jawab atas masalah-masalah yang dihadapi manusia-manusia di sekitarnya, dengan hasrat memecahkan persoalan-persoalan itu. “Hasrat akan sesuatu yang baru adalah sumber kemajuan,” ujar G. Plekhanov dalam Seni dan Kehidupan Sosial, yang diterbitkan Bagian Penerbitan Lekra.

Ia tak jemu mengajak manusia bergerak dan ikut dalam arus perubahan. Tapi ia juga orang yang tak henti-hentinya mencari generasi-generasi muda terbaik. Pramoedya Ananta Toer, novelis tetralogi Bumi Manusia, satu di antaranya. Dan ia percaya keremajaannya akan terus hidup, seperti tersirat dalam sajaknya, “Rukmanda”:

Aku kini tiada lagi
bersatu dengan bumi tanahair tecinta
tapi lagu aku tamatkan
bersama bintang seminar kelam
dengan debar jantung terakhir
yang melihat fajar bersinar
kelahiran tunas penyambung keremajaanku.


Pada akhirnya rumah ini mewujudkan keinginannya untuk pulang, sebuah konsep yang memiliki magnetnya sendiri. Pulang berarti masuk kembali ke jagad lama yang sudah sangat dia kenal: rumah, sejumput kenangan masa kecil, lalu bau tanah-bumi di pemakaman keluarga, tempat dia kemudian dimakamkan.

Rangsang Detik ini hanyalah penanda, bahwa yang pergi tetaplah akan dikenang, yang tinggal akan meneruskan keremajaannya. Tapi juga seperti judul ini, semuanya bermuara pada gerak, kerja, perubahan –dan itulah kenapa buku ini diberi judul Rangsang Detik.*

Hanjawar, Februari 2007
Budi Setiyono

Read More......

Rangsang Detik

TERBIT sudah. Memang telat dari ancangan semula, yang akan meluncurkannya berbarengan dengan peringatan 50 hari meninggalnya sang penulisnya. Tapi yang penting, ia kini sudah hadir kembali setelah setengah abad tenggelam dalam pusaran sejarah sastra Indonesia yang condong ke “kanan”.

Saya tak tahu kapan rencana penerbitan ulang ini muncul. Jauh sebelum saya mengenal penulisnya, Klara Akustia, dua pemuda sering datang ke rumahnya. Berdiskusi. Bercengkerama bak bagian dari keluarga. Mereka juga mencetak ulang kumpulan puisi ini dalam format sederhana. Hanya satu eksemplar, semacam proyek percontohan. Belakangan, ketika saya lebih sering ke sana, rencana penerbitan ulang ini sudah berjalan. Kabarnya, jauh sebelum sastrawan Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia, dia sudah berpesan kepada anaknya agar menerbitkan karya-karya Klara Akustia.

Saya melihat penulisnya melakukan koreksi di sana-sini. Baginya, penerbitan ulang suatu karya harus melihat konteks zaman. Saya pun didapuk membuat kata pengantarnya. Saya ingat pesannya agar membaca buku-buku George Lucaks, Ilja Ehrenburg, hingga Maxim Gorky.

Saya membaca cetakan pertamanya. Kemasannya sederhana. Di kulit muka tergores buah tangan pelukis Basuki Resobowo: tulisan Rangsang Detik. Tapi di cetakan kedua, ada keinginan menampilkan wajah baru.

Pelukis Jeany Mahastuti membuatkan kulit muka. Pesan yang ingin disampaikan adalah perubahan (pantarei). Lalu jadilah gambar obor dalam lingkaran. Warnanya mencolok. Saya kurang tertarik. Untuk sebuah buku, terlalu kaku. Kurang menarik pembaca untuk membelinya. Saya usulkan agar sketsa penulisnya saja yang ditampilkan dalam sampul. Lebih elegan. Toh tak semua orang mengenal wajahnya.

Saya membuat kata pengantar yang mengaitkan pengalaman dan pemikiran penulisnya yang melahirkan puisi-puisi itu. Kata pengantar ini diletakkan di bagian awal (prolog). Eka Budianta belakangan juga menulis pengantar, yang kemudian dimasukkan sebagai epilog. Menurut Andreas Harsono, rekan saya di Pantau, pengantar saya mirip gaya tulisan orang-orang Lekra. Saya tak tahu di mana kemiripannya, karena saya belum menyelami gaya tulisan orang-orang Lekra –sekalipun saya sudah membaca buku-buku soal Lekra dan karya-karya penulis Lekra.

Saya tak bermuluk-muluk untuk meletakkan posisi kepengarangannya dalam sejarah sastra Indonesia. Tapi saya berusaha dengan mencari bahan-bahan yang mungkin didapat. Saya masih mencari puisi-puisi lainnya di luar kumpulan puisi ini terbit. Saya mesti mencari puisinya dalam bahasa Sunda –menurut sastrawan Sunda R.A.F., Klara Akustia adalah pelopor dalam puisi Sunda. Juga dalam bahasa asing. Dalam sebuah surat yang dimuat di Harian Rakjat, Kas Widjaja dari SOBSI cabang Prabumulih, menceritakan perjalanannya ke Moskow dan Chekoslowakia pada 1951, dan orang-orang di sana mengenal dan menanyakan nama Klara Akustia.

Waktu masih berjalan. Dan detik demi detik terus merangsang untuk mewujudkannya.*

Read More......

Monday, May 07, 2007

Luka dari “Saudara Tua”

DESEMBER 2000, Koichi Kimura dan Mardiyem bertolak ke Tokyo, Jepang. VAWW-NET Jepang (Violence Against Women in War-Net Work), lembaga yang mengundang mereka, lagi menggelar Pengadilan Rakyat Perempuan Internasional (Tribunal Tokyo). Ini sebuah peristiwa penting atas pengalaman yang selama 35 tahun seolah menguap begitu saja. Jepang kalah perang dengan menyisakan luka pada ratusan ribu perempuan di Asia.

Pengadilan ini hendak menuntut pemerintah Jepang sebagai penjahat perang yang melakukan sistem perbudakan seks selama Perang Dunia II. Pengadilan ini dihadiri oleh negara-negara di Asia dan Belanda yang mengalami perbudakan seksual seperti Indonesia, China, Taiwan, Korea Utara, Korea Selatan, Malaysia, Timor Leste, Malaysia, Filipina, dan Belanda.

Keputusan pengadilan diambil di Den Haaq, Belanda, setahun kemudian. Disebutkan, Kaisar Hirohito, para petinggi militer, dan birokrat sipil dianggap bersalah. Selain itu pengadilan menuntut pemerintah Jepang meminta maaf secara individu kepada para korban, memasukkan sejarah Jugun Ianfu Asia ke dalam kurikulum pendidikan sekolah di Jepang, serta memberikan kompensasi berupa dana santunan.

Mardiyem pernah menjadi Jugun Ianfu dan mengalami kekejaman masa Jepang. Sejak 1993, dialah perempuan korban kebijakan Jepang yang berani bersuara. Kimura seorang teolog dan aktivis kemanusiaan asal Jepang. Pernah tinggal selama 14 tahun di Indonesia, mengajar di Sekolah Tinggi Abdiel Salatiga. Dia adalah orang pertama yang menemukan kasus Jugun Ianfu di Indonesia pada 1992. Dia sering menulis artikel mengenai Jugun Ianfu Indonesia di media nasional maupun media di Jepang. Juga hadir di forum-forum internasional, dan mewakili Indonesia.

“Dia ibarat pembuka jalan ke forum internasional,” ujar Eka Hindra.

Eka sudah terlibat dalam kerja advokasi Jugun Ianfu secara independen sejak 1999. Dia juga hadir dalam pertemuan itu sebagai wartawan Kantor Berita 68H Jakarta. Tapi kerjasamanya dengan Kimura baru terwujud dua tahun kemudian.

Saat itu Kimura dan Mardiyem kembali menghadiri pertemuan di Pyongyang, Korea Selatan, yang lebih membahas bagaimana memecahkan masalah Jugun Ianfu. Sepulangnya dari Pyongyang, Kimura dan Eka Hindra mendiskusikan hasil pertemuan itu. Satu masalah di Indonesia, yang juga ditanyakan sejumlah aktivis di Asia, adalah tidak adanya media advokasi. Di luar, sejumlah buku sudah tersedia, bahkan menjadi wacana publik.

“Bagaimana pendapat kamu?” tanya Kimura.

“Okay. Kita jangan buang waktu lagi. Kita tidak tahu berapa tahun Mardiyem bisa mempertahankan memorinya sebagai korban perang.”

Lalu mulailah keduanya melakukan riset dan wawancara dengan Mardiyem. Tapi baru satu tahun berjalan, Kimura memutuskan pulang ke Jepang dan menetap di kota Fukuaka. Pekerjaan ini praktis menempel di pundak Eka. Tanpa dukungan dana, seringkali riset independen ini terbengkalai. Eka harus meninggalkan riset ini sementara, mencari uang dan menabung, lalu kembali menekuni risetnya. Ibarat bawang, selapis demi selapis, Eka menggali memori Mardiyem agar mendapatkan kisah yang utuh.

November 2006, Eka hendak mengakhiri wawancara dengan Mardiyem. Dia sudah lelah. Memori dan psikis Mardiyem juga punya batas.

Persis sepuluh hari sebelum deadline, tiba-tiba keajaiban seolah datang, meski menjadi saat-saat terberat. Banyak informasi penting dari Mardiyem, yang selama wawancara sebelumnya tak pernah keluar, meluncur deras. Semuanya detil.

Tapi malam itu, Mardiyem yang sudah kelihatan lelah memaksa untuk melanjutkan wawancara. Dan ”perselisihan” pun terjadi.

”Apa lagi yang ditanyakan? Saya capek!”

”Besok saja.”

”Nggak, sekarang!”

Eka menangis.

”Kita harus sabar. Kalau Bu Mardiyem gak sabar, perjuangan kita berantakan,” ujar Eka sambil terisak.

Eka juga lelah. Sudah empat tahun lebih dia bergelut dengan riset ini, menghabiskan waktu dan uang pribadinya.

”Biar, saya tak peduli!”

Tapi akhirnya Mardiyem mengalah. Dia juga orangtua yang tahu diri. Keesokan harinya, dia meminta maaf. Eka bisa memahami, ada tekanan emosional yang membuat tekanan darah Mardiyem melonjak. Apalagi masyarakat masih memadang miring Jugun Ianfu. Eka mengantarnya ke Puskesmas. Dan untuk kali pertama, setelah empat tahun lamanya, wawancara berjalan dengan sangat kaku.

”Dia hidup dengan luka perang,” ujar Eka kepada saya.


"AKU diberi nama Momoye dan menempati kamar nomor 11. Sejak itu semua orang memanggilku Momoye. Nama Mardiyem telah hilang di Telawang,” tutur Mardiyem, yang saat itu berusia 13 tahun, dalam buku Momoye, Mereka Memanggilku.

Kamarnya berukuran 3 x 2,5 meter. Di dalamnya sudah tersedia segala perabotan. Ranjang. Dipan. Kelambu. Selimut. Meja dan dua kursi. Ada juga kastok atau gantungan baju. Di sudut kamar terdapat sebuah ruangan kecil yang hanya dibatasi kain. Cairan pembersih kemaluan dalam enam botol sudah tersedia. Firasat buruk hadir di benak Mardiyem, menguatkan kekhawatirannya akan dijadikan “perempuan nakal”.

Semestinya Mardiyem jadi penyanyi. Keinginan inilah yang mendorongnya berangkat ke Borneo, ikut kelompok sandiwara keliling Pantja Soerja. Kekhawatiran pertama muncul sebelum pemberangkatan. Mardiyem harus diperiksa kesehatannya, yang anehnya, termasuk daerah kemaluannya, di klinik dokter Sosrosoedoro –yang belakangan berubah nama menjadi Shogenji Kango dan menjadi walikota Banjarmasin. Sosrosoedoro pula yang dikabarkan mencari tenaga perempuan untuk pelayan rumah tangga, pelayan, koki restoran, dan pemain sandiwara. Tapi begitu sampai Banjarmasin, nasib berubah arah. Mardiyem, bersama 23 perempuan lainnya, harus melayani kebutuhan seks tentara Jepang dan sipil.

Mardiyem tak bisa melupakan perkosaan pertamanya karena begitu menyakitkan. Dia sendiri belum mengalami menstruasi.

”Setelah saya diperkosa oleh laki-laki brewokan, pembantu dokter yang memeriksa kesehatan saya pertama di Telawang, hari pertama di Asrama Telawang, saya dipaksa melayani 6 orang laki-laki padahal waktu itu saya sudah mengalami pendarahan hebat,” ujarnya.

Mardiyem terpenjara. Semuanya serba diatur. Sekalipun ada saat-saat tertentu diperbolehkan keluar asrama, tapi diawasi begitu ketat. Di jalan mereka akan dipandang sinis oleh penduduk sekitar, yang menyebutnya ransum Jepang. Para perempuan nakal di Telawang menganggap mereka sebagai pesaing.

Di asrama setiap saat dia harus siap melayani hasrat seks para tamu. Sistem pembayaran dilakukan seperti membeli karcis bioskop. Ada perbedaan harga bagi kalangan serdadu dan perwira Jepang. Siang hari, untuk pangkat serdadu, harus membayar 2,5 yen, sementara pukul 17.00-24.00 membayar 3,5 yen. Pukul 24.00 sampai pagi untuk pangkat perwira, membayar 12,5 yen.

Meski ada sistem pembayaran, Jugun Ianfu tidak menerima sepeser pun. Mereka cuma menerima karcis dari tamu yang datang. Karcis-karcis itu harus dikumpulkan. Nantinya bisa ditukarkan dengan uang kalau mereka selesai bekerja di asrama. Namun janji itu kosong belaka.

Menolak tamu berarti siksaan. Mardiyem mengalaminya. Dia menolak melayani pengelola Asrama Telawang karena baru mengaborsi paksa kandungannya yang berumur lima bulan. Akibat pukulan dan tendangan bertubi-tubi, dia pingsan hampir enam jam. Kini, dia mengalami cacat fisik dan trauma secara psikologi dan seksual.

Mardiyem beruntung bisa kembali ke Yogyakarta pada 1953, sekalipun dia harus menanggung beban, mendapat cercaan sebagian masyarakat yang memandangnya sebagai ransum Jepang.


SEMENTARA itu di Pulau Buru, tempat buangan orang-orang kiri, sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawannya menemukan kenyataan yang mengejutkan: adanya buangan sebelum mereka, para perawan remaja yang kini telah jadi nenek, orang-orang dari Jawa, yang dijanjikan akan disekolahkan oleh Jepang di Tokyo dan Singapura.

Pram menuliskan kisah mereka berdasarkan penuturan orang kedua dengan gayanya yang khas. ”Surat kepada kalian ini juga semacam pernyataan protes, sekalipun kejadiannya telah puluhan tahun lewat,” tulis Pram dalam Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer.

”Aku percaya kalian tidak akan suka menjadi korban bangsa apapun. Juga tidak suka bila anak-anak gadis kalian mengalami nasib malang seperti itu. Artinya, kalian juga tidak akan suka bila ibu-ibu kalian –para perawan remaja pada 1943-1945– menderita semacam itu. Itu sebabnya kukukhususkan surat ini pada kalian.”

Pram lebih menceritakan kehidupan mereka sebagai ”orang buangan yang dilupakan”. Terutama kisah Siti F, Bolansar alias Muka Jawa, dan Mulyati yang hidup di tengah-tengah masyarakat Alfuru di pedalaman Pulau Buru. Bahasan mengenai apa yang terjadi di masa Jepang hanya disinggung amat sedikit, kecuali bab-bab awal.

Pram mengajukan daftar sejumlah nama perawan yang menjadi korban perang Jepang. Mereka berasal dari kota besar, madya, atau kecil, atau dari kampung desa desa di dalam kawasan kota. Tak terdapat data yang menunjukkan berasal dari kampung atau desa yang jauh dari kota. Mereka pergi bukan secara sukarela, meski dengan jumlah sangat terbatas ada juga yang semau sendiri dan di bawah kesaksian umum telah menjadi gundik Jepang.

Begitu Jepang kalah perang, mereka dilepaskan begitu saja. Tak ada pesangon, tanpa fasilitas, dan tanpa terimakasih dari pihak balatentara Dai Nippon. Praktis, mereka hanya mengandalkan naluri hidup masing-masing –sejumlah perempuan terdampar di Pulau Buru.

Menurut Pram, ada sejumlah alasan kenapa Jepang berhasil cuci tangan dari perbuatannya di masa lalu. Pertama, segera setelah Jepang menyerah, Indonesia belum atau tidak mempunyai bahan otentik untuk menggugat. Kedua, Indonesia sedang terlibat dalam perjuangan senjata untuk mempertahankan kemerdekaan. Ketiga, segera setelah pemulihan kedaulatan, Indonesia yang masih muda terlibat dalam pertentangan kepartaian yang berlarut-larut. Keempat, karena keteledoran pihak Indonesia. Tak ada komisi yang menyelidiki soal ini. Dalam perundingan-perundingan tentang pampasan perang antara Indonesia dan Jepang, juga tak disinggung.

Karena tak ada bukti otentik, baik Eka dan Kimura maupun Pram tidak memasukkan latar belakang politik yang membuat pengalaman buruk ini terjadi. Pram hanya menyebut: sulitnya hubungan laut dan udara menyebabkan balatentara Dai Nippon tak lagi bisa mendatangkan wanita penghibur dari Jepang, China, dan Korea. Sebagai gantinya, para gadis Indonesia dikirimkan ke garis terdepan sebagai penghibur.

Janji militer Jepang akan memberi kesempatan belajar ke Tokyo atau Shonanto (Singapura) atau diberi pekerjaan layak sudah Pram dengar pada 1943. Ketika itu dia bekerja sebagai juru ketik di Kantor Berita Domei. Tapi ia hanyalah sasus. Selama memindahkan konsep-konsep berita dari dewan redaksi ke atas sheet stensil, dia merasa tak pernah mengetik berita itu. Rekan-rekannya juga tak pernah mengetiknya. Juga tidak pernah ada beritanya di koran.

Janji itu beredar dari mulut ke mulut, yang ditangani Sendenbu (Jawatan Propaganda) lalu turun ke pejabat-pejabat lokal seperti bupati, camat, lurah, hingga tonarigumi (RT/RW). Para pejabat lokal ini mengumpulkan puluhan perempuan muda. Para pejabat lokal ini harus memberi contoh dengan menyerahkan anaknya demi keselamatan jabatan atau pangkat. Karena hanya sasus, Pram tak menemukan dokumen resmi.

Selama empat tahun melakukan riset, Eka juga kesulitan menemukan dokumen. Bahkan dalam buku-buku sejarah, persoalan Jugun Ianfu juga tidak disinggung. Dan itulah kenapa Eka maupun Pram lebih menghadirkan kesaksian korban lewat metode sejarah lisan (oral history). Tak ada konteks politik yang melatarinya –satu kelemahan yang ditemukan dalam buku Eka maupun Pram.

“Sumber sejarah pendukung sangat sulit ditemukan, baik itu foto, dokumen, atau kesaksian primer masa itu,” ujar Eka.

Tapi Eka beruntung mendapatkan sebuah alat kesehatan zaman Jepang: dua ampul suntikan, perban empat kotak, serta alat pembuka kemaluan yang terbuat dari besi. Yang disebut terakhir dikenal dengan nama cocor bebek. Alat ini terbuat dari besi panjang. Kalau ditekan ujungnya akan mengembang dan bisa membuka kemaluan perempuan lebih lebar. Melalui alat itu, bisa dilihat apakah kemaluan perempuan itu sudah terserang penyakit atau masih sehat.

Eka mendapatkannya dari Sarmudji, eks Heiho, di Ambarawa. Kartono Mohamad, mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia, yang menjadi tempat Eka berkonsultasi, membenarkan penggunaan alat itu. Bukti sejarah ini sangat penting. Musuem Tokyo yang terbilang lengkap pun hanya memiliki dokumen kertas. Saat ini alat kesehatan itu masih di tangan Eka.

“Alat ini bagian dari mekanisme kontrol militer Jepang untuk memeriksa kesehatan Jugun Ianfu. Artinya, Jugun Ianfu ini didesain begitu sistematis,” ujar Eka.


JEPANG datang ke Indonesia pada 1942, setelah mengalahkan Belanda, dengan mengaku sebagai sebagai ”Saudara Tua”. Ini strategi Jepang untuk meraih simpati rakyat Indonesia demi tujuan memenangi Perang Pasifik. Sejumlah pemimpin politik memberikan dukungan, terlebih Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya dengan menyediakan perempuan penghibur.

”Kukumpulkan 120 orang di satu daerah yang terpencil dan menempatkan mereka dalam kamp yang dipagar tinggi sekelilingnya. Setiap prajurit diberi kartu dengan ketentuan hanya boleh mengunjungi tempat itu sekali dalam seminggu. Dalam setiap kunjungan kartunya dilobangi,” ujar Soekarno seperti dituturkannya kepada Cindy Adams dalam Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Soekarno beralasan, keadaannya sudah begitu gawat ketika itu, yang dapat membangkitkan bencana hebat.

Sayang sekali, dalam otobiografi Soekarno pun tak ada pembahasan soal Jugun Ianfu. Soekarno mengatakan hanya menyediakan pelacur (seperti juga Romusha), menawarkan ide tersebut tanpa paksaan, dan menghindarkan keisengan tentara Jepang menganggu perempuan ”baik-baik”. Mungkinkah Soekarno tidak tahu bahwa ratusan ribu perawan remaja “baik-baik” harus melayani hasrat seks tentara Jepang?

Tak mudah menjawabnya. Macet. Sekalipun Eka meyakini, Jugun Ianfu menjadi bagian mekanisme kontrol Jepang untuk kepentingan pasukannya dalam memenangi Perang Pasifik. Artinya, butuh penelitian lebih lanjut atas apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia dan bagaimana sikap pemimpin politik waktu itu.

”Di Indonesia, Jugun Ianfu tersebar di seluruh Indonesia. Di mana ada barak-barak militer di situ ada Jugun Ianfu, terutama di wilayah Timur,” ujar Eka.

Di Jepang sendiri belakangan bukti-bukti kekejaman Jepang mulai terkuak. Adalah Yoshiaki Yoshimi, sejarawan dari Chuo University, Tokyo, yang membuka tabir yang menutupi kebijakan pemerintahnya di masa lalu. Dia menemukan dokumen yang memperlihatkan bahwa militer Jepang memerintahkan pengadaan rumah-rumah bordil untuk kepentingan tentara.

Ini diawali pada 1931 ketika tentara Jepang menyerbu daratan China. Untuk menguasai daratan China, Jepang membangun pangkalan militer dan mengerahkan sekira 135.000 tentara. Jepang akhirnya menduduki Kota Shanghai dan Nanjing. Tapi bertahun-tahun berperang membuat militer Jepang kehabisan persediaan makanan. Mereka menjarahi rumah-rumah penduduk. Membunuh rakyat sipil dan tentara. Memperkosa perempuan –dengan dampak terburuk bagi militer Jepang: banyak pasukannya menderita penyakit kelamin.

Kabar itu sampai ke Tokyo. Menurut Eka Hindra, kekaisaran Jepang lalu mengirimkan Dr Tatsuo untuk melakukan penyelidikan. Dari situ Tatsuo memberikan rekomendasi agar menyediakan rumah bordil. Sebagai proyek percontohan, militer Jepang membuat kebijakan membangun Ian-jo (rumah bordil) yang berisi perempuan-perempuan ”bersih”. Fasilitas tersebut dibangun di berbagai tempat di Asia yang telah diinvasi Jepang seperti China, Korea Utara, Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Timor Leste. Akibat kebijakan tersebut 200.000 lebih perempuan di kawasan Asia dikorbankan sebagai budak seks untuk memuaskan kebutuhan seksual.

Ada beberapa alasan pendirian rumah bordil militer. Dengan menyediakan akses mudah ke budak seks, moral dan efektivitas militer tentara Jepang akan meningkat. Ini menyingkirkan kebutuhan memberikan izin istirahat bagi tentara. Dengan mengadakan rumah bordil dan menaruh mereka di bawah pengawasan resmi, pemerintah juga berharap bisa menahan penyebaran penyakit kelamin.

Begitu dokumen itu dipublikasikan pada awal 1992, gemparlah. Pemerintah Jepang langsung melakukan penyelidikan soal isu Jugun Ianfu. Lalu, pada 1993, pemerintah mengeluarkan Pernyataan Kono yang menyebutkan, ”Memohon maaf yang amat dalam dan menyesali kejadian itu”. Pemerintah Jepang mengakui keterlibatan langsung tentara Jepang soal perbudakan seks itu.

Maret lalu, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengumumkan pemerintahnya akan melakukan penyelidikan ulang atas kasus Jugun Ianfu. Pernyataan Abe menimbulkan reaksi dari sejumlah negara. Abe beralasan, dia hanya merespons resolusi yang digagas Michael Honda, anggota Kongres dari Partai Demokrat, di parlemen Amerika Serikat yang menyerukan agar Jepang bertanggung jawab penuh atas adanya Jugun Ianfu pada masa Perang Dunia II.

Shinzo Abe naik menjadi Perdana Menteri Jepang pada September 2006. Ia termasuk salah satu perdana menteri termuda dalam sejarah politik Jepang. Abe telah mendesakkan pemeriksaan kembali sentimen bersalah atas aksi militer dalam Perang Dunia II. Dia bahkan menyerukan perubahan dalam teks buku sejarah mengenai peran Jepang dalam perang yang meluluhlantakkan Eropa dan Asia itu.

”Ada sentimen yang memperlihatkan keengganan soal kesalahan Jepang di masa lalu. Itu merupakan sikap untuk menanamkan budaya percaya diri bagi anak-anak muda Jepang, terutama sejak ambruknya ekonomi Jepang di awal dekade 1990-an,” ungkap Yoshimi seperti dikutip KCM, 2 April 2007.

Di Indonesia, sikap pemerintah tidak pernah jelas. Pemerintah beranggapan bahwa persoalan pampasan perang dengan Jepang sudah selesai. Dan perempuan macam Mardiyem pun harus berjuang sendirian.

”Mardiyem adalah ikon ikon agar nasib Jugun Ianfu tidak dilupakan. Yang hebat, dia melakukan transformasi tanpa bantuan gerakan sosial,” ujar Eka.


MARDIYEM membaca sebuah iklan di harian Bernas, Yogyakarta, yang mencari eks Jugun Ianfu. Pemasang iklannya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Saat itu juga dia mendatangi kantor LBH. Mulailah kisah Mardiyem menjadi konsumsi media massa, yang sayangnya hanya menampilkan sisi permukaannya. Mardiyem pula, atas inisiatif sendiri, mencari teman-teman seangkatannya yang masih hidup yang dulu sama-sama ditempatkan di Asrama Telawang.

”Dia punya ingatan yang kuat. Kawan-kawannya sudah lupa. Dia punya kharisma yang dahsyat, dengan memori yang dahsyat pula; ingat tanggal, nama tempat, dan sebagainya,” ujar Eka.

Langkah advokasi yang dilakukan LBH Yogyakarta berawal dari kedatangan lima pengacara Jepang yang tergabung dalam Komite Neichibenren (Asosiasi Pengacara di Jepang) ke Jakarta. Juru bicaranya, Akira Murayama, menginformasikan masalah kompensasi bagi Jugun Ianfu. Berita ini disambut Menteri Sosial Inten Suweno. Tapi Inten Suweno mengatakan bahwa sebaiknya masalah ini ditangani pihak swasta. Sebab, hubungan pemerintah Indonesia dengan pemerintah Jepang sudah baik. LBH Yogyakarta pun kebanjiran para Jugun Ianfu dan Romusa.

Tapi pemerintah Indonesia sendiri bermuka dua. Pada 25 Maret 1997, Memorandum of Understanding (MoU) ditandatangani di Jakarta antara pemerintah Indonesia dan Asia Women’s Fund (AWF), yang didirikan pemerintah Jepang tahun 1995 untuk menyelesaikan masalah Jugun Ianfu di Asia. Masalah Jugun Ianfu pun dianggap selesai.

AWF memberikan dana kompensasi sebesar 380 juta yen atau sekitar Rp 7,6 milyar kepada pemerintah Indonesia yang akan diangsur selama 10 tahun. Pada 1997, angsuran pertama keluar sebesar 2 juta yen atau sekitar Rp 775 juta yang rencananya dialokasikan untuk pembangunan lima panti jompo bagi Jugun Ianfu di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sumatra Utara. Tapi hingga kini, pembangunan panti jompo itu tidak jelas. Para Jugun Ianfu juga tidak pernah menerima dana sepeser pun.

”Dana itu tidak jelas, tidak transparan penggunaannya. Pernah ditanyakan sejumlah LSM tapi jawabannya simpang-siur. Sampai sekarang gak jelas,” ujar Eka.

Mardiyem sendiri sejak awal menolak dana kompensasi itu. Terkecuali pemerintah Jepang mengaku bersalah dan meminta maaf secara langsung kepada para korban, merehabilitasi nama mereka, dan memasukkan Jugun Ianfu ke dalam pelajaran sejarah sekolah-sekolah di Jepang. Sebagian besar para Jugun Ianfu Asia juga menolak dana pemberian AWF, yang dianggap sebagai strategi pemerintah Jepang mengelak dari tanggungjawab.

Mardiyem dan kawan-kawannya sudah berjuang untuk mengembalikan harkat dan martabatnya. Juga lewat buku pengakuannya ini.

“Saya ingin berhenti bercerita. Saya sudah lelah, 14 tahun bercerita, sementara pemerintah tidak punya kemauan politik,” ujar Mardiyem kepada Eka.* [Keterangan foto: www.comfort-women.org]

Read More......