tag:blogger.com,1999:blog-147268542024-03-06T23:29:01.824-08:00..:: BUDI SETIYONO ::..menulis seperti hidupBUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.comBlogger38125tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-44072600343706864122011-07-28T02:07:00.000-07:002012-11-21T00:27:34.723-08:00Sebuah Kota dan Seekor ItikBIASANYA saya akan tiba dini hari. Di dalam bus, saya akan bersiap turun ketika melintasi jembatan Sungai Pemali. Jembatan itu ibarat landmark kota ini bagi saya; bukan alun-alun tak jauh dari situ, yang terlihat sama seperti alun-alun di kota-kota lain di Jawa.<br />
<br />
Saya turun sesampai di pasar. Sejumlah abang becak menyambut, berebut menawarkan jasa. Saya memilih yang duluan mendekat. Saya naik, meluruskan kaki, lalu menghirup udara kota ini dalam-dalam sembari sesekali menghembuskan asap rokok.<br />
<div class="fullpost">
Apa arti sebuah kota kecil bagi saya? Kecuali keluarga, dan sejumput kenangan masa kecil, adakah yang bisa dan mampu menggerakkan saya untuk (ingin) kembali? Teman, entah ke mana pergi. Semuanya mungkin sama seperti saya, merantau ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan, seperti seekor itik yang suka mengelana. Kenangan saya pada kota ini amatlah tipis.<br />
<br /></div>
<div class="fullpost">
Saya terlahir ketika Indonesia tengah getol-getolnya membuka diri dari modal asing. Sebuah demontrasi besar pun muncul yang berujung rusuh: Peristiwa 15 Januari atau Malari. Peristiwa itu tak menyurutkan langkah pemerintahan Soeharto untuk meneruskan kebijakannya. Di sisi lain, Indonesia sedang berada di puncak kemakmuran akibat lonjakan harga minyak.<br />
<br /></div>
<div class="fullpost">
Tapi kemakmuran hanyalah milik segelintir orang kaya. Saya, yang lahir tak lama setelah Malari, tetap menjalani hidup layaknya anak-anak seusia saya di kota ini. Hidup sederhana. Kehadiran saya menambah sesak rumah milik orangtua saya. Kami tidur berhimpitan dalam sebuah kamar.<br />
<br />
Modal belum juga singgah di kota ini. Baru pada 1980, modal berdatangan untuk mengembangkan usaha pertambakan. Pemilik uang memanfaatkan daerah rawa-rawa dan menjadikan kota ini sebagai penghasil utama udang windu dan bandeng terbesar di Jawa Tengah. Adakah pengaruhnya bagi kota saya? Hingga kini kota ini masih dianggap kota tertinggal di Jawa Tengah.<br />
<br /></div>
<div class="fullpost">
Dan sepanjang saya kenal, kota ini tak pernah berubah.<br />
<br />
<br />
KOTA ini sudah tercatat dalam arsip-arsip VOC. Saat itu daerah ini menjadi pemasok kayu jati yang merupakan bagian dari kerjasama VOC-Mataram. Bahkan, pada awal abad ke-16 VOC membangun pengergajian yang digerakkan angin. Di masa VOC ini pula Brebes diakui sebagai sebuah kabupaten, dipisahkan dari wilayah kabupaten Tegal pada 1678. Pemisahan itu dilakukan atas desakan Sunan Amangkurat II dengan alasan ancaman pemberontakan.<br />
<br />
Tak banyak catatan sejarah tentang kota ini selain urusan politik dan pemerintahan. Sejumlah peristiwa menunjukkan dinamika kehidupan kota: kerusuhan rasial di awal kemerdekaan, revolusi sosial yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Tiga Daerah, penumpasan DI/TII, hingga penghancuran gerakan komunis.<br />
<br />
Kalaupun ada, kota ini hanya masuk dalam lintasan sejarah. Kota ini punya hubungan khusus dengan satu nama besar yang menjadi pelopor sandiwara modern dan mempengaruhi perkembangan musik keroncong di Indonesia: August Mahieu, dengan kelompok Komedie Stamboel-nya.<br />
<br />
Komedie Stamboel kali pertama muncul di Surabaya pada 1891. Pelopornya adalah August Mahieu, seorang Indo-Prancis. Komedie Stamboel menarik minat penonton seantero Hindia Belanda, bahkan hingga Singapura. Biasanya mereka bermain di alun-alun kota atau kompleks perkebunan.<br />
<br />
Dalam sebuah tour keliling Jawa, Sinar Stamboel –kelak berubah nama menjadi Komedie Sinar India– pernah mampir di Brebes. <span style="font-style: italic;">Bintang Soerabaia</span>, sebagaimana dikutip Matthew Isaac Cohen dalam <i>The Komedie Stamboel: popular theater in colonial Indonesia, 1891-1903</i>, melaporkan kelompok itu tampil di sebuah tenda di barat-laut area pasar, mungkin wilayah pecinan. Mereka menghadirkan "enam perempuan Eropa, empat perempuan Muslim, empat lelaki Belanda, dan orang-orang dari ras lain". Di sini, mereka mengenakan kostum dan latar panggung yang benar-benar baru serta menampilkan drama pertunjukan seperti A<i>li Babi </i>dan <i>Perang Lombok</i>. Untuk kursi kelas tiga, penonton cukup membayar 25 sen. Penonton berjubel. Namun keuntungan di Brebes menurun oleh hujan dan reputasi para pemain yang garang: penonton perempuan melaporkan bahwa mereka enggan menonton karena takut perkelahian pecah.<br />
<br />
Pada 14 Januari 1903, Mahieu kembali mengunjungi Brebes untuk menggelar pertunjukan. Dia tiba di Bumiayu dengan rombongan sandiwaranya, Sinar India. Kedatangannya mengejutkan warga Bumiayu. Kondisi kesehatannya memburuk. Kehidupan yang dia habiskan di jalan menguras tenaganya, dan sejumlah penyakit terus-menerus mengintipnya. Penyakit sudah lama menghinggapi tubuh Mahieu dan anggota rombongannya yang lain. Di sini penyakitnya kian parah.<br />
<br />
Menurut Matthew Isaac Cohen, malaria lagi mewabah di kota Brebes. Di dekat Tanjung, yang berpenduduk 300 jiwa pada akhir 1902, tercatat 50 orang meninggal dunia karena malaria antara 1-13 Januari 1903. Malaria pula yang kemudian menghinggapi tubuh Mahieu. Mahieu meninggal dunia pada atau sekitar 24 Januari 1903.<br />
<br />
Kematian Mahieu kali pertama diberitakan suratkabar <i>De Locomotief</i> pada 31 Januari 1903. Beberapa bulan kemudian, <i>Bondsblad</i>, 11 Juli 1903, menurunkan laporan panjang tentang kematiannya: “Dia mengalami serangan malaria di sini, sakit selama tiga hari, dan meninggal dunia. Sebuah kematian yang menyedihkan! Dirundung kemiskinan dan menginap di sebuah rumah Jawa yang kotor bersama rombongannya, dia menghembuskan nafas terakhirnya di bale-bale pada suatu malam pada 24 Januari. Sepenuhnya ditinggalkan, jauh dari dari keluarga dan teman-temannya, dia menemukan kuburannya sendiri yang terpencil di Bumiayu, sebuah makam yang belum ditandai oleh batu.”<br />
<br />
Saya tak tahu apakah jejak Mahieu masih tersisa di Bumiayu –seperti halnya makam Van De Jong yang mengelola perkebunan teh Kaligua di masa Belanda. Saya juga tak tahu pengaruhnya bagi kesenian di kota ini. Tapi seyogyanya, denyut kegiatan seni dan budaya menjadi warna sebuah kota.<br />
<br />
Dalam sebuah laporan di majalah <i>Tempo</i>, 7 April 1973, Bumiayu –saya kira seperti juga daerah lainnya– sebelum 1965 ramai dengan kegiatan kesenian. Di sana ada 13 organisasi orkes Melayu, lebih dari 10 perkumpulan keroncong, beberapa buah band, perkumpulan akrobatik, angklung paduan suara, orkes terbang (rebana besar), perkumpulan sandiwara, perkumpulan tari, hingga kesenian rakyat seperti jaran ebeg (kuda lumping), wayang, ketoprak, dan tari-tarian. “Semua kegiatan itu timbul berbarengan karena adanya organisasi-organisasi pendukung yang satu sama lain saling berlomba. Yakni Lesbumi, LKI dan Lekra,” tulis <i>Tempo</i>.<br />
<br />
Masa itu, ketika politik menjadi panglimanya, kesenian memiliki lahan yang subur dan menjadi salah satu alat penyadaran masyarakat. Kesenian tradisional dan modern tumbuh bersama. Beragam organisasi memberi warna bagi perkembangannya. Ada persaingan. Terkadang intrik dan adu kuasa. Tapi dinamika itulah yang menghidupkan sebuah kota, mendorong kreativitas orang-orang yang hidup di dalamnya.<br />
<br />
Peristiwa 1965 menjadi titik kemunduran. Pemerintah Orde Baru bukan hanya menghancurkan organisasi komunis tapi juga pemikiran dan kreativitas berkesenian. Imbasnya, kesenian tradisional mengalami kemandegan, atau hanya menjadi pengisi acara seremonial. Banyak studi yang mengkaji masalah ini. Kondisi ini juga juga terasa di sebuah tempat yang jauh dari hiruk-pikuk para penentu kebijakan kesenian di Jakarta: Bumiayu.<br />
<br />
“Bumiayu barangkali sebuah potret kecil untuk setiap pelosok negeri ini. Potensi kesenian untuk menghibur banyak. Bakat-bakat ada, kebutuhan ada. Tetapi tempat tak ada dan semangat kelihatannya seret, dengan berkurangnya kegiatan organisasi tempat bergantung,” tulis <i>Tempo</i>.<br />
<br />
Kesenian semestinya mewarnai kehidupan sebuah kota.<br />
<br />
<br />
SUNGGUH, menelusuri jejak kota ini seperti memungut remah-remah. Tak banyak yang saya ingat. Saya menghabiskan masa kecil dengan bermain. Di rumah, ketika hujan mengguyur, kami bermain congklak, bekel, cublak-cublak suweng, atau sluku-sluku bathok. Nyanyian anak-anak itu masih terngiang di benak –dan mengingatkan banyak orang tentang kehidupan dan kematian.<br />
<br />
<i>Sluku-sluku bathok <br />Bathoke ela-elo <br />Si Rama menyang solo<br />Oleh-olehe payung motha<br /><br />Mak jenthir lo lo lo bah<br />Wong mati ora obah<br />Nek obah medeni bocah<br />Nek urip goleko duwit </i><br />
<br />
Di halaman depan rumah, di sebuah tanah lapang, kami bermain benteng-bentengan, gobak sodor, pakpakdor, gasing, mobil-mobilan dari kulit jeruk, dan banyak lagi. Terkadang, kami bermain wayang kertas atau wayang suket (terbuat dari daun pohon ketela).<br />
<br />
Jika ramadhan tiba, malam berubah menjadi lautan pelita. Hampir di beranda setiap rumah, berderet pelita dari bambu. Anak-anak juga punya obor sendiri, terbuat dari bunga kapuk. Meriam bambu lalu menyemarakkan malam. Juga terikan kaget pelintasan jalan ketika kakinya melanggar seutas tali yang tersambung dua kaleng berisi kerikil.<br />
<br />
Dengan dolanan anak, saya tak hanya beroleh keceriaan tapi juga belajar kebersamaan, solidaritas, dan sportivitas. Dolanan anak juga tak bias gender; laki-laki dan perempuan bermain bersama. Adakah anak-anak zaman sekarang memainkannya?<br />
<br />
<div>
Pengaruh budaya asing perlahan merembes ke kota ini. Yang sangat terasa adalah tari kejang atau tari patah-patah (<i>breakdance</i>), yang jadi tren di Amerika pada 1980-an. Setiap sore, atau malam minggu, segerombolan remaja berkumpul di lapangan sepakbola. Mereka melingkar. Pemutar kaset dinyalakan. Dan mulailah mereka menari. Saat itu belum ada <i>MTV</i>, tapi entah bagaimana tarian ini bisa menyebar ke desa-desa. Ketika beberapa kelompok menari, tak jarang terjadi adu ketangkasan dan ujung-ujungnya... berkelahi.<br />
<br />
Lalu perlahan muncul beragam acara televisi, video game, dan internet.<br />
<br />
Saya mungkin beruntung karena masa kecil saya tak terengut oleh video game, Facebook, atau televisi. Saya juga lebih memilih jaipongan ketimbang tari kejang. Alih-alih bermain bersama teman-teman, anak-anak sekarang memilih berada di depan layar televisi atau komputer; menonton kartun atau sinetron, bermain game atau Facebook. Kalau butuh hiburan, mereka menuju kota tetangga untuk jalan-jalan di mall –karena kota ini miskin mall dan mall bagi mereka adalah lambang kemajuan sebuah kota.<br />
<br />
Saya kira kita tak butuh mall. Mall bukan lambang kemakmuran, tapi konsumersime dan kemiskinan kreativitas. Mall mengajarkan kita menjadi konsumen tapi tak mendidik kita menjadi produsen. Kita hanyalah subjek, pasar bagi beragam barang. Kini kita menyaksikan betapa hampir semua barang yang dulu bisa kita hasilkan berasal dari negara lain. Impor, impor, impor. Beras impor, gula, kedelai… apa lagi. Beruntung Brebes masih menjadi penghasil terbesar bawang merah, yang bertahan dari gempuran bawang impor.<br />
<br />
Saya bayangkan kota ini memiliki ciri pada landmark kota, museum, dan perpustakaan. Adakah museum di kota ini? Ada banyak bangunan bersejarah tapi kita seringkali memilih Borobudur untuk liburan sekolah atau belajar sejarah. Perpustakaan entah bagaimana kabarnya. Tak ada gedung kesenian yang menampung kreativitas anak-anak muda. Tak ada taman kota, ruang publik bagi beragam aktivitas warga kota. Infrastruktur, terutama jalan, masih belum memadai. Tapi kota ini juga punya banyak potensi dan keunggulan yang bisa dimanfaatkan untuk kemajuan kota. Hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan. Wisata alam, kuliner, dan kerajinan. Keberagaman seni dan budaya.<br />
<br />
Apa yang membuat daerah ini terlihat statis dari tahun ke tahun? Saya belum tahu. Mungkin benar jika kita, juga saya, layaknya seekor itik dengan sifat acuh tak acuhnya (<i>cuek bebek</i>) dan berjalan lamban (<i>bagai itik pulang petang</i>). Kita belum mengambil sifat terbaik itik: kebersamaan, kemandirian, dan kerja keras pantang menyerah. Kita juga selayaknya jadi Itik Buruk dalam cerita dongeng, yang cuek dengan cemoohan orang tapi punya hasrat untuk mewujudkan mimpi.<br />
<br />
Dirgahayu.*</div>
</div>
<div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-89142029620262144252010-10-25T05:35:00.000-07:002010-10-26T04:48:09.407-07:00Kepada Para Gajah<img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 142px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxW5N39xkbOR-lIzWcGISX9JEY6aYJqelqCFQRuIeaTXeH8tNrcltWW8oi7maBjU9AdZ5E76inBY22PWviQS1nWrg-LAJ-az4acv7_q_t6jhCLBz1iiJNolT-O-oClkuJ5nz3e/s200/ilustrasi_dharta.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5531992029323417202" />SETAHUN kemerdekaan, Dharta menyatakan sikapnya sebagai sastrawan di tengah api revolusi. Nadanya liris, bak surat untuk kekasih. Mungkin terbawa suasana sentimentil sejak jatuh hati pada Aini. Aini perempuan Minang, sekretaris pribadi Soekarno di Poesat Tenaga (Poetera).Ia sendiri anggota Angkatan Pemuda Indonesia (API). Kedua lembaga itu sama-sama berkantor di Menteng 31 Jakarta.<br /><br />“Revolusi, kekasihku… Lama dikau kunantikan di taman masa, dari abad menjelang abad. Rinduku sesak-menyesak dan meletus bersama seruanmu yang menusuk jantung,” tulis A.S. Dharta, dengan nama pena Kelana Asmara, dalam esai “Sastrawan di Tengah Api Revolusi” yang dimuat di <i>Gelombang Zaman</i>.<div class="fullpost"><br /><br />Ia sudah memutuskan kodratnya: sastrawan turun dari ke-aku-annya, berdiri di pihak yang tertindas, menghunus pedang-kata menghadang kaum penindas! Sastrawan mesti berani terus menerompetkan kebenaran. Sastrawan menegakkan tenaga raksasa di hati massa, menempa keyakinan granit di kalbu patriot, memelopori massa ke arah cita yang tinggi murni: bandar humanisme damai bahagia.<br /><br />Tapi seruannya menembus tembok tebal. Madiun pecah, pertikaian yang meneteskan darah. Sepasang kekasih ini, yang pernah ikut kursus “Marx-House” di pabrik gula Padokan (sekarang Madukismo) dan menempuh “perkawinan-senjata” dengan disaksikan kawan-kawan seperjuangan, terkena imbasnya. Aini dijebloskan ke penjara Tawangmangu, Dharta di Wirogunan.<br /><br />Tak lama, Belanda memborbardir Yogya. Para tawanan berbaris menuju kantor penjara, minta bebas, untuk kembali membela tanah air. Keluarlah mereka sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dharta segera membebaskan istrinya, lalu meneruskan perjuangan. Ia meninggalkan istrinya di Yogya, berjalan kaki menuju pos baru, mendaki Gunung Slamet dan menuruni lembah-lembahnya.<br /><br />Pada 1949, dia sudah berada di Jakarta. Juga menyempatkan diri menengok kampung halamannya di Hanjawar, Cianjur. Di rumah masa kecilnya, dengan nama pena Jogaswara, sekali lagi ia serukan peran sastrawan dalam revolusi. Revolusi belum juga usai tapi kini di ambang kehancuran dari dalam. Dia meluapkan amarah: “Angkatan 45 sudah mampus. Mati bunuh diri,” karena sudah bunuh-membunuh, hancur-menghancurkan, dan “Bila kita ingin mencari kuburan Angkatan 45, ia ada di mana-mana, tersebar di seluruh persada Nusantara. Tetapi kuburan-induknya ada di Madiun.”<br /><br />Tapi Angkatan 45 taklah satu dan sendiri. Dia percaya akan datang “Angkatan Sesudah Kami” yang lebih lengkap, lebih sempurna, lebih kuat: angkatan pelaksana cita-cita Angkatan 45.<br /><br />Martina Heinschke dalam “Between Gelanggang and Lekra” menulis, Dharta memilih Peristiwa Madiun bukanlah perselisihan antara kekuatan komunis dan nasionalis, tapi lebih sebagai konflik antargenerasi atau angkatan. Angkatan 45, “pemikul hari esok” itu, sepenuhnya gagal karena lemahnya komitmen, perpecahan, dan kurangnya ketajaman politik. Sebagai konsekuensinya, Dharta menuntut para pengarang membuat awal baru, berbasiskan komitmen politik yang tegas.<br /><br />Dharta sendiri, dalam esai “Kepada Seniman Universal”, tak memaksudkan esai itu dalam kaitan konflik antargenerasi tapi lebih pada hubungannya dengan revolusi. Baginya, Agustus 1945 bukan permulaan revolusi dalam lapangan kesusastraan, tapi permulaan suatu revolusi kemasyarakatan. Kesusastraan terpengaruh olehnya dan “itu hanyalah bukti kesekian kalinya tentang kebenaran pendapat bahwa seorang sastrawan tak mungkin dan tak bisa berdiri ‘netral’, terlepas dari pengaruh lingkungannya.”<br /><br />Tapi mungkin Heinschke benar mengenai pengaruh esai itu, ketika menulis, “Selangkah demi selangkah, apa yang kemudian menjadi sikap Lekra, seperti tertuang dalam Manifesto tahun 1950, merupakan reaksi positif atas esai Dharta tersebut.”<br /><br />Reaksi juga muncul dari sejumlah sastrawan: Ibarruri (nama pena Dipa Nusantara Aidit), Sugiarti, Sitor Situmorang, Anas Maruf, Achdiat Karta Mihardja, M. S. Ashar, Asrul Sani, dan lain-lain.<br /><br />“Dalam politik Angkatan 45 kalah,” tulis Mochtar Lubis dalam “Hidup, Mati?” di majalah <i>Siasat</i>, 4 Desember 1949. Lubis menyinggung kemunduran revolusi.<br /><br />“<i>Juist</i>! Dan politik adalah pelopor dari segala perjuangan!” Dharta menanggapinya dalam esai “Sekitar Angkatan 45”.<br /><br />Lebih jauh Dharta menggerakkan konsep yang lebih luas: susun barisan eksekutif baru. Sebab, yang lama terbukti tak mampu menyelesaikan revolusi. Apa yang disebut Angkatan 45 gagal dalam cara bekerja!<br /><br />“Masa baru kini tiba. Masa organisasi, masa mewujudkan, masa bekerja wetenschappelijk plus energi jiwa patriot, masa kesadaran mengisi ucapan pemimpin-pemimpin kita: kemerdekaan adalah jembatan untuk melaksanakan kemakmuran rakyat. Kita tambahi: untuk membebaskan Rakyat dari segala macam penjajahan perut, kebodohan, kebiasaan bobrok, adat lapuk.”<br /><br />Sebuah embrio organisasi baru mulai bersemi. Tapi pematangannya masih perlu waktu.<br /><br />Dharta sendiri terpuruk karena kehilangan separo hatinya. Sang kekasih dikawin-paksa dan dibawa kabur ke negeri Belanda oleh Letnan Verwey, seorang perwira Nefis yang sudah lama menguber-uber Dharta, ketika dia melakukan kerja politik di Palembang. Dia ngeloyor masuk ke restoran, menuangkan bergelas-gelas bir ke dalam perutnya. Ia hidup beberapa hari semacam itu. Kawan-kawannya segera membawanya kembali dalam front perjuangan. Dia masuk serikat buruh untuk melawan keputusan Konferensi Meja Bundar di bidang perekonomian. Namun dia tak bisa melupakan sang kekasih, dan sejak itulah lahir nama pena Klara Akustia. “Aku tahu apa yang terjadi, dia adalah korban revolusi,” ujarnya kepada saya.<br /><br />Pada 17 Agustus 1950, “barisan eksekutif baru” itu akhirnya lahir dengan nama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Dharta ditunjuk sebagai sekretaris jenderal. Rumah M.S. Ashar, rumah Dinas Perhubungan di Jalan Wahidin No 10, tempat gagasan ini lahir, jadi kantor Sekretariat Pusat Lekra, setelah sebelumnya berkantor sementara di Salemba 9, Jakarta.<br /><br />Menurut Martina Heinschke, di antara Angkatan 45, pengarang Lekra minoritas pada tahun-tahun pertama. Secara politik Peristiwa Madiun mengisolasi mereka, sementara dari sudut pandang artistik, reputasi mereka masih terbatas. Anggota Lekra juga tak masuk dalam aktivitas kebudayaan resmi, baik dalam kongres kebudayaan, Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, dan editorial Indonesia.<br /><br />“Tesis provokatif yang dikemukakan Dharta mengenai kegagalan Angkatan 45 dan revolusi nasional bukan hanya menarik pengikut, juga menyatukan lawan terhadap gagasan ini,” ujar Heinschke.<br /><br /><br />DI DESA Tugu, Puncak, Bogor, sebuah vila berdiri anggun di tanah seluas satu hektar. Berlantai dua, berdinding kayu. Ia menghadap ke jurang. Di bawahnya mengalir sungai kecil. Pekarangannya luas dan bertingkat, dengan hamparan rumput menghijau, penuh mawar dan kembang teluki. Ketika dibangun pada 1949, suasananya masih sunyi. Jalan menuju vila tak beraspal, jadi becek kala hujan. Harimau sering turun gunung.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjC0srm57LYzZOpXvOoRboZPP3kbdY2kbiuz5hWYZDL8sSDbUFke5StHWf24x2JNG2KWZ2UrxUvjFf6EQfYPbILs3WyASkO0nMLqpkKWwcfvdNtJclKS_QqBdQ35nogR-evyn_F/s1600/sutan-takdir.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 142px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjC0srm57LYzZOpXvOoRboZPP3kbdY2kbiuz5hWYZDL8sSDbUFke5StHWf24x2JNG2KWZ2UrxUvjFf6EQfYPbILs3WyASkO0nMLqpkKWwcfvdNtJclKS_QqBdQ35nogR-evyn_F/s200/sutan-takdir.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5531992370917986098" /></a>Si empunya rumah, Sutan Takdir Alisjahbana, sering datang di akhir pekan. Dia suka memandangi Gunung Gede di sisi selatan vila. Sesekali berenang. Tapi kegiatan utamanya tetaplah ajeg: membaca, menulis, dan melihat tetumbuhan di sekitar pekarangan.<br /><br />Takdir ingin menjadikan vilanya, dalam istilah Asrul Sani, sebagai “salon kesusastraan atau seni”. Dia suka mengumpulkan seniman-seniman yang lebih muda darinya di vila, mempertemukan pemikiran-pemikiran yang berbeda.<br /><br />Momennya juga tepat. Setelah Lekra, muncul Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG), yang terbit kali pertama dalam Gelanggang, sisipan majalah Siasat, Oktober 1950. Syahdan, SKG ini pernah dibacakan dalam sebuah pertemuan budayawan dan intelektual di paviliun Hotel Indes di Jakarta pada Juni 1950. Sejak itu Angkatan 45 dianggap telah pecah, mencari jalan sendiri-sendiri, membawa keyakinan masing-masing.<br /><br />Awal 1950, apa yang disebut angkatan baru dan angkatan lama, dengan wakil-wakil terbaiknya, bertemu dan berhadap-hadapan: Asrul Sani dan Takdir. Asrul Sani merumuskan Angkatan 45, “bukan sekelompok pemuda, bukan prajurit yang berdiri di medan perang mempertahankan kemerdekaan negara, dan juga bukan suatu aliran kesusastraan, tapi sesuatu percobaan untuk mengadakan hidup baru.” Dan percobaan mencari hidup baru ini dipertentangkannya dengan angkatan Pujangga Baru di zaman kolonial. Baginya, Angkatan 45 mulai dengan kesangsian, yang dilahirkan di zaman Jepang dan revolusi.<br /><br />Sebaliknya, Takdir melihat kesangsian dan percobaan mencari hidup baru itu sebagai karakter Pujangga Baru. “Begitu sangsi orang-orang Pujangga Baru itu kepada kebudayaan lama, kepada masyarakat kolonial, kepada bahasa Belanda, kepada Balai Pustaka, hingga mereka meninggalkan pantun dan hikayat, meninggalkan bahasa Belanda, meninggalkan Balai Pustaka, dan mulai bekerja dengan sebebas-bebasnya.”<br /><br />S. Rukiah, yang meliput pertemuan itu, dalam majalah <i>Pudjangga Baru</i>, Februari 1950, menulis: “Pertemuan-pertemuan yang demikian itu pulalah yang memberikan corak kepada zamannya, dan menghidupkan dunia cipta dalam zaman itu.”<br /><br />Tapi pembicaraan belumlah usai. Senja di tahun 1951, Asrul Sani kembali datang ke sana. Dia tak sendirian. Di dalam mobilnya ada Rivai Apin, Rustandi Kartakusumah, S. Nuraini, dan Samiati Alisjahbana. Di vila itu, hadir pula Amir Pasaribu, Baharudin, Henk Ngantung, Sudjojono, Hariyadi, Gajus Siagian, J. A. Dunga, dan Sam Udin.<br /><br />Malam itu, yang mestinya jadi pembicara adalah anggota Lekra. Tapi karena belum juga datang, Asrul Sani yang mengajukan pembahasan. Diskusi membahas pesimisme dan epigonisme dalam sastra Indonesia, yang berlangsung sampai larut malam. Catatan pertemuan ini dituliskan Asrul Sani dalam “Sebuah Pembelaan”, yang dimuat di <i>Siasat</i>, 20 Mei 1951, lalu masuk dalam bukunya <i>Surat-Surat Kepercayaan</i>.<br /><br />Pada pertemuan berikutnya, Dharta dan Njoto datang mewakili Lekra. Sementara dari “pihak lawannya” terdapat Sutan Takdir Alisjahbana, Ir Udin, Resink, R. Nieuwenhuis, Beb Vuyk, Rustandi, Trisno Sumardjo, dan Basuki Resobowo. Boejoeng Saleh dari Lekra dan Asrul Sani dari Gelanggang akan menguraikan soal kebudayaan rakyat serta kebudayaan dan politik. Keduanya tak datang, dan Takdir-lah yang mengupasnya.<br /><br />Takdir mengupas fungsi seni dalam masyarakat yang “bulat” seperti dalam masyarakat primitif dan dalam masyarakat yang terpecah-pecah seperti di Barat. Lalu sampailah dia pada kesimpulan bahwa yang primer pada seni itu adalah bentuk yang harus indah.<br /><br />Dharta bereaksi, mencap seni yang hanya mengutamakan bentuk yang indah dan mengabaikan isi sebagai seni formalis. Bagi Lekra, bentuk dan isi itu primer, tak bisa didahulukan yang satu dari yang lain.<br /><br />“Seni yang indah bentuknya tapi busuk isinya, seperti film-film Amerika yang memperkosa hak-hak kemanusiaan, dengan mempertunjukkan diskriminasi ras terhadap orang-orang Niger yang dianggap sebagai orang-orang jahat dan sebagainya, adalah salah satu contoh dari seni formalistis yang berbahaya. Seniman yang jujur macam Multatuli pernah marah, karena orang hanya memuji gaya bahasanya yang indah, tapi kurang mempedulikan isi karangannya. Padahal yang menjadi maksud utama dari Multatuli ialah mengemukakan isinya,” ujar Dharta.<br /><br />Bagi Resobowo, isi itu hanyalah objek. Dan baginya objek itu bisa apa saja asalkan merupakan suatu <i>belevenis</i> (cerita) dari penciptanya.<br /><br />Takdir mengatakan isi itu penting, dan seni yang besar merangkum pula soal-soal besar mengenai seluruh masyarakat. Dia mengkritik seniman Indonesia sekarang yang melihat ke Barat tanpa menyadari soal-soal kita sendiri.<br /><br />Diskusi lalu mengalir ke soal pesimisme dan elan. Njoto bicara banyak seniman Indonesia yang penuh elan dan optimistik. Trisno Sumardjo melihat kemajuan dalam seni lukis. Resink menyoroti kemenurunan elan dari orang-orang yang dulu penuh elan. Selesai.<br /><br />Achdiat K. Mihardja dalam laporannya di <i>Pudjangga Baru</i>, Februari 1951, menulis pertemuan semacam ini, “…menghilangkan ketegangan yang biasanya timbul dalam konfrontasi antara ideologi dan ideologi.”<br /><br />Perbedaan pandangan antara Lekra dan Gelanggang pada awal 1950-an masih dianggap wajar. Asrul Sani dalam <i>Siasat</i>, Desember 1953, yang juga termuat dalam <i>Surat-Surat Kepercayaan</i>, menulis perbedaan keduanya baru pada penamaan, orientasi, dan penghargaan tapi belum pada produksi (karya). Semata-mata karena keduanya belum lagi beroleh bentuk.<br /><br />Dalam esai “Dari Idealisme ke Realisme”, Dharta menulis Angkatan 45 menjadi dua: kesusastraan idealisme dengan etiket “humanisme universal” sebagai konsep perjuangan dan kesusastraan realisme-kreatif dengan konsep perjuangan kesusastraan untuk rakyat-banyak. Keduanya masih masih diikat dan sependirian bahwa revolusi tak mencapai tujuan.<br /><br />“Dalam detik perjuangan sekarang, dalam praktiknya, keduanya bersatu dan mesti dapat bersatu,” tulisnya. Tapi, dia yakin faktor sastrawan generasi baru akan mendorong kebangkrutan humanisme universal dan kebangkitan realisme-sosialis.<br /><br />Upaya Takdir tentu lebih bermakna ketimbang apa yang terjadi di tahun-tahun kemudian, ketika perbedaan disikapi dengan pertentangan. Kini, di sudut kanan halaman depan vilanya, tepat di bawah serumpun bambu, tampak nisan dari batu marmer berwarna putih dengan torehan nama: Sutan Takdir Alisjahbana. Februari tahun lalu, 100 tahun kelahiran pujangga ini dirayakan di sini. Takdir meninggal pada 17 Juli 1994.<br /><br /><br />HANS BAGUE JASSIN berbadan gemuk. Pipinya agak tembam. Ada tahi lalat di pipi kirinya. Jassin dikenal sebagai kritikus sastra terkemuka sesudah perang, sehingga mendapat julukan “Paus Sastra Indonesia”. Jassin pulalah yang membela hak hidup Angkatan 45, dan mempopulerkan Chairil Anwar sebagai pelopornya.<br /><br />Dharta menganggap Jassin sebagai kawan yang menyenangkan. “Saya bersahabat betul dengan Jassin. Dia sebagai manusia mempunyai pengertian; berlelucon, jalan-jalan. Sama dia jadi manusiawi, meski dalam beberapa hal berbeda pendapat,” ujar Dharta kepada saya.<br /><br />Perbedaan pendapat terjadi di halaman-halaman koran. Jassin menulis esai “Angkatan 45” dalam bulanan Zenith, edisi kebudayaan mingguan <i>Mimbar Indonesia</i> No. 3 tanggal 15 Maret 1951. Dalam esai itu Jassin menyoroti esai Dharta soal kemampusan Angkatan 45. Dharta menjawabnya melalui esai “Kepada Seniman Universal”.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjv_Teo1AhOiSMveosMncutcClXf8pgVHNkeXGanqWZxGPtSkhSMWPcRfhYAQsDW0HLaA0Fa-cuPZprY9ZDiOoNjfPPKSA-lB8hnXoEjGzzVyhCn_Ax0sXAEdP_8mO7fKV0dZ4P/s1600/d93567eb19b0381eff40157d4069dd6f.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 155px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjv_Teo1AhOiSMveosMncutcClXf8pgVHNkeXGanqWZxGPtSkhSMWPcRfhYAQsDW0HLaA0Fa-cuPZprY9ZDiOoNjfPPKSA-lB8hnXoEjGzzVyhCn_Ax0sXAEdP_8mO7fKV0dZ4P/s200/d93567eb19b0381eff40157d4069dd6f.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5531993023223536514" /></a>Jassin menulis, orang terlalu melihat beberapa pemuka Angkatan 45, seperti Chairil Anwar, Idrus, dan Asrul Sani, dari satu sudut dan mengurangkan sudut lainnya. Chairil Anwar menulis “Aku Ini Binatang Jalang” tapi juga membuat sajak “Diponegoro”, “Beta Pattiradjawane”, “Kenanglah Kami”. Orang menafsirkan sajak-sajak mereka secara dangkal dengan pengenalan yang dangkal pula. Dharta bersepakat soal pemuka Angkatan 45. Tapi Dharta tak mau Angkatan 45 hanya dipakai sebagai etiket, sementara karyanya tak selaras dengan isi nama itu.<br /><br />Jassin menulis soal kekuatan tenaga kata-kata “yang mengandung pikiran-pikiran paling dalam” dalam perjuangan. Dharta sependapat, tapi, “Pikiran-pikiran dalam yang bagaimana?” tanyanya. “Kalau hanya mempersoalkan masalah perseorangan, tidak ada sangkut-paut dengan masalah manusia-banyak, maka ‘pikiran dalam’ itu hanya dalam dan dianggap berguna oleh beberapa gelintir orang. Dan ini adalah individualisme.”<br /><br />Bagi Jassin, meski berlainan visi di antara Angkatan 45, dalam satu hal mereka sama, yakni dalam gaya (bentuk). Bagi Dharta, isi dan bentuk adalah suatu kesatuan syarat yang tak bisa dipisah-pisahkan, dinomorsatuduakan. Jassin visi dan gaya, Dharta isi dan bentuk.<br /><br />Jassin memajukan konsep Angkatan 45, yakni humanisme universal, meski “Satu keberatan bisa dikemukakan terhadap keuniversalan ini. Sangat banyak kemungkinan, tapi toh orang harus memilih dalam praktiknya dan apabila telah memilih boleh bertengkar lagi.”<br /><br />Dharta tak setuju dengan konsep humanisme universal, yang baginya adalah baju baru untuk <i>l’art pour l’art</i>. “Di dalam praktik kita melihat, bahwa ‘seni universal’ dipergunakan untuk lebih menjauhkan, untuk lebih mengasingkan, seniman dan seni dari masyarakat. … Dengan ini menjadi jelas, bahwa kesusastraan universal tidak netral, tidak berdiri di atas segala. Di dalam praktik dia menjadi sekutu kelas yang antiperubahan masyarakat ke arah perbaikan.”<br /><br />Tulisan Jassin juga penuh berisi perbedaan antara Angkatan 45 dan Pujangga Baru, dengan titik berat pada gaya. Di akhir tulisannya, Jassin mengajak bicara tentang pengarang orang per orang, “asal kuat pribadinya”, ketimbang bicara soal angkatan. Dharta menganggap kalimat itu banci —menyebut ucapan terakhir dalam karangan itu meruntuhkan apa yang sudah Jassin bangun dan pertahankan. Dharta melihat Angkatan 45 dalam hubungannya dengan revolusi, di mana kesusastraan terpengaruh olehnya, dan sekali lagi membuktikan bahwa seorang sastrawan tak mungkin dan tak bisa berdiri ‘netral’, terlepas dari pengaruh lingkungannya.<br /><br />Jassin menyinggung perdebatan itu dalam surat kepada Aoh Karta Hadimadja, yang kemudian dimuat dalam syarahan <i>Mingguan Mimbar</i> Umum, 9 Desember 1951. Dharta menjawabnya lewat esai “Kita Adalah Anak Zaman” yang terbit di <i>Pudjangga Baru</i> pada 1952 dan diterbitkan ulang Lentera, <i>Bintang Timur</i>, pada 1962.<br /><br />Dalam surat itu Jassin menjelaskan soal isme-isme dan —tersirat sependapat dengan Asrul Sani— menolak penamaan dengan isme-isme. “Karena itu kita bisa mengerti sikap sebagian seniman yang mengatakan bikin saja sebagaimana yang kau rasa paling baik. Dan inilah yang disebut orang pula <i>l’art pour l’art</i> dengan hukumnya sekali seni individualistis, dengan pengertian yang jelek. Tetapi adakah<i> l’art pour l’art</i> harus jelek, sifat hasilnya harus individualistis?”<br /><br />Dia juga balik bertanya: “adakah kemungkinan semua baik dan bagus atau semua jelek dan buruk?” Bagi Dharta, Jassin menempatkan dirinya di atas segala dan ini adalah penyakit dewa-dewaan.<br /><br />Jassin juga menolak penyamarataan Angkatan 45 punya visi individualis, karena Angkatan 45 heterogen. Tulisnya: “Seni Angkatan 45 ialah seni universal, dasar-dasarnya tempat mencipta boleh berlain-lainan, tapi dalam keseluruhannya, sebagai hasil ciptaan, harus mencapai keuniversalan.”<br /><br />Dharta sekali lagi menegaskan pendirian Lekra: menolak <i>l’art pour l’art</i>. “Ini adalah formalisme: nomor satu bukan pandangan hidup yang dimanifestasikan oleh hasil seni, tetapi bentuk hasil seni itu mesti berseni. Biar pandangan hidupnya bertentangan dengan kepentingan rakyat, hasil sastra adalah sempurna kalau syarat-syarat seninya dipenuhi!” tulis Dharta.<br /><br />Dalam surat kepada Aoh K. Hadimadja, tertanggal 15 Desember 1951, Jassin tidak menyinggung lagi esai Dharta. Dia lebih menjawab pertanyaan Aoh tentang humanisme universal. Jassin mulai memakai kata “humanisme” dalam kata pengantar <i>Gema Tanah Air</i> tahun 1948, yang merupakan reaksi kritis atas pemikiran “humanisme” para seniman dalam redaksi <i>Gema Suasana</i>. Dia senang, setuju dengan tendens humanisme, tapi juga galau ketika tahu mereka tanpa sadar jadi alat politik Belanda. “Humanisme universal” lalu didukung Jassin ketika konsep itu diangkat oleh Surat Kepercayaan Gelanggang.<br /><br />Kepada Iramani (nama pena Njoto), Dharta mengatakan, “Jassin hanya mencari untuk mencari, sedang aku sudah tahu di mana tempatku.” Dan Iramani menambahkan: bagi seniman, tahu menempatkan diri adalah salah satu soal terpenting!<br /><br />Pertemanan mereka taklah runtuh oleh perbedaan itu, mungkin justru mendekatkan keduanya. Beberapa kali Dharta mengirim surat dan kartu pos untuk Jassin. Di bawah isi suratnya, sebelum tertera namanya, dia menulis “sahabat”.<br /><br />Salah satu surat, tertanggal 20 Februari 1953, dikirim dari Wina, Dharta menulis: “… ini gambar tempat istirahat buruh di Rumania, yang memang bukan sorga, tetapi yang terang kehidupan bersinarkan kegembiraan dan harapan dan di mana manusia adalah manusia dengan segala sifatnya yang baik.” Ya, Dharta ingin menunjukkan dunianya pada Jassin.<br /><br />Jassin juga bukan orang yang membedakan lawan dan kawan. Sajak Dharta “Nyi Marsih”, misalnya, dimuat di majalahnya, <i>Siasat</i>, tahun 1951 karena dinilainya sebagai sajak yang berhasil, isi dan bentuknya mencapai kesatuan yang harmonis.<br /><br />Tak ada demarkasi antara kawan dan lawan, masing-masing menjauhi permainan hitam-putih —seperti larik puisi Dharta untuk HB Jassin “Antara Bumi dan Langit”.<br /><br />“Kita tetap melihat lebih besar dan lebih kuatnya persamaan antara kita dan kita daripada perbedaannya,” tulis Dharta dalam “Kita adalah Anak Zaman Kini”. “Orang boleh bebas menganut faham pendirian seninya, tapi orang tidak bebas untuk tidak memperhatikan masalah bangsanya, dan kemudian masalah dunia. Ini yang kita harap!”<br /><br /><br />PADA 7 Maret 1956, Dharta mengirimkan kartu pos untuk karibnya, Samandjaja: “Saya tebak Bung sudah terima surat Sekretariat Pusat tentang research perkembangan kesusastraan. Saya harap… Belum adanya jawaban Bung tentang ini dan tentang Pleno yang akan datang…. Kami pikirkan acaranya sekitar realisme. Jangan kita simpang siur dalam interpretasi subjektif.”<br /><br />Bulan-bulan ini Dharta begitu getol mengirimkan surat untuk Samandjaja. Pikirannya selalu bekerja, mencari cara memajukan Lekra. Dalam surat-surat itu, selain soal-soal pribadi, dia mengajukan riset perkembangan kesusastraan, gerakan penilaian secara massa, penerbitan kumpulan puisi bertemakan sama, permintaan naskah untuk <i>Zaman Baru</i>, dan sebagainya.<br /><br />“Berbaris juga suratku ini, bukan? Nyaris saban hari. Soalnya sangat sederhana: saya butuh omong. Omong yang bisa melahirkan perbuatan praktis dan yang bisa mempertinggi diri,” tulis Dharta dalam surat kepada Samandjaja, 10 Maret 1956.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvOKViD4JlwJf9vn-AKY1c5fhu38DEq6n4ls8xud0F9ZXaoL710lEPfCkJtSGqV82JuVkxOoy9pncCjQpVbpvRBAnvo-v1yXV4vbwRneSClbgYbkxYcOW7ydu3L2wVX6vWSq7j/s1600/Oey+Hay+Djoen.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 186px; height: 194px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvOKViD4JlwJf9vn-AKY1c5fhu38DEq6n4ls8xud0F9ZXaoL710lEPfCkJtSGqV82JuVkxOoy9pncCjQpVbpvRBAnvo-v1yXV4vbwRneSClbgYbkxYcOW7ydu3L2wVX6vWSq7j/s200/Oey+Hay+Djoen.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5531993372769376562" /></a>Kala itu Samandjaja, nama lain Oey Hay Djoen, dikenal sebagai pengusaha nasional yang berkomitmen sosial tinggi. Dia jadi anggota Konstituante mewakili Partai Komunis Indonesia, juga bergabung dengan Lekra di Semarang. Ketika pada 1957 pindah ke Jakarta, karena ditarik ke sekretariat pusat Lekra, dia menawarkan rumahnya di Jl Cidurian 19, di kawasan Cikini, sebagai sekretariat, menggantikan kantor sebelumnya di Jl Dr Wahidin yang tak memadai lagi.<br /><br />Dalam surat balasannya dari Semarang, tertanggal 8 Juni 1956, Samandjaja memberi sambutan yang hangat atas anjuran Dharta soal riset dan seruan penilaian secara massa. Tapi, “Menurut hematku, dalam hal kedua persoalan, segi di atas ini saja sudah terkandung suatu problem yang maha besar. Sebab ia menentukan posisi kita selanjutnya. Ia menuntut dari kita pemecahan soal cara kerja, soal ‘dari mana memulai’ pekerjaan. Terang, keduanya tidak bisa dilepas-lepaskan. Tetapi terang pula: sistimatik dalam penyelesaian pekerjaan harus ada.”<br /><br />“Untuk sampai pada keputusannya, masing-masing soal perlu lebih dulu diperbincangkan secara mendalam, bukan sepintas lalu.”<br /><br />Samandjaja sadar balasan suratnya agak ekstrim. Dia ingin tak ada yang menggantung. Seruan “penilaian secara massa” misalnya —belakangan terbit di <i>Harian Rakjat</i>, 30 April 1956. Tanpa cara kerja, meski Sekretariat Pusat Lekra bersedia membantu siapa pun yang memerlukan keterangan, ia bisa menyulitkan.<br /><br />Saya tak menemukan jawaban Samandjaja soal sidang pleno. Sebagai anggota pleno Sekretariat Lekra, Samandjaja mendapat undangan itu. Sidang Pleno itu diadakan di Jakarta pada 27, 28, dan 29 April 1956. Agenda acaranya: “Realisme Sosialis, dalam pengertian dan pekerjaan kita”. Semua anggota pleno diundang, juga di luar anggota seperti Basuki Resobowo, Rivai Apin, Hendra Gunawan, dan Boejoeng Saleh. Saya juga tak menemukan hasil pleno ini.<br /><br />Tapi, realisme sosialis adalah konsep berkesenian Lekra yang amat penting. Dharta memperkenalkan konsep ini sejak 1951 lewat esai “Dari Idealisme ke Realisme”, meski tidak secara utuh. “Realisme adalah kesusastraan yang menggambarkan kenyataan. Tetapi ini saja tidak cukup. Kesusastraan seharusnya menggambarkan, membongkar kenyataan, plus memberi jalan kepada manusia. Dan inilah realisme kreatif,” tulis Dharta.<br /><br />Tanpa kejelasan, menyulitkan dalam tataran praktik, berkembanglah penafsiran-penafsiran subjektif di antara seniman Lekra. Tapi realisme sosialis bukanlah konsep yang selesai, masih terbuka bagi kritik. Itulah kenapa perlu pembahasan.<br /><br />“Realisme sosialis ada setelah Lekra. Itu kan dari Prof. Lukács, dari universitas Hongaria. Maksudnya supaya peranan rakyat, bekerja, ditekankan dalam hasil-hasil kesenian. Supaya hasil-hasil kesenian bersih dari unsur feodal dan borjuis,” ujar Dharta kepada saya.<br /><br />Georg Lukács adalah filsuf dan kritikus sastra Hongaria, profesor estetika dan filsafat kebudayaan pada Universitas Budapest (1945-1956). Estetika Lukács, seperti dikutip Eka Kurniawan dalam <i>Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis</i>, menekankan hubungan-hubungan sosial sebagai dasar estetikanya. Menurutnya, subjek suatu kreasi seni bukanlah manusia yang dilihat secara statis, yang membuat kreasi seni itu jadi condong kepada subjektivisme dan semboyan. Sastra haruslah dinamis, menata karakter-karakter dalam perspektif sejarah serta memperlihatkan arah, perkembangan, dan motivasi. Agar sastra menjadi dinamis, gerak sejarah utama saat ini haruslah diperhitungkan. Pada abad ke-20, gerakan itu adalah sosialisme. Karenanya gaya sastra kontemporer yang benar, menurutnya, hanyalah realisme sosialis, yang secara praksis berdampingan dengan gerakan sosialis.<br /><br />Cikal bakal realisme sosialis dipercaya sudah hadir sejak terbit novel Gorky <i>Mother</i>, yang dianggap sebagai karya puncak realisme sosialis, pada 1906. Artinya, dalam pengertian Pram dalam <i>Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia</i>, istilah realisme sosialis timbul jauh setelah pempraktikkannya. Istilah itu sendiri baru diperkenalkan dalam Kongres I Sastrawan Soviet di Moskwa pada 1934 oleh Andrei Zdanov.<br /><br />Menurut Dharta, kesusastraan yang berorientasi kerakyatan tidak dimulai oleh Lekra. Dia menyebut karya-karya Asmara Hadi, Sanusi Pane, dan Aoh Karta Hadimadja. Lekra hanya menjadi penerus, yang melanjutkan, dalam suasana dan manusia Indonesia menurut zamannya. “Lekra telah merumuskan garis orientasi kerakyatannya sebagai garis realisme-kreatif. Realisme yang mempunyai kearahan, yang mempunyai sasaran dan tujuan. Dalam kekaburan pengertian inilah masih merajalela kekaburan pengertian tentang Lekra,” tulisnya dalam esai “Kesusastraan Ke Arah Emansipasi Petani”.<br /><br />“Realisme yang dianut Lekra bukan “<i>art of facts</i>”…. Tapi kenyataan dengan segala kemungkinan dan perkembangannya.”<br /><br />“Realisme-kreatif itu sendiri tidak berarti siap-selesai di dalam kelanjutannya. Ia hanya baru menyelesaikan segi orientasinya!”<br /><br />Taklah berlebihan jika ia dianggap belum sepenuhnya berhasil diterapkan seniman-seniman Lekra. Banyak pula yang menilai rendah mutu karya-karya Lekra, dari dalam maupun luar Lekra. Dalam pertemuan Lingkaran Sastra Lekra cabang Jakarta tahun 1956, terlontar pernyataan serupa: sajak-sajak penyair Lekra umumnya dianggap agitasi, bertendens, dangkal, tak memenuhi syarat-syarat sajak. Ia tidak baik, tidak artistik. Ia bukan sajak, bukan hasil sastra.<br /><br />Dharta menerima sekaligus mempertanyakannya ukuran apa yang dipakai. Dia mengajak bersikap kritis dan melakukan studi, di sisi lain menekankan —seperti judul esainya— “Penilaian adalah Hasil dari Suatu Sikap Hidup”.<br /><br />“Ya iya dong masak kita mesti sempurna? Selama masih ada penghisapan oleh manusia atas manusia, selama masih ada sistem kelas, selama itu kekurangan itu tidak bisa hapus, akan selalu ada,” ujarnya kepada saya.<br /><br />“Stalin ngomong ‘<i>Nothing is perfect nothing, even communism is not perfect</i>’. Komunisme juga tidak sempurna. Tidak ada yang sempurna! Dalam perbandingan antara komunisme dan kapitalisme, komunisme lebih baik. Kalau kapitalisme itu mempertahankan adanya sistem penghisapan kelas, kalau komunisme mau menghapuskannya.”<br /><br />Karena ketaksempurnaan itu pula dia menyerukan agar tak henti-henti memperfeksi diri. Dia menulis, menerjemahkan, tulisan-tulisan yang menggambarkan perkembangan kesusastraan di negara-negara sosialis, agar jadi bahan berguna bagi para pengarang. Semuanya disesuaikan dengan keadaan, waktu, dan tempat.<br /><br />Pidato Mikhail Sholokhov, pengarang terkemuka Soviet, dalam Kongres Partai Komunis Uni Soviet, tak ditelannya mentah-mentah. Sholokhov menganjurkan agar sastrawan hidup di tengah masyarakat, sekaligus membebaskan diri dari segala yang menghambat kerja kepengarangan. “Kita paling banter bisa menganjurkan supaya pekerjaan organisasi itu jangan menelan kegiatan mengarang. Malahan mesti bisa mengatur demikian, sehingga pekerjaan organisasi bisa menjadi rangsang dan sumber bahan untuk mengarang, untuk mencipta,” tulisnya dalam “Menilai dan Menafsirkan Pidato Sholokhov”.<br /><br />Pada Konferensi Nasional II, 28 Oktober 1957, ketika menyampaikan laporan Sekretariat Pusat Lekra, Dharta kembali menekankan kerja keorganisasian yang mendorong “kelahiran penciptaan-penciptaan yang bernilai” dan “tidak mutlak harus menjadikan diri kita semacam robot.” Dalam laporan itu pula dia menyimpulkan kegiatan-kegiatan Lekra sudah membawa kemenangan azas kerakyatan atas paham ”seni untuk seni”, “ilmu untuk ilmu”, dan “filsafat untuk filsafat”.<br /><br />Tapi, sejak awal, dia sadar keterbatasan dirinya sebagai manusia. Dalam suratnya kepada Samandjaja, 4 Februari 1956, dia sudah menuliskannya: “Kadang-kadang diriku malu oleh kebesaran kasih manusia. Malu karena aku tak becus untuk melukiskannya secara tepat, secara memadai. Apa boleh buat, tugas kita, hanya memberikan maksimum yang ada pada kemampuan kita. Intensif dan tak bersyarat!”<br /><br /><br />SEBUAH kudeta merangkak menenggelamkan semuanya. Gerakan kebudayaan itu langsung habis begitu Soeharto melancarkan ”gerakan pembersihan”. Para aktivitasnya dipenjara dan sebagian dibuang ke Pulau Buru tanpa proses pengadilan. Lekra dianggap sebagai <i>onderbouw</i> Partai Komunis Indonesia, partai yang dipersalahkan atas peristiwa pembunuhan para jenderal.<br /><br />Hubungan PKI dan Lekra ibarat minyak dan air. Aidit ingin Lekra jadi organisasi resmi PKI. Salah satu resolusi rapat Pleno II CC PKI pada 1963 adalah menggelar Konferensi Nasional Sastra dan Seni, yang akhirnya diadakan pada 27 Agustus hingga 2 September 1964 dengan nama Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner.<br /><br />“Siapa? Dari mana?” tanya Dharta kepada saya. Nadanya keras.<br /><br />“CC PKI.”<br /><br />“Tidak logis, secara teori nggak kena!” ujarnya. “Dasar teorinya apa? Nggak ada. Pertama dasar teorinya bagaimana perbandingan di partai yang sudah ada, apa itu di partai luar negeri. Nggak ada! Siapa anggota CC itu? Akh, ngawur itu! Terbelakang sekali orang itu!”<br /><br />“Intinya kan mengingatkan bahwa kebenaran itu tidak dimonopoli oleh PKI. Ada kebenaran lain yang sama, kebenaran yang diperjuangkan oleh kebudayaan, oleh Lekra, oleh kultur. Jangan ada anggapan bahwa partai itu sempurna!”<br /><br />“Apakah dia tidak tahu bahwa (perlu) ada faksi supaya jadi tantangan untuk menguji hingga di mana salah-benarnya PKI. Ini kan malah menguntungkan PKI. Itu bagaimana sih sampai nggak ngerti!”<br /><br />Saya tak pasti apakah dia benar-benar tidak tahu, mengingat kedekatannya dengan Aidit. Tapi ketika itu berlangsung, di tahun 1964, tempatnya bukan lagi di Lekra —meski dia menjadi salah satu peninjau dalam Konferensi Lekra di Palembang. Sejak 1962, Dharta mendirikan dan memimpin Universitas Kesenian Rakyat di Bandung, yang kemudian juga hancur oleh “pembersihan”.<br /><br />Dharta sendiri diciduk di rumahnya di Bandung, lalu masuk penjara Kebonwaru. Selepas dari penjara tahun 1978, nama A.S. Dharta seolah menghilang. Banyak kawannya yang bahkan mengira dia sudah meninggal dunia. Padahal, dia berada di Cianjur, di rumahnya yang asri. Sehari-hari dia hanya membaca koran, buku, atau menonton sepakbola. Belakangan, sesekali dia menelpon atau menemui teman-temannya yang bertandang ke rumahnya. Dua tahun lalu saya mengenalnya, berdiskusi dengannya, bahkan menjadi bagian dari keluarganya.<br /><br />“Hormat kepada Tursaho. Dia bisa bikin saya 15 tahun nggak ngapa-ngapain. Dia berhasil membikin saya lumpuh, membikin saya impoten tanpa penyakit AIDS. Hebat dia! Hebat Maestro! Hebat Tursaho!” ujar Dharta kepada saya, berkelakar. Tursaho adalah Soeharto —Dharta memang suka memelesetkan nama orang.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLCtoVrvUjoLJtX92FPYsZGNTQrVfZXw1pcB4oN88UcFQF4Kk9B6QrHzFfuA_Z87SGMOrA0vz28WvcuhZZwoDxFcecY8R4EPvuV9ZSVXL-o7vmendEsqoEqZibc6D6d9Iiyozz/s1600/suharto_nembak.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 264px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLCtoVrvUjoLJtX92FPYsZGNTQrVfZXw1pcB4oN88UcFQF4Kk9B6QrHzFfuA_Z87SGMOrA0vz28WvcuhZZwoDxFcecY8R4EPvuV9ZSVXL-o7vmendEsqoEqZibc6D6d9Iiyozz/s400/suharto_nembak.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5532318712424440306" /></a>Orde baru memasungnya, juga jutaan orang Indonesia. Tapi apa yang dibangunnya pada 1950 seolah masih hidup, dalam bentuknya yang paling buruk. Kasar. Main sikat. Tukang berangus. Banyak orang merujuk buku <i>Prahara Budaya</i> karya karya Taufik Ismail dan D. S. Moeljanto.<br /><br />“Taufik Ismail itu ngomong bahwa kita tuh ... kan nggak pernah sebut fakta toh! Jadi kapan kita merugikan mereka kan nggak ada. Kenapa tidak turun kepada fakta. Sebutkan dong! Kemungkinan benar, kenapa tidak! Karena Lekra kan tidak mungkin beres, selalu beres, kenapa tidak mungkin salah!”<br /><br />Tapi roda sejarah sudah berputar. Sejarah ”versi pemenang” terus direproduksi. Penelitian Keith Foulcher, <i>Social Commitment in Literature and Art</i>, secara khusus mempelajari pergulatan gagasan tentang kesatuan atau keterpisahan antara seni (sastra) dan politik. Robohnya orde lama oleh Foulcher tidak hanya dipandang sebagai awal kebangkitan dan kejayaan orde baru, tapi juga kemenangan pengikut pandangan sastra universal.<br /><br />Dan kemenangan itu membawa kemapanan. Arief Budiman, salah seorang penandatangan Manifest Kebudayaan, yang pada 1968 menolak nilai universal dalam kesusastraan, melihat sejarah kesusastraan Indonesia modern sudah tidak sehat lagi. Kesusastraan “universal” berjaya secara mapan, hampir-hampir tanpa saingan dan tandingan. Pada 1984, bersama Ariel Heryanto, dia menggagas “sastra kontekstual”. Gagasan itu menyiratkan keinginan sastrawan muda untuk meninjau kembali nilai-nilai sastra yang mapan dan peranan sastra dalam perubahan sosial. Gagasan ini mengingatkan saya pada esai Dharta menjelang tahun 1950 —mungkin juga semangat kelompok Manifest Kebudayaan pada 1960-an.<br /><br />Tapi lagi-lagi, sastrawan generasi tua khawatir status quo-nya akan tergerogoti, juga takut bangkitnya “musuh” lama: Lekra. “Sastra kontekstual” pada 1984 dihubung-hubungkan dengan Lekra. Arief Budiman dianggap sebagai pembela Lekra. Tinjauan kritis tak pernah mencapai hasil. Menurut Ariel Heryanto dalam “Politik Kesusastraan Indonesia Mutakhir” di majalah <i>Prisma</i> tahun 1988, pertentangan di masa lalu antara Lekra dan Manifest berakhir pada lingkup politik, tapi belum tuntas dalam tingkat konseptual dan emosional.<br /><br />Kumpulan esai ini menjadi sebuah upaya untuk menghadirkan kembali pemikiran dan perdebatan yang muncul di awal 1950-an, dalam tataran konseptual (merujuk artikel Heryanto), ketika kepentingan politik belum muncul dan saling serang tidak dijadikan senjata.<br /><br />Generasi muda sekarang jauh lebih kritis. Mereka tak mau tafsir tunggal, bahkan dari pihak yang sekarang kalah sekalipun. Dalam sebuah diskusi di Jakarta, sikap itu tampak jelas. Saut Situmorang, sastrawan asal Yogyakarta, pernah mengeluhkan generasinya yang terjepit di antara “dua gajah”. Saya menyalahkan kenapa mau terjepit, atau diam kena jepit. Dalam kesempatan lain, saya juga meminta seniman-seniman tua untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri, atau membuka dialog sejarah dengan generasi di bawahnya.<br /><br />Begitu sulitkah dialog yang tua dan muda?<br /><br />Ketika itu tampaknya sulit terwujud, esai Dharta terngiang di benak saya, dalam bentuknya yang baru: “Angkatan Lekra sudah mampus, angkatan Manifest Kebudayaan sudah mampus, karena sudah bunuh-membunuh, hancur-menghancurkan.” Generasi baru mesti menegaskan sikap generasinya.<br /><br />Pada 7 Februari 2007, A.S. Dharta menghembuskan nafas terakhir di rumahnya di Cibeber, Cianjur. Satu per satu yang tua mati, yang muda tumbuh.<br /><br />Pada akhirnya gajah-gajah itu hanya akan meninggalkan gading. Generasi sekarang mungkin tak akan menemukan kebenaran tunggal. Tapi sudah semestinya, seperti dalam permainan pinsut, semut selalu menang lawan gajah. Generasi sekarang harus membuat sejarahnya sendiri.*<br /><br /><br />Kebayoran Lama, Juli 2008<br />Budi Setiyono<br />Wartawan Pantau di Jakarta<br /><br />[<b>Catatan</b>: tulisan ini merupakan kata pengantar untuk buku <i><a href="http://budisetiyono.blogspot.com/2010/07/kepada-seniman-universal.html">Kepada Seniman Universal</a></i>, kumpulan esai sastra AS Dharta] </div><div class="fullpost"><br /><br /></div><div class="fullpost"><b>Sumber foto dalam blog ini</b>:<br />Sutan Takdir Alisjahbana (<span style="font-style:italic;">gausarts.blogspot.com</span>)<br />HB Jassin (<span style="font-style:italic;">www.jakarta.go.id</span>)<br />Oey Hay Djoen (<span style="font-style:italic;">oeyhaydjoen.blogspot.com</span>)<br />Soeharto (<span style="font-style:italic;">imantambak.blogspot.com</span>).</div><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-1190699683192550492010-07-19T07:31:00.000-07:002010-10-26T04:38:01.936-07:00Kepada Seniman UniversalPADA 7 Februari 2008, di Pusat Dokumentasi HB Jassin, Oey Hay Djoen berbicara dalam acara “Mengenang Setahun Wafatnya Klara Akustia”. Dia bersedia, meski awalnya enggan ngomong soal Lekra –hal yang tak bisa dihindarkan ketika membicarakan sosok A.S. Dharta, karena sadar ada banyak anak muda yang ingin mengintip sekelumit sisi sejarah ini. Di sinilah Om Saman –begitu biasa saya menyapa– bicara soal Lekra dan tentu saja Dharta.<br /><br />“Melihat sosok Dharta jangan semata-mata melihat puisi-puisinya. Juga yang justru penting adalah esai-esai sastra yang dia tulis,” ujarnya.<div class="fullpost"><br />Dan Om Saman pula yang mendorong saya mengumpulkan dan menerbitkan tulisan-tulisan Dharta.<br /><br /><a href="http://budisetiyono.blogspot.com/2007/02/in-memoriam-as-dharta-1924-2007.html">A.S. Dharta</a> (1924-2007), seorang sastrawan-cum-politisi kelahiran Cibeber, Cianjur. Pernah menjadi anggota Konstituante pada masa Orde Lama. Ia juga sekretaris jenderal pertama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan redaktur <i>Zaman Baru</i>, penerbitan resmi Lekra, serta pendiri dan rektor Universitas Kesenian Rakyat di Bandung. Karya utama: <i><a href="http://budisetiyono.blogspot.com/2007/05/rangsang-detik.html">Rangsang Detik, sajak-sajak 1949-1957</a></i>.<br /><br />Pengumpulan esai-esai Dharta dilakukan sejak saya mengenal Dharta dan sering bertandang ke rumahnya untuk berdiskusi. Esai-esai pertama yang tersedia, dan masih dalam bentuk ketikan, justru esai-esai awal dan terpenting Dharta: “Angkatan 45 Sudah Mampus” dan “Kepada Seniman Universal”. Selebihnya, dibantu sejumlah teman dan kerabat, saya lacak di Perpustakaan Nasional dan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin.<br /><br />Esai-esai Dharta terutama dimuat di <i>Gelombang Zaman</i>, <i>Spektra</i>, <i>Zaman Baru</i>, <i>Harian Rakjat</i>, dan <i>Bintang Timur</i> –atau setidaknya kami memfokuskan pencarian di media-media tersebut. Ini persoalan efisiensi saja, meski ada kemungkinan esai yang dimuat di media di luar itu. Misalnya, esai di sebuah majalah di Makassar, <i>Berita Kebudayaan</i>.<br /><br />Esai-esai itu kemudian saya seleksi dan menjadikannya sebuah buku dengan judul <i>Kepada Seniman Universal</i>, yang diterbitkan oleh Ultimus, Bandung.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvHan1fSFUq8r7Teijql9yxaxZGd0fzZifaI1xzfmfaKumLDdXjZzunQrVCKJIajsD5CntgjA2-YUdN-MZpfDHdCwShEt-5qiBqADOHQLaiDOSm01DGAvndAKZmtBRTgMtwlVt/s1600/cover+dharta.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 148px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvHan1fSFUq8r7Teijql9yxaxZGd0fzZifaI1xzfmfaKumLDdXjZzunQrVCKJIajsD5CntgjA2-YUdN-MZpfDHdCwShEt-5qiBqADOHQLaiDOSm01DGAvndAKZmtBRTgMtwlVt/s200/cover+dharta.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5499723818353707618" /></a><span style="font-weight:bold;">Kepada Seniman Universal</span><br />Kumpulan Esai Sastra A.S. Dharta<br />Editor: Budi Setiyono<br />Peneliti: Amat, Imam Shofwan, Iratasty Sidharta, Ratih Purwasih, Trully Hitosoro<br />Desain sampul: Dhany A.<br />Penerbit: Ultimus<br />Tahun terbit: Juli 2010<br /><br />Saya bikin kata pengantarnya. Jika di buku <i>Rangsang Detik</i> saya ulas proses kreatif puisi-puisinya dalam "<a href="http://budisetiyono.blogspot.com/2007/05/keremajaan-klara-akustia.html">Keremajaan Klara Akustia</a>", kali ini saya mencoba menghadirkan kembali pemikiran dan perdebatan yang muncul di tahun 1950-an, dalam tataran konseptual, ketika kepentingan politik belum muncul dan saling serang tidak dijadikan senjata. Saya juga mengaitkannya dengan perlunya dialog sejarah, bukan semata untuk generasi tua yang masih berseteru, tapi juga dengan generasi sesudahnya.*</div><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-20807600440253291082010-05-04T05:25:00.000-07:002011-07-28T05:55:48.945-07:00Huyung: Guru Para Sineas<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYAvoZwwiSppUkM2ATRvC7dvsaznoznH-52ZtqDRHwOYlgkv-a74tcIxxE0w1u6AEexgcdqBxcEixfOWU6Gi9_TOKNgmwBsj4ixH10jQfQdZmWhG7E97KLJZl6UArG4LxlL-4I/s1600/1.+Hoe_Yong.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 137px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYAvoZwwiSppUkM2ATRvC7dvsaznoznH-52ZtqDRHwOYlgkv-a74tcIxxE0w1u6AEexgcdqBxcEixfOWU6Gi9_TOKNgmwBsj4ixH10jQfQdZmWhG7E97KLJZl6UArG4LxlL-4I/s200/1.+Hoe_Yong.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5634381987759360978" /></a>JALAN hidupnya memang unik sekaligus kontroversial. Namanya tercatat dalam sejarah tiga negara: Korea, Jepang, dan Indonesia; sebagai Hue Yong, Hinatsu Eitaroo, dan Huyung. Demi cita-citanya sebagai sutradara film, dia mengambil pilihan yang bisa membuatnya dicap sebagai seorang kolaborator, pembelot, pahlawan, atau semata orang yang naif dan pragmatis.<br /><br />Hue Yong, nama aslinya, lahir di Hamgyong, Korea, pada 21 September 1908. Tak ada catatan tentang keluarga dan masa kecilnya. Ketika beranjak dewasa, dia ingin jadi sutradara, dan mewujudkannya jadi soal sulit jika dia tetap berada di tanah airnya. Sejak 1910, dua tahun setelah dia lahir, Korea menjadi bagian dari wilayah Kekaisaran Jepang. Tak sedikit warga Korea yang bermigrasi ke Jepang.<div class="fullpost"><br />Hue Yong memutuskan pergi ke Jepang untuk belajar film. Usianya masih 17 tahun. Di Tokyo, dia bekerja dengan menggunakan nama Hinatsu Eitaroo di studio film Makino Shozo, bapak perfilman Jepang. Tapi masalah keuangan memaksa studio itu tutup pada 1931. Hinatsu lalu bekerja sebagai asisten sutradara di perusahaan film Shochiku. Pada periode ini pula Hinatsu bertemu lalu menikah dengan gadis Jepang, Hanako.<br /><br />Hanako lahir di Shimane, sebuah provinsi yang juga dikenal sebagai Kyoto-kecil. Ayahnya seorang pengusaha sukses yang terpandang di daerahnya. Wajahnya cantik. Hanako lulus dari sekolah khusus perempuan di Tokyo (<i>Tokyo joshi gakko</i>) pada 1934, lalu menjadi tokoh <i>sweet girl</i> di Morinaga yang melejitkan namanya.<br /><br />Hinatsu sendiri lagi menanjak kariernya. Sebagai asisten sutradara yang menonjol, masa depannya cerah. Pada 1933, dia juga menghasilkan karya film musikal yang berjudul <i>Nure Tsubame</i>. Tapi sebuah peristiwa nyaris menenggelamkan kariernya.<br /><br />Suatu hari, di musim semi 1937, Hinatsu membuat adegan ledakan di depan istana Himeji untuk film panjang <i>Summer Battle of Osaka</i> (<i>Osaka Natsu No Jin</i>) yang disutradarai Teinosuke Kinugasa. Dia salah memperhitungkan jumlah bubuk mesiu. Dia terluka. Sebagian bangunan istana, yang dianggap warisan budaya nasional, rusak. Polisi menggiring Hinatsu ke kantor polisi dan menginterogasinya selama berjam-jam. Identitasnya sebagai orang Korea terbuka. Pekerjaannya hilang. Dia dinyatakan bertanggung jawab atas ledakan itu dan dihukum masa percobaan.<br /><br />Di Tokyo dia sempat bekerja di perusahaan Shinke Kinema, membantu beberapa produksi film, dan menyelesaikan pendidikan di Universitas Waseda. Setelah itu dia pulang ke Korea untuk membuat sebuah drama berdasarkan kisah hidup Yi In-suk, seorang tentara sukarelawan Korea yang menjadi martir saat bertugas membela Kekaisaran Jepang. Dari sini saja orientasi hidupnya sudah mulai terbentuk, yang makin terlihat ketika dia membuat film (propaganda) Jepang.<br /><br />Di Korea, dia mendapat tawaran untuk membuat <i>You and I</i> (<i>Kimi to boku</i>). Film ini dirancang sebagai “Proyek Kerjasama Film untuk Unifikasi Ibu Pertiwi dan Korea” dengan bantuan Kantor Gubernur Jenderal Korea dan Seksi Informasi Balatentara Jepang. Tanabe Masatomo, kepala Divisi Edukasi Pemerintah Kolonial Korea sekaligus temannya, memperkenalkannya dengan sutradara film terkemuka Jepang, Tasaka Tomotaka. Sebelum produksi film dimulai, Tanasaka yang semula setuju menyutradarainya tiba-tiba mengundurkan diri dengan alasan pribadi. Akhirnya film itu dikerjakan oleh Hinatsu, sebagai penulis skenario maupun sutradara.<br /><br />Syuting film dilakukan di Koryo Film Studio yang seadanya, menggunakan kamera lawas dan peralatan tata pencahayaan yang didapat dengan susah-payah dari tentara kolonial dan studio film lainnya. “Orang-orang di Ibu Pertiwi (Jepang) tak akan bisa membayangkan kondisi sederhana yang biasa dilakukan di sini untuk membuat film,” ujar Hinatsu seperti dikutip Peter B. High dalam <i>The Imperial screen: Japanese film culture in the fifteen years' war, 1931-19</i><i>45</i>.<br /><br />Film ini jadi awal keterlibatan Hinatsu dalam program kebijakan film Jepang menjelang Perang Pasifik. Dan tokoh dalam <i>You and I</i>, bernama Kaneko Eisuke, ibarat cerminan dirinya. Eisuke seorang sukarelawan di kamp pelatihan militer di dekat Keijo, Seoul. Eisuke memilih jadi sukarelawan karena, “Pada saat krisis seperti ini, tak adil meletakkan semua tanggung jawab di pundak saudara-saudara kita di Ibu Pertiwi. Kita, pemuda Peninsula, juga harus memikul senjata untuk mengabdi pada Kekaisaran.”<br /><br />Tapi motif Hinatsu mungkin tak semata pengabdian. Melihat cita-citanya, pilihan ini adalah jalan logis untuk meningkatkan karier. Selain itu, tulis Peter B. High, Hinatsu punya motif lain: “psikologi” penjajah –dalam satu periode hidupnya dia tampil sebagai ultranasionalis Jepang. Sementara Michael Baskett dalam<i> The Attractive Empire: Transnational Film Culture in Imperial Japan</i>, lebih melihat Hae Young sebagai hasil dari kebijakan imperialisasi Jepang di Korea, sama seperti karakter Eisuke ciptaannya.<br /><br />Baskett juga menulis, sumber-sumber (dokumen) Jepang dan Korea pascaperang memiliki pandangan berbeda tentang <i>You and I</i>. Sejarah film Jepang menyebut film itu meraih sukses besar, sementara sejarah film Korea menganggapnya sebagai propaganda buruk yang gagal. Namun kedua sumber tersebut setuju bahwa film itu jadi katalisator yang memotivasi Hinatsu untuk meninggalkan Korea dan pergi ke Indonesia.<br /><br />Hinatsu meninggalkan Hanako, istrinya yang berusia 25 tahun dan telah memberinya dua anak. Anak laki-laki mereka meninggal di usia 10 tahun. Anak perempuan mereka, Moeko, sedang beranjak dewasa. Hanako melanjutkan hidup dengan bisnis rumah makan dan sukses. ”Seniman itu dingin. Kamu nikah sama orang biasa saja ya! Ya, ayah memang melakukan semuanya demi impiannya menjadi pembuat film,” ujar Hanako kepada Moeko seperti terekam dalam <i>http://www.k5.dion.ne.jp/~moeko/index.html</i>.<br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9tRb-GdgSeAfFapqA9xTj_2S2G9BS7Yf6pdPiPyLlk36DPOESjCw6CmAN4n3bGyPhQzPybjU1bAwhPGGimF0T7S5OxXQxraEsgeGAQamQhXLh5N9mP2Z0wg_Gp0dmKUqVVHb2/s1600/2.+huyung.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 274px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9tRb-GdgSeAfFapqA9xTj_2S2G9BS7Yf6pdPiPyLlk36DPOESjCw6CmAN4n3bGyPhQzPybjU1bAwhPGGimF0T7S5OxXQxraEsgeGAQamQhXLh5N9mP2Z0wg_Gp0dmKUqVVHb2/s400/2.+huyung.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5634385943941515666" /></a>PADA musim semi 1942, Hinatsu Eitaroo tiba di Jawa sebagai bagian dari rombongan ahli kebudayaan Jepang yang bekerja untuk Kantor Propaganda Jepang (<i>Sendenbu</i>).<br /><br />Sendenbu, yang merupakan organ utama pemerintah militer (<i>Gunseikanbu</i>) Jepang, dibentuk pada Agustus 1942. Ia bertanggung jawab atas propaganda dan informasi yang menyangkut pemerintahan sipil. Beberapa orang berbakat dan spesialis di bidang kesenian tertentu, seperti Hinatsu, direkrut.<br /><br />Pendudukan Jepang membawa perubahan besar-besaran dalam produksi film dan sandiwara di Jawa. Pembikinan film (propaganda) dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah. Film-film Jepang, terutama yang berguna untuk propaganda, diimpor. Dalam bidang drama, Sendenbu membentuk sekolah dan mendorong pembentukan kelompok-kelompok teater baru, yang kemudian berkumpul dalam <i>Jawa Engeki Kyok</i><i>ai</i> atau Perserikatan Oesaha Sandiwara di Djawa (POSD). Produksi drama meningkat, lahir dari karya seniman Indonesia seperti Abu Hanifah, Usmar Ismail, Armijn Pane, Idrus, Kotot Sukardi....<br /><br />Hinatsu bertugas memimpin POSD, yang menggalakkan penulisan dan pementasan drama. Kelompok sandiwara yang semula bermain tanpa naskah diharuskan mementaskan cerita tertulis, setelah melalui sensor POSD. Hinatsu akan marah jika ada seniman yang menyalahi aturan. Kamadjaja, misalnya, pernah kena semprot karena nekat mengubah isi lakon teater “Petjah sebagai Ratna” karya Kotot Soekardi yang dipentaskan kelompok sandiwara Tjahaja Timoer. Tapi akhirnya Hinatsu diam saja setelah menonton pementasan.<br /><br />Usaha lainnya melalui sayembara penulisan skenario film, lakon sandiwara, syair, dan semboyan yang bertemakan pengerahan Romusha. Hasil sayembara akan dibikin film, pementasan, dimuat di majalah dan suratkabar. Mohammad Hatta menjadi ketua panitia, dan Hinatsu menjadi wakilnya.<br /><br />“Sayembara serupa ini perlu diadakan sebagai tindakan untuk menyempurnakan pengerahan Romusha dan untuk menyatakan penghargaan pada mereka,” ujar Hinatsu seperti dikutip<i> Asia Raya</i>, 4 Juni 1945.<br /><br />Hinatsu sendiri rajin menulis naskah drama, yang kemudian dipentaskan di beberapa kota. Lakon-musiknya “Asia Gembira” dipentaskan kelompok sandiwara Warnasari di Jakarta, yang menampilkan tarian, nyanyian, dan musik dari berbagai wilayah Asia Timur Raya. Ada juga pementasan akbar lakonnya “Boenga Rampai Djawa Baroe”, yang merangkai tarian, nyanyian, lelucon, sandiwara, dan pencak silat, untuk menyambut peringatan tiga tahun koran <i>Djawa Baroe</i>.<br /><br />Karya terpopulernya, “Fadjar Telah Menjingsing”, dipentaskan di Jakarta dan Surabaya untuk menyambut janji Indonesia merdeka di kemudian hari –yang disampaikan Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Asia Tenggara Marsekal Terauci ketika bertemu Sukarno, Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat di markasnya di Dalat, Vietnam– sekaligus peringatan hari jadi POSD. Pemainnya: bintang-bintang sandiwara kenamaan dari berbagai kelompok sandiwara seperti Tjahaja Timoer, Warnasari, Noesantara, Bintang Soerabaja, dan Dewi Mada.<br /><br />“POSD dengan demikian ingin membuktikan adanya gabungan dan persatuan di antara berbagai sandiwara di Jawa, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam riwayat sandiwara di Indonesia,” tulis <i>Soeara Asia</i>, 6 September 1944.<br /><br />Hinatsu juga mengarang syair lagu “Kirikomi no Uta” karya Kusbini. Keahliannya dalam bidang film dia terapkan dalam penyutradaraan film dokumenter <i>Calling Australia</i> (<i>Goshu no Yobigoe, 1944</i>) untuk menjawab kritik Sekutu soal kamp tahanan Jepang. Pembuatannya dilakukan di salah satu kamp, dengan pemeran tahanan perang sungguhan.<br /><br />Film ini menggambarkan bagaimana para tahanan menikmati kehidupan yang nyaman di kamp-kamp tahanan. Mereka mendapat perawatan kesehatan yang baik, bebas menyiapkan makanan di dapur, minum bir, dan main bilyar. Tahanan perempuan mengeluhkan kenaikan berat badan mereka. Ketika pembuatan film hampir rampung, pamflet tentang film itu dijatuhkan ke seantero Australia. Harapannya, semangat tentara Australia kendor dan mendorong mereka menyerah kepada Jepang.<br /><br />Propaganda Jepang ternyata tak sebanding dengan kemampuan tempurnya dalam Perang Pasifik. Pada 1945, Jepang kalah perang. Film <i>Calling Australia</i> karya Hinatsu dirampas lalu dibikin ulang oleh sutradara Belanda Jaap Speyer untuk menunjukkan perlakuan kejam tentara Jepang dengan judul <i>Nippon Presents</i>. <i>Calling Australia</i> juga diputar di Pengadilan Kejahatan Perang di Tokyo pada 1945 sebagai bukti yang memberatkan para pemimpin militer Jepang.<br /><br />Dalam situasi ini, sekali lagi Hinatsu mengambil keputusan sulit. Kepada seorang teman dekatnya, Hinatsu berkata: “Kalian (orang-orang Korea) semua datang ke sini (Indonesia) dalam sebuah kelompok yang bekerja untuk militer Jepang. Tapi saya atas inisiatif sendiri mencoba membujuk pemerintah kolonial Korea untuk membuat <i>You and I</i> dengan bantuan militer kolonial. Semua orang tahu tentang <i>You and I</i>. Semua orang tahu bahwa Hue Yong dan Hinatsu Eitaroo adalah orang yang sama. Ditambah lagi bahasa Korea saya tak begitu bagus. Saya adalah seorang Korea yang hampir tak mengetahui apapun tentang sejarah Korea selain apa yang saya pelajari di Tokyo… Apabila saya kembali ke Korea, saya akan dicap sebagai antek Jepang,” ujarnya seperti ditulis Michael Baskett dalam <i>The Attractive Empire: Transnational Film Culture in Imperial Japan</i>.<br /><br />Hinatsu Eitaroo memilih tetap tinggal di Indonesia dan mengganti namanya menjadi Dr Huyung. Dia juga menikahi seorang perempuan Indonesia, dan mulai membangun dunia teater dan film Indonesia yang sedang berkembang.<br /><br /><br />PADA Juli 1948, sebuah konferensi pers digelar Kementerian Penerangan di Yogyakarta, pusat pemerintahan Republik ketika agresi militer II Belanda. Isinya, Kementerian Penerangan akan membuka sekolah film dan teater, Cine Drama Institute, di Manduretna, Notoprajan, Yogyakarta. Tujuannya pendirian sekolah film modern itu adalah mendidik seniman Indonesia dengan teori dan praktik.<br /><br />“Cine Drama Institute itu sifatnya dapat disamakan dengan Hollywood’s Quarterly atau Course Dunham School of Drama and Theatre di Amerika dan Soviet Film Academy di Rusia,” ujar Iskak, kepala bagian Film dan Sandiwara di Kementerian Penerangan, sebagaimana ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam <i>Kronik Revolusi</i>.<br /><br />Huyung, yang karena pengalamannya diangkat menjadi pegawai bagian Film dan Sandiwara di Kementerian Penerangan, mengatakan bahwa institut ini akan mengajarkan teknik film, teknik drama, pressphoto, musik, tari, ilmu kesusastraan, kesenian, serta bahasa Indonesia dan Inggris.<br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFyX46XTWMZTKCH32857aPTdAliFEteDDTUKWbpYwReT-WusUMt90yVxs5Eici50VzpNiZ9ASz9hyKL5NO1P__ZbP9CTOpEBkz5ayeAdaBk4rVY4F_rHncI0wXHMAbEdUsbsDX/s1600/3.+huyung.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 137px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFyX46XTWMZTKCH32857aPTdAliFEteDDTUKWbpYwReT-WusUMt90yVxs5Eici50VzpNiZ9ASz9hyKL5NO1P__ZbP9CTOpEBkz5ayeAdaBk4rVY4F_rHncI0wXHMAbEdUsbsDX/s200/3.+huyung.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5634382244556871058" /></a>Di Yogya inilah terekam perjalanan kreatif Huyung di bidang drama dan film. Di sini dia dia sering memberi ceramah tentang sandiwara dan film. Di antara murid-muridnya tercatat nama Usmar Ismail, bapak perfilman nasional. Pembentukan Cine Drama Institute juga tak lepas dari perannya. Sekolah ini menerima pemuda lulusan Sekolah Menengah Tinggi (SMT) atau yang sederajat dan pegawai film yang sudah berpengalaman. Lama pendidikan: 1,5 tahun. Pemimpin umum sekolah adalah Mr Sujarwo. Iskak dan Huyung menjadi kepala sekolahnya. Guru-gurunya antara lain Drs Sigit, Ki Hajar Dewantara, Armijn Pane, Drs Sumaji, dan Intojo. Salah seorang siswanya, Soemardjono, kelak menjadi sutradara terkemuka. Tapi institut itu tak bertahan lama. Huyung sendiri mengundurkan diri karena adanya konflik sesama pendiri.<br /><br />Setahun kemudian dia mendirikan Stichting Hiburan Mataram, dengan R.M. Darjono dan R.M. Harjoto sebagai pucuk pimpinannya. Sticting Hiburan Mataram lalu menelorkan Kino Drama Atelier (KDA) yang dikerjakan secara sungguh-sungguh oleh Huyung. Dia juga masih sempat membuat naskah drama “Malam Sutji” yang pementasannya diusahakan oleh Badan Persatuan Pendidikan Tionghoa Yogyakarta dan “Kisah Pendudukan Yogya” yang dipentaskan kelompok drama Ksatrya. Sukarno bahkan memuji pertunjukan dramanya.<br /><br />Dia tak ingin perkembangan seni di Indonesia mandeg. Dia sering berdiskusi dengan sejumlah seniman. Percakapannya dengan Sudjojono dan Sudarso Wirokusumo, misalnya dimuat di majalah Kesenian tahun 1950, lalu dijadikan brosur yang diterbitkan Kementerian Penerangan. Isinya membicarakan berbagai kesenian di Indonesia dan kemungkinan-kemungkinannya di masa datang.<br /><br />Pada tahun itu juga, Huyung kembali ke Jakarta dan membikin film <i>Antara Bumi dan Langit</i>, produksi Stichting Hiburan Mataram dan Pusat Film Nasional. Naskah skenarionya dibikin sastrawan Armijn Pane. Ceritanya tentang kedudukan pribumi dan Belanda yang bagaikan bumi dan langit serta cinta yang tak tergapai antara Abidin (diperankan oleh S. Bono) dan Frieda (Grace), gadis blasteran. Dalam film itu, Huyung menyelipkan adegan ciuman –yang kelak dianggap sebagai yang pertama dalam sejarah film Indonesia.<br /><br />“Pemilihan pokok ceritanya memang aktual (persoalan Indo) tapi dalam pengubahan skrip tetap mengarah pada komersialisme… <i>Antara Bumi dan Langit</i> telah melakukan konsesi terhadap selera penonton-banyak, karena sex-appeal dan nyanyiannya, seperti pernah ditulis sendiri oleh Armijn Pane bahwa memang sengaja memasukkan resep film Amerika: <i>avontuur</i>, <i>spanning</i>, romantik, tragik, nyanyian, dan sebagainya,” tulis Usmar Ismail dalam <i>Mengupas Film</i>.<br /><br />Masalah muncul ketika beberapa adegan ciuman muncul di suratkabar. Kontroversi pun merebak. Pada 21 Januari 1951, empat bulan sebelum badan sensor memberikan persetujuan, Pelajar Islam Indonesia cabang Medan memprotes film itu. Ekspatriat di Indonesia memprotes isinya yang sensitif. Film ini tertahan di lembaga sensor selama dua tahun dan beredar kembali setelah revisi dan mengubah judulnya jadi <i>Frieda</i>, nama tokoh utamanya. Revisi itulah yang membuat Armijn Pane menolak pencantuman namanya.<br /><br />Film itu meraih sukses. Huyung lalu membuat film <i>Bunga Rumah Makan</i> (dari karya Utuy Tatang Sontani), <i>Gadis Olahraga</i>, dan <i>Kenangan Masa</i>. Tapi ajal keburu menjemputnya sebelum dia sempat menyumbangkan lebih banyak karya bagi perfilman Indonesia. Dia meninggal dunia karena sakit di usia 43 tahun, pada 9 September 1952. Dia dimakamkan di Petamburan, Jakarta.<br /><br />Sebagian perjalanan hidup Hinatsu coba dirangkai oleh Moeko, anak perempuannya. Semula dia berpikir ayahnya gugur dalam perang. Lalu dia mendengar dari ibunya bahwa sang ayah pergi ke Jakarta sebagai agen penerangan tentara Jepang dan tak diketahui rimbanya. Moekoe sendiri berpikir ayahnya masih hidup dan membuat film di Indonesia. Usai perang dia lega ketika tahu ayahnya masih hidup, menikah lagi, dan punya anak dari istri keduanya. Dari film-film ayahnya, dia merasa bahwa ayahnya sangat mencintai keluarga.<br /><br />“Ibu, ayah menggunakan namamu dalam film-film yang dibuatnya di Indonesia. Misalnya film <i>Restoran no Hana</i> atau drama <i>Asia no Hana no Kisetsu</i>,” bisik Moeko dalam hati kepada arwah ibunya. Hanako, istri pertama Huyung, meninggal pada 1960.<br /><br />Sepeninggalan Huyung, kelompok filmnya bubar. Para sineas dan dramawan Indonesia merasa kehilangan. Bagaimana pun Huyung sudah meletakkan dasar bagi perkembangan seni pentas dan film di Indonesia. *<br /><br /><br />[<span style="font-style:italic;">Dimuat di www.majalah-historia.com tanggal 3 Mei 2010 dalam tiga tulisan: “Di Negeri Penjajah”, “Antara Drama dan Film”, serta “Guru Para Sineas”</span>]</div><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-1187405965179110342010-04-09T05:33:00.000-07:002010-10-26T04:38:49.325-07:00Beb<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj14-Xm1d08trM0fnCnuHIRWKIkZlv8hykmbin3BWFb_vNP1t_UkDavqPCX9lahdp9RTDQJ0_xIpL3mtF0r4gk0z9Zg28q4wbeVe0usZL1C-ITHw6gGILYNPNFE7VQtq8lvCP6U/s1600/ratih_album.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 144px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj14-Xm1d08trM0fnCnuHIRWKIkZlv8hykmbin3BWFb_vNP1t_UkDavqPCX9lahdp9RTDQJ0_xIpL3mtF0r4gk0z9Zg28q4wbeVe0usZL1C-ITHw6gGILYNPNFE7VQtq8lvCP6U/s200/ratih_album.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5458117605492635474" /></a>SEHARIAN Beb sibuk. Ia sudah mempersiapkan beberapa lagu yang akan ia nyanyikan. Kostum sudah pula ia persiapkan: kebaya Sunda. Beb akan menyanyi di Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat, mengisi acara malam pergantian tahun sekaligus peresmian rumah makan milik saudaranya. Ia berangkat malam hari, menembus jalanan yang rusak di sana-sini, di antara gerimis dan kabut tipis.<br /><br />Pukul lima pagi, setelah perjalanan yang melelahkan, Beb sampai di losmen di pinggir pantai. Tapi ia tak ingin segera bersantai, sementara Sang Mama sudah melenggang menuju pantai. Deburan ombak tak menggerakkan kakinya untuk menengok sejenak. Masih ada waktu nanti untuk memanjakan mata. Ia membereskan tas, membersihkan badan, lalu bersiap tidur. Belum juga lelap, sebuah pesan pendek masuk: sang abang pingsan. Beb mulai gelisah.<div class="fullpost"><br />Sudah beberapa minggu ini abangnya keluar-masuk rumah sakit karena liver. Semalam ia mendapat kabar kesehatannya sudah membaik, dan bahkan sudah pulang ke rumah. Beb bisa pergi ke Ujung Genteng dengan perasaan tenang. Tapi pagi ini, sakit abang kambuh lagi. Beb membalas pesan pendek agar abang dibawa ke rumah sakit.<br /><br />Selang beberapa menit, telepon berdering. Kabar buruk datang lagi: abang meninggal dunia. Beb tercekat. Suaranya terbata, lalu menjerit, menangis. “Bohong, kamu bohong….”<br /><br />Saya terkesiap dari tidur. Saya melihat Beb histeris. Sendirian. Pintu losmen masih terbuka tapi tak ada seorang pun di beranda. Saya mendekat, mendekap, berusaha menenangkannya. Tapi Beb terus saja berteriak, terus meyakinkan diri bahwa kabar itu isapan jempol belaka. Tubuhnya lunglai. Kakinya menendang apa saja yang ada di dekatnya. “Aku ingin memberikan yang terbaik buat abang. Tapi kenapa tak diberi kesempatan...” ia merengek.<br /><br />Saya mulai panik. Saya menghubungi nomor ponsel Mama, tapi suara panggilan berdengung di dalam kamar. Penghuni losmen lainnya, yang mondar-mandir di halaman losmen, hanya melihat dari kejauhan. Mungkin mereka berpikir kami pasangan muda yang sedang bertengkar hebat.<br /><br />Mama akhirnya datang. Beb masih menangis. Hampir satu jam, kami berusaha menenangkan hingga isak tangisnya reda. Kami meluncur pulang ke Cianjur, meninggalkan semua barang di dalam losmen, meninggalkan mimpi liburan penutup tahun.<br /><br /><br /><br />ACARA pemakaman rampung sudah. Semua keluarga berkumpul di rumah abang. Saya duduk di halaman rumah, melihat anak-anak abang sudah melewati kesedihan, bermain dengan teman-teman mereka. Sesekali saya mengobrol dengan adik Beb, yang sibuk menerima tamu. Malam ini akan ada acara tahlilan. Tapi hari sudah sore. Saya undur diri. Saya menuju rumah Mama.<br /><br />Saya mengenal Beb, juga keluarganya. Dengan kepergian abang Beb, berarti saya harus merelakan kepergian seorang sahabat; teman seperjalanan, teman bercanda dan bermain kartu. Saya masih ingat, hampir dua tahun lalu, dia pernah menemani saya di Ujung Genteng. Ah, kami belum berpikir apakah akan kembali ke sana.<br /><br />Beb menghabiskan hari ini dengan keluarganya. Cianjur bagaimanapun adalah tempat yang begitu lekat dalam hidupnya. Hampir semua keluarganya tinggal di sana. Setidaknya sebulan sekali Beb mengunjungi ibu dan saudara-saudaranya.<br /><br />Beb lahir di Cianjur. Ayahnya bekerja di kantor Kejaksaan, yang sering berpindah tempat tugas. Beb kecil pun tumbuh di lingkungan yang berbeda, mengikuti dinas ayahnya: Subang, Bandung, Jakarta, Cianjur, dan Jakarta.<br /><br />Sedari kecil Beb suka menyanyi. Di Bandung, sejak taman kanak-kanak hingga kelas 2 sekolah dasar, Beb sering menyanyi di depan umum. Biasanya ia berduet dengan sang kakak, Sukesih yang kelak dikenal dengan nama Endang S. Taurina, untuk mengisi acara ulang tahun kantor ayahnya. Mereka menyanyikan lagu anak-anak seperti “Sang Kodok”-nya Yenny atau Pretty Sister.<br /><br />“Pokoknya selalu duet,” ujar Beb.<br /><br />Pindah ke Jakarta, keluarga Beb tinggal di kompleks kejaksaan di Tebet. Beb melanjutkan sekolah dasarnya. Di sini Beb pernah ikut lomba menyanyi anak-anak se-Jakarta Selatan, mewakili sekolah. Kali ini ia tak bisa berduet tapi malah harus bersaing dengan sang kakak. Hasilnya, Endang meraih juara pertama, sedangkan Beb kedua.<br /><br />Lulus sekolah dasar, Beb masuk SMP 73, sekolah favorit di Tebet Timur –beberapa alumninya menjadi artis terkenal seperti Astrid Ivo, Titi Dwi Jayanti, dan Naratama. Di Tebet pula Beb bergabung dan berlatih menyanyi di Sanggar Vita pimpinan Ibu Ida. Vita sering mengisi acara-acara <i>TVRI</i>, satu-satunya televisi yang mengudara saat itu, dari acara Natal hingga Lebaran, dari Lalu Lintas hingga Aneka Ria Anak-Anak.<br /><br />“SMP masih menyanyikan lagu anak-anak?”<br /><br />“Karena badan saya kecil, jadi masih sering ikut,” ujar Beb.<br /><br />Dan di usia semuda ini pula, Beb mulai rekaman. Mulanya ajakan teman-teman dari kelompok musik untuk membuat album lagu. Yang tanda tangan kontrak sang manajer. Tugas Beb hanyalah menyanyi, berduet dengan Endang. Mereka harus merekam 12 lagu hanya dalam dua hari. “Agak berat. Karena kami tak berpengalaman ya nurut aja. Operator sampai geleng-geleng kepala; iba melihat kami diperdaya tanpa bisa berbuat apa-apa.”<br /><br />Jadilah sebuah album berisi 12 lagu. Lagu andalannya “Pelita Hati”, yang menurut Beb, agak berat syairnya. Meski sudah kelar rekaman, album itu tak juga keluar di pasaran.<br /><br />Pada 1983, Endang S Taurina meluncurkan sebuah album dengan lagu andalan “Apa yang Kucari” dan meledak. Momen ini dipakai produser Beb untuk meluncurkan album yang belum sempat edar. “Mungkin ini trik dagang. Dia mendompleng kepopuleran Endang S. Taurina,” ujar Beb.<br /><br />Beb senang kakaknya menjadi penyanyi terkenal. Ia sendiri tak ingin mengikuti jejak. Baginya, itu sudah cukup. Ia juga terbiasa berduet dengan sang kakak, belum berpikir menyanyi solo. Tapi orangtuanya mendorong agar Beb rekaman. Tawaran juga datang dari A. Riyanto, yang melejitkan nama Endang S. Taurina. Orangtuanya terus membujuk, hingga Beb pun menyerah. Pergilah mereka menemui A. Riyanto, “Om, Ratih sudah mau nyanyi.”<br /><br />A. Riyanto mengetes vokal Beb. Ketika menyanyikan lagu Tommy J Pisa, sebentar saja, A. Riyanto sudah menghentikannya dan meminta Beb menyanyikan lagu pop manis Iis Sugiarto, “Jangan Sakiti Hatinya”. Dan A. Riyanto pun menemukan ciri suara Beb.<br /><br />“Ratih cocok dengan tipe suara Iis Sugiarto,” ujar A. Riyanto.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBsNDIhsJlcqseVBggFW83G_z-TgIjG2qbTJyE5jHv8-cZU0aFX5ELEWFaO8XB_6zdo-nVEyUODPf3MFvHgvxxZXO7N_HYb6O2nHpYMkbd7XiG4ilo_b0dj2XVN4hjbRM0UlR2/s1600/4150_1013229626557_1699555899_21420_6544059_n.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 265px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBsNDIhsJlcqseVBggFW83G_z-TgIjG2qbTJyE5jHv8-cZU0aFX5ELEWFaO8XB_6zdo-nVEyUODPf3MFvHgvxxZXO7N_HYb6O2nHpYMkbd7XiG4ilo_b0dj2XVN4hjbRM0UlR2/s400/4150_1013229626557_1699555899_21420_6544059_n.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5458128173416932818" /></a>Beb menandatangani kontrak rekaman dengan Nada Utama tapi baru mendapat lagu dan rekaman setahun kemudian. Pada 1986, keluarlah album Antara Benci dan Rindu, sesuai dengan lagu andalan karya Obbie Messakh, pencipta lagi yang produktif pada 1980-an. Di album pertama ini, kepopuleran Endang S. Taurina masih dibawa-bawa. Foto Endang terpampang di sampul kaset. Lagu “Antara Benci dan Rindu” pun meluncur manis di pasaran. Ia sering muncul di acara-acara musik di <i>TVRI</i>: Safari, Irama Masa Kini, atau Selecta Pop.<br /><br />Album pertama Beb meledak. Beb mendapat Golden Album Plus. Hadiahnya keliling Amerika. Namanya langsung populer.<br /><br />“Tapi waktu itu aku belum yakin, masih belum percaya diri.”<br /><br />Lalu, meluncurlah album-album Beb berikutnya: Kau dan Aku Berbeda, Mungkinkah Ini Nasibku, Inginnya Begini Jadinya Begitu, dan sebagainya. Setidaknya 25 album ia hasilkan, baik sendiri maupun duet dengan Endang S. Taurina. Hampir semua lagunya sukses di pasaran.<br /><br />“Semua yang cari dan milih lagu produser, aku hanya menyanyi. Rata-rata, suaranya yang manja-manja gitu,” ujar Beb.<br /><br />Industri musik belum segemerlap sekarang. Meski sudah merilis banyak album, namanya sudah dikenal, tapi Beb jarang pentas. Dan Beb tak berubah. “Aku kan agak pendiam. Seperti orang biasa saja. Senang saja kalau ketemu penggemar, minta tanda tangan.”<br /><br />Di kantin Perpustakaan Nasional, ketika Beb menemani saya membuka koran-koran lama, penjaga kantin ribut: meminta tanda tangan, nomor handphone, berfoto bersama. Beb, dan Endang, juga pernah bertandang ke rumah saya. Tetangga berdatangan. Dan ada satu penggemar fanatiknya, yang tak bosan berkirim surat sedari Beb tenar sampai sekarang. “Hampir setiap hari dia kirim SMS,” ujar Beb.<br /><br />Beb terharu, dan pernah membalasnya sekali. Dan kalau pusing dengan banjir pesan pendek itu, Beb akan menghapusnya.<br /><br />Beb menunjukkan pesan-pesan pendek itu.<br /><br /><br /><br />NAMANYA Ratria. Ia bilang bekerja di sebuah restoran di Surabaya. Ia mendaku sebagai penggemar fanatik Ratih Purwasih. Ia suka dan hafal semua lagu Beb. Ia sendiri lupa sejak kapan mulai berkirim surat, dan belakangan pesan pendek, ke Beb. Dalam suratnya, ia pernah bercerita tentang seorang teman yang bertanya bagaimana ia bisa mengenal Ratih Purwasih, dan ia tak bisa menjawabnya.<br /><br />“Aku gak tahu tiba-tiba kenal sama idolaku, kirim surat juga gak pernah dibalas. Aku juga sudah lupa isi surat yang aku kirim. Kira-kira Kaka ingat gak mulai tahun berapa aku kirim surat ke Kaka? Selamat malam, Kaka. Semoga mimpi yang indah. AKU SAYANG KAKAK SELAMANYA,” ujarnya dalam pesan pendek ke Beb.<br /><br />Surat-suratnya tak jauh dari ungkapan kerinduan, puisi-puisi sentimentil, seakan ia tidak sedang berbicara sendirian atau tepatnya tak peduli. Di awal surat, biasanya ia menulis: “Kakaku sing ayu dewe sak Indonesia.” Di ujung surat, ia akan torehkan kata ASK, akronim dari Aku Sayang Kaka(k).<br /><br />Ratria sering merasa tak enak hati; takut pesan-pesan pendeknya menganggu Beb. Ia mengira Beb sudah bersuami. Tapi terkadang Ratria putus asa.<br /><br />“Kaka sengaja kan menjauhi aku. Mungkin Kaka nganggap aku lesbi? Ok. Aku gak akan ganggu Kaka lagi. ASK.”<br /><br />Sesekali Ratria marah, suratnya tak berbalas. Tapi ia segera sadar, dan segera mengirim surat lagi, dengan nada yang kembali normal, seolah kemarahan itu tak pernah ada. Lalu, ketika sepi menghentak di dini hari, Ratria mengirimkan puisi.<br /><br />Tapi mengirim berpuluh-puluh pesan tanpa jawaban, membuat Ratria berang.<br /><br />“Kaka ke mana saja sih… Di-SMS gak mau balas. Kaka gak peduli dengan perasaanku. Aku ngerti Kaka seorang ARTIS. Tapi aku anggap Kaka sebagai seorang sahabat yang bisa kuajak bicara. Ternyata aku salah, Kaka gak mau bersahabat denganku. Kaka bukan RATIH PURWASIH yang aku kenal, yang selalu penuh kasih sayang seperti lagu-lagu yang Kaka nyanyikan. Sekarang Kaka cuek padaku dan jaga jarak sama aku. Iya deh aku ngerti kok. Semoga Kaka sukses selalu. Nikmatilah… Semoga Kaka selalu bahagia selamanya…”<br /><br />Kali ini Beb menjawab. Ia juga tak ingin penggemar beratnya kecewa. Balasan pesan pendek itu cukup menghibur Ratria.<br /><br />“Selamat malam, Kak Ratih. Sekarang aku percaya kalau Kaka adalah RATIH P yang selama ini aku rindukan, yang penuh kasih sayang, lembut, ramah, dan hangat. Pokoknya Kaka gak boleh berubah. Jadilah RATIH P yang dulu dan sampai kapan pun ya, Kak. ASK selamanya.”<br /><br />Saya tak bisa membayangkan sosok Ratria. Saya pernah menelponnya. Suaranya lirih, agak malas-malasan menjawab telepon. Ia menolak wawancara saya dengan alasan sibuk. Tapi ada sebersit kebimbangan ketika ia perlu meyakinkan diri dengan menanyakan lagi: “mau apa”, “untuk apa”, kemudian mengelak wawancara lagi. Berulang-ulang.<br /><br />“Ini siapa sih?”<br /><br />Saya jelaskan. Ia menjawab benar ia penggemar berat Ratih Purwasih tapi, “Kalau diwawancarai aku gak bisa.”<br /><br />“Kenapa?”<br /><br />“Udah ah… aku sibuk.”<br /><br />“Okay. Kapan punya waktu?”<br /><br />“Mau apa sih?”<br /><br />Saya jelaskan lagi.<br /><br />“Gak ah..”<br /><br />“Kenapa?”<br /><br />“Takut aja.”<br /><br />Telepon tutup.<br /><br />Kepada Beb, Ratria memohon agar ia tak diwawancarai: “Ratria sayang Kaka, tapi Ratria gak mau diwawancarai. Tolong ya, Kak.”<br /><br /><br /><br />PADA 1994, Beb pindah ke produser rekaman Blackboard dan meluncurkan sebuah album Biasanya. Tapi badai menghantam kehidupan pribadinya. Beb memilih pindah ke Bali, meninggalkan albumnya yang sudah rilis, menghentikan aktivitasnya menyanyi. Dua tahun lamanya ia mencoba menggapai kehidupan baru.<br /><br />Sepulang dari Bali, Beb mulai menekuni lagi dunia menyanyi. Tapi industri musik sudah berubah. Pendatang baru muncul, dengan corak dan warna musik yang lebih menghentak. Lagu-lagu pop era 1980-an mulai teredam, apalagi sebelumnya ada larangan “musik cengeng” yang dilontarkan Menteri Penerangan Harmoko.<br /><br />Tapi lagu-lagu pop lama punya penggemarnya sendiri. Dan Beb bertahan di jalur ini. Ia menandatangani kontrak dengan Nada Pesona Record untuk rekaman lagu-lagu lama dengan aransemen baru. Setelah itu ada tawaran rekaman album dangdut Jawa dengan Bais Record. Ia menyanyikan satu lagu “Klambi Biru”, berduet dengan Bambang Is, pejabat Departemen Perhubungan yang jadi produser, pencipta, dan penyanyi. Video klip “Klambi Biru” diputar di <i>TVRI</i> dan <i>Global TV</i>.<br /><br />Beb sempat sangsi karena harus menyanyikan lagu berbahasa Jawa. “Padahal, saya menyanyi lagu etnis baru kali ini, dan langsung Jawa. Mungkin karena unsur musik pop Jawa sudah diterima publik. Meski ini versinya beda dengan Didi Kempot,” ujar Ratih Purwasih.<br /><br /><br /><br />SAYA mengenal Beb empat tahun lalu. Kali pertama bertemu, saya langsung mengenalinya. Sosoknya pernah mengisi kenangan masa kecil saya. Saat itu, tahun 1980-an, wajahnya sering muncul di acara-acara musik di <i>TVRI</i>. Dan waktu duapuluh tahun tak mengubah penampilannya. Wajahnya tetap segar dan muda. Suaranya masih sama: centil dan kenes.<br /><br />Di keluarganya di Cianjur ia dipanggil Ratih atau Atih. Di rumah di Jakarta, ia dipanggil Beb –panggilan kesayangan saudara-saudaranya, yang bisa juga singkatan dari Barbie atau Baby. Ya, Beb seperti Barbie, boneka lambang kecantikan modern. Kulit putih, rambut ikal. Beb selalu menjaga penampilan. Beb akan kebingungan kalau rambutnya sudah panjang atau badannya sedikit melar. Beb tidak merokok. Beb tidak suka minuman keras. Pernah sekali ia menyesap seteguk bir, dan keesokan harinya ia bingung: suaranya serak. Ia pun kapok.<br /><br />Beb juga berarti <i>baby</i>. Saya belum pernah melihat Beb bepergian sendiri. Ia selalu ceria, tapi tiba-tiba bisa sedih. Ia juga akan menjerit-jerit kalau seekor kupu-kupu melintas. Ini trauma masa kecilnya. Sewaktu kecil, ia pernah melihat kupu-kupu mati di taman rumahnya. Dan sejak itulah ia tak mau melihat kupu-kupu, membiarkan keindahannya hilang dari pandangan matanya.<br /><br />Beb lebih banyak tinggal di rumah. Kesehariannya berlatih menyanyi –selain juga mulai menciptakan lagu. Tak melulu lagu-lagu lama. Ia juga menghafal lagu-lagu yang lagi populer. Ia harus tetap fit dan <i>up-to-date</i> ketika tampil di atas panggung. Ia tak ingin permintaan penonton tak bisa terpenuhi. Inilah cara Beb menjaga eksistensinya di dunia musik; tidak lagi di layar kaca (meski sesekali ia tampil) tapi dari panggung ke panggung. Bisa di kafe, acara ulang tahun, apa saja. Seperti di Ujung Genteng, di malam pergantian tahun, beberapa jam setelah melepas kepergian abang, dalam letih, kantuk, dan kesedihan yang belum sepenuhnya hilang.<br /><br />“Ada yang tahu lagu saya, nggak?”<br /><br />Semua penonton, yang sebagian besar anak muda, terdiam. Beb terus memancing perhatian penonton, terutama tentu pengunjung yang sudah berumur. Dan akhirnya Beb menjawabnya sendiri: “Antara Benci dan Rindu.”<br /><br />Lalu mengalunlah lagu itu, yang di era tahun 1980-an pernah menjadi hits.<br /><br /><i>Yang, hujan turun lagi<br />Di bawah payung hitam ku berlindung<br />Yang, ingatkah kau padaku<br />Di jalan ini dulu kita berdua<br />Basah tubuh ini, basah rambut ini<br />Kau hapus dengan sapu tanganmu</i><br /><br />Ia terus menyanyi. Kesedihan, setelah kepergian sang abang, tak tampak di raut wajahnya –ia pendam dalam-dalam. Saya melihatnya dari kejauhan. Sesekali memotret.<br /><br />Lagu demi lagi terus mengalir. Sesekali Beb melenggangkan badan, meliuk-liukkan tangannya, kala menyanyikan lagu Sunda. Dan penonton terus memintanya menyanyi. Tapi ia harus memberi tempat bagi kelompok musik anak muda, yang juga jadi pengisi acara ini. Seperempat jam sebelum pergantian tahun, Beb menuju losmen di tepi pantai. Ia sangat lelah. Ia berangkat tidur begitu dentuman petasan mulai meredup.<br /><br />Pagi di awal tahun 2009 pantai mulai sepi. Satu per satu penghuni losmen pulang. Beb berbincang dengan Mama di beranda. Ada banyak hal yang akan dikerjakan Beb di tahun ini. Mungkin rekaman lagu-lagu Sunda. Tetap tampil menyanyi di acara-acara pesta ata acara televisi. Tapi Mama juga ingin Beb bisa lepas, mandiri, seperti kupu-kupu.<br /><br />Kami pulang keesokan harinya. Ada tamu menunggu di rumah.<br /><br />Hawa dingin kota Cianjur menembus kulit. Hujan juga baru saja turun. Beb keluar kamar dengan mengenakan jaket sport berwarna hijau dengan tudung kepala ketika sang tamu hendak pulang. Rumah kembali sepi. Beb melangkah masuk. Baru dua langkah, ia terpekik. Seekor kupu-kupu melintas. Beb menundukkan kepala, menangkupinya dengan tangan. Wajahnya pucat pasi. Kami tertawa, dan terus menggodanya. Beb berlari menuju kamar.<br /><br />Beb, usaikan saja ketakutanmu pada kupu-kupu. Mungkin dengan begitu kau bisa terbang bebas, lepas, seperti kupu-kupu.*<br /></div><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-15620448242839012552010-03-17T02:53:00.000-07:002011-07-28T06:02:24.955-07:00Emiria Sunassa: Perupa Genius<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFFTxmQFxSYZzO4L5MNkHat0CSHJw2yS_RcaRx9SBIgBl7uUHdPCRPu6bNMKDukSQaQnHp45Axw85FT_eieX9eAi-pcwoBDGx-Ma3L32Wnpm5_uV969pGQ5LAjVAKhVMUuvgOY/s1600/emiria.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 137px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFFTxmQFxSYZzO4L5MNkHat0CSHJw2yS_RcaRx9SBIgBl7uUHdPCRPu6bNMKDukSQaQnHp45Axw85FT_eieX9eAi-pcwoBDGx-Ma3L32Wnpm5_uV969pGQ5LAjVAKhVMUuvgOY/s200/emiria.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5634387215544551234" /></a><br /><span style="font-style:italic;"><br /></span><div><span style="font-style:italic;"><br /></span></div><div><span style="font-style:italic;">Namanya terlupakan dalam sejarah. Padahal ia salah seorang pelopor senirupa Indonesia modern.</span><br /><br />“SENIMAN menciptakan sesuatu dari apa yang dinamakan ketiadaan,” ujar Emiria Sunassa.<br /><br />Emiria sendiri seolah muncul dari ketiadaan, lalu menghilang begitu saja di masa akhir hidupnya. Dalam sejarah senirupa, namanya terdengar asing ketimbang nama-nama besar macam Basuki Resobowo, Sudjojono, Mochtar Apin, Rusli, dan perupa laki-laki lainnya. Padahal ia layak disebut pelopor perempuan perupa di Indonesia karena keberadaannya pada awal perjalanan sejarah senirupa dan konsistensinya dalam berkarya.<div class="fullpost"><br /><br />Ketika orang mempertanyakan aspek gender dalam senirupa, yang melihat perempuan bukan hanya sebagai objek tapi juga subjek, Emiria Sunassa sudah bergerak lebih maju. Sudjojono, bapak senirupa modern Indonesia, bahkan pernah menyebutnya “genius”. Salah satu karyanya, “Pengantin Dayak”, yang dominan dengan warna merah jambu dan coklat tua, menjadi koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta.<br /><br />Pada dasarnya Emiria Sunassa tak berpikir jadi pelukis. Sebagai putri Sultan Tidore, ia hidup bergelimang kemewahan. Emiria lahir di Tanawangko, Sulawesi Utara, pada 1895. Meski ayahnya seorang raja yang berpikiran modern, Emiria hanya boleh belajar tak lebih dari kelas 3 Europese Lagere School. Tapi jiwanya “berontak”. Emiria bertekad kelak ia bisa mengunjungi negeri-negeri jauh dan mempelajari banyak hal.<br /><br />Suatu ketika seorang duta luar negeri sakit. Emiria merawatnya hingga sembuh. Ia tak menyangka ketika lelaki itu melamarnya begitu sembuh dan akan pulang ke negeri asalnya. Emiria menerimanya. Dan sampailah ia ke Eropa.<br /><br />Emiria belajar tari balet dari Miss Duncan dari Dalcroze School di Brussel dan dari Green di Amsterdam. Di Wina bahkan ia bermain dalam satu balet termasyhur sebagai puteri Timur. Ia muncul sebagai “Sun”, dengan sekujur tubuh berkilauan bak matahari. Penonton senang. Sejak itu ia disebut “Sunny”.<br /><br />Tapi perkawinannya kandas. Ia bercerai dan kembali ke Indonesia. Di negeri sendiri ia masih senang melakukan perjalanan. Ia punya perkebunan di Halmahera, yang hasilnya bisa membiayai perjalanannya keliling daerah dan kelak apa yang ia lihat tertuang dalam lukisan-lukisannya.<br /><br />Belakangan ia bertemu dengan Dr Pijper, yang suka seni. Suatu kali Pijper memperlihatkan reproduksi lukisan yang ia peroleh dari Belanda. Ia ingin tahu pendapat Emiria. Rupanya tanpa canggung Emiria melontarkan banyak kritik. Pijper terkesan. “Adakah kau mempunyai banyak pengertian tentang melukis gambar?” tanya Pijper seperti dikutip Soh Lian Tjie, wartawan perempuan, dalam “Emiria Sunassa, Dongeng Tentang Satu Pelukis Wanita” yang dimuat di <i>Pantjawarna</i>, Maret 1953.<br /><br />Emiria mengangguk.<br /><br />Pijper tak percaya. Ia belum pernah melihat Emiria melukis, atau melihat lukisannya. Penasaran ia mengusulkan agar Emria membuat satu lukisan sebagai kado ulangtahunnya. Emiria setuju. Tapi di dalam hati ia mengutuk: edan. Nasi sudah menjadi bubur, ia tak mau mundur.<br /><br />Beberapa minggu telah lewat tapi lukisan jadi. Berkali-kali pula Pijper datang dan menanyakannya. Dengan ketus, Emiria menjawab ia tak dapat melukis sesuatu tanpa pensil, cat, dan kain linen. Pijper memberikan apa yang dibutuhkan Emiria. Lukisan belum jadi juga. Kali ini Emiria beralasan belum pernah jalan-jalan keluar Jakarta. Pijper mengajaknya ke Telaga Warna di daerah Puncak. Pemadangan di sana menakjubkannya. Tapi dengan beralasan ia bilang tak membawa kertas dan potlot. Akhirnya Pijper-lah yang membuat sketsa telaga itu untuknya. Sepulangnya, mulailah Emiria melukis.<br /><br />Perlahan tapi pasti Emiria mulai menghasilkan banyak lukisan, dikenal, dan ikut pameran lukisan. Ia menjadi anggota Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) yang didirikan Sudjojono dan Agus Djaja pada 23 Oktober 1938. Ketika Bond van Kunstkringen, persatuan seniman Belanda, mengadakan pameran lukisan yang diperuntukkan bagi seniman-seniman Indonesia di Batavia pada 1941, Emiria ikut memamerkan karya-karyanya. Pameran 61 lukisan karya 30 pelukis pribumi ini menampilkan lukisan bertema pemandangan alam dan kehidupan sehari-hari yang merupakan tanda perkembangan seni rupa modern.<br /><br />Di masa Jepang, Emiria juga masuk bagian seni Keimin Bunko Shidosjo (Pusat Kebudayaan), yang dibentuk pemerintah militer Jepang untuk tujuan propaganda. Pada 29 Agustus 1942, Pusat Kebudayaan memulai kegiatannya dengan pameran lukisan. Emiria satu-satunya perempuan yang ikut. Pameran berlangsung selama 60 hari dan sukses, sehingga dibikin kegiatan lainnya. Begitu pula ketika Poetera (Pusat Tenaga Rakyat) di bawah kepemimpinan Sukarno terbentuk. Emiria menjadi anggota seksi kesenian, yang dipimpin Sudjojono, dan tentu saja aktif mengikuti pameran. Di zaman Jepang, namanya tercatat dalam buku <i>Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa</i> terbitan Goenseikanbu tahun 1944, dengan nama lengkap: Emiria Sunassa Wama'na Putri Al Alam Mahkota Tridore gelar Emma Wilhemina Parera.<br /><br />Kritikus seni Sanento Yuliman, dalam buku <i>Dua Seni Rupa</i>, menyebutkan bahwa pada akhir April 1943, Emiria memamerkan sejumlah lukisan dengan objek lukisan berupa patung masyarakat suku Indonesia dalam sebuah pameran di Jakarta. Menurut Sanento, karya Emiria merupakan salah satu ciri karya seni lukis yang menampilkan keindonesiaan melalui penggambaran artefak masyarakat suku di Indonesia.<br /><br />Menurut Soh Lian Tjie, yang mengunjungi Emiria Sunassa pada 1953, jiwanya yang bebas-keras terlihat dalam lukisan-lukisannya. Ia melukis sebagaimana ia melihat objeknya, menurut kesan yang ia dapatkan, tak peduli aturan tentang anatomi atau keinginan pembeli. Ia memilih warna-warna yang luar biasa. Ia melukis objek-objek yang pernah ia kunjungi. Tak heran jika ia menonjolkan unsur etnik. Ada lukisan penari Bali, hutan di Papua, pemukul sagu di Maluku.<br /><br />Oleh banyak kalangan Emiria juga dianggap menghasilkan karya feminis awal karena sering menampilkan perempuan yang bersumber pada cerita-cerita pribumi, sosok-sosok puak, dan model dari kalangan jelata. Lukisan “Mutiara Bermain”, yang dibuatnya selama empat tahun sejak 1942, menggambarkan dua perempuan telanjang sedang menari di belahan mutiara di dasar laut. Ini menyiratkan betapa tertindas perempuan kala itu, terlebih di masa penjajahan Jepang yang menjadikan perempuan sebagai pemuas nafsu birahi. Karya lain yang bersubjek perempuan antara lain "Kembang Kemboja di Bali" (1958), "Wanita Sulawesi" (1958), "Market" (1952), dan "Panen Padi" (1942). Menurut Emiria, seperti dituturkan kepada Soh Lian Tjie, seni Indonesia modern masih mesti mencari jalannya. “Pelayan-pelayannya”, laki-laki maupun perempuan, harus sadar sepenuhnya, bahwa mereka masih jauh dari tujuan yang ingin mereka capai.<br /><br />Emiria tinggal di sebuah rumah yang adem dengan pekarangan penuh tanaman. Tapi dinding rumahnya kosong. “Ini semata-mata karena saya tak dapat bekerja apabila saya dikitari barang-barang bagus. Itu agak menganggu pemusatan pikiran saya. Seniman menciptakan sesuatu dari apa yang dinamakan ketiadaan.”<br /><br />Jejak Emiria Sunassa kemudian lenyap pada 1960-an, meninggalkan tanya bagi banyak orang. Menurut arsip <i>www.nationaalarchief.nl</i>, pada 1960 ia mengajukan permohonan visa ke Nederlands Nieuw-Guinea, nama Papua Barat kala itu, dengan menyebut diri "Ratu dari Nederlands Nieuw-Guinea". Tak jelas untuk apa. Papua Barat, yang sejak abad ke-18 dianggap bagian dari Kesultanan Tidore, hingga masa itu masih menjadi wilayah yang disengketakan antara pemerintah Indonesia dan Belanda. Emiria Sunassa meninggal di Lampung pada 7 April 1964.<br /><br />Penulisan sejarah seni rupa mulai memberi apresiasi terhadap perupa perempuan Indonesia yang terus tumbuh -dan Emiria Sunassa-lah yang telah meletakkan pijakannya. *<br /><br /><br />[<span style="font-style:italic;">Dimuat di www.majalah-historia.com, Selasa, 16 Maret 2010 - 16:34:05 WIB</span>]</div></div><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-29749847019608684762008-09-17T05:24:00.000-07:002010-04-09T06:14:22.405-07:00Lukisan BatikBILIK itu sempit. Kanvas bertumpuk tak beraturan. Kaleng cat minyak berjejer di lemari kayu di sisi pintu masuk. Lukisan di dinding menjadi pemandangan yang memanjakan mata kita.<br /><br />Seorang lelaki paruh baya, berusia 51 tahun, sesekali menyapukan kuas di permukaan kanvas. Ketika sibuk, ia terlihat di beranda biliknya, mewarnai bentangan kain bermotif batik. Kalau tak sibuk, ia memilih terlentang di ranjang atau kursi kayu, melahap buku yang ia pinjam dari tetangga sebelah. <div class="fullpost">Saya mengenalnya tiga tahun lalu. Dia sering datang ke rumah, meminjam buku. Dia menjadikan rumah saya sebagai galerinya. Lukisan-lukisannya terpajang di dinding-dinding rumah.<br /><br />“Saya tak akan melepas lukisan-lukisan ini dengan harga murah,” ujar Ambar Nugroho, menunjuk lukisan di ruang tamu dan kamar saya.<br /><br />Lukisan perempuan berbalutkan kain batik. Syal, juga dengan kain batik, melilit kepalanya. Ia mendonggakkan kepala, tersenyum manis. Di hadapannya, dalam bingkai garis, keramaian mengikuti pertunjukan tarian. Semuanya mengenakan batik dengan beragam motif. Lukisan di kamar juga seorang perempuan. Ia nyaris telanjang. Tangannya menyilang, menutupi dadanya yang ranum. Sehelai kain batik menutupi tungkainya yang halus. Ia setengah duduk sambil menunduk. Matanya sayu. Di belakangnya, gadis-gadis kecil saling melirik dengan tangan saling mengait.<br /><br />“Bikin motif batiknya setengah mati.”<br /><br />Di ruang tengah, seorang anak kecil bercawat kain kusam bersandar pada tiang bambu. Kulitnya legam. Rambutnya keriting. Tangannya mengengam ekor cenderawasih. Latarnya motif batik yang khas dan jarang ditemui: batik Papua –adopsi dari ukiran kayu suku Asmat.<br /><br />Motif-motif batik, dengan pengerjaan amat detil, menjadikan lukisan-lukisan ini istimewa. Ia membuatnya tahun 2004, ketika kenangan akan kejayaan lukisan batik merayap di kepala, dan pengerjaan batik menjadi bagian dalam hidupnya.<br /><br />Di sesela kesibukannya membatik, Ambar menerima pesanan melukis. Kalau itu lukisan foto perkawinan, motif batik akan menonjol. Kalau lagi tidak mood, ia melukis apa saja. Ada lukisan abstrak. Lukisan telanjang. Ia juga menerima pesanan lukisan potret diri atau perkawinan. Ia mengerjakan lukisan-lukisan itu, “sekadar mengejar setoran.”<br /><br /><br /><br />AMBAR kecil senang melukis. Semasa taman kanak-kanak di Gereja Pugeran, Yogyakarta, ia sudah memenangi lomba melukis antarsekolah. Lukisannya khas anak-anak tapi juga menggambarkan pamandangan yang umum di pedesaan: gerobak sapi yang melaju pelan, tak peduli sepasang anjing dengan asyik-masyuk kawin di sisi jalan.<br /><br />“Dasar cah cilik,” ujarnya, tersenyum.<br /><br />Kelas 3 sekolah dasar, di Jakarta, ia menekuni ilustrasi. Komik lagi berjaya. Ia menyukai komik Jan Mintaraga dan Ganesh TH. Ia membacanya berkali-kali, menirukan coretan-coretan mereka, “sampai hafal, terasah di sana.”<br /><br />Bakatnya terpenuhi begitu lulus sekolah menengah. Ia masuk Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) di Yogyakarta, bertempat di Akademi Seni Rupa Indonesia, tahun 1974. Tapi ia hanya bertahan sampai kelas 3 karena pikirannya mulai bercabang: mencari uang.<br /><br />Saat itu lukisan batik mengalami masa keemasan. Lukisan batik kontemporer, yang dipopulerkan oleh Amri Yahya sejak pertengahan tahun 1960-an, mulai mendapat tempat sebagai karya seni pada 1970-an. Bahkan AN Suyanto, Bambang Gunarto, Kuswaji, Sumiharjo, sampai Bambang Oetoro berkeliling pameran di mancanegara. Selain mereka, Bagong Kussudiardja dan Kuswaji Kawindro Susanto ikut merajai lukisan batik di Yogya. Lukisan-lukisan mereka laris manis. “Bule moro dewe,” ujar Ambar.<br /><br />Ia ikut-ikutan melukis batik, menitipkannya ke artshop di Ngasem atau Prawirotaman, sehingga memberantakkan sekolahnya.<br /><br />“Aku rusakke neng kene. Kesenengen golek duit. Paling tinggi bisa Rp 15 ribu (per lukisan). Bahkan baru <em>dimalam</em> (dicanting) saja sudah dipesan.”<br /><br />Namanya lukisan batik, proses pengerjaannya juga sama seperti membatik. Kain digambar dengan pensil, lalu dicanting sesuai guratan pensil dengan tambahan isen-isen, baru dicelup warna. Usai pewarnaan, sebagian ditutupi dengan malam, lalu dicelup lagi dengan warna yang lebih tua. Kain tinggal <em>dilorod</em> (dimasukkan air panas, agar malam mencair) –kalau ingin hasil lebih bagus, misalnya untuk mendapatkan degradasi warna, proses <em>pelorodan</em> bisa berkali-kali.<br /><br />“Gak ana bedane. Bedane batik kanggo pakaian, lukisan batik kanggo hiasan.”<br /><br />Ambar mengenal batik sejak kecil. Eyangnya, Atmo–dikenal dengan panggilan Bu Ayu, dikenal sebagai tokoh batik Yogya. Rumahnya di Patehan. Bagong termasuk salah seorang muridnya. Dari Eyangnya-lah Ambar belajar motif-motif batik. Biasanya ia yang menggambar di kain, sang eyang yang akan membatik.<br /><br />Tapi persaingan ketat batik, yang menjatuhkan harga, berimbas pada lukisan batik. Kejayaan lukisan batik jatuh. Ambar pun mulai menekuni cat minyak. Ia juga bikin ilustrasi cerpen untuk <em>Minggu Pagi</em>, <em>Kedaulatan Rakyat</em>, dan <em>Mekar Sari</em>. Sesekali ikut pameran lukisan tapi kapok karena tak ada lukisannya yang terjual.<br /><br />“Tekor terus.”<br /><br /><br /><br />SEBUAH majalah seni rupa mengusiknya. Ia membacanya dan terpaku pada satu nama yang tertera dalam sebuah artikel: Diyono SP, pelukis-pematung Bumi Tarung, lembaga yang dulu dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).<br /><br />“Dia guru saya,” ujar Ambar.<br /><br />Pada 1986, seorang paman mendapatkan proyek pengerjaan gerbang selamat datang Lampung di Tarakan. Pengerjaannya diserahkan kepada Diyono. Ambar ikut membantu, dan senang karena bisa memperdalam keahliannya. Gerbang itu masih berdiri tegar.<br /><br />Jauh sebelumnya, Ambar sudah di Jakarta. Ia mengisi ilustrasi di majalah <em>Senang</em>, membuat ilustrasi cover buku, sempat mengajar kursus melukis dan membatik di Sasana Olah Kesenian Kak Alex –sama seperti Pak Tino Sidin, mengisi acara melukis di <em>TVRI</em>– dan akhirnya bertambat di butik Rama Sinta. Di sini ia membikin desain, mengurusi produksi, dan lain-lain. Tapi lagi-lagi perubahan terjadi di dunia batik. Batik printing merajalela, menggusur batik tulis. Banyak pembatik tradisional gulir tikar, tergerus oleh mesin.<br /><br />Rama Sinta gulung tikar.<br /><br />Ambar pindah ke Harry Darsono, perancang busana, yang sudah dikenalnya di Rama Sinta. Harry sering datang ke Rama Sinta. Pada suatu kesempatan, Ambar menunjukkan desain-desainnya.<br /><br />“Mas, aku bikin desain-desain ini bagaimana?”<br /><br />“Kamu ke rumah saja.”<br /><br />Tawaran lama itu yang mendorong Ambar mendatangi Harry Darsono. Ia diterima jadi asisten khusus untuk motif-motif batik, tenun, dan lain-lain. Salah satu temannya kelak jadi perancang busana juga: Nelwan Anwar. Tiga tahun di sana, dia memilih mengerjakan gerbang selamat datang Lampung.<br /><br />Balik ke Jakarta, ia bekerja di perusahaan interior Anggitan Cipta selama tujuh tahun. Bosan, ia keluar dan terjun sepenuhnya sebagai pelukis. Lukisan-lukisannya terpajang di Hotel Sheraton di Lombok dan Bandung. Lalu, sejak 2005, Ambar pun mulai menetap di Kebayoran Lama, di bilangan Jakarta Selatan. Ia membantu mengerjakan batik semprotan gradasi warna, andalan Parang Kencana, yang tak dibikin di tempat lain. Juga kembali menekuni lukisannya.<br /><br />“Konco-koncoku di SSRI sudah punya nama. Mereka masih eksis. Terus terang mbiyen aku ora kuat karo ngelihe. Aku cenderung sing cepet dadi duit. Sing bertahan malah wis sugih-sugih. Diamput!” ujarnya, lalu tertawa.<br /><br />Tapi ia senang melihat kebangkitan batik di Indonesia. “Sejak Malaysia klaim batik, rasa memiliki batik tersentil. Batik tulis trend lagi. Tapi lukisan (batik) sih sama aja.”*<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUIjYdmH8D1CeEHkUc2eQFPwwSs3wfFLP-t5N9kKVpChyphenhyphenGYaQN8pliUBDY6d_tl4qp7k1o2XsVNqIWY2jHJbkGkgapGXdiCq2f6xlUxXivooAaH4QKWLzoYSS5Hppzh8zOHnJu/s1600-h/bocah_papua.JPG"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5247218011634379810" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 334px; CURSOR: hand; HEIGHT: 520px" height="345" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUIjYdmH8D1CeEHkUc2eQFPwwSs3wfFLP-t5N9kKVpChyphenhyphenGYaQN8pliUBDY6d_tl4qp7k1o2XsVNqIWY2jHJbkGkgapGXdiCq2f6xlUxXivooAaH4QKWLzoYSS5Hppzh8zOHnJu/s320/bocah_papua.JPG" width="210" border="0" /></a>"Bocah Papua” acrylic on canvas 98 x 56 cm<br /><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2YaMP10eBU4hucDF7JKQoJbi35BePG6jsP-1xFAwn36faxU5BolJV9yqiyborEUDgnWY6eFP4z3unMrEmT2m7gODt9OZjLv71oAKBfS9RXowLoOvPIffr-EL3e22AlJGK5v8H/s1600-h/mlengak.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5247219234552846706" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 334px; CURSOR: hand; HEIGHT: 341px" height="346" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2YaMP10eBU4hucDF7JKQoJbi35BePG6jsP-1xFAwn36faxU5BolJV9yqiyborEUDgnWY6eFP4z3unMrEmT2m7gODt9OZjLv71oAKBfS9RXowLoOvPIffr-EL3e22AlJGK5v8H/s320/mlengak.jpg" width="342" border="0" /></a>"Mlengak" acrylic on canvas 67,5 x 67,5 cm<br /><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjl1H1LpezmnSO-O4NPJyBbG25MZ0dxAOW8XFRao-h83dMgCmMKRAI65rG_jIWntUaqD1Ym6hgfzPpbV286GOZCRdSsSadAQWcbhqF-UnZ6ZFW6GZ8DSPYGMPEc77166qNmkvAR/s1600-h/Nyadang.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5247219544585019746" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 333px; CURSOR: hand; HEIGHT: 334px" height="332" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjl1H1LpezmnSO-O4NPJyBbG25MZ0dxAOW8XFRao-h83dMgCmMKRAI65rG_jIWntUaqD1Ym6hgfzPpbV286GOZCRdSsSadAQWcbhqF-UnZ6ZFW6GZ8DSPYGMPEc77166qNmkvAR/s320/Nyadang.jpg" width="335" border="0" /></a>"Nyadang" acrylic on canvas 70 x 70,5 cm<br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYHyf9XWIHrytd5SvV20nLQpNNsOu1n5e2gkfzr89D4JwIVmF9bZXAWCzTdssvije_6C5jtMJbqgItDmioDR7rEN8paWTHtjj5mDBj72mmdIQXvcbkD75UiS-v5AM6DsBsm7Km/s1600-h/Bar+Pak-pung.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5305853131709210466" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 318px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYHyf9XWIHrytd5SvV20nLQpNNsOu1n5e2gkfzr89D4JwIVmF9bZXAWCzTdssvije_6C5jtMJbqgItDmioDR7rEN8paWTHtjj5mDBj72mmdIQXvcbkD75UiS-v5AM6DsBsm7Km/s320/Bar+Pak-pung.jpg" border="0" /></a>"Bar PakPung" acrylic on canvas<br /><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijzTQhW5g1nN8uD979ZGJaUGjoLSJciskf7ADPoiTVylvhFlhme-5UYgy6YYXN3FzMDUXLAZ9PUleDjawcrA6PNiwpGvBlH3mytbh9U9WMMfIGxHh53c34TeOV4a9PpqNzOE6k/s1600-h/Harum.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5247218690478216450" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 333px; CURSOR: hand; HEIGHT: 273px" height="287" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijzTQhW5g1nN8uD979ZGJaUGjoLSJciskf7ADPoiTVylvhFlhme-5UYgy6YYXN3FzMDUXLAZ9PUleDjawcrA6PNiwpGvBlH3mytbh9U9WMMfIGxHh53c34TeOV4a9PpqNzOE6k/s320/Harum.jpg" width="357" border="0" /></a>"Harum" acrylic on canvas 68 x 85,5 cm<br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiU6wF7Ckh4E5oK7o1j4H1cXRO5ZPBjRGCI1am507lgnjHTiBN1ag7MU_ePfqpCYcrmmoK-a1bha049GbRpToUBxxP0i4wFxhNHJilyDYgu7WfmBpLmxIY8z-CqaOb0GbyjQ0c9/s1600-h/Nggrantes.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5246985423429665282" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 334px; CURSOR: hand; HEIGHT: 257px" height="261" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiU6wF7Ckh4E5oK7o1j4H1cXRO5ZPBjRGCI1am507lgnjHTiBN1ag7MU_ePfqpCYcrmmoK-a1bha049GbRpToUBxxP0i4wFxhNHJilyDYgu7WfmBpLmxIY8z-CqaOb0GbyjQ0c9/s320/Nggrantes.jpg" width="339" border="0" /></a>"Nggrantes" acrylic on canvas 100 x 130 cm<br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYl65oOP_Cn-rtAgoLmW_oW676sWaXBARIXsesgWn6Dc_Qz4HaVWcT7OHNNnlh64i5dBaStBX4TbDiwKZF3hnUwfy5Dh-GF9GOgQDewAerxBFnk3Arpwm_bUsEEXn43jyqfVyh/s1600-h/Sumringah.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5246991628394083186" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 335px; CURSOR: hand; HEIGHT: 257px" height="254" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYl65oOP_Cn-rtAgoLmW_oW676sWaXBARIXsesgWn6Dc_Qz4HaVWcT7OHNNnlh64i5dBaStBX4TbDiwKZF3hnUwfy5Dh-GF9GOgQDewAerxBFnk3Arpwm_bUsEEXn43jyqfVyh/s320/Sumringah.jpg" width="333" border="0" /></a>"Sumringah" acrylic on canvas 100 x 130 cm<br /></div><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com13tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-71130747607760996962008-08-17T23:49:00.000-07:002010-10-29T03:53:52.751-07:00Trimurti<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_lhtwBK1SCB-tdDEYyrvAS9XcPvXyDxO0fIpYn7bBX3y91UCICX0Z7r0J7KjkLufzJmJA3gverLgdF3u8HAqeRUYVIb0jTptCV9epOXzDhN2Vlm5Q6caYhpB9EF_h6GaPj9SL/s1600/sk-trimurti037.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 195px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_lhtwBK1SCB-tdDEYyrvAS9XcPvXyDxO0fIpYn7bBX3y91UCICX0Z7r0J7KjkLufzJmJA3gverLgdF3u8HAqeRUYVIb0jTptCV9epOXzDhN2Vlm5Q6caYhpB9EF_h6GaPj9SL/s200/sk-trimurti037.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5533419426881064962" /></a>JASADMU sudah lama terbaring. Tapi aku ingin mengenangmu saat ini, ketika republik merayakan kemerdekaannya.<br /><br />Trimurti. Aku melihatmu di layar kaca, tergolek lemah tak berdaya di atas ranjang kayu. Badanmu kurus tapi jiwamu berontak. Gelisah. Ikatan di tanganmu tak kuasa menahannya. Lalu kau terbaring kaku. Wafat. Kau pergi ketika “merdeka” belum jadi sepenuhnya.<div class="fullpost"><br />Hanya sekali aku berada di sisimu. Di tahun 2002 itu, kau nyanyikan sebuah lagu dengan penuh semangat, dengan bahasa Belanda yang terlatih. Aku tak tahu judulnya. Tapi kuingat kau mengacung-acungkan kepalan tanganmu. Dan satu pesanmu masih kuingat, ketika kau jabat erat tanganku: “Jadilah wartawan yang baik, yang berguna bagi bangsa dan negaramu.”<br /><br />Kini aku hanya bisa membaca ketikan tanganmu, yang terselip di rak-rak bukuku.<br /><br /><br />KAU-lah wartawan tulen itu. Kau sudah menjadi wartawan sejak 1933. Dalam usia semuda itu, 21 tahun, kau sudah membantu dan menulis untuk majalah <i>Fikiran Rakjat</i> di Bandung. Ah, rasanya aku bisa mengerti kegugupanmu saat itu ketika Soekarno memberi perintah: “Tri, bikin tulisan untuk majalah <i>Fikiran Rakya</i>t.”<br /><br />Kau merasa seperti disambar geledek. Kau galau karena berpikir majalah ini majalah politik yang isinya berat, penulisnya hebat-hebat. “Saya ini apa? Cuma gurem,” kau membatin.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXDq6cGknEk1Bf8Nzf8jNq8-2hgo1Asat-DCXUVeMVXTzmjP72eu1b3E0qh9WWeQv_W6VgsWLdBSgWonW0P3QaaFVcq4Y9QO5BlDelUgYBMXecdLZSRGwBaOBfkid95QyDsyO4/s1600-h/trimurti.bmp"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXDq6cGknEk1Bf8Nzf8jNq8-2hgo1Asat-DCXUVeMVXTzmjP72eu1b3E0qh9WWeQv_W6VgsWLdBSgWonW0P3QaaFVcq4Y9QO5BlDelUgYBMXecdLZSRGwBaOBfkid95QyDsyO4/s320/trimurti.bmp" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5236491572416297394" /></a>Ini jalan yang sudah kaupilih. Ketika kau dengar pidato Bung Karno pada rapat umum Partindo di Purwokerto pada 1932, kau sudah bertekad untuk berguru politik padanya. Kau tinggalkan posisimu sebagai pegawai negeri, sebagai guru sekolah dasar puteri. Lalu kau masuk asrama wanita untuk murid-murid politik Bung Karno di dekat Astana Anyar, Bandung. Kau sudah rasakan gemblengannya. Kau ingat saat dia meminta kau berpidato, dan kau rasakan diinterogasi PID.<br /><br />Kali ini, di tahun 1933, kau rasakan lagi perintahnya. Kau cari inspirasi. Hoplah, akhirnya ketemu. Kau menulis tentang kejahatan penjajahan Belanda, sikap rakusnya yang mengakuti kekayaan Indonesia ke negerinya, untuk membangun negerinya, sementara rakyat Indonesia yang bekerja keras, memeras keringat, tak diberi hak demokrasi. Tentu saja kau kena delik pers. Beruntung kau bebas dari hukuman.<br /><br />Kau tak gentar jua. Kau menulis dan menulis lagi di harian <i>Berjoang</i> (Surabaya), majalah <i>Bedug</i> dan <i>Genderang</i> (Solo), majalah wanita <i>Marhaeni</i> (Yogyakarta), majalah yang kemudian jadi harian <i>Pesat</i> (Semarang), majalah <i>Suluh Kita</i> dan harian <i>Sinar Selatan</i> (Semarang), harian <i>Kedaulatan Rakyat</i> (Yogyakarta), dan majalah <i>Mawas Diri</i> (Jakarta). Kau pernah rasakan penjara wanita di Semarang karena delik pers.<br /><br /><br />JEPANG mendarat. Kau ditangkap, setahun jadi orang tahanan di Semarang. Kau didakwa melawan atau berusaha melawan pemerintah fasis Jepang. Kau terima hadiah itu, cuma sedikit tapi cukup berkesan bagimu: beberapa kali pukulan pakai pentung.<br /><br />Beruntung kau kenal Soekarno, yang atas usahanya memindahkan kau ke Jakarta dan bekerja di kantor Pusat Tenaga Rakyat, lalu pindah ke Jawa Hokokai Honbu. Tapi status tahananmu belum dicabut. Kau sendiri yang harus hati-hati, tak bikin kegiatan apapun atau menghubungi kawan-kawan seperjuangan.<br /><br />Jepang hanya seumur jagung. Ia kalah perang. Para pemuda ingin proklamasi kemerdekaan segera diumumkan sebelum Sekutu datang. Kau ikut dalam arus pemuda-pemuda itu.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgnusdiIDZiBf4oyGkKisKwOEPfSDGLY1X0z5tTBRA1HkdAH8OUBGffhx_byuzfwo8-0kaXdZszkhZa_3RxhJvcCfIzlCYodlgSeMHqclobwiPfx2Qk8NLMlBxj4viAszL-Oorc/s1600-h/trimurti.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgnusdiIDZiBf4oyGkKisKwOEPfSDGLY1X0z5tTBRA1HkdAH8OUBGffhx_byuzfwo8-0kaXdZszkhZa_3RxhJvcCfIzlCYodlgSeMHqclobwiPfx2Qk8NLMlBxj4viAszL-Oorc/s200/trimurti.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5236489864543632898" /></a>Pada 17 Agustus pagi itu, kau tertidur pulas. Semalam kau hadiri pertemuan di Kebon Sirih No 80 untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang dan menguasai alat-alat komunikasi yang penting. Tapi tak ada Bung Karno atau Bung Karni cs di sana. Tak ada perintah aksi. Bung Karni cs, yang datang tengah malam, malah meminta para pemuda bubar. Kau pulang dengan hati kecewa. Mendongkol, merasa ditipu. Sampai di rumah sudah hampir pagi. Kau mengantuk.<br /><br />Tak lama, kawan-kawan seperjuangan menghampirimu.<br /><br />“Yu, mari kita ke Pegangsaan Timur No 56, ke rumah Bung Karno untuk mendengarkan proklamasi.”<br /><br />“Mengapa tidak di Lapangan Ikada seperti rencana semula?”<br /><br />“Ah, diam sajalah dulu. Di sana sudah banyak serdadu Jepang dengan senjata lengkap. Nanti kita ditembaki kalau ke sana,” ujarnya sambil meninggalkanmu.<br /><br />Kau bangun, mandi, sarapan pagi, dan bergegas ke Pegangsaan Timur. Di halaman rumah Bung Karno, sudah penuh orang. Kau dan mereka berbaris di halaman depan. Bung Karno, Bung Hatta, dan Fatmawati datang. Pakaian mereka kusut. Juga wajah mereka, mungkin semalam suntuk tak tidur.<br /><br />Pukul sepuluh pagi, bendera harus dipasang. Terdengar suara: “Yu Tri, kerek bendera itu.”<br /><br />“Tidak,” jawabmu. “Lebih baik saudara Latif (Hendraningrat) saja. Dia dari PETA.”<br /><br />Bendera merah-putih pun berkibar.<br /><br />Kau dan Fatmawati berdiri di depan bendera, berhadap-hadapan dengan Bung Karno dan Bung Hatta yang berdiri di beranda. Tak lama kemudian, Bung Karno membacakan teks proklamasi, dengan suara rendah, perlahan tapi khidmat.<br /><br />Berita proklamasih itu disiarkan ke seluruh negeri.<br /><br /><br />TRIMUTRI, kau pernah menulis, perkenalanmu dengan Bung Karno telah mengubah jalan hidupmu. Dari seorang pegawai negeri yang tunduk, menjadi orang mandiri, yang bisa mengeluarkan pendapat tanpa rasa takut. Dan hampir setiap kali kau menghadapi gejolak, kau rasakan otot-otot menjadi lebih kencang, lebih kuat. Daya tahan meningkat, dan rasanya di depan mata, tidak pernah ada penghalang yang berarti.<br /><br />Saat ini kurasakan semangatmu itu. Dalam belenggu rasa sakit, kau masih berontak. Otot-ototmu mengejang. Aku tahu, kau ingin bebas. Dan Tuhan pun membebaskanmu, ketika azan magrib usai berkumandang, ketika negerimu merayakan dua abad kebangkitannya, pada 20 Mei 2008.<br /><br />Namamu akan dikenang. Namamu, sudah diabadikan untuk penghargaan kepada aktivis dan wartawan perempuan yang berjuang untuk kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Dan aku ingin mengenangmu di hari kemerdekaan ini.<br /><br />Merdekalah Trimurti, “merdekalah” tanah air kita.* (Foto: ketikataku.wordpress.com dan community.kompas.com)<br /></div><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-89829692426605924242008-02-07T22:28:00.000-08:002009-02-20T03:58:08.793-08:00Mengenang(1949)<br /><br /><strong>Ah, Lidah Tuan!</strong><br /><br />Atas nama Tuhan berkata Tuan:<br />keadilan itu satu dan sama bagi semua<br />tapi mengapa pula distribusinya dikelas-kelas? <br /><br />Tuan yang tidak botak atau tbc karena nasi sepiring<br />mengapa pergunakan terus kuasa Tuan<br />untuk merampas nasi kami?<br />jutaan kami lebih dari botak dan tbc<br />dan tuan makin gendut, dan kami makin kurus.<div class="fullpost"><br />Dan bila kami coba-coba lepas dari siksa sepiring nasi<br />ingin juga mengecap vitamin dan nikmat musik<br />mengapa pula Tuan berikan kami timah panas<br />hingga untuk Tuan dan Keadilan jutaan<br />kami matianjing tiada harga.<br /><br />Ah, Tuan!<br />botak, tbc dan vitamin ini, mari, kita adilkan pula<br />kami tidak seperti Tuan, distribusi mesti merata:<br />botak, tbc dan matianjing giliran Tuan<br />dan kami vitamin musik, baik untuk kesehatan kita.<br /><br />Timah panas, kata Tuan?<br />ah, Tuan! Hari esok ia tak kan panas lagi<br />akan dingin seperti Tuan.<br /><br /><br />(1950)<br /><br /><strong>Antara Bumi dan Langit </strong><br /><em>untuk H.B.Jassin</em><br /><br />Kita adalah dua manusia<br />dari dua pandangan hidup<br />dipanaskan matahari satu zaman.<br /><br />Engkau dan aku mencoba<br />menjauhi permainan hitam-putih<br />kita cari lapang luas<br />di mana kata Merdeka<br />berhenti menjadi semboyan hampa.<br /><br />Kita sama-sama cinta merdeka<br />tetapi isi kata kita cari masing-masing<br />dan detik aku temui warna<br />yang tak luntur diuji waktu<br />gila kita terus-menerus jadi pencari?<br /><br />Engkau mabok gairah langkah mencari<br />niadakan segala nilai hasil kerja<br />aku minta kau ambil posisi<br />ini senjata tidak serampangan<br />dia keringat dan otak sejarah umat.<br /><br />Engkau dan aku cinta Merdeka<br />tapi lapang luas punya batas<br />kalau kau berlagak dewa<br />ku proklamir Manusia darah-daging<br />zaman ini pelaksana kata Merdeka.<br /><br />Kita berdua sama-sama tidak bebas<br />kau terikat pada dirimu<br />aku pada Manusia dan zaman kini.<br /><br /><br /><em>Klara Akustia, 7 Maret 1924 - 7 Februari 2006</em> </div><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com16tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-61004365530505744202007-12-26T10:18:00.001-08:002010-11-01T02:30:49.685-07:00Iklan dan Politik<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0qtTI-22Pc8FTAz4yCE9vmWthSItoa7kgykPoxGhlLWmKXUMD58k6MwPHgPgHNceNZZk-an4jP5_tLJaB1dvdXU1lWEMa_HHxq-t5_jUT_nKekAqUjtlVfTKlG8bElWu7uu6F/s1600/poster-undp.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 143px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0qtTI-22Pc8FTAz4yCE9vmWthSItoa7kgykPoxGhlLWmKXUMD58k6MwPHgPgHNceNZZk-an4jP5_tLJaB1dvdXU1lWEMa_HHxq-t5_jUT_nKekAqUjtlVfTKlG8bElWu7uu6F/s200/poster-undp.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5534511123441268130" /></a>INI era komunikasi modern. Segala sesuatunya dikemas mengikuti hukum budaya massa yang lebih menekankan aspek hiburan. Berita politik di media seolah jadi drama. Iklan dan orasi politik hanyalah janji-janji kosong. Dan itulah sorotan buku ini.<br /><br /><i>Iklan dan Politik</i> merekam dinamika periklanan politik selama pemilihan umum 2004. Isinya membahas aturan kampanye, keterlibatan praktisi periklanan, peran media, materi iklan, belanja iklan, aturan kampanye periklanan, pengaruh iklan, sampai pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama masa kampanye. Dilengkapi pula dengan gambar-gambar iklan yang menarik –sayang, rencana menyertakan sebuah CD berisi iklan-iklan media cetak, televisi, dan radio urung dilakukan. <div class="fullpost"><br />Buku ini sudah terbit, dan momennya juga tepat, menjelang pemilihan umum 2009. Beberapa orang yang membaca buku ini sudah memberikan apresiasi. Sekarang, tinggal Anda.<br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCPNl0-AkVgJKlANZagmoYN7EGG41KaCYgiCLtAN9NvvjW2jRDv1-ydmM3MsAwLx-YTkMTVgzkLPQwjzHI3x29I4iywuGZvv98ij-Q4nJuN-ZpCVh1D8Z9A8s5IXadxofBy1GM/s1600-h/iklandanpolitik.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5148348789660955074" style="margin: 0px 10px 10px 0px; float: left;" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCPNl0-AkVgJKlANZagmoYN7EGG41KaCYgiCLtAN9NvvjW2jRDv1-ydmM3MsAwLx-YTkMTVgzkLPQwjzHI3x29I4iywuGZvv98ij-Q4nJuN-ZpCVh1D8Z9A8s5IXadxofBy1GM/s200/iklandanpolitik.jpg" border="0" /></a><div class="fullpost">Pemrakarsa: RTS Masli<br />Penulis: Budi Setiyono<br />Tim Ahli: RTS Masli, Baty Subakti, Rudy Haryanto<br />Penasehat: Indra Abidin, Nuke Mayasaphira, Effendi Gazali,<br />Yanti B. Sugarda, Iskadi SK, Garin Nugroho, Aswan Soendojo<br />Pracetak: Paulus Efendi<br />Administrasi: Wiji Lestari<br />Sampul dan Tata Letak: Riri Oskandar<br />Gambar-gambar: Mediabanc Jakarta, kecuali disebutkan sumbernya<br />Cetakan Pertama: 2008<br /><br /></div><div class="fullpost"><br /></div><div class="fullpost">Diterbitkan oleh: </div><div class="fullpost"><br />AdGOAL.Com<br />Jalan Raya Kebayoran Lama No. 18 CD<br />Jakarta 12220 Indonesia<br />Tel +62 21 722 1678<br />Fax +62 21 722 3760<br /><br />Galang Press<br />Jalan Anggrek No. 3/34 Baciro Baru<br />Yogyakarta 55225<br />Tel +62 274 545609, 554986<br />Fax +62 274 554985<br />Email: <a href="mailto:galangpress@jmn.net.id">galangpress@jmn.net.id</a><br /><a href="http://www.galangpress.com/">http://www.galangpress.com/</a><br /><br />BUKUkita<br />Jalan H. Montong No. 57 RT 006/02, Ciganjur<br />Jagakarsa, Jakarta Selatan 12630<br />Tel +62 21 7888 3030 (Hunting)<br />Fax +62 21 787 3446 (Direct)<br />+62 21 786 4440, 727 0996<br />Email: <a href="mailto:marketingbukukita@gmail.com">marketingbukukita@gmail.com</a><br /><br />ISBN: (13) 978-979-24-9913-1<br />ISBN: (10) 979-24-9913-x<br /><br />Hak cipta dilindungi oleh undang-undang<br />All right reserved<br /><br /><br />Sampul Belakang:<br /><br />SEORANG pemuda aktivis sosial yang menarik, pintar, dan bersemangat didekati oleh manajer kampanye profesional. Diyakinkannya pemuda itu agar mencalonkan diri bagi jabatan pemerintahan. Sang pemuda setuju. Manajer itu bergerak cepat. Sebuah tim sukses dibentuknya. Ada rombongan petugas polling, pembuat film, pembuat iklan, agen pers, penulis pidato, artis perias, dan sebagainya. Semuanya bekerja dengan satu tujuan: mencetak, mengepak, dan menjual kandidat itu melalui kampanye periklanan massal yang canggih. Pemilihan usai. Sang kandidat menang. Tapi keraguan segera menyergapnya: “Apakah saya benar-benar memiliki kualifikasi sebagai pejabat pemerintah?”.<br /><br />Dia kembali kepada (mantan) manajer kampanyenya, seorang bayaran yang telah siap mencari wajah baru untuk dijual, dan bertanya, “Tapi, apa yang kita lakukan sekarang?”<br /><br />Sepenggal adegan film The Candidate itu bermuatan satiristik bahwa “produk” tak dikenal dapat dijual kepada pemilih sebagai “konsumen”.<br /><br />Bagaimana dengan para kandidat di Indonesia menjelang dan selama pemilihan umum? Buku ini layak dibaca kalangan praktisi periklanan, pembuat regulasi, praktisi media, politisi, mahasiswa, dan masyarakat umum.</div><br /><div class="fullpost">“Kalau Anda memang (sebelum membaca buku ini pun) sudah telanjur relatif sinis, Anda toh masih bisa tetap mencoba optimis; motto “Bersama kita Bisa” itu juga boleh dibaca “Bersama Kita Bisa Memperbaiki Diri dan Masa Depan Iklan Politik”.<br /><em>Effendi Gazali, Phd, Koordinator Program Magister Manajemen Komunikasi Politik, Program Pascasarjana Komunikasi UI</em><br /><br />“Periklanan politik kadang dirindukan tapi juga dicacimaki karena pesan-pesannya dianggap membodohi dan menyesatkan masyarakat. Seyogyanya ada pijakan untuk menilainya secara arif. Dan buku ini layak jadi rujukan.”<br /><em>Indra Abidin, President Director PT Fortune Indonesia<br /></em><br />“Dari hasil survey pendapat publik, yang dibutuhkan masyarakat pemilih bukanlah iklan politik dengan pesan-pesan yang obral janji ataupun etalase tanda gambar dan nomor urut semata, melainkan pesan-pesan yang jujur dan mulus. Siapapun mesti membaca buku ini.”<br /><em>Yanti B. Sugarda, President Director Polling Center<br /></em><br />“Iklan politik tidaklah sekadar janji dan daya pikat, tetapi mengandung tawaran program, panduan publik, serta menumbuhkan ketulusan dan kepercayaan. Iklan politik adalah strategi image, pendidikan kewarganegaraan, dan strategi politik. Untuk itu, buku ini menjadi penting di tengah dinamika politik dan media serta hubungan bisnis, politik, dan pendidikan kewarganegaraan.”<br /><em>Garin Nugroho, Koordinator Koalisi Media untuk Pemilu Jujur dan Adil</em><br /><br />“Seringkali iklan dipersepsikan mendorong pola hidup konsumtif. Buku ini memberikan pemahaman peran iklan dalam mendorong demokratisasi dan peran publik dalam penentuan perjalanan bangsa.”<br /><em>Aswan Soendojo,President Director Matari Advertising</em><br /><br />“Ada banyak hal yang tercecer dan luput dari perhatian kita selama pemilihan umum berlangsung, dan semuanya bisa terekam dengan baik dalam buku ini.”<br /><em>RTS Masli, International Advertising Association – Indonesia Chapter President</em></div><br /></div><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-48511762616772140462007-12-20T10:26:00.000-08:002009-02-20T03:59:21.129-08:00ObsesiSEJUMLAH lembaga membuat program menanam pohon. Pemerintah giat mengajak warga menanam pohon. Sebuah ajakan yang bagus. Tapi saya sedikit geli. Tanpa itu pun warga sudah menanam pohon, mempercantik pekarangan rumah mereka. Coba berjalan ke sejumlah tempat dan lihat di beranda rumah-rumah: begitu hijau, asri, dan cantik.<br /><br />Tahun ini ibarat tahun tanaman. Entah bagaimana mulanya. Tiba-tiba orang hafal nama-nama tanaman seperti adenium, sansievera, euphorbia, dan anthorium. Yang terakhir ini malah sangat populer; orang menamainya “gelombang cinta”. Konon, di sejumlah tempat, harga tanaman ini dibeli dengan harga milyaran rupiah. Di tempat lain beredar kabar athorium yang dicuri orang –biasanya sebelumnya menolak tawaran harga setengahnya. Ada yang lebih konyol lagi. Seorang suami menjual sapinya untuk membeli anthorium. Dia berharap bisa mendapat keuntungan dari hasil penjualannya. Karena marah, istrinya merajang tanaman itu lalu menjadikannya oseng-oseng. Oh dunia….<div class="fullpost"><br />Saya sendiri tak tahu apa kelebihan anthorium. Konon, itu tanaman raja-raja zaman dulu. Harga tanaman ini juga pernah melesat beberapa tahun lalu. Tetap saja saya tak tahu letak keindahannya. Namanya indah untuk tanaman yang biasa-biasa saja. Ia sejenis tanaman talas, dengan sisi-sisi daun bergelombang. Seorang teman membeli bibitnya –masih kecil, setinggi sekira 10 cm– dengan harga Rp 75.000. Entah berapa lama dia harus menunggu hingga gelombang cintanya mekar.<br /><br />Saya melihatnya seperti goreng-gorengan lukisan. Jadi tak sedikit pun saya meliriknya.<br /><br />Tapi, bisa jadi Susan Orleans benar untuk berhati-hati punya hobi tanaman. Ia mampu menarik hatimu, lalu membuatmu begitu terobsesi padanya. Orlean wartawan <em>The New Yorker</em>, penulis buku Si Pencuri Anggrek. Dalam bukunya, Orlean menggambarkan betapa kecintaan pada anggrek telah membuat banyak orang terobsesi, bahkan bisa melupakan kehidupan lainnya. Karena anggrek, orang rela meninggalkan keluarga, karier, masuk hutan, melalang buana, dan bertarung hidup dan mati. Demam tanaman di sini nyaris seperti Simeleone kecil. Sering saya mendengar berita mengenai pencurian tanaman di rumah-rumah warga. Bahkan di kampung halaman saya, kabar pencurian tanaman juga merebak. <br /><br />Mungkin saya lagi terobsesi oleh tanaman.<br /><br />Awalnya, setahun lalu, di sesela bertandang ke Semarang, saya membeli dua buku soal bonsai di Pasar Johar. Harganya murah; masing-masing Rp 5.000. Setelah membacanya, rasanya tak begitu sulit membuat bonsai. Tanamannya juga mudah didapat di mana saja. Tapi saya belum tergerak untuk mencari tanaman pertama saya, meski tanaman bukanlah barang asing. Selagi kecil, pekerjaan rutin saya ya menyirami tanaman. <br /><br />Tanaman pertama saya bukanlah bonsai tapi lidah mertua. Tanaman daun ini biasa saja. Daun-daunnya agak keras dan menjulur ke atas. Warna kuning menyisiri sisi daun, sementara warna hijau dan putih berbaur di tengah-tengahnya. Orang Jawa percaya, meletakkan tanaman ini di depan rumah baik untuk menjaga keharmonisan rumah tangga: bakal disayang mertua! Saya sendiri memilihnya karena ia jenis tanaman dalam ruangan. Tahan tanpa sinar matahari dan penyiraman. Selain itu, lidah mertua dipercaya bisa menyerap polusi udara, terutama asap rokok. Klop kan, saya bisa tetap merokok tanpa bau apak yang memenuhi kamar.<br /><br />Ada juga three colour. Ia juga tanaman dalam ruangan. Ukurannya kecil. Daunnya bersulur lurus bak jarum perak. Warna merah cerah mendominasi daunnya.<br /><br />Lalu, seorang teman memberi saya adenium. Bagi saya, adenium tak begitu unik. Jelas ia tanaman pekuburan: kamboja. Bedanya ia pendek –sehingga orang sering menamainya Kamboja Jepang. Bonggolnya agak gemuk. Warna bunganya variatif. Bahkan dalam satu pohon, melalui teknik okulasi biasa, bisa muncul bunga aneka warna. Adenium sempat menjadi trend. <br /><br />Saya sendiri tak begitu tertarik mengikuti trend. Saya sudah memutuskan untuk membuat dan merawat bonsai. Bonsai punya seninya sendiri. Ia bagian dari peradaban manusia. Menurut Budi Sulistyo dan Limanto Subijanto, keduanya penggemar bonsai dan pernah aktif di Perkumpulan Penggemar Bonsai Indonesia, dalam buku Bonsai, seni ini sudah lama di kenal di China sejak dinasti Tsin (265-420). Ia menjadi kegemaran kalangan atas. Tapi perlahan seni bonsai menyebar hingga keluar China. Penggemarnya pun mulai beragam. Hingga kini harga bonsai relatif stabil.<br /><br />Begitu tanaman pertama di tangan, hasrat menambah tanaman muncul. Mulailah saya berburu. Selokan di sepanjang jalan yang saya lalui menuju ke kantor menjadi sasaran pertama. Beringin paling gampang ditemui. Saya juga menemukannya di atap gedung, tembok rumah, pinggir jalan… Bonsai beringin adalah khas Indonesia.<br /><br />Tapi beringin yang saya dapatkan masih terlalu muda. Butuh waktu lama agar mereka mengeluarkan akar-akar yang menonjol keluar. Beringin yang agak besar saya peroleh di tembok rumah. Ia tumbuh berdiri tegak di sisi bangunan rumah berlantai dua. Talang air menjadi satu-satunya jalan mendekati pohon itu. Jalannya mesti merapatkan punggung ke tembok. Beringin itu muncul dari pipa pembuangan kamar mandi. Saya tak bisa membedolnya. Akarnya sudah terlalu dalam dan kuat. Saya mengergaji akarnya. Beringin itu seukuran lengan. Saya sudah memangkas semua dahan, daun, dan akarnya. Saya menaruhnya di pot. Sekarang beringin ini sudah mengeluarkan tunas-tunas baru. Lebat. Sebagai bonsai, ia memang belum sedap dipandang mata.<br /><br />Bonsai memang bukan tanaman sekejap mata: begitu tanam, langsung bisa dinikmati. Butuh waktu tahunan hingga bentuknya yang eksotik menggoda mata Anda. Kakak saya sudah membuat bonsai tujuh tahun lalu, dan hingga kini belum ada satu pun bonsai jadi. Butuh proses lama, kesabaran, ketelatenan, dan juga kreativitas.<br /><br />Saya tak berpikir membeli bonsai jadi. Di daerah Puncak, penjual bonsai berjejeran. Dari dalam mobil, saya sering melihatnya dengan takjub. Seorang teman pernah menawar bonsai pohon asem jawa. Harganya: Rp 700 ribu! Dia urung membelinya. Saya juga tak akan membelinya dengan harga semahal itu. Selain itu, saya suka dengan prosesnya. Karenanya, saya lebih suka mencarinya sendiri, lalu merawat dan mendesainnya hingga berbentuk bonsai jadi. <br /><br />Kadang saya membelinya dari penjual tanaman tapi dengan harga sangat miring. Standar harga saya adalah Rp 5-15 ribu, tergantung ukuran pohon. Kelihatannya tidak masuk akal, tapi saya bisa mendapatkannya. Teman-teman saya, yang kadang mengantar ke penjual tanaman, sering geleng-geleng kepala melihat saya menawar.<br /><br />Meski tak seperti Laroche, saya mulai terobsesi pada tanaman. Saya terus memburu tanaman lainnya. Saya beli satu lusin pot, dan saya pikir sudah cukup. Ternyata tambah lagi, dan tambah lagi. Kini koleksi saya hampir empat lusin. Ada beringin, beringin putih, beringin karet, beringin dolar, beringin korea, sasilas, pusaka, melati kosta, dewandaru, asem kranji, kemuning, buegenvil, cendrawasih. <br /><br />Masih banyak tanaman yang belum saya dapatkan. Daftarnya sudah ada: wareng, ulmus, trenggulun, sisir, serut, pinus, rukem, kabesa, kepel, mustam, murbei, minten, maja, landepan, kembang jepun atau nagasari, kawista, kacapiring, jeruk kingkit, delima, cempaka kuning atau kantil, azaela, cantigi, bunut, dan sawo. <br /><br />Saya terobsesi bonsai hingga pernah membawanya ke dalam mimpi. Saya terobsesi olehnya, hingga tanaman-tanaman ini mampu membuat saya bangun lebih pagi. Untuk apa lagi kalau bukan menyirami dan menyentuhnya. <br /><br />Yang hadir bukan hanya kenangan masa kecil tapi juga kecintaan pada yang hidup. Mungkin bonsai-bonsai ini akan setua hidup saya nanti.<br /><br />Bagaimana dengan ajakan menanam pohon? Menjadikan bumi ini hijau memang pekerjaan mulia. Teruskan. Tapi, agar efektif, mungkin perlu juga belajar dari penjual tanaman yang bisa <em>menggoreng </em>tanaman dan menggugah obsesi banyak orang.*</div><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-33572569364474267172007-11-21T10:29:00.000-08:002009-02-22T21:04:35.605-08:00Cinema ParadisoSAYA ingin nonton bioskop lagi. Tapi dengan tempat duduk yang nyaman. Tak perlu empuk. Cukup biarkan saya menyandarkan punggung ke kursi dengan kaki nangkring di atas sandaran kursi di depannya. Pengelola bioskop tentu tak akan mengizinkan. Setiap film hendak diputar, larangan posisi duduk semacam itu selalu ditayangkan. Tapi tidak di bioskop-bioskop kampungan. <br /><br />Menonton bioskop adalah pengalaman personal. Bukan pengalaman komunal. Bukankah sesama penonton tak saling mengenal, dan menghayati sebuah film dengan perasaan masing-masing? Dan pengalaman personal itu pernah saya dapatkan di bioskop kampung saya, di sebuah kota kecamatan di tengah pulau Jawa.<div class="fullpost"><br /><br />Namanya bioskop Aladin. Letaknya di sisi barat pasar. Semasa kecil, kalau pergi ke pasar, saya selalu menyempatkan diri mampir dan melihat poster-poster film di gedung bioskop. Saya suka poster-poster itu. Saya akan menunggu mobil bioskop keliling kampung, dengan suara khas penumpangnya yang berteriak lantang: “Saksikanlah….” Begitu datang, saya akan mengikutinya, berharap dan berebut dengan teman-teman poster film yang disebarkan. Poster-poster itu saya jadikan sampul buku sekolah.<br /><br />Saya sering mengunjungi Aladin. Letaknya tak jauh dari rumah. Saya senang melihat antrian penonton yang hendak masuk. Teman-teman saya sering nekat menerobos, menyelip di antara antrian penonton. Saya tak berani. Begitu pintu bioskop dibuka, tanda film akan berakhir, barulah saya masuk untuk melihat sisa film –juga tingkah para penontonnya, yang satu per satu meninggalkan kursi.<br /><br />Ada saat-saat tertentu bioskop menjadi sangat ramai. Ramainya mengalahkan pasar di sebelahnya. Penonton datang dari desa dengan truk-truk, sekadar ingin melihat film idolanya… Rhoma Irama. Film-film India juga relatif sesak penonton. Begitu pula film-film yang lagi dibicarakan orang macam Saur Sepuh.<br /><br />Sedari kecil, saya suka nonton bioskop. Biasanya bersama adik saya. Kami biasa menabung uang jajan, dan uang itulah yang kami pakai untuk membeli tiket. Kami suka film-film kungfu, dari <em>Jaka Sembung</em> sampai <em>The Bastard Swordsman</em> (Pendekar Ulat Sutra). Film China ngamuk –begitu kami biasa menyebut film-film Mandarin– juga tak terlewatkan. Kami suka film-film Jacky Chan. Kocak. Penuh aksi. Hampir semua filmnya sudah saya tonton.<br /><br />Menginjak sekolah menengah, ada seorang pemuda Tionghoa naksir kakak saya. Dan dia sering memberikan kami tiket gratis. Satu tiket berlaku untuk dua orang. Kami tinggal menunjukkan tiket ke loket untuk mendapatkan stempel, lalu melenggang masuk.<br /><br />Saya ingin menonton bioskop lagi, dengan suasananya yang khas. Tidak di bioskop papan atas yang tertib dan santun, yang sebuah siulan menyambut kedatangan sang jagoan bisa membuat seisi bioskop mengeluh.<br /><br /><br />SAYA menghabiskan masa kecil di sebuah kota kecamatan. Aktivitas kota ini terpusat di pasar dan bioskop. Tahun 1980-an, bioskop mungkin satu-satunya hiburan warga kampung. Televisi masih satu channel. Acaranya begitu-begitu saja, lebih banyak program pemerintah. Video masih sedikit yang punya. Saya beruntung punya teman sekolah yang punya video. Saya bisa menonton <em>Goggle V</em> atau <em>Megaloman Fire</em> di rumahnya. Sementara kalau menonton video di rumah tetangga, saya harus membayar beberapa rupiah.<br /><br />Bioskop juga hiburan keluarga. Orangtua saya sering mengajak nonton bersama saat malam minggu. Kalau film Warkop mampir, kami pasti menontonnya –labelnya memang untuk semua umur, tapi penampilan pemain-pemainnya… huh. Saya sering menutup mata dibuatnya. Film lainnya ya macam <em>Walisongo</em>. Kakak-kakak saya sesekali mengajak saya nonton film-film remaja: <em>Gita Cita dari SMA</em>, <em>Catatan Si Boy</em>, atau <em>Si Roy.</em> Film midnight adalah jatah orangtua saya –saya sering melihat mereka berangkat tengah malam.<br /><br />Pemerintah Soeharto sadar betul hiburan ini bisa jadi sarana propaganda yang ampuh. Jadilah menonton bersama sebagai program pemerintah Orde Baru. Setiap anak sekolah wajib menontonnya: <em>Serangan Fajar, Robert Wolter Monginsidi, Pengkhianatan G30S/PKI</em>, hingga <em>Operasi Trisula</em>. Kami harus berjalan kaki dari sekolah menuju bioskop, yang jaraknya sekira 3 km. Bioskop penuh. Penonton berjubel. Saya sempat mendapat tempat duduk di kursi paling depan. Kepala langsung pening.<br /><br />Ia juga masuk ke ruang-ruang privat, ruang-ruang keluarga. Setiap tahun film <em>Pengkhianatan G30S/PKI </em>diputar melalui televisi.<br /><br />Budi Irawan dalam <em>Film, Ideologi, dan Militer</em> tak mengherani fenomena itu. Menurutnya, sinema Indonesia sejatinya bersifat politis. Sebab, jika menilik sejarahnya, ia tak pernah sepenuhnya bebas dari medan pengaruh kekuasaan politik. Melalui sinema yang diklaim sebagai “film sejarah”, rezim Orde Baru mengkonstruksikan format relasi sipil-militer, memberi legitimasi historis yang mungkin artifisial terhadap Dwifungsi ABRI, serta memperkuat cengkeraman kekuasaan Soeharto dengan penonjolan perannya semasa revolusi fisik. Tapi Soeharto runtuh, dan klaim sejarah itu pun menguap.<br /><br /><br />RUANGAN sudah gelap. Film hendak diputar. Saya menyandarkan punggung ke kursi dengan kaki nangkring. Saya hembuskan asap rokok sambil sesekali melihat sekeliling ruangan. Sepi. Cuma enam penonton. Tapi saya menikmati keheningan ini.<br /><br />Saya suka menonton pukul 21.00. Sepi. Tidak berisik. Tidak ada pedagang asongan berkeliaran menjajakan dagangannya. Tidak ada orang berteriak-teriak, memaki, atau bahkan berantem sesama penonton. Saya menguasai bioskop ini sepenuhnya.<br /><br />Sekolah saya berada di kota kabupaten, sehingga saya tinggal di sana bersama kakak, menempati rumah orangtua yang belum sepenuhnya rampung. Saya jadi jarang nonton bioskop. Jarak bioskop terlalu jauh. Ada dua bioskop di sini: Subur dan Sanjaya –Subur masih bertahan, sementara Sanjaya sudah beralih fungsi menjadi lapangan tenis.<br /><br />Sesekali saya masih menyempatkan diri menonton di sana. Bersama teman, sepulang sekolah, kami menonton bioskop. Masih film-film China ngamuk. Sesekali kami bolos sekolah dan pergi ke kota sebelah. Di sana ada banyak bioskop. Yang pernah saya kunjungi adalah bioskop Maya di dekat terminal (lama). Ini bioskop murah. Satunya lagi bioskop Dewi di dekat alun-alun kota. Ruangannya dibagi dua, dipisahkan oleh papan memanjang. Di depan untuk kelas festival. Rasanya gerah. Lain dengan di belakang, yang mendapat pendingin dari AC sentral. Ada juga balkon, yang tiketnya tentu paling mahal.<br /><br />Tapi tetap saja bioskop-bioskop ini tak bisa menggantikan bioskop di kampung saya. Dan seminggu sekali saya pulang ke rumah orangtua, sebuah rumah dinas di sebuah kota kecamatan. Saya mendatangi bioskop Aladin seminggu sekali, meresapkan kenangan masa kecil.<br /><br /><br />SEMASA kuliah di Semarang, awal 1990-an, saya masih suka nonton bioskop. Karena rumah paman, di mana saya tinggal, dekat Pasar Johar, saya sering nonton di bioskop Gris dan Semarang di Jalan Pemuda –keduanya berhadap-hadapan. Kalau ke Johar dan hendak mencari buku bekas, saya menonton di bioskop Kanjengan.<br /><br />Setahun kemudian, saya mengontrak rumah bersama teman-teman kampus. Di sini hobi nonton bioskop tak terbendung lagi. Kalau mau nonton film Mandarin, ya datang ke bioskop Murni di Jl Gadjah Mada. Tak jauh dari Murni, ada bioskop Manggala, biasanya film-film Hollywood. Tak jauh dari Manggala, ada bioskop Gajah Mada Theater, Plaza Theater, dan belakangan, setelah dibangun Mal Ciputra, ada Citra –semuanya mengepung Simpang Lima. Agak ke timur, dekat kantor RRI, ada bioskop Admiral.<br /><br />Saya dan teman-teman kadang menjelajah bioskop lainnya. Berjalan kaki menyusuri Jalan MT Haryono, kami mampir di bioskop Gelora yang lebih sering memutar film-film Hollywood. Kalau tidak ya, menonton di bioskop Indra di belakangnya, jika ingin menonton film Mandarin. Bioskop Anjasmoro dan Atrium 21, yang posisinya berhadap-hadapan di Jalan Siliwangi, menjadi sasaran berikutnya.<br /><br />Belakangan, saya jadi jarang nonton bioskop. Zaman sudah berubah. Rental VCD bertebaran. Bahkan kemudian, ketika saya sudah bekerja, saya lebih sering menonton VCD. Sampai kemudian era DVD datang, dan saya sudah pindah ke Jakarta, saya lebih memilih mencari DVD di Ratu Plaza, Glodok, atau Mangga Dua.<br /><br />Tapi pengalaman menonton film di rumah tak kalah menyenangkan. Sebulan sekali, biasanya malam minggu, teman-teman datang ke rumah. Mereka datang dengan segepok film. Kami punya kesenangan yang sama: menonton film. Genrenya juga nyaris sama: film-film festival. Sepanjang malam hingga menjelang pagi, beberapa film diputar. Sesekali komentar meluncur, dari akting pemain sampai ending cerita. Dan mereka menyebut kamar saya…. Cinema Paradiso.<br /><br />Ya, nama itu terinspirasi judul film <em>Cinema Paradiso</em>. Ini film yang indah. Ada kelucuan dan keharuan. Kami sama-sama suka film ini. Teman saya bahkan rela mencari versi original, dan mendapatkannya dengan harga Rp 300.000.<br /><br />Menonton Cinema Paradiso seolah melihat sejarah sebuah bioskop, film-filmnya, orang-orangnya … sebuah bioskop yang menjadi kebanggaan warga kampung, yang kemudian dirobohkan atas nama ekonomi. Menonton Cinema Paradiso mengingatkan saya pada bioskop di kampung saya, pada kenangan masa kecil.<br /><br />Aladin kini sudah mati. Saya sempat melewatinya lebaran kemarin. Tak ada yang tersisa dari bangunan yang dulu terlihat megah. Sebuah minimarket telah menggantikannya. Mungkin kalau saya masih tinggal di sana, saya akan ikut melihat bagaimana bangunan itu dirobohkan, dan menangisinya –sama seperti dilakukan orang-orang kampung di film Cinema Paradiso. Bioskop menjadi bagian dari identitas kota.<br /><br />Zaman memang sudah berubah. Bioskop sudah ditinggalkan pemiliknya karena merugi. Konon, masalahnya soal monopoli distribusi film-film. Praktis hanya beberapa bioskop kelas atas saja yang masih bertahan. Stasiun televisi juga bejibun, dengan beragam acara hiburan. DVD bajakan makin mudah didapat. Orang juga lebih memilih ruang privat, di kamar atau ruang keluarga, menonton televisi atau memutar DVD.<br /><br />Saya ingin nonton bioskop lagi. *<br /><br /><br /><em>Ide tulisan ini sempat saya lontarkan ke sejumlah teman. Cak Kartolo, begitu biasa disapa, yang sering mengajak saya ke Glodok dan menonton film di kamar saya, membalasnya dengan sebuah tulisan yang manis. Saya sertakan di sini.</em><br /><br /><strong>Pengalaman Pribadi Nonton Bioskop</strong><br /><br /><br />NENG kuto asalku Tulungagung Jawa Timur (kurang lebih 30 km dari Gunung Kelud yang mau meletus), pada era 1980 sampai pertengahan 1990-an, ada lima bioskop (perlu saya sebutin namanya?) yang kini sudah punah, diganti pusat perbelanjaan, hotel, dan tempat karaoke! Di bioskop-bioskop itulah semua film kungfu tak tonton kabeh, termasuk The Bastard Swordsman alias Pendekar Ulat Sutera!<br /><br />Yang mungkin ente belum pernah dengar, pada era 1980-an, bioskop-bioskop itu membagi tempat duduknya dalam 3 kelas. Kelas 1 –deretan paling belakang dengan harga paling mahal – Rp 1.000. Kelas 2 – deretan tengah, kurang lebih Rp 700. Deretan paling depan, yang bikin sakit mata, Rp 300. Bandingkan dengan harga di Blitzmegaplex Jakarta yang sekarang Rp 40.000.<br /><br />Pada masa ketika film kungfu Mandarin mengalami “renaissance” awal 1990-an, satu bioskop memutar “Extra Show atau Student Show“. Harga tiketnya Rp 1.000-an. Kita harus berdesak-desakan untuk antri beli tiket kalau mo nonton. Dan setelah di dalam, belum tentu dapat tempat duduk! Pas Basic Instinct lagi diputer tahun 1992, wis ora karuan akehe penontone. Seperti pada kasus wong ndeso sing nyewo truk untuk nonton film Rhoma Irama atau Saur Sepuh. Nonton berjubel-jubel dengan asap rokok dan umpatan-umpatan kotor itu ternyata menimbulkan sensasi tersendiri –yang tidak bisa kita dapatkan kalau nonton di Cineplex– yang penontonnya orang-orang beradab, he-he-he.<br /><br />Mungkin alasan “pengalaman kolektif” itulah yang membuat ABG-ABG sekarang tidak bosan-bosannya nonton film horor. Kata Kang Giorgio Arwani, “Mereka nonton terutama bukan karena seneng filmnya. Mereka ingin mengalami seneng bareng-bareng, ketawa bareng-bareng, dan takut bareng-bareng.” Sensasi kolektif ini yang dulu saya rasakan bersama penonton kampung lainnya ketika menyaksikan “tendangan tanpa bayangan” Jet Lee di Once Upon a Time in China.<br /><br />Soal antusiasme penonton, acara tahunan JIFFEST (Jakarta International Film Festival) masih menyedot cukup banyak penonton –tentu karena promonya. Tapi karena rata-rata yang diputer art-house cinema, ya sensasi kolektif itu tidak terlalu MAK-NYUSSS! –karena penontonnya sibuk mikir! Paling banter ketawa sopan bareng-bareng. Aku dhewe wis suwi ora nonton film-film “seru dan renyah”. Jika ada JIFFEST tahun ini, aku mungkin njajal milih sing enteng wae, biar mengalami sensasi kolektif lagi. Ketika baru-baru ini di TIM ada “Tribute to Michelangelo Antonioni”, waktu pemutaran L’ Aventura – gratis, hanya 3 orang yang mampu bertahan sampai selesai: Kartolo karo 2 bule Italia –karena filme “pelaaaan abis”. Waktu nonton Opera Jawa di Blitzmegaplex jam 21.30 hanya ada 4 penonton, tanpa suara, dari awal sampai akhir.<br /><br />Bagaimana ya kira-kira atmosfernya, ketika disebutkan bahwa penonton di Cannes memberikan standing ovation selama 30 menit untuk film Mexico Pan’s Labyrinth atau standing ovation untuk “film mikir” Denmark - Dancer in the Dark.<br /><br />By the way, film yang 1 bulan lalu aye dapat dari Mangga Dua (Chacun son cinema) ternyata merupakan kumpulan film-film pendek (5 menitan) dari 20-an sutradara top “art cinema” - untuk memperingati 60 tahun Cannes Film Festival. Tentang interpretasi mereka soal PENGALAMAN NONTON FILM dan kecintaan terhadap film.<br /><br />Sutradara Israel, Amos Gitai, menampilkan cerita tentang muda-mudi yang nonton bioskop di Israel. Ketika sedang asyiknya-asyiknya, ada tentara masuk mengumumkan pemutaran harus dihentikan karena ada peringatan serangan udara. Ketika penonton masih malas bangun dari kursi atau mendebat sang tentara, tiba-tiba… buuum! Bom ditembakkan ke bioskop!<br /><br />Sutradara Denmark, Bille August, bikin film tentang mahasiswi Iran yang nonton bioskop di Denmark. Karena tidak mengerti bahasa Denmark, dia janjian nonton dengan temannya, orang Denmark, sebagai penerjemah. Setiap dialog langsung ditejemahkan, dan itu mengganggu sekumpulan penonton laki-laki (gang) di depan mereka. Mereka terlibat adu mulut. Si gadis dan temannya harus keluar gedung. Namun akhirnya, gerombolan pemuda itulah yang akhirnya justru menjadi penerjemah.<br /><br />Zhang Yimou bikin film tentang pengalaman nonton layar tancap di suatu desa di China. Pada saat film diputar, justru sang bocah yang jadi tokoh utama ketiduran, capek nunggu. Adegan-adegan di sekitarnya sebelum film dimulai justru telah berubah menjadi film itu sendiri.<br /><br />Roman Polanski – bikin pengalaman nonton film semi porno dalam segmen CINEMA EROTIQUE. Wis ora usah tak critani yen soal iki.<br /><br />Yen nonton BF utowo semi, enake pengalaman kolektif atau personal???? Koyone enak nonton dhewean neng kamar sambil..... minum kopi .... huak ak ak ak. *</div><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-70765969298576330002007-09-30T10:11:00.000-07:002009-02-22T21:05:18.646-08:00Semut Terjepit Dua GajahRUMAH ini asri. Pepohonan rindang memenuhi pekarangan rumah. Dari pintu masuk, aroma wangi yang khas tercium. Sebuah apotik menghadap pintu masuk, menawarkan beragam jenis obat tradisional berbentuk cair hingga kapsul. Di sisi kanan, di sebuah lahan yang lapang, sejumlah tanaman obat berjejer rapi. <br /><br />Rumah ini tak pernah sepi. Ada aktivitas meditasi dengan mengandalkan kekuatan alam. Sesekali rombongan tamu datang, sekadar melihat-lihat, membeli obat, atau mempelajari pengobatan tradisional. Sebuah papan pengumuman di dinding rumah menjadi petanda: sejumlah lembaga pernah bertandang ke sini.<div class="fullpost"><br /><br />Putu Oka Setia, si empunya rumah, sudah berada di teras belakang. Ia asyik berbincang dengan tamu yang mulai berdatangan.<br /><br />Putu Oka seorang sastrawan asal Bali. Pernah mendekam selama 10 tahun di penjara karena aktivitasnya di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), gerakan kebudayaan yang berdiri pada 17 Agustus 1950. Pengalamannya sebagai tahanan politik dia tuangkan dalam sebuah novel Merajut Harkat.<br /><br />Ia berbincang dengan Scott Schlossberg, mahasiswa S3 Universitas Berkeley, Amerika Serikat. Scott sedang mengkaji Lekra. Saya melihat perbincangan itu ibarat perploncoan. “Apa yang mau kamu tulis; Lekra sebagai hantu gentayangan atau Lekra sebagai semangat berkesenian,” ujar Putu Oka.<br /><br />“Kalau mau menulis Lekra sebagai hantu gentayangan, ke kuburan saja.”<br /><br />Putu Oka tertawa. Ini memang pertemuan yang cair. Nama pertemuannya sendiri dibuat santai: temu kangen seniman.<br /><br />Sudah sering seniman Lekra berkumpul. Awalnya betul-betul temu kangen. Dalam perkembangan, muncul ide untuk membuka diri, memberi kesempatan bagi orang lain untuk bergabung dengan mereka. Acaranya ya makan-makan, bertukar kabar, kemudian diskusi santai mengenai satu topik yang sudah diagendakan dari awal.<br /><br />Temu kangen digelar di ruang tamu. Katrin Bandel, dosen-tamu di program magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, membuka diskusi. Ia membedah sejumlah karya sastra Indonesia yang terbit selama dan sesudah Orde Baru, terutama yang menyinggung peristiwa 1965. Mula-mula novel <em>Pergolakan</em> karya Wilda Yatim yang terbit pada 1974. Lalu <em>Nyanyi Sunyi Seorang Bisu</em> karya Pramudya Ananta Toer, <em>Anna Gretta</em> Budi Darma, <em>Sri Sumarah</em> Umar Kayam, <em>Ronggeng Dukuh Paruh</em> Ahmad Tohari, <em>Saman</em> dan <em>Larung</em> Ayu Utami, dan sebagainya. Ia kutip adegan atau dialog dari buku-buku itu lalu mengkritisinya.<br /><br />Menurutnya, karya sastra Indonesia masih mencerminkan versi pemerintah. Karya sastra Orde Baru memberikan empati terhadap korban-korban 1965 tapi lebih kepada orang yang tak tahu apa-apa. Sekalipun Orde Baru runtuh, logika dan versi sejarahnya belumlah berubah; lebih menyoroti pergolakannya, sementara sisi ideologinya dianggap tidak penting. Menurut Bandel, tidak tepat jika karya-karya sastra yang terbit belakangan menjadi versi tanding Orde Baru.<br /><br />Ini berbeda dari karya-karya korban. Versinya jelas berbeda, meski ada teks-teks mengenai korban yang tak bersalah atau merasa tak bersalah dan bagaimana mereka mengatasi situasi ini. Ada sedikit kesamaan. Perbedaannya terletak pada pendalaman psikologisnya.<br /><br />Bandel usai, Saut Situmorang bicara. Saut memaparkan pandangannya tentang apa yang dialami generasinya, generasi pasca-1965, yang menurutnya terjepit di antara “dua gajah yang sedang bertarung.” Generasinya kehilangan pegangan, tanpa pijakan. Di masa Orde Baru, sastrawan <em>Horison</em> menjadi dewa –<em>Horison</em> adalah nama majalah sastra yang diterbitkan sejumlah sastrawan “Manifest Kebudayaan” dan menjadi standar mutu sastra Indonesia. Setelah reformasi, mitos Lekra sebagai setan berubah menjadi dewa.<br /><br />Meski setelah 1965 kelompok Manifest Kebudayaan “menang”, pertarungan dua kekuatan itu tidak meredup. Kebenaran sejarah menjadi hal yang tak pernah selesai: apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu.<br /><br />“Generasi sekarang menjadi korban, terjepit, lost generation. Padahal generasi kami yang memberikan pengakuan terhadap dua kekuatan itu,” ujar Situmorang.<br /><br />Saya suka istilah Saut tapi tak sepakat dengan keterjepitan generasinya. Kalau pun benar, yang hilang bukan hanya generasinya tapi juga sejarah sejarah sastra Indonesia yang utuh.<br /><br /><br />PADA suatu ketika, menjelang tahun 1950, sastrawan Adi Sidharta (biasa disingkat A.S. Dharta) bertemu dengan M.S. Azhar dan Njoto. Tak jelas apa yang membuat mereka bisa bertemu. Tapi saat itu, menjelang dan sesudah kemerdekaan, pergaulan masih terasa sempit, sehingga ada kebutuhan untuk bertemu dan mengenal orang lain. “Ingat hukum jenis mencari jenis,” ujar Dharta kepada saya.<br /><br />Njoto seniman musik. Semasa di Solo, gitaris hawaian. Pengetahuannya tentang musik luar biasa. Komponis-komponis Jakarta hormat kepadanya. Pengetahuannya juga luas, mencakup segala bidang. MS Azhar novelis. Perasaannya sangat kuat, dan terasa dalam karya-karyanya.<br /><br />Mereka bertemu kali pertama di rumah Azhar di Jl Wahidin No 10, rumah dinas Departemen Perhubungan. Awalnya hanya sekadar mengobrol, tentang apa saja, kadang sambil bermain catur. Njoto terkenal jago memainkan bidak. Dari obrolan ringan itulah meluncur perbincangan mengenai perkembangan seni di Indonesia. Mereka merasa Jakarta butuh lembaga kesenian yang ikut memberi andil bagi Indonesia yang masih belia. ”Ternyata dalam diskusi, muncul pemikiran yang lebih luas. Indonesia bukan hanya Jakarta. Jakarta bukan Indonesia. Tapi Indonesia ada Jakarta,” ujar Dharta.<br /><br />Pada 17 Oktober 1950, atau beberapa bulan setelah penyerahan kedaulatan, didirikanlah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Sejumlah sastrawan hadir dalam deklarasi Lekra itu. Sikap berkesenian mereka dituangkan dalam Mukadimah. Njoto pembuat konsepnya.<br /><br />”Lekra membantu aktif perombakan sisa-sisa ’kebudayaan’ penjajahan yang mewariskan kebodohan, rasa rendah, dan watak lemah pada bangsa kita. Lekra menerima dengan kritis peninggalan-peninggalan nenek moyang, juga hasil-hasil ciptaan klasik dan batu dari bangsa lain, menuju ke penciptaan kebudayaan yang nasional dan ilmiah. Lekra juga mendorong inisiatif dan keberanian kreatif, menyetujui setiap bentuk, gaya, dan sebagainya, selama ia setia kepada kebenaran dan selama ia mengusahakan keindahan artisitik yang setinggi-tingginya.”<br /><br />”Lekra menolak sifat antikemanusiaan dan antisosial dari kebudayaan bukan rakyat, menolak perkosaan terhadap kebenaran dan nilai-nilai kebenaran. Lekra bekerja untuk membentuk manusia baru yang memiliki segala kemampuan untuk memajukan dirinya dalam perkembangan kepribadian yang bersegi banyak dan harmonis. Lekra berpendapat bahwa secara tegas berpihak pada rakyat dan mengabdi kepada rakyat adalah satu-satunya jalan mencapai hasil yang tahan uji dan tahan waktu.”<br /><br />Menurut <em>Lekra dalam Menjambut Kongres Kebudajaan Bandung</em>, 6-11 Oktober 1951, Lekra didirikan setelah kurang lebih 15 orang peminat dan pekerja kebudayaan di Indonesia menerima Mukadimah dan konsepsi Lekra. Sekretariat Pusat Lekra terdiri dari A.S. Dharta, M.S. Azhar, dan Herman Arjuno, masing-masing sekretaris I, II, dan III. Henk Ngantung, Njoto, dan Joebaar Ajoeb menjadi anggota. Aktivitasnya meliputi seksi sastra, seni rupa, seni suara, seni drama, film, filsafat, dan olahraga. Majalah Lekra diterbitkan tiap minggu: <em>Zaman Baroe</em>, kantornya di Surabaya tapi belakangan pindah ke Jakarta. Redaksi diisi oleh Iramani (Njoto), Klara Akustia (A.S. Dharta), dan M.S. Azhar.<br /><br />Tak dinyana, meski tanpa sistem keanggotaan, dengan cepat cabang-cabang Lekra berdiri di sejumlah daerah. Tak jelas berapa jumlah anggota Lekra. Pram, pada 1963, pernah menyebut angka lebih seratus pekerja kebudayaan. Setahun kemudian, DN Aidit mengklaim hampir setengah juta orang, malah ribuan bahkan jutaan orang ambil bagian dalam mengembangkan Lekra.<br /><br />”Itu bukti bahwa zaman membutuhkan. Bukti bahwa kita punya understanding terus-menerus. Organisasinya terus-menerus dimodernkan, diefisienkan, supaya yang di bawah pegang kendali,” ujar Dharta.<br /><br />Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Stephen Miller, pengajar bahasa Indonesia di University of New England, menyebut Lekra sebagai fenomena unik dalam sejarah dunia. ”Berdasarkan penelitian saya, cukup jelas bahwa Lekra berkembang karena cara membangunnya sangat organik dan sesuai kondisi lokal,” ujarnya. Stephen Miller saat ini sedang melakukan riset tentang Lekra untuk tesis doktoral di Australian National University.<br /><br />Tapi gerakan itu langsung habis begitu Soeharto melancarkan ”gerakan pembersihan”. Lekra dianggap sebagai onderbouw Partai Komunis Indonesia, partai yang disalahkan atas peristiwa pembunuhan para jenderal. Para aktivitasnya dipenjara dan sebagian dibuang ke Pulau Buru tanpa proses pengadilan.<br /><br /><br /><br />SEMASA saya remaja, Lekra adalah nama yang asing di telinga. Saat ini pun nama itu pun tidak begitu dikenal masyarakat. Orde Baru dibangun dengan propaganda dan pembelokan sejarah untuk melegitimasi kekuasaan. Penggambaran Lekra sebagai bagian dari PKI begitu melekat. Dan salah satu gambaran itu yang sangat berhasil, menurut saya, adalah keluarnya buku <em>Prahara Budaya</em> karya DS Moeljanto dan Taufik Ismail.<br /><br />Di masa itu, ketika akses informasi terbatas dan sejarah tandingan bukanlah makanan yang mudah ditemukan, saya sendiri terheran-heran membaca buku itu. Kedua penulisnya berhasil menggambarkan kekejaman seniman-seniman Lekra. Kasar. Main sikat. Tukang berangus. Setelah Orde Baru runtuh, gambaran itu memudar, menjadi simpati yang luar biasa. Dan ikonnya adalah Pramudya Ananta Toer, novelis tetralogi Bumi Manusia yang karyanya berkali-kali diberangus pemerintah.<br /><br />Tapi tahun belum berakhir. Gambaran itu masih melekat di benak sejumlah orang. Mereka juga masih mengaitkan Lekra dengan PKI.<br /><br />Stephen Miller tak bisa menerima gambaran Lekra sebagai alat PKI. Alasannya, hubungan antara gerakan komunis dan Lekra tak mungkin jalan seperti yang digambarkan selama ini. Miller mengatakan, Lekra muncul begitu saja atas inisiatif pemimpin PKI. Tapi banyak orang yang ikut Lekra di masa awal sudah punya basis sebelumnya. Mereka sudah aktif di sanggar-sanggar seperti Sanggar Pelukis Rakyat dan Sanggar Seniman Indonesia Merdeka (SIM) atau punya kedudukan dalam masyarakat. Lekra hanya semacam badan koordinasi yang mengembangkan organisasi dan kegiatan tersebut.<br /><br />Lekra bekerja sama dengan organisasi lain, misalnya serikat-serikat buruh dan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Lekra juga membangun organisasi-organisasi baru yang kemudian berkembang sealiran dengan Lekra, misalnya badan nasional untuk pemain ketoprak dan Sarbufis (Sarekat Buruh Film Indonesia). Perhatian pun datang dari tokoh-tokoh terkemuka, termasuk Presiden Soekarno. Soekarno sering datang ke pameran Lekra, atau membuka acara-acara resmi Lekra. Seniman dan sanggar Lekra memenangi kontrak-kontrak seni dari negara.<br /><br />Keberhasilan Lekra mengilhami kelahiran lembaga-lembaga lain: Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Lembaga Seni Budaya Muslimin (Lesbumi), Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi), dan lain-lain.<br /><br />Keith Foulcher, dalam risetnya <em>Social Commitment in Literature and Arts</em>, idem dito. Menurutnya Lekra bukanlah alat PKI, tapi sealiran (politik) dengan PKI. Penggambaran Lekra sebagai “alat” PKI, menurut Foulcher, mengada-ada karena seakan-akan ada jalur komando dari Moskow dan Peking melalui Politbiro PKI, lalu ke Pimpinan Pusat Lekra, sampai ke basis keseniannya. Gambaran macam begini tak mungkin terjadi dalam organ sukarela seperti Lekra yang tak punya keanggotaan yang terikat, misalnya dengan kartu anggota atau iuran wajib. Fungsi Lekra di sini lebih pada jaring penghubung antara organ budaya satu dengan yang lainnya dan sekaligus mesin melek politik revolusioner.<br /><br />Hubungan keduanya mungkin lebih tepat diistilahkan sebagai “keluarga komunis” –meminjam Saskia Elonara Wieringa, penulis buku Penghancuran Gerakan Perempuan. Istilah itu menggambarkan hubungan lentur ketimbang hubungan organisatoris dalam menunjukkan relasi PKI dengan organ-organ konsestannya.<br /><br />Dalam temu kangen ini, para seniman Lekra juga menolak gambaran itu. Mereka berpendapat Lekra juga tidak satu. Hubungan PKI dan Lekra, juga Gerwani dan Pemuda Rakyat, seperti minyak dan air. Tak bisa bersatu. Dan ini belakangan menjadi masalah bagi Dipo Nusantara Aidit. Ia ingin menjadikan Lekra sebagai organisasi resmi di bawah PKI.<br /><br />Menurut Joebaar Ajoeb dalam memoarnya Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia, menjelang akhir 1964, gagasan itu disampaikan kepada sejumlah anggota Pimpinan Pusat Lekra. “Jika Lekra setuju pada gagasan itu, yang praktis mem-PKI-kan Lekra, maka hal itu akan diumumkan secara formal. Tapi Lekra menolak gagasan itu. Bahkan Njoto, anggota Sekretariat Pusat Lekra yang juga wakil ketua II CC PKI, ikut dalam penolakan itu,” ujar Ajoeb.<br /><br />“Kami di Lekra menolak. Saya juga menolak, karena tidak bisa, misalnya, seorang Pram diperintah menjadi merah,” ujar Oey Hay Djoen dalam <em>Tuan Tanah Kawin Muda</em>.<br /><br />Dan yang hendak dimerahkan bukan saja Lekra, tapi juga lembaga lain seperti Gerwani dan Pemuda Rakyat. Karena tak berhasil, PKI membuat organisasi sendiri: Gerakan Wanita Komunis (Gerwis) dan Pemuda Komunis. Sementara di bidang kebudayaan, PKI membuat KSSR. Mereka juga memiliki media sendiri: <em>Kebudayaan Rakjat</em>.<br /><br />Upaya Aidit dilakukan antara lain melalui rapat Pleno II CC PKI pada 1963. Salah satu resolusinya adalah Konferensi Nasional Sastra dan Seni, yang akhirnya diadakan pada 27 Agustus hingga 2 September 1964 –dengan nama Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR).<br /><br />Dalam referetnya, “Dengan Sastra dan Seni yang Berkepribadian Nasional Mengabdi Buruh, Tani, dan Prajurit”, Aidit mengulang apa yang pernah dikatakannya. “Pekerjaan politik adalah otaknya partai, sedang sastra dan seni adalah hatinya partai. Orang komunis adalah manusia yang mempunyai otak dan hati yang terbaik. Oleh karenanya kaum komunis tidak menarik garis pemisah antara kerja politik dengan kerja kebudayaan.”<br /><br />Setelah diskusi dengan partisipan, referat Aidit diadopsi sebagai program aktivitas kebudayaan revolusioner. Konferensi juga mendeklarasikan bahwa “Sastra dan seni harus diintegrasikan dengan tugas-tugas politik yang kongkret.”<br /><br />Sejak itu, menurut Keith Foulcher, KSSR dijunjung tinggi sebagai pedoman semua kebijakan kebudayaan Lekra. Sekjen Lekra Joebaar Ajoeb membuat serial artikel yang diadopsi dari ceramahnya dengan judul “Mengapa dan Bagaimana Mengabdikan Kebudayaan kepada Buruh, Tani, dan Prajurit”. Judul itu mengindikasikan bahwa setelah KSSR, bukan saja formula “buruh, tani, dan prajurit” ditinggikan, tapi juga merefleksikan petunjuk dan ketentuan dari Aidit yang disebut “integrasi” dimulai. Sekalipun seringkali “integrasi” itu sendiri menjadi masalah dalam tubuh Lekra sendiri.<br /><br />Setahun kemudian, peringatan 1 tahun Konferensi diadakan meriah dengan seminar yang menghadirkan sejumlah figur penting Lekra. Media Lekra melaporkan antusiasme atas keberhasilan perkembangan terarah dalam seni revolusioner, khususnya dalam hubungannya dengan aktivitas “turun ke bawah” (Turba). Bagi Keith Foulcher, kenyataan ini menunjukkan bahwa KSSR dan Lekra sama-sama peduli terhadap perkembangan seni dan kebudayaan Indonesia. Tapi tidak ada indikasi bahwa perjuangan itu mengambil tempat dalam kerja politik yang lebih luas saat itu, juga mengancam posisi Lekra.<br /><br />Meski KSSR itu sendiri sering dianggap sebagai “cacat” dalam sejarah Lekra, tak ada “pertarungan” antara KSSR dan Lekra hingga meletus 30 September 1965. Tak terbayangkan bahwa peristiwa itu akan menjadi tahun yang tak pernah berakhir. Dan “cacat” itu, meski tak banyak diketahui orang, menjadi pembenaran sejarah versi pemerintah.<br /><br /><br /><br />TAK satu pun para seniman, yang bertemu kangen ini, membicarakan pengalaman kelam mereka setelah 30 September 1965: ditangkap, disiksa, dibuang, dipenjara tanpa proses pengadilan. Mereka lebih banyak bercerita tentang proses penciptaan. Lalu masing-masing saling melengkapi metode penciptaan Lekra, yang dikenal dengan asas 1-5-1: kegiatan meluas dan kegiatan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individu dan kearifan massa, serta realisme sosialis dan romantik revolusioner.<br /><br />“Kalau ada seniman Lekra tidak punya wajah 1-5-1, maka ia telah ditinggalkan,” ujar Amrus Natalsya, pelukis dengan teknik cukilan kayu, anggota Sanggar Bumi Tarung.<br /><br />“Saya tak peduli 1-5-1. Pokoknya saya menulis dan saya pikir (hasilnya) sesuai dengan 1-5-1,” ujar penulis cerita pendek Martin Aleida.<br /><br />“Satu-satunya lembaga yang membuat metode penciptaan adalah Lekra,” ujar Putu Oka.<br /><br />Temu kangen berakhir.<br /><br />Bagi saya sendiri, sejarah Lekra tetap tak bisa diabaikan dalam perkembangan kebudayaan di Indonesia. Pada akhirnya gajah-gajah itu hanya akan meninggalkan gading. Generasi Saut dan saya mungkin tak akan menemukan kebenaran tunggal mengenai posisi Lekra dan lembaga kebudayaan lainnya. Tapi sudah semestinya, seperti dalam permainan pinsut, semut selalu menang melawan gajah. Generasi sekarang harus membuat sejarahnya sendiri.*</div><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-13239356490972406672007-08-22T09:53:00.000-07:002009-02-22T21:05:50.102-08:00Pram, PeramSEKIRA 10 tahun lalu, saya sempat bertandang ke rumah Pramudya Ananta Toer di Utan Kayu. Saya hendak mewawancarainya mengenai nasionalisme untuk majalah kampus saya, <em>Hayamwuruk.</em> Ini bukan kali pertama bagi Hayamwuruk. Dua tahun sebelumnya majalah ini pernah menampilkan wawancara mendalam dengan Pram, nama singkatnya, mengenai sastra Indonesia. Judulnya “Saya Sudah Tutup Buku dengan Kekuasaan Ini”. Karena pemuatan ini, petinggi kampus hingga militer ribut. Untung tidak kena bredel.<br /><br />Sosoknya tegar dengan tubuh yang terlihat rapuh. Asap rokok mengepul terus dari mulutnya. Sempat dia menawari saya mengurus perpustakaannya yang penuh tumpukan koran. Saya menolaknya karena masih kuliah di Semarang. Tapi saya takjub dengan keuletannya melakukan kerja dokumentasi.<div class="fullpost"><br /><br />Pram menjadi sebuah nama sakral. Buku-bukunya dikopi dan dibaca secara sembunyi-sembunyi. Ia dibicarakan, bahkan jadi idola, di penghujung Orde Baru.<br /><br />Pram sudah benar-benar menutup buku, bahkan menutup lembaran hidupnya. Tapi buku itu sendiri belum sepenuhnya rampung. Masih ada yang membukanya, mengoreksinya langsung di halaman tengah –tahun-tahun gemuruh ketika dia menjadi salah seorang pengurus Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).<br /><br />Berawal dari sebuah rilis Masyarakat Pecinta Buku dan Demokrasi beberapa minggu silam. Isinya mengecam pelarangan buku-buku pelajaran sejarah, diikuti pembakaran, yang tidak mencantumkan label Partai Komunis Indonesia dalam peristiwa G30S. Rilis ini juga menyebar ke dunia maya.<br /><br />Selang beberapa hari kemudian, Arya Gunawan mengirim posting di sebuah mailing list. Ia mempertanyakan kenapa rilis itu tidak mencantumkan pembakaran buku yang dilakukan Pramudya Ananta Toer di masa lalu. Dia mempertanyakan apakah para penandatangan, terutama orang macam Goenawan Mohamad dan Arief Budiman, tidak membaca terlebih dahulu rilis itu? Gayung pun bersambut.<br /><br />Arya mendasarkan argumentasinya pada buku <em>Prahara Budaya</em> karya Taufik Ismail dan D.S. Moeljanto. Keduanya mengumpulkan makalah, kliping koran dan majalah yang terbit pada tahun-tahun itu untuk membuktikan adanya “prahara budaya”, di mana Lekra/PKI menyerang kelompok-kelompok di luar mereka. Sejumlah orang meragukan otentitas buku itu. Tapi Arya tetap berpendapat, selama belum ada karya lain, dia akan berpegangan pada buku itu.<br /><br />Saya membaca buku itu tak lama setelah ia terbit. Isinya bikin bulu kuduk meremang, melihat keganasan Lekra, dengan bahasa yang berapi-api dan menohok. Buku itu nyaris membuat saya percaya.<br /><br />Prahara Budaya bahkan menjadi rujukan banyak orang. Ketika Pram menerima Hadiah Magsaysay, yang menimbulkan polemik, buku ini menjadi pijakan penolakan beberapa orang. Mereka yang menolak mengherani anak-anak muda yang mendukung Pram tapi dengan alasan konyol: “Kalaupun mereka ketika itu masih bercelana monyet, atau bahkan belum lahir di dunia, toh mereka bisa membaca buku <em>Prahara Budaya</em>.” Saya membaca kembali polemik itu dalam buku Polemik Hadiah Magsasay dengan perasaan takjub sekaligus geli.<br /><br />Betapa sulitkah dialog antara yang tua dan muda?<br /><br />Saya merasa jengah dengan orang-orang tua. Pernah saya berselisih pendapat dengan sastrawan Ajip Rosidi. Kebetulan saya sedang mengerjakan biografi A.S. Dharta, salah seorang pendiri Lekra yang menjadi Sekjen Lekra pertama. Setelah meninggal dunia, Ajip menulis obituari di <em>Pikiran Rakyat</em>. Isinya: melulu soal kejelekan. Saya terperanjat kaget: sebegitu mendalamkah luka itu, sehingga dendam tetap ditancapkan di kala sang lawan sudah di liang lawat? Kenapa kecaman politik (bahkan cenderung masalah personal) selalu lebih menonjol ketimbang pembicaraan soal sastranya? Dia juga sibuk soal kekomunisan Dharta, belakangan senang ketika tahu bahwa Dharta sudah menjalankan ibadah salat.<br /><br />Prahara Budaya bisa disalahpami jika tidak dibaca secara kritis. Buku itu sendiri hanyalah kumpulan guntingan koran, yang oleh penulisnya dikumpulkan dan dianalisis –atau lebih tepat diberi tafsir. Dalam ilmu sejarah, koran memang termasuk sumber primer, meski tidak sepenting arsip atau dokumen cetak lainnya. Tapi apapun sumbernya, tetap perlu dilakukan kritik sumber: siapa yang menerbitkan sumber itu, siapa penulisnya, apa motifnya, bagaimana jenis kertasnya, dan lain-lain.<br /><br />Satu misal yang meragukan dalam buku itu, antara lain, mengutip berita di <em>Harian Rakjat</em> tanggal 3 Oktober 1965. Roysepta Abimanyu mempertanyakan kesahihan kutipan itu. Benar bahwa pada tanggal itu, dua hari setelah kudeta yang gagal itu, <em>Harian Rakjat</em> masih terbit. Tapi terbitnya harian Partai Komunis Indonesia ini juga sebuah pertanyaan. Siapa yang menerbitkan di kala “orang-orang” PKI sendiri digebuk di sana-sini?<br /><br />Kudeta Kolonel Untung gagal begitu dimulai. Tentara, di bawah komando Mayor Jenderal Soeharto, langsung menyapunya. Fasilitas publik yang penting langsung dikuasai tentara. Koran-koran dibredel, kecuali koran <em>Angkatan Bersenjata</em> dan …. <em>Harian Rakjat</em>! Ada apa? Masih gelap. Tapi sebagian beranalisis bahwa Harian Rakjat dibiarkan tetap terbit, dengan redaksi berbaju hijau, dan berita yang mendukung “kudeta”, untuk membenarkan bahwa PKI yang melakukan kudeta. Artinya, penyunting buku itu kurang hati-hati atau tidak kritis dalam menyeleksi tulisan.<br /><br />Pram sendiri punya pendapat soal buku itu. “Kalau sejarah Indonesia diibaratkan seekor cecak, maka buku tersebut hanya ujung buntutnya. Kehilangan konteks dari sejarah Indonesia sesungguhnya,” ujar Pram dalam Polemik Hadiah Magsaysay.<br /><br />Alex Supartono pernah mengkritisi buku ini dalam skripsinya, “Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia”. Menurut Alex, pengantar Taufik Ismail dalam buku itu tidaklah analitis, selain ketidaksetujuannya pada marxisme dan pengalaman subjektifnya. DS Moeljanto sendiri hanya memaparkan berbagai peristiwa budaya yang penuh dengan pertentangan antara tahun 1946-1965 secara singkat, tapi tidak berhasil menunjukkan keterkaitan peristiwa-peristiwa itu.<br /><br />Kelemahan lainnya, editor mengubah judul setiap tulisan, dan judul aslinya ditaruh di pengantar yang diberikan pada tiap tulisan. Selain itu di beberapa bagian tertentu diberikan komentar –seringkali tidak ada hubungannya dengan tulisan yang dikomentari. Tidak jelas kenapa ini dilakukan, tapi Alex melihatnya sebagai upaya editor untuk mengarahkan pembaca.<br /><br />Beberapa tulisan tidak ditampilkan secara utuh. Misalnya pidato Pram di Universitas Indonesia yang menjelaskan realisme sosialis –belakangan terbit dengan judul Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Editor juga tidak menampilkan keadaan sosial-politik, di tingkat nasional maupun internasional. Pilihan pedebatannya juga tidak bermutu, seringkali personal: saling tuding, caci dan maki.<br /><br />Alex melihat dua kesalahan Taufik Ismail dari epilog dalam buku itu. Pertama, menerima begitu saja bahwa G30S adalah pemberontakan PKI –satu hal yang masih diperdebatkan. Kedua, menganggap Lekra adalah cabang kebudayaan PKI.<br /><br />Stephen Miller dalam diskusi di Jaringan Kerja Budaya, tidak bisa menerima gambaran Lekra sebagai alat PKI, yang dikembangkan dan dipertahankan selama masa Orde Baru. Gambaran itu juga dikembangkan oleh sejumlah budayawan terkemuka melalui buku serta puluhan artikel dan esai. Penulis yang paling menonjol mungkin Wiratmo Soekito dan Taufiq Ismail. Steph menggolongkan sebagian besar tulisan merupakan polemik politik saja, bukan penelitian sejarah. Tulisan Goenawan Mohamad malah dia golongkan penelitian sejarah.<br /><br />Gaya Pram mungkin terlalu berapi-api, membikin kecut nyali lawan-lawannya. Tapi tindakan Pram juga bisa dilihat dari kerja jurnalistiknya. Dalam penelitiannya, “Pramoedya and Politics: Pramoedya Ananta Toer and Literary Politics in Indonesia, 1962–1965”, Steph menunjukkan, dari 155 artikel Pram di Lentera, hanya 9 (6%) yang secara langsung terkait dengan polemik kebudayaan di masa itu, dan 12 artikel (7.5 %) ditujukan serangan kepada orang-orang liberal dan konservatif. Lebih dari 50% (81 artikel) bertemakan sejarah, khususnya mengenai kemunculan bahasa dan sastra Indonesia modern serta hubungannya dengan perkembangan dan pertumbuhan nasionalisme Indonesia.<br /><br />Pembakaran buku oleh Pram masih kontroversial. Tentu saja, dalam sejumlah wawancara, Pram tidak mengakui tuduhan itu.<br /><br />“Tidak benar saya pernah membakar buku-buku karya orang lain. Saya justru berterima kasih pada setiap usaha mengabadikan pikiran Indonesia dalam bentuk buku,” ujar Pram pada 1995.<br /><br />Menurut Steph, penindasan terhadap orang kanan, orang Manikebu, juga terjadi pada orang kiri. Kalau Mochtar Lubis ditahan akhir tahun 1950-an, Pram ditahan awal tahun 1960-an. Aktivis Lekra juga dihajar, khususnya di daerah. Jadi memang ada situasi pergulatan kekuasaan waktu itu.<br /><br />Dalam kasus “pembakaran” buku oleh Pram, layak disimak pendapat Martin Aleida, juga dalam diskusi di JKB. Menurutnya, adalah berbahaya dan menyesatkan mempersonifikasikan Lekra dengan Pram. Apa yang ditulis Pram di lembaran budaya Bintang Timur tidak mencerminkan garis Lekra. Kadang-kadang dia anarkis di sana. Tapi kalau ditendang, Lekra akan kehilangan.<br /><br />Basuki Resobowo, dalam <em>Bercermin di Muka Kaca</em>, menulis: “Siapa saja, selama tidak menghalangi jejak Lekra, tetap diajak jalan bersama,” ujarnya. Dia mencontohkan rombongan sastrawan kiri yang mengajak WS Rendra berkeliling ke negara-negara komunis dan sosialis, dari Moskwa lewat Peking sampai Korea Utara.<br /><br />Dan buku Prahara Budaya pun, dalam konteks sejarah sastra, makin menambah gelap sejarah sastra itu sendiri.<br /><br />Penelitian Keith Foulcher secara khusus mempelajari pergulatan gagasan tentang kesatuan atau keterpisahan antara seni (sastra) dan politik. Robohnya Orde Lama oleh Foulcher tidak hanya dipandang sebagai awal kebangkitan dan kejayaan Orde Baru, tapi juga kemenangan pengikut pandangan sastra universal. Kelompok Manikebu mengaku tidak mau meletakkan politik di atas seni, atau sebaliknya –sebuah pernyataan yang juga politis. Tapi ada juga orang-orang Manikebu seperti Goenawan Mohamad, Satyagraha Hoerip, dan Arief Budiman yang belakangan lebih terbuka dan tak menyerang bekas musuh-musuhnya.<br /><br />Terakhir, saya hanya ingin menyitir pandangan Arief Budiman, salah seorang penandatangan Manikebu yang pada 1968 menolak nilai universal dalam kesusastraan, dan pada 1993 bersama Ariel Heryanto melontarkan gagasan “Sastra Konstekstual”, bahwa sejarah kesusastraan Indonesia modern sudah tidak sehat lagi. Berbeda dari masa-masa sebelumnya, pada masa ini kesusastraan “universal” mencapai zaman keemasan. Kesusastraan ini berjaya secara mapan, hampir-hampir tanpa saingan dan tandingan.<br /><br />Saya pikir anak muda sekarang jauh lebih kritis. Mereka tak mau tafsir tunggal, bahkan dari pihak yang sekarang kalah sekalipun. Dalam sebuah diskusi temu kangen seniman, sebuah acara rutin mantan anggota Lekra, sikap itu tampak jelas. Saut Situmorang pernah mengeluhkan generasinya yang terjepit di antara dua gajah ini. Saya menyalahkan kenapa mau terjepit atau diam saja kena jepit. Inilah momen bagi generasi muda untuk membuat sejarahnya sendiri. Dalam kesempatan lain, saya juga meminta orang-orang tua ini untuk juga bersikap kritis terhadap diri mereka sendiri, semacam selfkritik: apa yang dilakukan di masa lalu.<br /><br />Saya suka dengan pernyataan teman asing Nirwan Dewanto, yang dikutip dalam pengantar buku Polemik Hadiah Magsaysay: “Sastra kalian terkubur oleh kekeramatan Pramoedya. Juga oleh hingar-bingar kalian sendiri.”<br /><br />Pram terus diperam tapi justru terus melahirkan generasi muda pendukungnya.*<br /></div><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-35488257848818975552007-05-25T21:37:00.000-07:002010-08-02T08:52:51.132-07:00Keremajaan Klara AkustiaDESA Cikondang, Cianjur, membentangkan hamparan sawah dan pegunungan yang menghijau dan segar. Sebuah rumah sederhana dan lumayan besar terlihat. Halamannya luas. Di sisi kanan gerbang terpampang papan nama sebuah yayasan. Rumah ini rasanya tak pernah sepi. Beragam kegiatan warga setempat meramaikannya. Sangat kontras dari kondisi rumah bercat biru yang terletak tak jauh dari rumah ini. Sepi.<br /><br />Seorang lelaki tua berkacamata tebal duduk di beranda rumah, membaca berita hangat di koran pagi. Suara gemericik air sungai terdengar lirih dari kejauhan. Sesekali ditingkahi derit kereta melaju pelan. Saya mengenalnya setahun lalu, dan setidaknya sebulan sekali bertandang ke rumahnya.<div class="fullpost"><br />Rumah menjadi bagian penting dalam pengalaman batin dan proses kreatif seorang penulis. Datang ke rumah ini seolah menggapai tempat yang melahirkan sajak-sajaknya. Atau lebih tepat lagi, mengkaji hubungan antara pengarang, karya sastra, dan lingkungannya. Dari sini pula saya memperoleh dan membaca <em>Rangsang Detik</em>, karya yang mencatatkan perjalanan kreatif, pengalaman hidup yang menempanya, serta pemikirannya dari 1949-1957.<br /><br />Rumah ini akan selalu mengingatkannya ketulusan hati seorang ibu sekaligus pada sebuah kepedihan. Ini rumah masa kecilnya. Di sini pula ia dilahirkan, 7 Maret 1924. Namanya Endang Rodji –tapi kelak ia menggunakan banyak nama untuk karya-karyanya: Adi Sidharta, A.S. Dharta, Klara Akustia, Kelana Asmara, Rodji, Jogaswara, Barmara Putra, dan mungkin masih ada yang lain.<br /><br />Tapi kasih sayang orangtuanya tidaklah genap. Hatinya luluh lantak dihantam kesedihan. Ibunya, Fatimah, meninggal dunia karena sakit pada 1930. Kepergian ibunya, orang yang biasa memanjakannya, benar-benar membuat dia sangat kehilangan. Disusul kemudian ayahnya, Moh. Usman. ”Saya seolah terlempar ke neraka,” ujarnya kepada saya. Setelah melewati pengalaman-pengalaman sedih, dia akhirnya pindah ke Bandung, lalu menetap di Jakarta.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXO-4IAJtYL29P-q-H6rg9l2BRSxzU5B5RBkQfwOdJD4MkcEHrTbuuGc-OYlhl-iJo1UYB12QcsTRqqDW3Uaa9oGICal1xw1UfkU0GR3kfH2sGfxNocQat44M0dcQdHstbYKxD/s1600-h/rangsangdetik1.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5068424521619034034" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXO-4IAJtYL29P-q-H6rg9l2BRSxzU5B5RBkQfwOdJD4MkcEHrTbuuGc-OYlhl-iJo1UYB12QcsTRqqDW3Uaa9oGICal1xw1UfkU0GR3kfH2sGfxNocQat44M0dcQdHstbYKxD/s200/rangsangdetik1.jpg" border="0" /></a>Tapi Priangan adalah tanah kelahirannya. Dari sinilah ilham dan segala nafas kehidupan membuncah dalam dirinya. Priangan mengasah rasa, emosi, gairah, dan segala gerak di lubuk hati manusia ini; bergerak merangkak pada sikapnya untuk memanusiakan manusia. Lihat saja betapa ia masih menyebut nama “ibu”, untuk menggambarkan betapa kejamnya perang –sehingga ia menyatakan: <em>karena itu aku kini pahlawan anti perang</em>. Kenangan dan kekaguman pada ayah angkatnya, Okayaman atau Barmara, seorang eks-Digulis, juga terpatri dan mempengaruhi sikapnya: <em>panenmu di hari fajar berdarah / mekar menjadi panen pembebasan.</em><br /><br />Priangan pula yang memberikan energi kepada sajak-sajaknya yang mengabarkan kegandrungan kepada kebesaran manusia. Banyak sajaknya bernafaskan kegairahan bumi tempatnya dilahirkan, menyerap saripati dari semangat kepahlawanan para pejuangnya: “Rukmanda”, “Cadaspangeran”, “Bara di Priangan”. Sajak-sajak ini begitu bergumuruh, menantang segala yang menghadang perlawanan demi pembebasan manusia, tapi juga liris; sepi, merindu, melilitkan kenangan pada tanah kelahiran.<br /><br />Ia juga tak terbersit pergi dari akar budayanya. Ia menulis sajak dalam bahasa Sunda. Karyanya antara lain termuat dalam buku <em>Kantjutkundang</em>, yang disusun oleh Ajip Rosidi dan Rusman Setiasumarga dan terbit pada 1963. Dalam buku ini, ada sejumlah sajaknya: “Poe Anyar” dan “Lagu”, “Kidung Sundayana”, serta “Talatahna Anepakeun”. Kedudukan dan pengaruhnya dalam bahasa dan kesusastraan Sunda juga tak bisa dibilang kecil. Klara Akustia-lah yang kali pertama mendeklamasikan sajak (bebas) Sunda dengan gaya modern, dan menyejajarkan namanya dengan sastrawan Sunda lainnya.<br /><br />Bahkan sisa hidupnya dia kerahkan untuk tanah Priangan. Di kamarnya, di dalam sebuah kardus, teronggok tumpukan kertas usang seribuan halaman: <em>Kamus Bahasa Sunda-Indonesia</em>. Inilah kerja terakhirnya yang belum usai, menyisakan sentuhan tangan lain untuk meneruskan enam abjad terakhir yang tersisa.<br /><br /><br />TAPI pengertian rumah tak mesti sekaku itu. Jakarta bagaimana pun rumahnya juga, tempat dia menempa segala pengalaman hidup. Dalam istilah Pramoedya Ananta Toer, dalam tulisannya pada 1955, Jakarta hanyalah kelompokan besar dusun. Tak ada yang berubah dari sejak masuknya kompeni. Tak ada tumbuh kebudayaan kota yang spesifik, semua dari daerah atau didatangkan dan diimpor dari luar negeri: dansa, bioskop, pelesiran, minuman keras, dan agama. Dan bagi Klara Akustia, akhirnya, orang-orang datang dan berkumpul ke Jakarta, menjadi warga Jakarta, untuk mempercepatkan keruntuhan kelompokan besar dusun ini. Tambah banyak yang datang tambah cepat lagi.<br /><br />Tapi itu sepuluh tahun kemudian. Pada saat Klara Akustia menginjakkan kakinya di Jakarta, kondisinya jauh lebih parah lagi. Jepang sudah menguasai Jakarta, menjadikannya hancur dalam puing-puing. Mayat bergeletakkan di mana-mana. Suasana ini mengoncangkan jiwanya. Ia tergerak, berjuang, menjalani pertempuran demi pertempuran, bertemu dengan kawan dan lawan. Di masa inilah ia mulai menulis sajak. Berdasarkan penuturannya, sajak pertamanya dimuat di suratkabar <em>Tjahaja</em>, Bandung. Isinya mengenai semangat para pemuda yang bergolak, membela tanah air. Sayang, saya belum mendapatkan sajak ini –juga, kalau ada, sajak-sajak lainnya.<br /><br />Proklamasi kemerdekaan Indonesia rupanya bukanlah akhir dari perjuangan. Pergolakan belum lagi mengendap. Tak ada perombakan dalam sistem sosial dan budaya masyarakat. Semangat Revolusi Agustus, yang tertanam di jiwanya, bergejolak ketika kemerdekaan sejati belumlah terwujud. Dan inilah masa-masa yang membutuhkan agitasi, daya dobrak, untuk memenuhi tuntutan zamannya. Satu zaman yang membutuhkan generasi baru, yang lebih lengkap, lebih sempurna, lebih kuat dari angkatan sebelumnya, seperti ia nyatakan dalam esai “Angkatan 45 Sudah Mampus”. Hal ini pula tampak dalam sajak-sajak awalnya, yang kental membicarakan soal kasih dan cinta, ketetapan hatinya sebagai <em>pelaksana hari esok</em>, meski mewarisi generasi lama, <em>reruntuk lapuk yang kurombak </em>(“Aku Pelaksana”). Tapi sejak awal dia tak hendak berjalan sendirian. Dalam sajak “Hati dan Otak Kita”, secara tegas dan pasti, dia mengajak: <em>kawan-kawan yang masih tidur / tinggalkan mimpi 40 bidadari. </em><br /><br />Ini juga masa-masa keremajaan cintanya bersemi dan berlabuh di hati seorang perempuan: Aini atau ia biasa sebut Klara. Tapi pergolakan revolusi pula yang memisahkan keduanya. Klara dikawin-paksa seorang serdadu Belanda dan dibawa ke negerinya –sejak itulah ia memakai nama Klara Akustia: setia kepada Klara, juga setia kepada cita-cita perjuangan. Kesedihan dan kekecewaan, yang berbalut dengan kemauan untuk tak menyerah, menyelimuti hatinya. Perasaan in ia terakan dalam sajak “Triompator Esok”: <em>Tapi kutahu tuhan kekerasan ini / esok menyerah kepada tuhan rasio.</em><br /><br />Usai kemerdekaan sepenuhnya, tak ada hari dilewatkannya kecuali untuk kerja. Menjadi wartawan <em>Harian Boeroeh </em>di Yogya, memimpin sejumlah serikat buruh, ikut dalam organisasi pemuda dan buruh internasional, PEN Club-Indonesia, serta sejumlah lembaga kebudayaan. Inilah aktivitas dan lingkungan yang memperkaya pengalaman batinnya sebagai sastrawan dan anak zamannya. Menurutnya, kerja itu nikmat, dan kenikmatan bukanlah monopoli satu orang. Itulah yang dia sampaikan kepada Rukiah Kertapati dalam “Kata Biasa”.<br /><br /><em>Kata orang, kita satu bahasa<br />mari adik, nikmat itu bukan monopoli<br />kita resapkan kepada mereka yang belum merasa.</em><br /><br />Tahun 1950 ibarat kelahirannya kembali. Langkahnya lebih pasti, lebih kongkret. Di lapangan kebudayaan, setelah esainya menimbulkan polemik di jagat kesusastraan Indonesia, ia menggerakkan konsep yang lebih luas: di mana posisi sastrawan atau seniman di dalam perubahan masyarakat. Dalam esainya “Sekitar Angkatan 45”, ia menulis: “Ya, dan kita akan terus / dari agitasi ke organisasi / dari elan keinginan / ke energi pelaksanaan!”<br /><br />Dan yang menghidupkan kata adalah perbuatan. Pada 17 Agustus 1950, Klara Akustia mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) –yang secara salah kaprah sering dicap organ Partai Komunis Indonesia (PKI)– bersama M.S. Azhar dan Njoto. Dia ditunjuk sebagai sekretaris jenderal (Sekjen) sekaligus redaktur <em>Zaman Baru</em>, penerbitan resmi Lekra. Sebagai Sekjen, dia aktif menjelaskan realisme sosialis, juga berpolemik dengan sastrawan lain.<br /><br />“Seorang sastrawan tidak mungkin dan tidak bisa berdiri ‘netral’, terlepas dari pengaruh lingkungannya,” tulisnya dalam “Kepada Seniman Universal”, menanggapi tulisan kritikus HB Jassin yang memajukan konsep humanisme universal, sementara ia sendiri menawarkan konsep realisme sosialis atau realisme aktif. “Antara Bumi dan Langit” adalah sebuah sajaknya yang ditujukan untuk HB Jassin. <em>Kita berdua sama-sama tidak bebas / kau terikat pada dirimu / aku pada Manusia dan zaman kini</em>.<br /><br />Rangsang Detik hanyalah karya satu-satunya yang sempat terbit. Kata dan kalimat dalam sajak-sajaknya, segera dapat bergetar kepada hati dan pikiran manusia, juga menjadi barikade ke jantung perasaan dan pemikiran. Dalam menulis sajak, seperti ditunjukkan dalam esainya ”Surat Kertas Hijau Sitor Situmorang”, ia mengajukan sebuah resep –meski untuk menimbang sesuatu sajak tidak ada resep tunggal. Pertama, adanya pribadi penyairnya dalam sajak-sajaknya. Kedua, mengharukan dan ini sangat subjektif, tergantung kepada sejarah pertumbuhan, suasana dan posisi masing-masing pembaca. Ketiga, setiap kata dan kalimat membawa ide dan formulasi yang padat. Dan saripatinya adalah kesadaran dan keyakinan akan perlunya harmoni antara keindahan dan realitas atau kehidupan.<br /><br />“Keindahan adalah kehidupan” dan karenanya “Keindahan yang benar-benar tertinggi adalah keindahan yang dijumpai manusia di dunia nyata dan bukanlah keindahan yang diciptakan oleh seni,” demikian N.G. Tjernisevski dalam <em>Hubungan Estetik Seni dengan Realitet</em>, yang diterbitkan Bagian Penerbitan Lekra pada 1961.<br /><br />Karenanya, ia menyambangi Si Amat; seorang buruh tapi kadang juga jadi tukang becak, yang <em>minta merdeka dari penjajahan sepiring nasi </em>dan <em>mau dunia kembali satu dan sama</em>. Ia mengemukakan penari Senen bernama Nyi Marsih dan Otjim “anak revolusi” yang <em>menanti kapan merdeka, merdeka untuk semua</em>. Ia menuntut keadilan dan pembebasan atas penindasan dan penghisapan di Madiun, Ngalihan, Korea, Vietnam, di mana-mana, di negeri-negeri yang derita rakyatnya masih bergolak, sambil mengagungkan pejuang-pejuangnya. Ia juga tak lupa mengajak untuk merapatkan barisan. Buruh adalah golongan masyarakat yang menjadi titik perhatian dalam sajak-sajaknya, yang tak lepas dari labuhan hatinya. “Cerita pada 1 Mei” misalnya, yang ditujukannya kepada <em>Vaksentraal</em> SOBSI, menggambarkan kerelaannya untuk menyerahkan dirinya utuh, tidak lagi <em>butatuli memperdewa ke-aku-anku</em>.<br /><br />Tapi ia juga tak berhenti pada satu jalan. Pada 1955, tahun-tahun menjelang pesta demokrasi, Partai Komunis Indonesia menawarinya untuk mencalonkan diri sebagai anggota Konstituante lewat calon-tak-berpartai. Tawaran itu membuatnya bersoaljawab di dalam diri sendiri, menimbulkan konflik dua keakuan. Tapi ia memilih jalan itu, karena pencalonan itu memberikan “kesempatan kepadaku untuk bisa lebih kongkret menguji pelaksanaan segala maksud baik dalam hatiku dan dalam diri orang lain,” demikian esainya di Harian Rakjat, 7 Desember 1955. Dalam sajaknya “Rakyat Memilih” dia mengikis kebimbangan yang semula bertahta di dalam hati: <em>Dan kita maju / berani memilih dari detik ke detik.</em><br /><br />Ujung dari perjalanannya ini pun sampai. Klara Akustia dikeluarkan dari Lekra karena telah melakukan “kemesuman borjuis” –istilahnya sendiri. Ia mengakui perbuatan itu untuk menyadarkan perlunya otokritik, bukan hanya kritik. Pada 1958, jabatannya sebagai Sekjen dicabut dan beralih ke tangan Djoebaar Ajoeb. Juga keanggotaannya di Konstituante. Sajak “Berita dari Partai” yang menutup kumpulan puisi ini, menyiratkan sikapnya: <em>selamat tinggal kelampauan / selamat datang keakanan.</em><br /><br /><em>Berita Partai tegakkan panji<br />pertempuran terhadap diri sendiri<br />hadapkan diriku pada pilihan:<br />kegairahan dari kehidupan<br />lacuti nafsu perseorangan<br />atau layu dalam mati sebelum mati.</em><br /><br />Itulah sajak penutup daripada kumpulan sajak ini, pembuka daripada penghidupannya yang lebih baru.<br /><br /><br />KLARA Akustia kembali menetap di bumi Priangan. Selepas pencabutannya sebagai Sekjen Lekra, ia pulang ke kampung halamannya. Di sana ia mengajar kursus bahasa Inggris untuk masyarakat sekitar, juga menulis sajak –dalam kesepian yang memisahkan segala. “Temui Aku”, sajak yang tak termuat dalam kumpulan puisi ini, menyiratkan kegalauan hatinya.<br /><br /><em>Temuilah aku<br />dalam keriuhan yang lahirkan perubahan<br />di mana kerja adalah cinta<br />di mana remaja adalah senantiasa.</em><br /><br />Kerja, ya itulah yang selalu ia damba. Pada 1962, bersama Hendra Gunawan, ia mendirikan Universitas Kesenian Rakyat di Bandung. Dalam peresmiannya, Presiden Soekarno mengatakan bahwa ini universitas pertama di Indonesia dalam bidang humaniora. Inilah salah satu cita-citanya untuk mensarjanakan masyarakat Indonesia. Tapi keinginan itu belum terwujud sepenuhnya ketika iklim politik berhembus ke kanan. Terjadi peristiswa terkelam dalam sejarah Indonesia pada 1965. Ia masuk penjara di Kebonwaru, Bandung. Selepas dari penjara, tahun 1978, sekali lagi ia bersandar di rumah masa kecilnya. Tapi sakit pula yang menggerogoti tubuhnya. Klara Akustia meninggal dunia pada 7 Februari 2007.<br /><br />Melalui sajak-sajaknya, ia telah memilih untuk tak mau bersibuk dengan dirinya sendiri, mengakui satu-satunya realitas adalah egonya sendiri, dan karenanya menolak terkurung di menara gading. Ia memilih bersoal-jawab atas masalah-masalah yang dihadapi manusia-manusia di sekitarnya, dengan hasrat memecahkan persoalan-persoalan itu. “Hasrat akan sesuatu yang baru adalah sumber kemajuan,” ujar G. Plekhanov dalam <em>Seni dan Kehidupan Sosial</em>, yang diterbitkan Bagian Penerbitan Lekra.<br /><br />Ia tak jemu mengajak manusia bergerak dan ikut dalam arus perubahan. Tapi ia juga orang yang tak henti-hentinya mencari generasi-generasi muda terbaik. Pramoedya Ananta Toer, novelis tetralogi Bumi Manusia, satu di antaranya. Dan ia percaya keremajaannya akan terus hidup, seperti tersirat dalam sajaknya, “Rukmanda”:<br /><br /><em>Aku kini tiada lagi<br />bersatu dengan bumi tanahair tecinta<br />tapi lagu aku tamatkan<br />bersama bintang seminar kelam<br />dengan debar jantung terakhir<br />yang melihat fajar bersinar<br />kelahiran tunas penyambung keremajaanku.</em><br /><br />Pada akhirnya rumah ini mewujudkan keinginannya untuk pulang, sebuah konsep yang memiliki magnetnya sendiri. Pulang berarti masuk kembali ke jagad lama yang sudah sangat dia kenal: rumah, sejumput kenangan masa kecil, lalu bau tanah-bumi di pemakaman keluarga, tempat dia kemudian dimakamkan.<br /><br /><em>Rangsang Detik</em> ini hanyalah penanda, bahwa yang pergi tetaplah akan dikenang, yang tinggal akan meneruskan keremajaannya. Tapi juga seperti judul ini, semuanya bermuara pada gerak, kerja, perubahan –dan itulah kenapa buku ini diberi judul Rangsang Detik.*<br /><br /><em>Hanjawar, Februari 2007</em><br /><strong>Budi Setiyono</strong></div><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-10299786276272318402007-05-25T02:13:00.000-07:002010-10-26T04:28:15.478-07:00Rangsang DetikTERBIT sudah. Memang telat dari ancangan semula, yang akan meluncurkannya berbarengan dengan peringatan 50 hari meninggalnya sang penulisnya. Tapi yang penting, ia kini sudah hadir kembali setelah setengah abad tenggelam dalam pusaran sejarah sastra Indonesia yang condong ke “kanan”.<br /><br />Saya tak tahu kapan rencana penerbitan ulang ini muncul. Jauh sebelum saya mengenal penulisnya, Klara Akustia, dua pemuda sering datang ke rumahnya. Berdiskusi. Bercengkerama bak bagian dari keluarga. Mereka juga mencetak ulang kumpulan puisi ini dalam format sederhana. Hanya satu eksemplar, semacam proyek percontohan. Belakangan, ketika saya lebih sering ke sana, rencana penerbitan ulang ini sudah berjalan. Kabarnya, jauh sebelum sastrawan Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia, dia sudah berpesan kepada anaknya agar menerbitkan karya-karya Klara Akustia.<span class="fullpost"><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmcMmyo28_r_pU8dnPgxz_bPiIdMNiBu8WMexd1eE5sqnVZWcv_uoqgQZ2VQuXaFDPFzBbCtQHOlqM-9McNtkMLhxf9trnt776zrNOmT2WoDAdQi4fxJJrKuatcBki6iuHsSqr/s1600/cover-rangsang-detik_1.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 144px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmcMmyo28_r_pU8dnPgxz_bPiIdMNiBu8WMexd1eE5sqnVZWcv_uoqgQZ2VQuXaFDPFzBbCtQHOlqM-9McNtkMLhxf9trnt776zrNOmT2WoDAdQi4fxJJrKuatcBki6iuHsSqr/s200/cover-rangsang-detik_1.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5532313951805332450" /></a>Saya melihat penulisnya melakukan koreksi di sana-sini. Baginya, penerbitan ulang suatu karya harus melihat konteks zaman. Saya pun didapuk membuat kata pengantarnya. Saya ingat pesannya agar membaca buku-buku George Lucaks, Ilja Ehrenburg, hingga Maxim Gorky.<br /><br />Saya membaca cetakan pertamanya. Kemasannya sederhana. Di kulit muka tergores buah tangan pelukis Basuki Resobowo: tulisan Rangsang Detik. Tapi di cetakan kedua, ada keinginan menampilkan wajah baru.<br /><br />Pelukis Jeany Mahastuti membuatkan kulit muka. Pesan yang ingin disampaikan adalah perubahan (pantarei). Lalu jadilah gambar obor dalam lingkaran. Warnanya mencolok. Saya kurang tertarik. Untuk sebuah buku, terlalu kaku. Kurang menarik pembaca untuk membelinya. Saya usulkan agar sketsa penulisnya saja yang ditampilkan dalam sampul. Lebih elegan. Toh tak semua orang mengenal wajahnya.<br /><br />Saya membuat kata pengantar yang mengaitkan pengalaman dan pemikiran penulisnya yang melahirkan puisi-puisi itu. Kata pengantar ini diletakkan di bagian awal (prolog). Eka Budianta belakangan juga menulis pengantar, yang kemudian dimasukkan sebagai epilog. Menurut Andreas Harsono, rekan saya di Pantau, pengantar saya mirip gaya tulisan orang-orang Lekra. Saya tak tahu di mana kemiripannya, karena saya belum menyelami gaya tulisan orang-orang Lekra –sekalipun saya sudah membaca buku-buku soal Lekra dan karya-karya penulis Lekra.<br /><br /><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 128px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcBvjz8zZQjuO48wQRtC5xwYI5MgaunevSM5aOVYYSGEI5M4BcHdH9T19jQyf_BuCMBbxPD9KdbTF9jFGhxF2hnJ6UEWVYfi7N_R0HCEed47rlC3_7jTGxvN7QzHAwrdhi6nh5/s200/cover_rangsang+detik_2.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5532314415266785314" />Saya tak bermuluk-muluk untuk meletakkan posisi kepengarangannya dalam sejarah sastra Indonesia. Tapi saya berusaha dengan mencari bahan-bahan yang mungkin didapat. Saya masih mencari puisi-puisi lainnya di luar kumpulan puisi ini terbit. Saya mesti mencari puisinya dalam bahasa Sunda –menurut sastrawan Sunda R.A.F., Klara Akustia adalah pelopor dalam puisi Sunda. Juga dalam bahasa asing. Dalam sebuah surat yang dimuat di <span style="font-size:+0;">Harian Rakjat</span>, Kas Widjaja dari SOBSI cabang Prabumulih, menceritakan perjalanannya ke Moskow dan Chekoslowakia pada 1951, dan orang-orang di sana mengenal dan menanyakan nama Klara Akustia.<br /><br />Waktu masih berjalan. Dan detik demi detik terus merangsang untuk mewujudkannya.*</span><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-81021429315485538022007-05-07T00:37:00.000-07:002009-02-22T21:48:01.185-08:00Luka dari “Saudara Tua”DESEMBER 2000, Koichi Kimura dan Mardiyem bertolak ke Tokyo, Jepang. VAWW-NET Jepang (Violence Against Women in War-Net Work), lembaga yang mengundang mereka, lagi menggelar Pengadilan Rakyat Perempuan Internasional (Tribunal Tokyo). Ini sebuah peristiwa penting atas pengalaman yang selama 35 tahun seolah menguap begitu saja. Jepang kalah perang dengan menyisakan luka pada ratusan ribu perempuan di Asia.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidUn3kNEgYhOTwNZt7v3cx_N5n7yvjRgxZT7lZIzv96pFRPIby3v6QM38yiQaiHkNywiY8rjHFN7g9-RIm5NhSuRXAqxb1rEnGPR1Xb0Wv9QVjn5qDCKwaE81pPA55TBhxvvmS/s1600-h/momoye_kecil.JPG"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5061728938956281106" style="FLOAT: left; MARGIN: 0pt 10px 10px 0pt; CURSOR: pointer" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidUn3kNEgYhOTwNZt7v3cx_N5n7yvjRgxZT7lZIzv96pFRPIby3v6QM38yiQaiHkNywiY8rjHFN7g9-RIm5NhSuRXAqxb1rEnGPR1Xb0Wv9QVjn5qDCKwaE81pPA55TBhxvvmS/s200/momoye_kecil.JPG" border="0" /></a>Pengadilan ini hendak menuntut pemerintah Jepang sebagai penjahat perang yang melakukan sistem perbudakan seks selama Perang Dunia II. Pengadilan ini dihadiri oleh negara-negara di Asia dan Belanda yang mengalami perbudakan seksual seperti Indonesia, China, Taiwan, Korea Utara, Korea Selatan, Malaysia, Timor Leste, Malaysia, Filipina, dan Belanda.<span class="fullpost"><br /><br />Keputusan pengadilan diambil di Den Haaq, Belanda, setahun kemudian. Disebutkan, Kaisar Hirohito, para petinggi militer, dan birokrat sipil dianggap bersalah. Selain itu pengadilan menuntut pemerintah Jepang meminta maaf secara individu kepada para korban, memasukkan sejarah Jugun Ianfu Asia ke dalam kurikulum pendidikan sekolah di Jepang, serta memberikan kompensasi berupa dana santunan.<br /><br />Mardiyem pernah menjadi Jugun Ianfu dan mengalami kekejaman masa Jepang. Sejak 1993, dialah perempuan korban kebijakan Jepang yang berani bersuara. Kimura seorang teolog dan aktivis kemanusiaan asal Jepang. Pernah tinggal selama 14 tahun di Indonesia, mengajar di Sekolah Tinggi Abdiel Salatiga. Dia adalah orang pertama yang menemukan kasus Jugun Ianfu di Indonesia pada 1992. Dia sering menulis artikel mengenai Jugun Ianfu Indonesia di media nasional maupun media di Jepang. Juga hadir di forum-forum internasional, dan mewakili Indonesia.<br /><br />“Dia ibarat pembuka jalan ke forum internasional,” ujar Eka Hindra.<br /><br />Eka sudah terlibat dalam kerja advokasi Jugun Ianfu secara independen sejak 1999. Dia juga hadir dalam pertemuan itu sebagai wartawan Kantor Berita 68H Jakarta. Tapi kerjasamanya dengan Kimura baru terwujud dua tahun kemudian.<br /><br />Saat itu Kimura dan Mardiyem kembali menghadiri pertemuan di Pyongyang, Korea Selatan, yang lebih membahas bagaimana memecahkan masalah Jugun Ianfu. Sepulangnya dari Pyongyang, Kimura dan Eka Hindra mendiskusikan hasil pertemuan itu. Satu masalah di Indonesia, yang juga ditanyakan sejumlah aktivis di Asia, adalah tidak adanya media advokasi. Di luar, sejumlah buku sudah tersedia, bahkan menjadi wacana publik.<br /><br />“Bagaimana pendapat kamu?” tanya Kimura.<br /><br />“Okay. Kita jangan buang waktu lagi. Kita tidak tahu berapa tahun Mardiyem bisa mempertahankan memorinya sebagai korban perang.”<br /><br />Lalu mulailah keduanya melakukan riset dan wawancara dengan Mardiyem. Tapi baru satu tahun berjalan, Kimura memutuskan pulang ke Jepang dan menetap di kota Fukuaka. Pekerjaan ini praktis menempel di pundak Eka. Tanpa dukungan dana, seringkali riset independen ini terbengkalai. Eka harus meninggalkan riset ini sementara, mencari uang dan menabung, lalu kembali menekuni risetnya. Ibarat bawang, selapis demi selapis, Eka menggali memori Mardiyem agar mendapatkan kisah yang utuh.<br /><br />November 2006, Eka hendak mengakhiri wawancara dengan Mardiyem. Dia sudah lelah. Memori dan psikis Mardiyem juga punya batas.<br /><br />Persis sepuluh hari sebelum deadline, tiba-tiba keajaiban seolah datang, meski menjadi saat-saat terberat. Banyak informasi penting dari Mardiyem, yang selama wawancara sebelumnya tak pernah keluar, meluncur deras. Semuanya detil.<br /><br />Tapi malam itu, Mardiyem yang sudah kelihatan lelah memaksa untuk melanjutkan wawancara. Dan ”perselisihan” pun terjadi.<br /><br />”Apa lagi yang ditanyakan? Saya capek!”<br /><br />”Besok saja.”<br /><br />”Nggak, sekarang!”<br /><br />Eka menangis.<br /><br />”Kita harus sabar. Kalau Bu Mardiyem gak sabar, perjuangan kita berantakan,” ujar Eka sambil terisak.<br /><br />Eka juga lelah. Sudah empat tahun lebih dia bergelut dengan riset ini, menghabiskan waktu dan uang pribadinya.<br /><br />”Biar, saya tak peduli!”<br /><br />Tapi akhirnya Mardiyem mengalah. Dia juga orangtua yang tahu diri. Keesokan harinya, dia meminta maaf. Eka bisa memahami, ada tekanan emosional yang membuat tekanan darah Mardiyem melonjak. Apalagi masyarakat masih memadang miring Jugun Ianfu. Eka mengantarnya ke Puskesmas. Dan untuk kali pertama, setelah empat tahun lamanya, wawancara berjalan dengan sangat kaku.<br /><br />”Dia hidup dengan luka perang,” ujar Eka kepada saya.<br /><br /><br />"AKU diberi nama Momoye dan menempati kamar nomor 11. Sejak itu semua orang memanggilku Momoye. Nama Mardiyem telah hilang di Telawang,” tutur Mardiyem, yang saat itu berusia 13 tahun, dalam buku Momoye, Mereka Memanggilku.<br /><br />Kamarnya berukuran 3 x 2,5 meter. Di dalamnya sudah tersedia segala perabotan. Ranjang. Dipan. Kelambu. Selimut. Meja dan dua kursi. Ada juga kastok atau gantungan baju. Di sudut kamar terdapat sebuah ruangan kecil yang hanya dibatasi kain. Cairan pembersih kemaluan dalam enam botol sudah tersedia. Firasat buruk hadir di benak Mardiyem, menguatkan kekhawatirannya akan dijadikan “perempuan nakal”.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj50I-02QxIf2CyN1FXX-LB3F3D-gNULIR8LE1Ax7kFZXHvOJZEsfRRvuHQpOtYvp67_Wqy9Nz_idxOY8vRNB9HPROcIplHNoaEy5wt-bN49v1Nz5jQU0ulswf1DkgBN7uVO-Op/s1600-h/jugunianfu3.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5061741862512874866" style="FLOAT: right; MARGIN: 0pt 0pt 10px 10px; CURSOR: pointer" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj50I-02QxIf2CyN1FXX-LB3F3D-gNULIR8LE1Ax7kFZXHvOJZEsfRRvuHQpOtYvp67_Wqy9Nz_idxOY8vRNB9HPROcIplHNoaEy5wt-bN49v1Nz5jQU0ulswf1DkgBN7uVO-Op/s200/jugunianfu3.jpg" border="0" /></a>Semestinya Mardiyem jadi penyanyi. Keinginan inilah yang mendorongnya berangkat ke Borneo, ikut kelompok sandiwara keliling Pantja Soerja. Kekhawatiran pertama muncul sebelum pemberangkatan. Mardiyem harus diperiksa kesehatannya, yang anehnya, termasuk daerah kemaluannya, di klinik dokter Sosrosoedoro –yang belakangan berubah nama menjadi Shogenji Kango dan menjadi walikota Banjarmasin. Sosrosoedoro pula yang dikabarkan mencari tenaga perempuan untuk pelayan rumah tangga, pelayan, koki restoran, dan pemain sandiwara. Tapi begitu sampai Banjarmasin, nasib berubah arah. Mardiyem, bersama 23 perempuan lainnya, harus melayani kebutuhan seks tentara Jepang dan sipil.<br /><br />Mardiyem tak bisa melupakan perkosaan pertamanya karena begitu menyakitkan. Dia sendiri belum mengalami menstruasi.<br /><br />”Setelah saya diperkosa oleh laki-laki brewokan, pembantu dokter yang memeriksa kesehatan saya pertama di Telawang, hari pertama di Asrama Telawang, saya dipaksa melayani 6 orang laki-laki padahal waktu itu saya sudah mengalami pendarahan hebat,” ujarnya.<br /><br />Mardiyem terpenjara. Semuanya serba diatur. Sekalipun ada saat-saat tertentu diperbolehkan keluar asrama, tapi diawasi begitu ketat. Di jalan mereka akan dipandang sinis oleh penduduk sekitar, yang menyebutnya ransum Jepang. Para perempuan nakal di Telawang menganggap mereka sebagai pesaing.<br /><br />Di asrama setiap saat dia harus siap melayani hasrat seks para tamu. Sistem pembayaran dilakukan seperti membeli karcis bioskop. Ada perbedaan harga bagi kalangan serdadu dan perwira Jepang. Siang hari, untuk pangkat serdadu, harus membayar 2,5 yen, sementara pukul 17.00-24.00 membayar 3,5 yen. Pukul 24.00 sampai pagi untuk pangkat perwira, membayar 12,5 yen.<br /><br />Meski ada sistem pembayaran, Jugun Ianfu tidak menerima sepeser pun. Mereka cuma menerima karcis dari tamu yang datang. Karcis-karcis itu harus dikumpulkan. Nantinya bisa ditukarkan dengan uang kalau mereka selesai bekerja di asrama. Namun janji itu kosong belaka.<br /><br />Menolak tamu berarti siksaan. Mardiyem mengalaminya. Dia menolak melayani pengelola Asrama Telawang karena baru mengaborsi paksa kandungannya yang berumur lima bulan. Akibat pukulan dan tendangan bertubi-tubi, dia pingsan hampir enam jam. Kini, dia mengalami cacat fisik dan trauma secara psikologi dan seksual.<br /><br />Mardiyem beruntung bisa kembali ke Yogyakarta pada 1953, sekalipun dia harus menanggung beban, mendapat cercaan sebagian masyarakat yang memandangnya sebagai ransum Jepang.<br /><br /><br />SEMENTARA itu di Pulau Buru, tempat buangan orang-orang kiri, sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawannya menemukan kenyataan yang mengejutkan: adanya buangan sebelum mereka, para perawan remaja yang kini telah jadi nenek, orang-orang dari Jawa, yang dijanjikan akan disekolahkan oleh Jepang di Tokyo dan Singapura.<br /><br />Pram menuliskan kisah mereka berdasarkan penuturan orang kedua dengan gayanya yang khas. ”Surat kepada kalian ini juga semacam pernyataan protes, sekalipun kejadiannya telah puluhan tahun lewat,” tulis Pram dalam Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer.<br /><br />”Aku percaya kalian tidak akan suka menjadi korban bangsa apapun. Juga tidak suka bila anak-anak gadis kalian mengalami nasib malang seperti itu. Artinya, kalian juga tidak akan suka bila ibu-ibu kalian –para perawan remaja pada 1943-1945– menderita semacam itu. Itu sebabnya kukukhususkan surat ini pada kalian.”<br /><br />Pram lebih menceritakan kehidupan mereka sebagai ”orang buangan yang dilupakan”. Terutama kisah Siti F, Bolansar alias Muka Jawa, dan Mulyati yang hidup di tengah-tengah masyarakat Alfuru di pedalaman Pulau Buru. Bahasan mengenai apa yang terjadi di masa Jepang hanya disinggung amat sedikit, kecuali bab-bab awal.<br /><br />Pram mengajukan daftar sejumlah nama perawan yang menjadi korban perang Jepang. Mereka berasal dari kota besar, madya, atau kecil, atau dari kampung desa desa di dalam kawasan kota. Tak terdapat data yang menunjukkan berasal dari kampung atau desa yang jauh dari kota. Mereka pergi bukan secara sukarela, meski dengan jumlah sangat terbatas ada juga yang semau sendiri dan di bawah kesaksian umum telah menjadi gundik Jepang.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6wdqhTF_ONDk5sYAESBLlxeu_0JSHKdVdNQZauJXvsMi2jOPfExGiFdFPKTKvW424CjM-JjJN0iCuLYmHiW9o3IwuRIrm7nw99r1DJGGxBr4sMAOQtgtEhW6uxmfnNr5hSX5x/s1600-h/jugunianfu1.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5061741506030589282" style="FLOAT: left; MARGIN: 0pt 10px 10px 0pt; CURSOR: pointer" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6wdqhTF_ONDk5sYAESBLlxeu_0JSHKdVdNQZauJXvsMi2jOPfExGiFdFPKTKvW424CjM-JjJN0iCuLYmHiW9o3IwuRIrm7nw99r1DJGGxBr4sMAOQtgtEhW6uxmfnNr5hSX5x/s200/jugunianfu1.jpg" border="0" /></a>Begitu Jepang kalah perang, mereka dilepaskan begitu saja. Tak ada pesangon, tanpa fasilitas, dan tanpa terimakasih dari pihak balatentara Dai Nippon. Praktis, mereka hanya mengandalkan naluri hidup masing-masing –sejumlah perempuan terdampar di Pulau Buru.<br /><br />Menurut Pram, ada sejumlah alasan kenapa Jepang berhasil cuci tangan dari perbuatannya di masa lalu. Pertama, segera setelah Jepang menyerah, Indonesia belum atau tidak mempunyai bahan otentik untuk menggugat. Kedua, Indonesia sedang terlibat dalam perjuangan senjata untuk mempertahankan kemerdekaan. Ketiga, segera setelah pemulihan kedaulatan, Indonesia yang masih muda terlibat dalam pertentangan kepartaian yang berlarut-larut. Keempat, karena keteledoran pihak Indonesia. Tak ada komisi yang menyelidiki soal ini. Dalam perundingan-perundingan tentang pampasan perang antara Indonesia dan Jepang, juga tak disinggung.<br /><br />Karena tak ada bukti otentik, baik Eka dan Kimura maupun Pram tidak memasukkan latar belakang politik yang membuat pengalaman buruk ini terjadi. Pram hanya menyebut: sulitnya hubungan laut dan udara menyebabkan balatentara Dai Nippon tak lagi bisa mendatangkan wanita penghibur dari Jepang, China, dan Korea. Sebagai gantinya, para gadis Indonesia dikirimkan ke garis terdepan sebagai penghibur.<br /><br />Janji militer Jepang akan memberi kesempatan belajar ke Tokyo atau Shonanto (Singapura) atau diberi pekerjaan layak sudah Pram dengar pada 1943. Ketika itu dia bekerja sebagai juru ketik di Kantor Berita Domei. Tapi ia hanyalah sasus. Selama memindahkan konsep-konsep berita dari dewan redaksi ke atas sheet stensil, dia merasa tak pernah mengetik berita itu. Rekan-rekannya juga tak pernah mengetiknya. Juga tidak pernah ada beritanya di koran.<br /><br />Janji itu beredar dari mulut ke mulut, yang ditangani Sendenbu (Jawatan Propaganda) lalu turun ke pejabat-pejabat lokal seperti bupati, camat, lurah, hingga tonarigumi (RT/RW). Para pejabat lokal ini mengumpulkan puluhan perempuan muda. Para pejabat lokal ini harus memberi contoh dengan menyerahkan anaknya demi keselamatan jabatan atau pangkat. Karena hanya sasus, Pram tak menemukan dokumen resmi.<br /><br />Selama empat tahun melakukan riset, Eka juga kesulitan menemukan dokumen. Bahkan dalam buku-buku sejarah, persoalan Jugun Ianfu juga tidak disinggung. Dan itulah kenapa Eka maupun Pram lebih menghadirkan kesaksian korban lewat metode sejarah lisan (oral history). Tak ada konteks politik yang melatarinya –satu kelemahan yang ditemukan dalam buku Eka maupun Pram.<br /><br />“Sumber sejarah pendukung sangat sulit ditemukan, baik itu foto, dokumen, atau kesaksian primer masa itu,” ujar Eka.<br /><br />Tapi Eka beruntung mendapatkan sebuah alat kesehatan zaman Jepang: dua ampul suntikan, perban empat kotak, serta alat pembuka kemaluan yang terbuat dari besi. Yang disebut terakhir dikenal dengan nama cocor bebek. Alat ini terbuat dari besi panjang. Kalau ditekan ujungnya akan mengembang dan bisa membuka kemaluan perempuan lebih lebar. Melalui alat itu, bisa dilihat apakah kemaluan perempuan itu sudah terserang penyakit atau masih sehat.<br /><br />Eka mendapatkannya dari Sarmudji, eks Heiho, di Ambarawa. Kartono Mohamad, mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia, yang menjadi tempat Eka berkonsultasi, membenarkan penggunaan alat itu. Bukti sejarah ini sangat penting. Musuem Tokyo yang terbilang lengkap pun hanya memiliki dokumen kertas. Saat ini alat kesehatan itu masih di tangan Eka.<br /><br />“Alat ini bagian dari mekanisme kontrol militer Jepang untuk memeriksa kesehatan Jugun Ianfu. Artinya, Jugun Ianfu ini didesain begitu sistematis,” ujar Eka.<br /><br /><br />JEPANG datang ke Indonesia pada 1942, setelah mengalahkan Belanda, dengan mengaku sebagai sebagai ”Saudara Tua”. Ini strategi Jepang untuk meraih simpati rakyat Indonesia demi tujuan memenangi Perang Pasifik. Sejumlah pemimpin politik memberikan dukungan, terlebih Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya dengan menyediakan perempuan penghibur.<br /><br />”Kukumpulkan 120 orang di satu daerah yang terpencil dan menempatkan mereka dalam kamp yang dipagar tinggi sekelilingnya. Setiap prajurit diberi kartu dengan ketentuan hanya boleh mengunjungi tempat itu sekali dalam seminggu. Dalam setiap kunjungan kartunya dilobangi,” ujar Soekarno seperti dituturkannya kepada Cindy Adams dalam Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Soekarno beralasan, keadaannya sudah begitu gawat ketika itu, yang dapat membangkitkan bencana hebat.<br /><br />Sayang sekali, dalam otobiografi Soekarno pun tak ada pembahasan soal Jugun Ianfu. Soekarno mengatakan hanya menyediakan pelacur (seperti juga Romusha), menawarkan ide tersebut tanpa paksaan, dan menghindarkan keisengan tentara Jepang menganggu perempuan ”baik-baik”. Mungkinkah Soekarno tidak tahu bahwa ratusan ribu perawan remaja “baik-baik” harus melayani hasrat seks tentara Jepang?<br /><br />Tak mudah menjawabnya. Macet. Sekalipun Eka meyakini, Jugun Ianfu menjadi bagian mekanisme kontrol Jepang untuk kepentingan pasukannya dalam memenangi Perang Pasifik. Artinya, butuh penelitian lebih lanjut atas apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia dan bagaimana sikap pemimpin politik waktu itu.<br /><br />”Di Indonesia, Jugun Ianfu tersebar di seluruh Indonesia. Di mana ada barak-barak militer di situ ada Jugun Ianfu, terutama di wilayah Timur,” ujar Eka.<br /><br />Di Jepang sendiri belakangan bukti-bukti kekejaman Jepang mulai terkuak. Adalah Yoshiaki Yoshimi, sejarawan dari Chuo University, Tokyo, yang membuka tabir yang menutupi kebijakan pemerintahnya di masa lalu. Dia menemukan dokumen yang memperlihatkan bahwa militer Jepang memerintahkan pengadaan rumah-rumah bordil untuk kepentingan tentara.<br /><br />Ini diawali pada 1931 ketika tentara Jepang menyerbu daratan China. Untuk menguasai daratan China, Jepang membangun pangkalan militer dan mengerahkan sekira 135.000 tentara. Jepang akhirnya menduduki Kota Shanghai dan Nanjing. Tapi bertahun-tahun berperang membuat militer Jepang kehabisan persediaan makanan. Mereka menjarahi rumah-rumah penduduk. Membunuh rakyat sipil dan tentara. Memperkosa perempuan –dengan dampak terburuk bagi militer Jepang: banyak pasukannya menderita penyakit kelamin.<br /><br />Kabar itu sampai ke Tokyo. Menurut Eka Hindra, kekaisaran Jepang lalu mengirimkan Dr Tatsuo untuk melakukan penyelidikan. Dari situ Tatsuo memberikan rekomendasi agar menyediakan rumah bordil. Sebagai proyek percontohan, militer Jepang membuat kebijakan membangun Ian-jo (rumah bordil) yang berisi perempuan-perempuan ”bersih”. Fasilitas tersebut dibangun di berbagai tempat di Asia yang telah diinvasi Jepang seperti China, Korea Utara, Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Timor Leste. Akibat kebijakan tersebut 200.000 lebih perempuan di kawasan Asia dikorbankan sebagai budak seks untuk memuaskan kebutuhan seksual.<br /><br />Ada beberapa alasan pendirian rumah bordil militer. Dengan menyediakan akses mudah ke budak seks, moral dan efektivitas militer tentara Jepang akan meningkat. Ini menyingkirkan kebutuhan memberikan izin istirahat bagi tentara. Dengan mengadakan rumah bordil dan menaruh mereka di bawah pengawasan resmi, pemerintah juga berharap bisa menahan penyebaran penyakit kelamin.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOgSEbZo9ooKFjt-AstSsJ6rl2e0rxcHukg3inLRPSdoUly6C73Q6UI_GpoY3nqpFxqWiCOmER9yYcir-Sk3_AMdLffbshfnpn5NoXUVEawBS08C3l6r8sw_lTXxPa092UIGwM/s1600-h/jugunianfu2.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5061741037879154002" style="FLOAT: right; MARGIN: 0pt 0pt 10px 10px; CURSOR: pointer" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOgSEbZo9ooKFjt-AstSsJ6rl2e0rxcHukg3inLRPSdoUly6C73Q6UI_GpoY3nqpFxqWiCOmER9yYcir-Sk3_AMdLffbshfnpn5NoXUVEawBS08C3l6r8sw_lTXxPa092UIGwM/s200/jugunianfu2.jpg" border="0" /></a>Begitu dokumen itu dipublikasikan pada awal 1992, gemparlah. Pemerintah Jepang langsung melakukan penyelidikan soal isu Jugun Ianfu. Lalu, pada 1993, pemerintah mengeluarkan Pernyataan Kono yang menyebutkan, ”Memohon maaf yang amat dalam dan menyesali kejadian itu”. Pemerintah Jepang mengakui keterlibatan langsung tentara Jepang soal perbudakan seks itu.<br /><br />Maret lalu, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengumumkan pemerintahnya akan melakukan penyelidikan ulang atas kasus Jugun Ianfu. Pernyataan Abe menimbulkan reaksi dari sejumlah negara. Abe beralasan, dia hanya merespons resolusi yang digagas Michael Honda, anggota Kongres dari Partai Demokrat, di parlemen Amerika Serikat yang menyerukan agar Jepang bertanggung jawab penuh atas adanya Jugun Ianfu pada masa Perang Dunia II.<br /><br />Shinzo Abe naik menjadi Perdana Menteri Jepang pada September 2006. Ia termasuk salah satu perdana menteri termuda dalam sejarah politik Jepang. Abe telah mendesakkan pemeriksaan kembali sentimen bersalah atas aksi militer dalam Perang Dunia II. Dia bahkan menyerukan perubahan dalam teks buku sejarah mengenai peran Jepang dalam perang yang meluluhlantakkan Eropa dan Asia itu.<br /><br />”Ada sentimen yang memperlihatkan keengganan soal kesalahan Jepang di masa lalu. Itu merupakan sikap untuk menanamkan budaya percaya diri bagi anak-anak muda Jepang, terutama sejak ambruknya ekonomi Jepang di awal dekade 1990-an,” ungkap Yoshimi seperti dikutip KCM, 2 April 2007.<br /><br />Di Indonesia, sikap pemerintah tidak pernah jelas. Pemerintah beranggapan bahwa persoalan pampasan perang dengan Jepang sudah selesai. Dan perempuan macam Mardiyem pun harus berjuang sendirian.<br /><br />”Mardiyem adalah ikon ikon agar nasib Jugun Ianfu tidak dilupakan. Yang hebat, dia melakukan transformasi tanpa bantuan gerakan sosial,” ujar Eka.<br /><br /><br />MARDIYEM membaca sebuah iklan di harian Bernas, Yogyakarta, yang mencari eks Jugun Ianfu. Pemasang iklannya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Saat itu juga dia mendatangi kantor LBH. Mulailah kisah Mardiyem menjadi konsumsi media massa, yang sayangnya hanya menampilkan sisi permukaannya. Mardiyem pula, atas inisiatif sendiri, mencari teman-teman seangkatannya yang masih hidup yang dulu sama-sama ditempatkan di Asrama Telawang.<br /><br />”Dia punya ingatan yang kuat. Kawan-kawannya sudah lupa. Dia punya kharisma yang dahsyat, dengan memori yang dahsyat pula; ingat tanggal, nama tempat, dan sebagainya,” ujar Eka.<br /><br />Langkah advokasi yang dilakukan LBH Yogyakarta berawal dari kedatangan lima pengacara Jepang yang tergabung dalam Komite Neichibenren (Asosiasi Pengacara di Jepang) ke Jakarta. Juru bicaranya, Akira Murayama, menginformasikan masalah kompensasi bagi Jugun Ianfu. Berita ini disambut Menteri Sosial Inten Suweno. Tapi Inten Suweno mengatakan bahwa sebaiknya masalah ini ditangani pihak swasta. Sebab, hubungan pemerintah Indonesia dengan pemerintah Jepang sudah baik. LBH Yogyakarta pun kebanjiran para Jugun Ianfu dan Romusa.<br /><br />Tapi pemerintah Indonesia sendiri bermuka dua. Pada 25 Maret 1997, Memorandum of Understanding (MoU) ditandatangani di Jakarta antara pemerintah Indonesia dan Asia Women’s Fund (AWF), yang didirikan pemerintah Jepang tahun 1995 untuk menyelesaikan masalah Jugun Ianfu di Asia. Masalah Jugun Ianfu pun dianggap selesai.<br /><br />AWF memberikan dana kompensasi sebesar 380 juta yen atau sekitar Rp 7,6 milyar kepada pemerintah Indonesia yang akan diangsur selama 10 tahun. Pada 1997, angsuran pertama keluar sebesar 2 juta yen atau sekitar Rp 775 juta yang rencananya dialokasikan untuk pembangunan lima panti jompo bagi Jugun Ianfu di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sumatra Utara. Tapi hingga kini, pembangunan panti jompo itu tidak jelas. Para Jugun Ianfu juga tidak pernah menerima dana sepeser pun.<br /><br />”Dana itu tidak jelas, tidak transparan penggunaannya. Pernah ditanyakan sejumlah LSM tapi jawabannya simpang-siur. Sampai sekarang gak jelas,” ujar Eka.<br /><br />Mardiyem sendiri sejak awal menolak dana kompensasi itu. Terkecuali pemerintah Jepang mengaku bersalah dan meminta maaf secara langsung kepada para korban, merehabilitasi nama mereka, dan memasukkan Jugun Ianfu ke dalam pelajaran sejarah sekolah-sekolah di Jepang. Sebagian besar para Jugun Ianfu Asia juga menolak dana pemberian AWF, yang dianggap sebagai strategi pemerintah Jepang mengelak dari tanggungjawab.<br /><br />Mardiyem dan kawan-kawannya sudah berjuang untuk mengembalikan harkat dan martabatnya. Juga lewat buku pengakuannya ini.<br /><br />“Saya ingin berhenti bercerita. Saya sudah lelah, 14 tahun bercerita, sementara pemerintah tidak punya kemauan politik,” ujar Mardiyem kepada Eka.* [<span style="FONT-STYLE: italic">Keterangan foto: www.comfort-women.org</span>]<br /></span><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-86141696975764862312007-03-22T03:24:00.000-07:002009-02-22T21:49:39.670-08:00Kelimutu, KelimutuJALAN itu berkelok-kelok. Tebing tanah dan bebatuan berdiri rapuh di sisi jalan. Sesekali terlihat material tebing tersuruk. Sebuah batu besar tergeletak, menunggu tangan-tangan perkasa meluncurkannya ke jurang di sisi lainnya. Tapi mobil ini masih meluncur tenang menuju rumah para arwah di puncak gunung.<br /><br />Ini perjalanan saya kali kedua di daratan Flores. Setahun lalu, saya hanya sempat menapakkan kaki di Gunung Meja. Puncaknya memang seperti meja. Datar. Luasnya sekira lapangan bola. Penuh dengan pepohonan menghijau. Ada kelapa, mangga, ubi, juga tumbuhan liar lainnya. Hm, saya menikmati ubi bakar dan kelapa muda di sebuah gubuk sambil menatap keindahan alam dari atas gunung: laut, pelabuhan, dan perumahan terhampar. Tapi memang tak lengkap ke Ende tanpa melihat Kelimutu.<span class="fullpost"><br /><br />Kelimutu adalah sebuah gunung yang meletus pada 1886. Ia lalu meninggalkan tiga kawah berbentuk danau yang airnya berwarna merah (tiwu ata polo), biru (tiwu ko’o fai nuwa muri) dan putih (tiwu ata bupu). Ketiga warna itu mulai berubah sejak tahun 1969 saat meletusnya Gunung Iya di Ende. Kawasan Kelimuti telah ditetapkan sebagai taman nasional sejak 26 Februari 1992.<br /><br />Kelimutu, Kelimutu, kini saya datang.<br /><br />Pagi ini langit cerah. Tak ada kabut. Persawahan masih terlihat jelas. Dua jam kemudian sampailah saya di halaman parkirnya. Tak ada seorang pun pengunjung. Tak ada juga penjual makanan. Kopi. Kain tenun. Hanya seorang petugas menanti di sisi motornya. Katanya, tiga turis bule baru saja pulang. Akhir-akhir ini memang sepi. Gempa dan tanah longsor, hujan yang mendera, dan angin kencang yang menerpa daratan Flores cukup menahan keinginan orang mengunjungi tempat ini. Kelimutu ramai saat-saat hari besar: Paskah, Natal, Lebaran.<br /><br />Selain memiliki keanekaragaman hayati yang cukup bernilai tinggi, juga memiliki keunikan dan nilai astetika yang menarik yaitu dengan adanya tiga buah danau berwarna dan berada di puncak Gunung Kelimutu (1.690 meter dpl).<br /><br />Saya menaiki jalur setapak, berbelok ke kiri, lalu terhamparlah tanah lapang penuh bebatuan. Dua tangga-naik di sisi kanan mengantarkan saya ke sisi sebuah lubang besar. Inilah danau yang pertama: Tiwu Ata Mbupu (danau arwah para orang). Dalam. Luas. Tebingnya curam. Warna airnya coklat. Angin hanya mampu membuat gelombang kecil.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGDs8GYltdW_bvuQfpje9jAzOEGieYsN6f8GsNUIRaSJzTHHIStl_sWHCXKa6zHUbPwEk2ZBie8fojJMfMGX4-UbRfRtTKox9uVihQaMDycQNSK5R8rkpqBGy_K1ie7sOFz85Z/s1600-h/kelimutu1.JPG"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5044693629851405954" style="FLOAT: left; MARGIN: 0pt 10px 10px 0pt; CURSOR: pointer" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGDs8GYltdW_bvuQfpje9jAzOEGieYsN6f8GsNUIRaSJzTHHIStl_sWHCXKa6zHUbPwEk2ZBie8fojJMfMGX4-UbRfRtTKox9uVihQaMDycQNSK5R8rkpqBGy_K1ie7sOFz85Z/s200/kelimutu1.JPG" border="0" /></a>Kami hanya berani berdiri di sisi pembatas besi. Kami mencoba melemparkan batu, mencoba menghitung kedalaman danau dan mengharap riak yang melebar. Tapi tak satu pun mampu menjangkau permukaan air. Menurut Om Hans, sopir yang mengantar kami dan biasa mengantar tamu-tamu lain, danau ini seakan punya medan magnet. Dia mengingatkan agar kami jangan berdiri terlalu dekat. Magnet itu mungkin saja menariknya. Beberapa orang sudah tercebur ke danau, umumnya membentur tebing, dan sudah pasti tak satu pun berhasil diangkat.<br /><br />Di sisinya, ada sebuah lubang besar lainnya. Posisinya agak tinggi. Warna airnya hijau muda. Ada buih kekuningan di sana-sini –mungkin belerang. Namanya Tiwu Nuwa Muri Koo Fai (danau arwah muda-mudi). Mungkin sesuai dengan namanya, danau kedua ini lebih sering berubah warna. Konon, ia sudah menjalani duabelas perubahan warna dalam jangka waktu 25 tahun.<br /><br />Jarak keduanya berdekatan. Banyak orang takut, mungkin juga menunggu, apa yang terjadi jika kedua air danau itu menyatu. Tapi gempa tak mampu meruntuhkannya.<br /><br />Menurut Om Hans, di dalam danau itu terdapat lubang atau goa yang mengalirkan airnya. Airnya mengalir sampai ke desa Jopu dan Nggela. Di sana ada sebuah kolam yang menampung air danau itu. Warnanya bening tapi bau belerangnya begitu kuat. Banyak penduduk mandi di kolam ini karena percaya bisa mengobati penyakit kulit. Tapi jika mencelupkan diri di kolam ini, bersiap-siaplah mencium bau belerang di tubuh yang susah menghilang. “Bisa sampai seminggu,” ujar Om Hans.<br /><br />Saya tak sempat ke dua desa itu. Padahal di Nggela, ada kerajinan tenun tradisional. Masih asli, dikerjakan dengan tangan-tangan terampil. Juga alat pemintal benangnya. Sebagai pewarna, penduduk menggunakan dedaunan, bukan pewarna celup. Harga kain-kainnya sekitar Rp 250 ribu sampai Rp 500 ribu. Ah tapi saya sedang di Kelimutu, dan masih ada satu danau lagi di puncak lainnya.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQpyZGFOhzQTJ2QwFoC33lV3SNCfEnnxneAy-Tt6zuXH-BE1-qqt0X8KGfBqQI1N-QnQylK1ZGUTaPJIJCqTUlUHIDp2kZysjvc98Klcm4m3V1Gt9XVavRkx8GKljNxDjcqn04/s1600-h/kelimutu2.JPG"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5044694089412906642" style="FLOAT: right; MARGIN: 0pt 0pt 10px 10px; CURSOR: pointer" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQpyZGFOhzQTJ2QwFoC33lV3SNCfEnnxneAy-Tt6zuXH-BE1-qqt0X8KGfBqQI1N-QnQylK1ZGUTaPJIJCqTUlUHIDp2kZysjvc98Klcm4m3V1Gt9XVavRkx8GKljNxDjcqn04/s200/kelimutu2.JPG" border="0" /></a>Kami menuruni bebatuan padas, berjalan di jalanan mendatar, lalu menaiki tangga menuju puncak. Ada tugu permanen di atasnya. Dari situlah kita bisa melihat danau ketiga, berwarna gelap, mungkin ungu: Tiwu Ata Polo (danau arwah para tukang tenung). Dan jika membalikkan badan, kedua danau sebelumnya terhampar di depan mata. Ingin rasanya melihat ketiganya dalam satu pandangan. Tapi itu hanya mungkin dari angkasa.<br /><br />Kelimutu, Kelimutu. Apa yang membuat warnamu begitu berbeda –sayangnya saya tak sempat menyaksikan perubahan warna itu. Mineral apa yang larut di dalamnya. Seolah seseorang telah mengecat warna airnya, lalu mengganti catnya jika bosan –sesuatu yang tak mungkin. Belum ada jawaban yang memuaskan. Hanya dugaan, perubahan warna ini akibat pembiasan cahaya matahari, adanya mikro biota air, terjadinya zat kimiawi terlarut, dan akibat pantulan warna dinding dan dasar dana.<br /><br />Tapi di sinilah rumah para arwah. Di sinilah sebuah legenda menyebar dari mulut ke mulut dan menjadi abadi.<br /><br />Masyarakat percaya, jiwa atau arwah seseorang akan datang ke Kelimutu setelah seseorang meninggal dunia. Jiwanya atau maE meninggalkan kampungnya dan tinggal di Kelimutu untuk selamanya. Sebelum masuk salah satu danau/kawah, arwah tersebut terlebih dulu menghadap Konde Ratu selaku penjaga pintu masuk di Parekonde. Ia masuk ke danau mana, tergantung pada usia dan perbuatannya. Tak jelas benar spesifikasinya. Tapi itulah legenda setempat yang tertera dalam sebuah papan di puncak Kelimutu.<br /><br />Karena dianggap sakral, maka sejumlah aturan mesti Anda patuhi. Saya kutip bahasa Lio dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia:<br /><br /><span style="FONT-STYLE: italic">Ma’e medi mairewo tamenga gambar/foto</span>. Jangan mengambil sesuatu kecuali gambar.<br /><span style="FONT-STYLE: italic">Ma’e tau mata rewo ta menga nala/hibu</span>. Jangan membunuh sesuatu kecuali waktu.<br /><span style="FONT-STYLE: italic">Ma’e welutau rewota menga la’e/ola</span>. Jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak.<br /><br />Saya pun mengambil gambar. Dua jam saya membunuh waktu di sini. Memandangi ketiga danau itu bergantian. Pemandangan sekitar. Awan. Kabut yang mulai mendaki. Pegunungan. Hamparan sawah di kejauhan. Lalu kami pun turun, meninggalkan jejak kami.<br /><br />Penjaga tadi menunggu di pelataran parkir. Dia sudah siap menjajakan kain tenun warna-warni. Saya membeli dua helai selendang seharga Rp 25.000. Sarung tak terbeli. Harganya mahal, di atas Rp 100 ribu. Mungkin di Moni lebih murah, pusat tenun dan aktivitas warga sekitar.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcwBLYmzCp_hymzVsnCdZvT-RdNatmS0-k4dW6WZH4IPAm8D47GGmca89El6a95NXQpSTus3Fl9PfnEbSVy7AY5TNGI6smXX6JfWWgj5_r9l-erxdI6w-Hi2O1YxFZ3HZrcKf_/s1600-h/kelimutu3.JPG"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5044694377175715490" style="FLOAT: left; MARGIN: 0pt 10px 10px 0pt; CURSOR: pointer" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcwBLYmzCp_hymzVsnCdZvT-RdNatmS0-k4dW6WZH4IPAm8D47GGmca89El6a95NXQpSTus3Fl9PfnEbSVy7AY5TNGI6smXX6JfWWgj5_r9l-erxdI6w-Hi2O1YxFZ3HZrcKf_/s200/kelimutu3.JPG" border="0" /></a>Moni tak jauh dari tempat ini. Di sana ada penginapan murah dan pasar. Turis lebih suka menginap di sini, merasakan keaslian dan meresapi denyut kehidupan masyarakat. Sebelum sampai Moni, ada rumah-rumah tertata apik di sisi kanan jalan. Ini rumah-rumah milik pemerintah, sengaja dibikin sebagai penginapan para pengunjung Kelimutu. Terbuat dari kayu dan bambu. Tertata rapi dan terawat. Per malam cuma Rp 60.000. Lokasinya di tebing. Dari kejauhan, rumah-rumah ini terlihat indah, bertumpukan. Tapi di sini relatif sepi.<br /><br />Moni siang itu juga sepi. Tak ada penjual kain tenun. Hanya deretan bambu-bambu tanpa kain terlihat di sana-sini. Kata orang, hari biasa memang sepi. Harus datang pada hari pasar: Senen dan Selasa. Dan saya pun kembali ke Ende.*<br /></span><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-37293555341983889212007-03-01T23:57:00.000-08:002009-02-22T21:50:29.381-08:00Tiga Menguak IklanTIGA tahun lalu, saya mulai bersinggungan dengan dunia iklan. Saya pikir, tak ada bidang kajian yang menggenaskan kecuali periklanan. Setidaknya jika dibandingkan “saudara kembarnya”: pers. Buku sejarah pers sudah tak terhitung jumlahnya. Sebaliknya, buku sejarah periklanan bisa dihitung dengan jari. Sesuatu yang aneh karena pers dan periklanan lahir bersamaan. Terkesan periklanan hanya pelengkap dalam penerbitan pers, tapi di sisi lain diakui sebagai penyangga utama perkembangan bisnis pers.<br /><br />Pada awalnya adalah pertemuan dengan RTS Masli, kala itu ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). Ia punya perhatian terhadap minimnya buku periklanan Indonesia. Ia pula yang menawarkan pinjaman ruangan di kantornya di lantai empat sebagai kantor Pantau, lembaga tempat saya bekerja.<span class="fullpost"><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiGn4nKjSxCCX72bx7K6GE0q4TJvjVaZLinOtdr-2LnGInYTqWXYFpwuE1iZaG54rxTFz6aW6TV-uyRPvLSmOacq5P3Ise2RSCFWB-tbnpaZenqPbk273aB1aZIpA0g-6jFned/s1600-h/cakapkecap.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5037234993728263090" style="FLOAT: right; MARGIN: 0pt 0pt 10px 10px; CURSOR: pointer" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiGn4nKjSxCCX72bx7K6GE0q4TJvjVaZLinOtdr-2LnGInYTqWXYFpwuE1iZaG54rxTFz6aW6TV-uyRPvLSmOacq5P3Ise2RSCFWB-tbnpaZenqPbk273aB1aZIpA0g-6jFned/s200/cakapkecap.jpg" border="0" /></a>Mula-mula saya mengerjakan editing <span style="FONT-STYLE: italic">Cakap Kecap</span>. Buku ini awalnya adalah sebuah draft yang berisi perkembangan dan pertumbuhan periklanan Indonesia sejak 1972-2003. Draft itu sudah dibikin lama, tapi tersendat karena persoalan administrasi dan mungkin isi. Draft itu berpindah tangan sekali lagi, sampai akhirnya jatuh ke tangan saya. Permintaannya sederhana saja: bagaimana isi buku ini tak sama seperti draft lama.<br /><br />Mulailah saya bekerja. Membaca buku-buku sejarah pers dan periklanan, membuka koran lama, dan mewawancarai sejumlah praktisi periklanan. Atas usulan Baty Subakti, yang pada 1980 mendirikan B&B Communications dan mengelolanya hingga kini, buku ini diberi judul <span style="FONT-STYLE: italic">Cakap Kecap</span> –sebuah judul yang menarik.<br /><br />Buku ini terbit pada 2004 dan diluncurkan saat Musyawarah Kerja Nasional PPPI di Bandung. Saya membedahnya dalam acara bedah buku itu, juga wawancara di studio radio di Bandung. Saya senang bahwa buku ini sudah dicetak ulang.<br /><br />Sejak awal, <span style="FONT-STYLE: italic">Cakap Kecap</span> dimaksudkan sebagai kelanjutan buku lainnya: <span style="FONT-STYLE: italic">Sejarah Periklanan Indonesia</span>. Ini buku lama. Disusun oleh sebuah tim yang diketuai Baty Subakti. Tapi sekarang mendapatkan buku ini bukan hal mudah. Maka, buku ini pun hendak dicetak ulang. Saya sekali lagi, dipercaya mengedit ulang, dengan penambahan di sana-sini. Saya memberinya judul baru: <span style="FONT-STYLE: italic">Reka Reklame</span>. Ia terbit pada 2005.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEji1Vo1FNKp_AF_ug3ALFUl3c3TRc5xwXB_cNuDuETIKlTFDc4m9qp9fTxo6UCAs8m1-rDm4QQu9c4jeGMRYSesDY01wVfEd67UgAb06yuI_afne3Oe3e0gm8CtmJB9v0mNlmJu/s1600-h/rekareklame.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5037235595023684546" style="FLOAT: left; MARGIN: 0pt 10px 10px 0pt; CURSOR: pointer" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEji1Vo1FNKp_AF_ug3ALFUl3c3TRc5xwXB_cNuDuETIKlTFDc4m9qp9fTxo6UCAs8m1-rDm4QQu9c4jeGMRYSesDY01wVfEd67UgAb06yuI_afne3Oe3e0gm8CtmJB9v0mNlmJu/s200/rekareklame.jpg" border="0" /></a><span style="FONT-STYLE: italic">Reka Reklame</span> membahas sejarah periklanan dari mulai iklan pertama di Hindia Belanda. Adalah Jan Pieterzoon Coen, pendiri Batavia dan gubernur jenderal Hindia Belanda tahun 1619-1629, yang memulainya dan dianggap sebagai perintis pengunaan iklan di Hindia Belanda. Ia “menulis” iklan dengan tulisan tangan yang indah di <span style="FONT-STYLE: italic">Memorie De Nouvelles</span> untuk melawan aktivitas perdagangan Portugis, seteru Belanda dalam perebutan hasil rempah-rempah di kepulauan Ambon. Buku ini lalu ditutup oleh pembahasan tentang pembentukan PPPI, setelah melalui proses panjang dan diikuti persoalan yang muncul di dunia pers dan periklanan.<br /><br />Sementara <span style="FONT-STYLE: italic">Cakap Kecap</span> memulainya dari tumbuhnya periklanan Indonesia modern. Pelopornya adalah InteVista Advertising yang didirikan Nuradi, seorang diplomat dan pernah bekerja di SH Benson cabang Singapura, pada 1963. Disebut modern karena memperkenalkan sistematika ilmiah dan teknik-teknik periklanan modern. Agensinya pula yang memelopori iklan komersial di televisi. Dalam buku ini pula dibahas bagaimana pengaruh masuknya modal asing, krisis moneter, penghargaan Citra Pariwara, dan persoalan etika. Buku ini ditutup dengan permasalahan yang muncul di dunia periklanan Indonesia, yakni soal sumber daya kreatif dan upaya-upaya yang telah dilakukan.<br /><br />Ada satu buku yang saya tulis sendiri tapi sampai sekarang belum bisa terbit: <span style="FONT-STYLE: italic">Iklan dan Politik</span>. Ide penerbitan buku ini berawal kegalauan RTS Masli, mengapa tak ada buku tentang periklanan politik di Indonesia. Waktu itu kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 hendak dimulai.<br /><br />Saya sendiri sudah tertarik dengan tema itu sejak lama karena buku David S. Broeder, <span style="FONT-STYLE: italic">Berita di Balik Berita</span>. Ia kritis menuliskan berita di balik berita mengenai kampanye pemilihan. Ia membedah kompleksitas strategi kampanye, sisi manusiawi seorang kandidat dalam menghadapi serangan-serangan kandidat lainnya, dan sebagainya. Di dalamnya diulas pula bagaimana sepak terjang tim kampanye, peranan (lembaga) polling, perilaku kandidat selama pemilihan, dan bagaimana media sering menyodorkan peristiwa yang lepas dari konteks, tak bisa melihat jauh ke dalam kenapa peristiwa itu terjadi.<br /><br />Ini era komunikasi modern, yang segala sesuatunya dikemas mengikuti hukum budaya massa yang leih menekankan aspek hiburan. Berita politik di media seolah jadi drama. Iklan dan orasi politik hanyalah janji-janji kosong. Padahal jiwa komunikasi di manapun adalah informasi. Ada sesuatu di balik kampanye, yang tidak ditangkap media. Bukan semata apa yang tampak dalam bentuk konvensional seperti pawai, rapat akbar, dan iklan politik. Itulah yang mau saya kupas.<br /><br />Kami bersepakatan membuat sebuah buku. Masli mendanai risetnya, dan saya yang menuliskannya.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidYh6KHKznDnTIvA4nMI1qNgLqn0tZeTXHGi7dbI6u9XK-HvaA4x9y-iiDlZLuXZD0RpnFxNPGwRpMw6dDmeX0I-bi3XwOWqZuVKVGs5GOAjpmCu4KzFkUsalZ2o6mdgLIolat/s1600-h/iklandanpolitik.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5044684052074335842" style="FLOAT: right; MARGIN: 0pt 0pt 10px 10px; CURSOR: pointer" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidYh6KHKznDnTIvA4nMI1qNgLqn0tZeTXHGi7dbI6u9XK-HvaA4x9y-iiDlZLuXZD0RpnFxNPGwRpMw6dDmeX0I-bi3XwOWqZuVKVGs5GOAjpmCu4KzFkUsalZ2o6mdgLIolat/s200/iklandanpolitik.jpg" border="0" /></a>Tapi prosesnya ternyata tak mudah. Waktunya mepet. Saya juga praktis bekerja sendiri, dari nol. Data sulit diperoleh. Komisi Pemilihan Umum bahkan tak punya data, termasuk gambar maupun kontrak perusahaan periklanan dengan partai politik dan media. Padahal dalam undang-undang semestinya mereka memperolehnya dan membukanya untuk akses publik. Perusahaan periklanan juga tak mau memberi data, mungkin terikat kontrak dengan partai politik. Praktis, saya lebih mengandalkan data-data koran, hasil riset, buku-buku. Tapi hasilnya, menurut saya, tetap menarik.<br /><br /><span style="FONT-STYLE: italic">Iklan dan Politik </span>merekam bagaimana dinamika periklanan politik selama Pemilu 2004, tentu menyinggung sedikit Pemilu sebelumnya. Isinya membahas aturan kampanye, keterlibatan praktisi periklanan, peran media, materi iklan, belanja iklan, aturan kampanye periklanan, pengaruh iklan pada pemilih, sampai pelanggaran-pelanggaran selama kampanye. Dilengkapi pula dengan gambar-gambar iklan yang menarik –kalau ada dana lebih, menarik pula kalau menyertakan iklan televisi dan radio dalam sebuah CD. Tapi, sekali lagi, kami masih mencari dana untuk menerbitkannya. Momennya juga, saya pikir, sudah hampir pas: kampanye Pemilu 2009 mulai mendekat.<br /><br />Itulah persinggungan saya dengan dunia periklanan.*<br /></span><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-5464525881404944572007-02-26T07:40:00.000-08:002009-02-22T21:51:38.834-08:00Selamat Jalan Sastrawan Sunda<span style="FONT-STYLE: italic">PENGANTAR: ini tulisan keempat dan terakhir saya tentang Klara Akustia, semoga. Sampai suatu saat sebuah "puzzle" tentangnya seutuhnya saya terakan dalam sebuah buku. Tulisan ini semata dorongan hati untuk menanggapi sebuah tulisan dari seorang sastrawan besar yang sangat subjektif, dengan penutup yang membikin miris. Tulisan itu dimuat di sebuah suratkabar <span style="FONT-STYLE: italic">Pikiran Rakyat</span>, yang sayang tak memuat tanggapan ini. (Catatan susulan: Tulisan ini akhirnya dimuat <a href="http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/032007/10/khazanah/lain02.htm"><span style="FONT-STYLE: italic">Pikiran Rakyat</span>, 10 Maret 2007</a>, seminggu setelah pemuatan tanggapan Martin Aleida) </span><br /><br />BELUM 40 hari. Timbunan tanah di pemakaman masih belum kering; menyisakan bunga-bunga bertaburan, juga karangan bunga dari “seorang lawan” Goenawan Mohamad. Belum ada “rumah” permanen bagi yang pergi, juga papan nama. Masih ada sisa duka dan kesedihan, serta kenangan yang mungkin tak sepenuhnya utuh. Sastrawan itu, A.S. Dharta atau Klara Akustia (dua dari sekian nama penanya) sudah berpulang 7 Februari 2007, sekitar pukul 05.30 di rumahnya di Cianjur, karena sakit paru-paru dan komplikasi jantung. Dia dimakamkan di pemakaman keluarga, tak jauh dari rumahnya.<span class="fullpost"><br /><br />Sekali ini saya menengok kamarnya. Gelap. Pengap. Lemari penuh buku. Koran-koran bertumpukan. Di dalam sebuah kardus, saya menemukan kertas usang seribuan halaman: <span style="FONT-STYLE: italic">Kamus Bahasa Sunda-Indonesia</span>, yang dia bikin untuk menyambut permintaan Atje Bastaman dan Moh. Kurdi alias Syarief Amin –keduanya tokoh Sunda dan pernah bekerja di Percetakan Sumur Bandung. Inilah kerja terakhir Dharta yang belum usai. Kelak, keluarga berharap, ada yang berkenan meneruskan enam abjad terakhir dan menerbitkannya.<br /><br />Dalam kamarnya, masih ada surat dari Ajip Rosidi, tentang penerbitan <span style="FONT-STYLE: italic">Ensiklopedia Sunda</span>. Sebuah buku tebal-fotokopian, <span style="FONT-STYLE: italic">Kantjungkundang</span>, tergeletak di meja. Dalam buku ini, ada sejumlah karya Dharta –di luar buku itu, saya juga menemukan sajak-sajaknya dalam bahasa Sunda. Semestinya pembicaraan tentang karya dan sosok sastrawan Sunda inilah yang kita harapkan dari Ajip Rosidi, dalam pembicaraan soal “Akhir Hidup Pengarang Lekra” di <span style="FONT-STYLE: italic">Pikiran Rakyat</span>, 17 Februari 2007. Mari bicara karya, ketimbang pengalaman personal yang tak bisa dibantah si empunya nama. Dari situlah perjalanan kreatif penulis, pengalaman hidup yang menempanya, serta pemikirannya akan lebih memperkaya bahasa dan kesusastraan Sunda.<br /><br />Ada juga surat pribadi wartawan-cum-sastrawan Sunda Rachamatullah Ading Affandie (biasa disingkat R.A.F.) tertanggal 8 Januari 2001. Isi suratnya dalam bahasa Sunda yang indah, agak bersajak. Isinya hangat, penuh persahabatan, dan mencerminkan kerinduan untuk bertemu. Menurut R.A.F., Dharta-lah yang kali pertama mendeklamasikan sajak (bebas) Sunda. Sajak-sajak Kis. Ws, Afiatin, dan Kusnadi pernah dideklamasikannya dengan gaya modern.<br /><br />R.A.F. juga menulis, dalam perkembangan bahasa dan sastra Sunda setelah perang, Dharta tergolong orang yang mencintai bahasa dan sastra Sunda. Ia sejajar dengan Achdiat Kartamihardja, Utuy Tatang Sontani, Rusman Sutiasumarga, Rustandi, hingga Ajip Rosidi, yang sekarang menjadi “dewa” dan memegang kiblat sastra Sunda. “<span style="FONT-STYLE: italic">Tah ‘mimitina mah’ ka rengrengan sastra Indonesia eta (dina basa & sastra Sunda) dumukna A.S. Dharta teh. Ngan henteu nerus Dharta mah, ‘titik berat” aktivitasna leuwih museur dina pulitik</span>,” demikian bunyi surat R.A.F.<br /><br /><br />A.S. DHARTA memang akhirnya “berpolitik” tapi setelah melewati proses perjalanan panjang. Ketika remaja, dia turun ke medan pertempuran. Usai kemerdekaan, tak ada hari tanpa kerja. Menjadi wartawan Harian Boeroeh di Yogya, memimpin sejumlah serikat buruh, ikut dalam organisasi pemuda dan buruh internasional, PEN Club-Indonesia, serta sejumlah lembaga kebudayaan. “Dalam kerja itu kita melakukan genesis, melahirkan kita kembali, <span style="FONT-STYLE: italic">lieber create man</span>,” ujarnya.<br /><br />Semuanya memperkaya pengalaman batinnya sebagai sastrawan dan anak zamannya –hal ini juga semestinya dibicarakan Ajip Rosidi. Karya-karyanya bejibun. Bentuknya sajak, cerita pendek, catatan perjalanan, esai, kritik sastra. Bukunya memang satu: <span style="FONT-STYLE: italic">Rangsang Detik</span>. Selebihnya masuk dalam antologi puisi bersama sastrawan lainnya. Ada juga naskah drama <span style="FONT-STYLE: italic">Saidjah dan Adinda</span>, adaptasi dari novel Multatuli <span style="FONT-STYLE: italic">Max Havelaar</span> terjemahan Bakrie Siregar, yang pernah dipentaskan pada 1950-an. Novelnya, <span style="FONT-STYLE: italic">Keringat</span>, keburu dimusnahkah pemerintah militer Jepang. Cerita bersambungnya antara lain Tirtonadi Mengaku. Inilah sejumlah karyanya yang bisa dibedah, dikritik, tanpa harus mendengar pembelaan si penulis –ketika sebuah karya terbit, ia menjadi milik pembaca atau masyarakat.<br /><br />Dharta sudah menulis sajak semasa Jepang. Tapi namanya makin dikenal sejak esainya pada 1949, “Angkatan 45 Sudah Mampus”, menggemparkan kesusastraan Indonesia. Sejumlah sastrawan ikut menanggapinya, antara lain Sugiarti, Sitor Situmorang, Mochtar Lubis, Anas Maruf, Achdiat Karta Mihardja, M.S. Azhar, Asrul Sani, dan HB Jassin.<br /><br />“Seorang sastrawan tidak mungkin dan tidak bisa berdiri ‘netral’, terlepas dari pengaruh lingkungannya,” tulisnya dalam “Kepada Seniman Universal”, menanggapi tulisan kritikus sastra HB Jassin yang memajukan konsep humanisme universal. “Antara Bumi dan Langit” adalah sajak Dharta yang ditujukan untuk HB Jassin: <span style="FONT-STYLE: italic">Kita berdua sama-sama tidak bebas / kau terikat pada dirimu / aku pada Manusia dan zaman kini</span>.<br /><br />Realisme sosialis atau realisme aktif menjadi pegangan Dharta. Ia juga dipegang, tapi tidak dipaksakan, oleh sastrawan dan seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang secara salah kaprah dianggap sebagai organ Partai Komunis Indonesia (PKI). Dharta pendiri Lekra, bersama M.S. Azhar dan Njoto, pada 17 Agustus 1950. Dharta pula yang ditunjuk sebagai sekretaris jenderal (Sekjen) dan redaktur <span style="FONT-STYLE: italic">Zaman Baru</span>, penerbitan resmi milik Lekra. Pada 1958, jabatannya sebagai Sekjen dicabut karena “kemesuman borjuis” –istilah Dharta yang ingin menyadarkan perlunya otokritik, bukan hanya kritik. Juga keanggotaannya di Konstituante –masuk sebagai calon-tak-berpartai lewat PKI.<br /><br />Tapi, oleh teman-temannya, A.S. Dharta dinilai sebagai orang yang sulit dicari gantinya. Dia jenis manusia yang tak bisa diperintah. Pendiriannya teguh. Dia membangunkan dan mempengaruhi sastrawan era 1950-an. Pergaulannya luas tapi dia tak henti-hentinya mencari generasi muda terbaik. Pramoedya Ananta Toer, novelis tetralogi Bumi Manusia, satu di antaranya.<br /><br /><br />A.S. DHARTA bukan orang yang berhenti di satu jalan. Dia selalu bergerak. Tapi Bandung selalu menarik hatinya. Pada 1951, dia menjadi pembicara dalam Kongres Kebudayaan Indonesia II, bersanding dengan Hamka. Sebagai Sekjen Lekra, dia mendorong pembentukan Lingkaran Sastra Bandung. Sementara sebagai anggota Konstituante, dia mendorong otonomi daerah dalam konstitusi yang sedang digodok. Untuk Bandung pula, dia menjadi anggota Komite Perdamaian, semacam “kabinet pribadi” Soekarno, untuk menyukseskan Konferensi Asia Afrika. Pada 1960-an, dia mendirikan Universitas Kesenian Rakyat, yang menurut Presiden Soekarno, dalam peresmiannya, adalah universitas pertama di Indonesia dalam bidang humaniora.<br /><br />Tapi peristiwa G30S mengakhiri semua aktivitasnya. Dia masuk penjara Kebonwaru, Bandung, dan keluar pada 1978. Sejak itu, kesehatan terganggu. Orde Baru memasungnya, juga jutaan orang Indonesia. Orde Baru pula yang menanamkan stigma dalam benak masyarakat. Sejak reformasi, stigma itu perlahan dikikis, meski tak sepenuhnya berhasil. Di sana-sini masih ada spanduk “Awas bahaya laten komunis”, masih ada yang menganggap seorang komunis tak ber-Tuhan. Kita prihatin, stigma itu seolah dihidupkan lagi oleh Ajip Rosidi, seorang budayawan. Rasanya tepat apa yang ditorehkannya, di pintu kamarnya, pada secarik kertas: “Awas! Bahaya kedangkalan logika berpikir”.<br /><br />A.S. Dharta sudah berpulang, dan saya percaya sudah tersenyum manis di sisi Sang Kekasih, meski tanpa iringan ucapan selamat jalan dari “seorang kawan”.*<br /><br />------------------------------------------------<br /><a href="http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/032007/03/khazanah/lainnya02.htm">Pikiran Rakyat, 3 Maret 2007.</a><br /><br /><span style="FONT-WEIGHT: bold">Ah… Ajip Rosidi</span><br />Oleh Martin Aleida<br /><br /><br />SAYA mengenal Ajip Rosidi sebagai sastrawan yang baik hati. Atau kalau ingin menggambarkannya dengan kata-kata yang mewah, maka dia adalah seorang budayawan yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Ketika sastrawan I. S. Poeradisastra (nama lain dari Boejoeng Saleh) dibebaskan, setelah menjalani penahanan sewenang-wenang tanpa alasan selama belasan tahun, termasuk dibuang ke Buru, Ajip memberikan rumah ekstranya di daerah Pasar Minggu untuk dihuni lawan politik namun teman sedaerahnya itu.<br /><br />Saya kira kebaikan hati seperti itu merupakan keberanian yang tidak dimiliki oleh banyak orang, kecuali siap menanggung risiko berurusan dengan penguasa yang fasistis pada waktu itu.<br /><br />Namun, Ajip yang saya kagumi mendadak sontak menjadi sosok yang tidak peka, menistakan adat kebiasaan, begitu saya membaca obituari yang ditulisnya mengenai A.S. Dharta, "Akhir Hidup Pengarang Lekra," (Khazanah, Pikiran Rakyat, 17 Februari 2007). Saya tak habis pikir, kesalahan apa yang telah diperbuat Dharta selama hidupnya, sehingga Ajip Rosidi merasa layak mengiringi jenazah penyair dan pendiri Lekra itu ke alam baka dengan cuci maki yang begitu bersemangat.<br /><br />Saya tergugah dengan keindonesiaan Ajip yang dengan ulet, dan daya tahan yang susah dicari duanya, dalam menjunjung tinggi kebudayaan Sunda, antara lain dengan memprakarsai hadiah sastra Rancage, yang belakangan tidak hanya diberikan kepada mereka yang menghasilkan karya penting dalam bahasa Sunda, tetapi juga dalam bahasa Jawa dan Bali. Wah, tiba-tiba saya terperanjat begitu membaca obituari yang ditulisnya mengenai sastrawan berdarah Cianjur tersebut. "… ternyata Dharta sendiri yang mendahului meninggalkan jasadnya di Cibeber --tapi mungkin sebagai komunis dia tak percaya akan adanya alam di balik kematian-- sehingga dapatkah saya mengucapkan selamat jalan kepadanya?" Sarkasme untuk sebuah kematian. Layakkah? Tetapi, demikianlah Ajip menyudahi tulisannya.<br /><br />Ajip adalah anggota Akademi Jakarta. Secara berseloroh saya ingin bertanya, apakah menjadi anggota "Akademi" tidak cukup bagi Ajip untuk memahami perbedaan antara "komunis" dan ateis? Filsuf Inggris termasyhur, Bertrand Russell, yang menulis "Why I Am Not A Christian," secara terbuka menyatakan dirinya ateis. Tetapi, dia adalah seorang yang antikomunis sampai ke tulang sumsum. Sesungguhnya akan merendahkan derajat Ajip kalau masih perlu dijelaskan bahwa seorang komunis belum tentu ateis, karena keduanya jelas berbeda. Lagi pula, ruangan yang terhormat ini tidak pantas dijadikan arena untuk menjelaskan apa itu komunis, kecuali mau mengambil risiko karena ada legislasi yang melarangnya. Zaman sudah berubah, namun ternyata taktik kaum fasis untuk menaklukkan musuh-musuhnya masih bergema.<br /><br />Saya jadi bertanya-tanya, kebudayaan Sunda yang "adiluhung" seperti apa yang ingin dijunjung-dimuliakan oleh Ajip, sehingga dia ragu dan tak sampai hati untuk mengucapkan selamat jalan kepada sesama umat yang sedang diusung menuju pembuktian tentang kebesaran-Nya. Pantaskah mengatakan itu dengan memakzulkan kenyataan bahwa rumah Dharta, yang dikelilingi pematang sawah, adalah gelanggang pertemuan warga dan pusat pengajian yang ramah bagi warga sekitar? Juga kancah diskusi yang hangat buat para pemuda yang memutuskan untuk menyelesaikan hubungan mereka de-ngan Tuhan secara sendiri-sendiri dan memilih berdebat dengan orang yang sudah uzur tersebut tentang politik, tentang kesusastraan. Lagi pula, di mana Tuhan di dalam hati Dharta, siapa yang tahu…?<br /><br />Ajip jumpalitan, kutip sana-sini, bongkar sana bongkar sini, hanya untuk membikin lukisan gelap tentang seseorang yang sedang menghadap Khaliknya. Seperti orang pusing tujuh keliling mencari tahu siapa gerangan nama sebenarnya A.S. Dharta. Dan sayang, tak sedikit pun ada usahanya untuk menyaksikan lingkungan hidup Dharta. Ketika diundang untuk menjenguk Dharta, dengan mudah dia cuma bilang: ".. di Cibeber (yang) letaknya di luar jalur perjalanan saya sehingga kecil kemungkinan saya dapat menemuinya." Begitu teganya! Ya, Dusun Cibeber, di Cianjur, memang bukan lintasan hidup Ajip yang menikmati hari tuanya di Magelang, Jawa Tengah. Tetapi, Cibeber toh bukan Christmas Island, jauh dari Pantai Palabuhanratu, harus mengarungi samudra kalau mau ke sana.<br /><br />Tanpa periksa dengan saksama, sehina macam apakah Dharta sehingga dalam kematiannya ini sang istri, anak, dan cucu-cucunya yang belum kering airmata dukanya harus menanggung malu lewat kata-kata yang diumbar oleh budayawan kaliber internasional asal Jawa Barat itu? Mereka selayaknya mengenang Dharta, sang suami, ayah, dan kakek sebagai seorang yang ikut membesarkan dan menjaga mereka, dan bukan sebagai seorang Don Juan Tukang Selingkuh. Maaf, keadiluhungan budaya macam apa ini, Kang …, eh, Bung!<br /><br />Begitu bersemangatnya Ajip memojokkan Dharta sehingga (dengan tak sengaja) dia membuat kesalahan ketika menyebutkan kumpulan sajak Klara Akustia Rangsang Detik diterbitkan oleh penerbit Lekra. Padahal buku itu terletak menunggu jamahan tangannya, karena dia tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pusat dokumentasi sastra yang ikut didirikan Ajip. Buku tersebut bukan Lekra yang menerbitkannya tetapi Yayasan Pembaruan, tahun 1957.<br /><br />Sebenarnya, dari orang sebesar Ajip saya mengharapkan tinjauan yang serius mengenai karya Dharta. Sekritis apa pun tinjauan itu asal dilandasi ulasan-ulasan yang meyakinkan, layaknya sebagaimana yang dilakukan Soebagyo Sastrowardoyo dalam Bakat Alam dan Intelektualisme yang diterbitkan Pustaka Jawa, pimpinan Ajip Rosidi sendiri, tahun 1971.<br /><br />"Sajak-sajak perlawanan Taufiq Ismail dan penyair-penyair segenerasi tidak lebih tinggi nilai sastranya daripada yang dihasilkan oleh Klara Akustia dan kawan-kawan separtainya," ujar Soebagyo. Dalam kesempatan lain, kritikus dan penyair itu juga menyimpulkan bahwa dalam sajak-sajak Taufiq Ismail dan kawan-kawan pada tahun 1966 ditemukan "paralelisme" dengan puisi para penyair Lekra, seperti A.S. Dharta (Klara Akustia), Hadi, Rumambi, Sudisman, F.L. Risakotta maupun Sobron Aidit. Paralelisme! Cap untuk teman, begitulah. Untuk tidak menyatakan epigonisme, karena paralelisme hanya mungkin kalau kedua pihak berada dalam tempat dan waktu yang setara dan sebangun.<br /><br />Agaknya obituari tentang A.S. Dharta itu ditulis dalam suasana terkenang masa lalu dan dalam keadaan terburu-buru, asal jadi. Karena Ajip sedang sibuk-sibuknya menyusun memoir untuk ulang tahunnya yang ke-70 tahun depan. Semoga beliau terhindar dari kesalahan dan kesilapan, dan kita menunggu memoir itu sebagai sesuatu yang akan memperkaya khazanah sastra kita. Di mana kaliber dan posisi Ajip Rosidi sebagai seorang budayawan tak perlu disangsikan lagi adanya.*<br /><br />Penulis, Sastrawan, tinggal di Jakarta.<br /><br />------------------------------------------------<br /><a href="http://www.pikiran-rakyat.co.id/cetak/2007/022007/17/khazanah/lainnya01.htm">Pikiran Rakyat, Khazanah, Sabtu 17 Februari 2007</a><br /><br />A.S. Dharta (1923-2007)<br /><span style="FONT-WEIGHT: bold">Akhir Hidup Pengarang Lekra</span><br />Oleh Ajip Rosidi<br /><br /><br />PADA dasarnya A. S. Dharta itu seorang romantis. Hal itu tampak di antaranya dari nama-nama pena yang digunakannya. Pada masa revolusi, ketika dia mulai menulis sajak dalam majalah <span style="FONT-STYLE: italic">Gelombang Zaman</span> yang terbit di Garut dipimpin oleh Achdiat K. Mihardja dengan Tatang Sastrawiria, dia menggunakan nama Kelana Asmara. Kita tahulah kira-kira orangnya bagaimana kalau mempergunakan nama seperti itu. Entah Kelana yang mencari Asmara, entah Asmara yang berkelana. Kemudian dia gunakan juga nama samaran Yogaswara. Seperti diketahui Yogaswara adalah tokoh utama dalam roman R. Memed Satrahadiprawira yang berjudul <span style="FONT-STYLE: italic">Mantri Jero</span>. Agaknya dia kagum sekali kepada tokoh satria muda yang jujur berpegang kepada kebenaran sehingga berani menyelam di Leuwi Panereban untuk membuktikan bahwa dirinya bersih, tidak seperti yang difitnahkan orang kepadanya.<br /><br />Saya kira dia menggunakan nama samaran A.S. Dharta menjelang akhir tahun 1940-an, ketika dia banyak menulis dalam majalah Spektra yang terbit di Jakarta dan juga dipimpin oleh Achdiat K. Mihardja. Pada waktu itu dia di antaranya menyerang para pengarang ‘45 dengan mengatakan bahwa Angkatan ‘45 sudah mampus, sehingga timbul polemik yang ramai. Selanjutnya nama A.S. Dharta itulah yang dia gunakan sebagai nama sehari-hari, walaupun dia juga kalau menulis mempergunakan nama samaran baru antaranya Klara Akustia. Asrul Sani pernah mengatakan bahwa nama Klara Akustia itu diambil Dharta dari nama Hongaria. Keterangan Asrul itu keliru. Nama Klara Akustia digunakan setelah Dharta ditinggalkan lari oleh istrinya yang sehari-hari dia sebut “Klara”, walaupun namanya sebenarnya bukan demikian. Istrinya itu melarikan diri dengan seorang serdadu KNIL kabur ke negerinya.<br /><br />Untuk membuktikan bahwa walaupun ditinggalkan lari dan dikhianati oleh istrinya, dia tetap setia, maka digunakannya nama Klara Akus(e)tia.<br /><br />Menurut Ramadhan K.H. yang pernah bersama-sama dengan dia di HIS Cianjur, nama panggilannya sehari-hari adalah Rodji. Mungkin lengkapnya Fachrurodji. Kalau benar, artinya dia berasal dari lingkungan keluarga Islam yang cukup kental karena nama itu jelas nama Islam. Tetapi ketika Boejoeng Saleh menulis “Perkembangan Kesusasteraan Indonesia” yang dimuat dalam Almanak Seni 1957 bahwa namanya yang sebenarnya adalah Rodji, Dharta naik pitam dan mengancam akan menyeret Boejoeng ke pengadilan. Sayang, Boejoeng tidak sampai benar-benar diseret ke pengadilan sehingga sampai sekarang kita belum tahu siapa nama A.S. Dharta sebenarnya. Mungkin harus ditanyakan kepada keluarga atau sahabatnya sebaya di Cibeber yang kemungkinan besar sudah punah semua, karena ketika meninggal tanggal 7 Februari 2007, usia Dharta hampir 84 tahun, karena dia lahir di Cibeber, Cianjur tanggal 7 Maret 1923. Tampaknya akan sulit mencari kerabat atau sahabatnya yang usianya lebih tua daripadanya atau sebaya dengan dia, yang masih hidup dan ingat akan namanya yang sebenarnya.<br /><br />Tapi <span style="FONT-STYLE: italic">what’s in a name</span>, kata Shakespeare. Dia sendiri lebih dikenal sebagai A.S. Dharta. Nama-nama yang lain hanya dia gunakan sebagai nama pena belaka. Yang dia gunakan sebagai nama pengarang bukunya yang hanya satu yaitu kumpulan sajak Rangsang Detik adalah Klara Akustia. Buku itu diterbitkan oleh penerbit Lekra tahun 1957.<br /><br /><br />PADA tahun 1949 atau 1950, Dharta bersama dengan beberapa seniman dan pengarang lain (di antaranya Achdiat K. Mihardja dan H. B. Jassin) di rumah sahabatnya, M.S. Azhar di Jalan Siliwangi simpangan kecil dari Jalan Dr. Wahidin Jakarta, mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Lembaga Kebudayaan Rakyat yang kemudian lebih terkenal dengan singkatannya, Lekra. Salah seorang yang hadir pada waktu pembentukan organisasi tersebut adalah Njoto, tokoh yang bersama Aidit menghidupkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah pemberontakan Madiun. Tetapi pada waktu itu tampaknya Njoto belum banyak dikenal, sehingga orang-orang seperti Achdiat dan Jassin tidak memerhatikannya. Dan mereka berdua tidak turut menyusun Mukadimah Lekra yang disahkan pada bulan Agustus 1950.<br /><br />Dharta dalam organisasi tersebut diangkat menjadi sekjennya. Seperti diketahui, kedudukan sekjen dalam organisasi kiri dianggap sebagai yang terpenting. Kedudukan itu dipegangnya terus sampai tahun 1959. Pada pemilu yang pertama diadakan di Indonesia (1955), Dharta dicalonkan sebagai anggota konstituante oleh PKI dan terpilih. Maka dia duduk sebagai anggota lembaga yang bertugas menyusun UUD baru itu. Tapi setahun sebelum lembaga itu dibubarkan oleh Presiden Sukarno yang didukung oleh Mayjen A.H. Nasution (Angkatan Darat), Dharta dipecat oleh partainya karena ketahuan bahwa dia berselingkuh dengan wanita yang bersuami. Pada waktu itu ada dua seniman anggota perwakilan PKI yang dipecat oleh partai karena tuduhan yang sama: berselingkuh. Selain Dharta yang dipecat dari keanggotaannya di konstituante, pelukis S. Sudjojono juga dipecat dari keanggotaannya di DPR. Sudjojono juga dituduh berselingkuh dengan wanita yang masih menjadi istri orang. Tapi berlainan dengan Sudjojono yang menerima pemecatan itu dan kemudian menikah dengan wanita itu setelah bercerai dari suaminya, Dharta menyatakan menyesal atas perbuatannya dan dia meminta ampun kepada partai, di antaranya dia menerima menjadi kader kembali. Niscaya kedudukan kader itu lebih rendah dari calon anggota. Sebagai tanda bahwa dia benar-benar menyesal, dia harus mengirimkan surat pernyataan menyesalnya entah kepada berapa puluh orang. Saya pernah ikut membaca surat penyesalannya itu yang dikirimkan kepada Achdiat K. Mihardja. Waktu kami membicarakan surat itu setelah membacanya, saya menyatakan kepada Achdiat bahwa saya tidak mengerti bagaimana orang seperti Dharta sampai mau menulis surat yang menghinakan dirinya seperti itu hanya karena mau diterima kembali di lingkungan PKI. Menurut Achdiat, buat orang komunis, diangkat menjadi anggota itu merupakan kehormatan. Oleh karena itu, ada seniman yang kami kenal juga (dia sebut namanya), ketika dinyatakan bahwa dia diterima (atau diangkat) sebagai anggota PKI setelah menjadi calon anggota beberapa lama, dia menangis karena hatinya gembira.<br /><br />Saya sendiri sejak itu tidak bisa menaruh respek kepada Dharta. Saya bertemu dengan dia terakhir kira-kira bulan November 1965 setelah Gestapu. Ketika itu orang PKI dan Lekra belum ditangkapi, tetapi harus melapor di kantor polisi setiap minggu. Dharta baru selesai melapor di kantor polisi yang ketika itu bertempat di ujung utara Jalan Braga bertentangan dengan Gedung BI. Dia mau pulang ke arah Jalan Banceuy, sementara saya bersama dengan dua orang redaktur <span style="FONT-STYLE: italic">Madjalah Sunda</span> yang lain baru pulang dari percetakan Ganaco di Jalan Gereja setelah melewati viaduck mau naik ke arah Jalan Braga. Ketika itu Madjalah Sunda yang saya pimpin dicetak di percetakan Ganaco. Isi Madjalah Sunda banyak mengkritik kaum komunis dan setelah terjadi Gestapu terang-terangan mendukung suara yang mendesak Presiden Sukarno agar membubarkan PKI.<br /><br />Begitu melihat saya, Dharta berhenti dan mengajak berbicara.<br /><br />“Sekarang Bung yang menang,” katanya. Dia selalu berbicara bahasa Indonesia walaupun dia juga menulis karya sastra dalam bahasa Sunda. Dia selalu memanggil Bung kepada saya. “Karena itu Bung harus menolong saya.”<br /><br />“Menolong apa?” saya bertanya.<br /><br />“Saya perlu uang. Bung kasihlah saya uang.” Dharta memang cenderung suka meminta uang kalau bertemu walaupun sebenarnya kami tidak begitu akrab.<br /><br />“Kalau Saudara kalah bukan berarti saya yang menang,” jawab saya. “Dan kalaupun saya yang menang, belum berarti saya punya uang. Dan kalaupun saya punya uang, pasti saya tidak akan memberikannya kepada Saudara, apalagi di tengah jalan begini. Kalau ada yang menyaksikan saya memberikan uang kepada Saudara, saya akan dilaporkan bahwa saya membantu kaum pemberontak.”<br /><br />Seingat saya, Dharta tidak memberi jawaban dan saya segera berjalan menjauhinya. Setelah berada dalam penjara Kebonwaru dia juga saya dengar pernah mengirim surat kepada Kang Atje Bastaman meminta uang sehingga Kang Atje ketakutan dan meminta nasihat kepada Kang Koerdie. Baik Kang Atje maupun Kang Koerdie adalah kenalannya yang cukup akrab.<br /><br />Pada tahun 1976, dia dibebaskan dari tahanan dan tinggal di kampung kelahirannya di Cibeber, Cianjur. Ketika menyusun Ensiklopedi Sunda saya pernah menelefonnya meminta keterangan tentang Barmara untuk kepentingan penyusunan ensiklopedia, tapi dia menolak memberi keterangan karena dia ingin mendapat honorarium dari sajak-sajaknya yang dimuat dalam Kanjutkundang, padahal begitu <span style="FONT-STYLE: italic">Kanjutkundang</span> terbit (1963) saya langsung mengirimkan honorarium kepada semua pengarang yang karangannya dimuat di dalamnya, termasuk kepada Dharta.<br /><br />Kira-kira sebulan yang lalu saya ditelefon oleh anaknya yang perempuan yang memberitahukan bahwa ayahnya ingin saya jenguk di Cibeber, tapi dia sendiri sudah mulai pikun. Cibeber letaknya di luar jalur perjalanan saya sehingga kecil kemungkinan saya dapat memenuhinya. Saya tidak berani berjanji.<br /><br />Tapi ternyata Dharta sendiri yang mendahului meninggalkan jasadnya di Cibeber --tapi mungkin sebagai komunis dia tidak percaya akan adanya alam di balik kematian-- sehingga dapatkah saya mengucapkan selamat jalan kepadanya?*<br /><br />Penulis, Budayawan.<br /></span><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-68874876320662380872007-02-09T18:52:00.000-08:002010-10-29T03:58:10.254-07:00In Memoriam: A.S. Dharta (1924-2007)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgpZBrtXWpTrzwQilawxVIMlzbtgKXoCZ9kUYFAq-29q0SPKlwWpeAWhjWfDqBPqRDy63QaOv84LPpHkmVNKDGIXVopbkclDtudXhzPltJ_MiRDowLazvgGXPyLVegbsLKSCp-E/s1600-h/bapak.JPG"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5033272206824676338" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgpZBrtXWpTrzwQilawxVIMlzbtgKXoCZ9kUYFAq-29q0SPKlwWpeAWhjWfDqBPqRDy63QaOv84LPpHkmVNKDGIXVopbkclDtudXhzPltJ_MiRDowLazvgGXPyLVegbsLKSCp-E/s200/bapak.JPG" border="0" /></a>SEPI sudah. Tak ada diskusi-diskusi, tak ada canda. Tak ada panutan. Selepas pemakaman A.S. Dharta atau Klara Akustia, anak dan cucu-cucunya terdiam di kamar kecil di sebelah kamarnya. Masih ada tangis tersisa. Tapi dia tak mungkin kembali.<br /><br />A.S. Dharta meninggalkan kita pada 7 Februari 2007, sekitar pukul 05.30 di rumahnya di Cibeber, Cianjur, setelah dua minggu terbaring sakit. Dia terkena penyakit paru-paru, yang menyebabkan jantungnya membengkak. Sempat seminggu menjalani perawatan di Rumah Sakit UKI Jakarta tapi akhirnya dibawa pulang karena desakannya. Dia dimakamkan di pemakaman keluarga, tak jauh dari rumahnya.<span class="fullpost"><br /><br />Saya menengok kamar A.S. Dharta. Gelap. Pengap. Lemari penuh buku. Koran-koran bertumpukan. Saya memasuki kamar itu, mencoba meraup semua yang pernah dirasakannya. Ada foto masa kecil cucu-cucunya. Ada coretan kapur di lemari dan tembok. Di pintu keluarnya, pada sebuah kertas kecil, tertulis dengan spidol biru torehannya: Awas! Bahaya kedangkalan logika berpikir.<br /><br />Keluasan berpikir adalah ucapan yang selalu dilontarkan A.S. Dharta setiap kali berdiskusi dengan saya. Kehendaknya untuk melepaskan diri dari pengotak-kotakkan, menjauhkan diri dari bisik-bisik dan omongan palsu, kepercayaan akan perubahan, dan kemauan menjawab persoalan-persoalan masyarakat. Sikapnya ini tercermin dalam tindakan dan karya-karyanya.<br /><br />Karya-karyanya tercecer di sejumlah media, dalam maupun luar negeri. Bentuknya puisi, essai, kritik sastra, catatan perjalanan. Naskah dramanya Saidjah dan Adinda, adaptasi dari novel karya Multatuli yang diterjemahkan Bakri Siregar, pernah pula dipentaskan. Dia juga berkolaborasi dengan Amir Pasaribu, yang tahun lalu menerima penghargaan Akademi Jakarta untuk bidang musik, menghasilkan antara lain lagu "Irama Mei". Pada 1957, terbit kumpulan puisi Klara Akustia. Judulnya <span style="FONT-STYLE: italic">Rangsang Detik</span>, kumpulan sajak periode 1949-1957, yang diterbitkan Jajasan Pembaroean. Selebihnya masuk dalam antologi puisi bersama penyair-penyair lainnya.<br /><br />Keindahan sajak-sajaknya terutama terletak pada pemikirannya (<span style="FONT-STYLE: italic">beauty of thought</span>) dan keindahan relasinya dengan rakyat, dengan manusia. Keindahannya berpadu dengan keindahan emosi dan intuisi, bersumber pada rasionalitas; bersenyawa dengan derita manusia-manusia yang tertindas.<br /><br />“Masyarakat tak lagi menginginkan seniman-senimannya menjadi penghibur, tetapi wakil-wakil daripada kehidupan kejiwaan dan alam cita-cita, seorang 'ahli nujum' yang mampu menjawab masalah-masalahnya yang paling sulit: seorang dokter yang menemukan dalam dirinya lebih dahulu nyeri-nyeri dan penderitaan manusia umumnya, dan mengobatinya dengan menciptakannya kembali dalam bentuk puitis”. (V.G. Belinsky, “selected philosophical works”)<br /><br />Soal “menjawab masalah-masalah manusia” ini adalah salah satu pertanggungjawaban pengarang realisme-sosialis, satu sikap kepengarangan yang sudah dilontarkan dalam esai-esainya sejak tahun 1950-an, dan kemudian berujung pada pembentukan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). A.S. Dharta adalah salah seorang di antara sedikit pengarang Lekra yang mampu memenuhinya.<br /><br />A.S. Dharta memiliki kemampuan untuk membaui dan memetik tema-tema aktuil dan menarik dari antara arus kehidupan dan mengolahnya dengan orisinalitet yang patut dicatat. “DPR Baru”, ”Aku Pelaksana”, dan “Konsepsi Bung Karno”. Dia juga membawa kita bertualang ke Senen, ke daerah Nyi Marsih yang ingin merdeka, ke Peking dan Praha pujaan kepada kerja, ke Capitol dan ke pabrik Coca-Cola, tetapi ia akhirnya berlabuh di pantai hati manusia yang hangat juga! “Antara Bumi dan Langit” adalah sebuah sajaknya, yang menugaskan dirinya menjadi pemenang dalam polemik dua pandangan. Sajak ini ditujukannya untuk HB Jassin: <span style="FONT-STYLE: italic">Kita berdua sama-sama tidak bebas/ kau terikat pada dirimu/ aku pada Manusia dan zaman kini</span>.<br /><br /><br />NAMA sebenarnya Adi Sidharta tapi biasa disingkat A.S. Dharta. Nama aliasnya bejibun. Yang sering dipakai adalah Klara Akustia. Lainnya: Kelama Asmara, Jogaswara, Rodji, Barmara Poetra, dan masih banyak lagi. Lahir di Cibeber, Cianjur, 7 Maret 1924, jiwanya bergejolak sejak menjadi anak angkat Okayaman, salah seorang tokoh pergerakan yang dibuang ke Boven Digul. Dan makin dimatangkan di sekolah Nationaal Handele Lallegiun (NHL) di bawah didikan Douwes Dekker. Di masa revolusi, dia bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang bermarkas di Menteng 31, keluar-masuk hutan, bergerak dari satu medan pertempuran ke medan pertempuran lain. Di Menteng 31 inilah dia mulai mengenal Soekarno, sejumlah tokoh politik, dan juga seniman-seniman.<br /><br />Dia pernah menjadi wartawan <span style="FONT-STYLE: italic">Harian Boeroeh</span> di Yogya, dia memimpin serikat buruh: Serikat Buruh Kendaraan Bermotor, Serikat Buruh Batik, Serikat Buruh Pelabuhan, termasuk di lembaga induknya, Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Lalu dimatangkan lewat International Union of Students (IUS), World Federation of Democratic Youth, dan World Federation of Trade Unions, yang membuatnya berkeliling ke sejumlah negara bekas kolonialisme.<br /><br />“Dalam kerja itu kita melakukan genesis, melahirkan kita kembali, <span style="FONT-STYLE: italic">lieber create man</span>,” ujarnya.<br /><br />Tapi A.S. Dharta lebih dikenal sebagai sastrawan. Dia mulai menjadi penyair menjelang proklamasi kemerdekaan. Puisi pertamanya dimuat di suratkabar Tjahaja, Bandung. Sejumlah puisi kemudian lahir dari tangannya. Lalu cerita pendek, seperti “Hidup Kembali” dan “Pahlawan Sunyi” yang dimuat di majalah <span style="FONT-STYLE: italic">Gelombang Zaman</span>, September dan Oktober 1946. Sejumlah puisinya pada tahun itu juga pernah dimuat di majalah <span style="FONT-STYLE: italic">Arena</span>, <span style="FONT-STYLE: italic">Gelombang Zaman</span>, dan <span style="FONT-STYLE: italic">Revolusioner</span>. Dia juga ikut mendirikan PEN Club-Indonesia dan memimpin Sastrawan Angkatan Baru.<br /><br />Peristiwa Madiun 1948 menjadi tonggak bagi A.S. Dharta untuk mengingatkan peran sastrawan dalam revolusi. Dia menulis sebuah esai yang mengemparkan dunia kesusastraan Indonesia: “Angkatan 45 Sudah Mampus” di majalah <span style="FONT-STYLE: italic">Spektra</span>, 27 Oktober 1949. “Di Madiunlah dikuburnya Angkatan 45” begitulah A.S. Dharta menulis, “Dan matilah ia, pemikul Hari Esok.”<br /><br />Tulisan ini begitu kerasnya. Tegas. Tapi argumentasinya jelas. Beberapa sastrawan ikut-serta mempersoalkan Angkatan 45, antara lain Sugiarti, Sitor Situmorang, Mochtar Lubis, Anas Maruf, Achdiat Karta Mihardja, M.S. Azhar, Asrul Sani, dan lain-lain.<br /><br />Esai itu hanya lecutan pertama A.S. Dharta, untuk menggerakkan konsep yang lebih luas: di mana posisi sastrawan atau seniman di dalam perubahan masyarakat. Di sini pula dia memunculkan perlunya generasi pemikul hari esok. Secara lebih jelas dan kongkret, dia jabarkan dalam tulisannya, “Sekitar Angkatan 45”, yang merupakan tanggapannya atas tulisan Mochtar Lubis “Hidup, Mati?” di majalah <span style="FONT-STYLE: italic">Siasat</span>, 4 Desember 1949. “Ya, dan kita akan terus/ dari agitasi ke organisasi / dari elan keinginan / ke energi pelaksanaan!”<br /><br />Dari agitasi ke organisasi. Jelas sudah. Dan akhirnya, pada 17 Agustus 1950, A.S. Dharta mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang kelak secara salah kaprah selalu dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia, bersama M.S. Azhar dan Njoto. Dia pula yang ditunjuk sebagai sekretaris jenderal (Sekjen). Sementara sikap berkesenian Lekra dituangkan dalam Mukadimmah. Disebutkan antara lain, ”Lekra bekerja khusus di lapangan kebudayaan, terutama di lapangan kesenian dan ilmu. Lekra membantah pendapat bahwa kesenian dan ilmu bisa terlepas dari masyarakat.”<br /><br />Sebagai Sekjen, dia aktif menjelaskan realisme sosialis. Juga berpolemik dengan sastrawan lain. Termasuk dengan kritikus sastra HB Jassin. “Seorang sastrawan tidak mungkin dan tidak bisa berdiri ‘netral’, terlepas dari pengaruh lingkungannya,” tulisnya dalam esai “Kepada Seniman Universal”. Tulisan itu merupakan tanggapannya atas tulisan HB Jassin di bulanan <span style="FONT-STYLE: italic">Zenith</span>, edisi kebudayaan mingguan <span style="FONT-STYLE: italic">Mimbar Indonesia</span>, 15 Maret 1951, tentang adanya dan hak hidupnya apa yang disebut Angkatan 45.<br /><br />Dalam esai itu A.S. Dharta menjelaskan perbedaan sikapnya soal isi dan bentuk (dalam istilah Jassin visi dan gaya), juga ketidaksetujuannya dengan konsep humanisme universal (yang bagi A.S. Dharta adalah baju baru untuk <span style="FONT-STYLE: italic">l’art pour l’art</span>).<br /><br />Jassin memajukan ucapan Asrul Sani untuk menjawab konsep itu: “Derita dunia adalah derita kita, karena kita adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia.” Tapi Jassin sendiri mengakui: “Satu keberatan bisa dikemukakan terhadap keuniversalan ini. Sangat banyak kemungkinan-kemungkinan, tapi toh orang harus memilih dalam praktiknya dan apabila telah memilih boleh bertengkar lagi.”<br /><br />Sementara A.S. Dharta menjawab: “Di dalam praktik kita melihat, bahwa 'seni universal' dipergunakan untuk lebih menjauhkan, untuk lebih mengasingkan, seniman dan seni dari masyarakat. Dengan ini menjadi jelas, bahwa kesusastraan universal tidak netral, tidak berdiri di atas segala. Di dalam praktik dia menjadi sekutu kelas yang antiperubahan masyarakat ke arah perbaikan.”<br /><br />Lebih jelas lagi, sikap A.S. Dharta ditunjukkan dalam esai “Dari Idealisme ke Realisme” yang dimuat di <span style="FONT-STYLE: italic">Harian Rakjat</span>, 13 November 1951. Di sini A.S. Dharta menggambarkan perjalanan kesusastraan Indonesia sejak Pujanggan Baru hingga pecahnya Angkatan 45 menjadi dua kutub sejak persetujuan KMB – meski pernah diikat dan sependirian bahwa revolusi tidak mencapai tujuannya. Pertama, kesusasteraan idealisme yang meneruskan kebangkrutannya dengan etiket “humanisme universal”. Kedua, kesusasteraan realisme-kreatif yang baru menyusun diri dengan konsep perjuangannya kesusasteraan untuk rakyat-banyak.<br /><br />“Bagaimanapun juga, perkembangan kesusasteraan adalah sejalan dengan perkembangan perjuangan bangsa. Dan bagi kita sebagai bangsa tidak ada alasan untuk pesimistis. Apalagi sebagai sastrawan! Jelas terbentang kebangkrutan dari idealisme dan kebangkitan realisme-sosialis, “ tulisnya.<br /><br />Dalam preadvisnya di Kongres Kebudayaan Indonesia II di Bandung pada 1951, A.S. Dharta menulis: "Kesusastraan wajib menginjakkan kakiknya di atas dunia yang nyata dan memancangkan mata ke hari esok, bukan dengan romantik kuno tapi dengan romantik yang hidup dan maju."<br /><br />Realisme sosialis atau realisme aktif menjadi pegangan A.S. Dharta dalam berkarya. Ia juga dipegang, tapi tidak dipaksakan, oleh sastrawan dan seniman Lekra.<br /><br />Sebagai gerakan kebudayaan, Lekra sendiri perlahan tumbuh dan besar. Dalam empat tahun saja, Lekra bisa begitu mapan, bisa berkembang. Karena tak pakai sistem keanggotaan, tak jelas berapa jumlah anggota Lekra. “Lekra adalah fenomena unik dalam sejarah dunia. Menurut saya, berdasarkan penelitian saya, cukup jelas bahwa Lekra berkembang karena cara membangunnya sangat organik dan sesuai kondisi lokal,” ujar Stephen Miller, yang sedang riset tentang Lekra untuk tesis doktoral di Australian National University, dalam diskusi di Jaringan Kerja Budaya, Jakarta.<br /><br />”Itu bukti bahwa zaman membutuhkan. Bukti bahwa kita punya understanding terus-menerus. Organisasinya terus-menerus dimodernkan, diefisienkan, supaya yang di bawah pegang kendali,” ujarnya kepada saya. Klara Akustia juga redaktur <span style="FONT-STYLE: italic">Zaman Baru</span>, penerbitan resmi milik Lekra.<br /><br />Pada 1957, dalam sebuah kongres Lekra, A.S. Dharta melakukan otokritik. Dia mengatakan telah melakukan ”kemesuman borjuis”. Dia kembali menyadarkan perlunya otokritik, bukan hanya kiritk. Dia resmi dipecat dari Lekra pada 4 November 1958. Sekjen Lekra kemudian beralih ke tangan Djoebar Ajoeb. Keanggotaannya di Konstituante (dari calon-tak-berpartai lewat Partai Komunis Indonesia) juga dicabut.<br /><br />”Saya akan rebut kembali apa yang sudah saya kerjakan selama ini dengan kerja, ” ujarnya.<br /><br /><br />SELEPAS dari Lekra, A.S. Dharta pulang ke Cianjur. Di sana dia mengajar kursus bahasa Inggris untuk masyarakat sekitar. Dia juga masih menulis. Setelah itu dia membentuk Masjarakat Seni Djakarta Raja (MSDR) pada 1960-an. Pada 1962, bersama Hendra Gunawan, A.S. Dharta mendirikan dan menjadi rektor Universitas Kesenian Rakyat di Bandung. Presiden Soekarno, dalam peresmiannya, mengatakan ini universitas yang pertama dalam bidang humaniora. Tapi keinginannya mensarjanakan masyarakat tak terwujud. Iklim politik berhembus ke kanan. Terjadi peristiswa terkelam dalam sejarah Indonesia pada 1965. A.S. Dharta masuk penjara di Kebonwaru, Bandung.<br /><br />Selepas dari penjara tahun 1978, tak ada yang bisa dilakukannya lagi. Tak boleh melakukan aktivitas apa-apa. Kamus Sunda-Inggris-Indonesia yang sempat dibikinkannya tak sampai selesai. Semua karyanya juga telah dirampas. Selama bertahun-tahun, A.S. Dharta hanya duduk dan membaca, menemui anak-anak muda dan sejawat yang ingin berdiskusi, hingga meninggalnya.<br /><br />A.S. Dharta bukan saja sastrawan, tapi juga pejuang, pemikir, pendobrak. Melalui karya-karyanya, juga sosoknya, dia telah membuka pikiran dan mata hati banyak orang yang mendambakan kebaruan dalam perspektif yang benar. Matanya hanya tertuju pada satu tujuan. Dengan kejeniusannya ia menuntut disatukannya kembali manusia untuk ikut dalam gejolak perubahan dan kemajuan.<br /><br />”Kalau tidak bisa, berarti kamu sudah menjadi benalu!” ujarnya, pasti. ”Tapi ingat, kamu mau tahu atau tidak mau tahu, ikut atau tidak, hukum pantare itu akan terus berjalan. Sudah pasti terjadi.”<br /><br />Dalam diskusi-diskusi, dia juga selalu menekankan pentingnya pelaksanaan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Dia mengimpikannya hilangnya kebodohan dalam masyarakat Indonesia.<br /><br />Oleh banyak teman-temannya, A.S. Dharta dinilai sebagai orang yang tak ada gantinya. Dia jenis manusia yang tak bisa diperintah. Teguh pendiriannya. Pergaulannya luas. Tapi dia juga orang yang tak henti-hentinya mencari generasi-generasi muda terbaik, mengajaknya berdiskusi, menanamkan sikap kerakyatan. Pramoedya Ananta Toer, novelis tetralogi <span style="FONT-STYLE: italic">Bumi Manusia</span>, satu di antaranya. Dia telah membangunkan dan mempengaruhi banyak sastrawan dan senima tahun 1950-an.<br /><br />Cita-citanya sendiri ”mensarjanakan rakyat” mungkin belum usai. Tapi masih akan ada tunas-tunas baru, penerusnya, seperti yang dia tuliskan dalam sajaknya: ”Rukmanda”.<br /><br /><span style="FONT-STYLE: italic">Aku kini tiada lagi<br />bersatu dengan bumi tanah air tercinta<br />tapi lagu aku tamatkan<br />bersama bintang seminar kelam<br />dengan debar jantung terakhir<br />yang melihat fajar bersinar<br />kelahiran tunas penyambung keremajaanku.</span><br /><br />Selamat jalan, A.S. Dharta.*<br /></span><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-57360428429254893452007-02-07T06:43:00.000-08:002009-02-22T21:53:25.145-08:00Pulang (2)BAPAK benar-benar pulang. <br /><br />Dia sudah sampai di rumah. Dia tidak lagi menempati kamarnya yang penuh dengan buku. Dia kini menempati ruangan yang selama ini kosong. Dari jendelanya mengalir udara sejuk pegunungan, gemericik air sungai di belakang rumah. Sebuah tabung oksigen tegak berdiri di tepi ranjang. Bapak pasti senang.<br /><br />Saya mendatangi bapak hari Jumat bersama Scott Schlossberg, Pamela, dan Alam. Mama bilang sudah menyiapkan durian untuk nanda. Scott juga suka. Hari itu, kata mama, bapak mogok bicara. Dia mau menghemat energi untuk bertemu saya dan Scott.<span class="fullpost"><br /><br />Scott mahasiswa S3 Department of South and Southeast Asian Studies Universitas Berkeley, Amerika Serikat. Dia sedang mengerjakan disertasi soal Lekra. Kami sudah berdiskusi ketika sama-sama menengok bapak di Rumah Sakit UKI. Scott orang menyenangkan. Humoris. Pintar berbahasa Indonesia dan India. Saya suka berdiskusi dengannya. Tapi suara bapak sudah tak jelas lagi. Pelan. Nyaris tanpa suara. Sesekali saja mengumpulkan tenaga dan menyebut nama satu di antara kami. Bapak lebih banyak menggerakkan tangannya, memberi petunjuk apa yang diinginkannya. Lama-lama kami mengerti bahasa isyarat bapak.<br /><br />Scott hanya menginap semalam, dan berjanji akan datang lagi.<br /><br />Tiap saat kami bergantian menjaga bapak. Mengipasinya. Menggeser tubuhnya, membawanya ke toilet, atau memindahkannya ke kursi kesayangannya. Bapak suka memegang tangan kami erat-erat. Pasti bapak sedang menahan sakit. Kulit pinggulnya melepuh, kakinya membengkak. Bapak memang hanya bisa berbaring. Bapak juga kesulitan buang air.<br /><br />“Budi… pangku.” Bapak mengulurkan kedua tangannya. <br /><br />Saya menegakkan posisi duduknya. Mama bilang, bapak ingin pindah ke ranjang. Badan bapak terasa berat. Kami juga mesti pelan-pelan mengangkatnya.<br /><br />Hari Selasa, Pamela, Alam, dan Ratih kembali ke Jakarta. Mereka harus menyelesaikan pekerjaan. Saya memutuskan tidak mengajar kursus di Pantau, dan tentu tidak ikut rapat keesokan harinya. Saya tak mau mama sendiri.<br /><br />Seharian itu saya mengetik di ruang tengah. Sesekali saya menengok kamar bapak, membantu mama dan Ibu Komariyah. Tapi malam itu semuanya lelah. Suara pengajian terdengar dari masjid terdekat. Saya sedang mengirimkan laporan pekerjaan lewat internet. Mamang yang menjaga bapak beranjak pulang. Saya bergegas ke kamar. Mama dan Ibu Komariyah tertidur.<br /><br />Saya mendekati ranjang bapak. Tangannya menggapai, dan saya memegangnya erat. Bapak tertidur sejenak. Nafasnya terdengar keras, menggapai oksigen yang mungkin bisa diraupnya. Tiba-tiba dia terbangun. Tangannya terangkat. Kedua jarinya menunjuk. Saya tahu, bapak menanyakan waktu.<br /><br />“Jam empat…”<br /><br />Bapak mengangguk pelan. Bapak mungkin sudah menentukan waktu terbaiknya. <br /><br />Saya masih mengenggam tanganya. Dingin. Tapi nafasnya sudah mulai teratur. Pelan. Lalu bapak mengarahkan tangannya ke wajah. Saya tak tahu apa yang diinginkannya. Saya membangunkan mama, yang mengajaknya bicara. Ibu Komariyah yang tidur di sisi bapak juga terbangun. Waktu seolah berjalan cepat. Sekitar pukul 05.30 bapak menghembuskan nafas terakhir. Pelan. Lembut. Ibu Komariyah menangis. Mama histeris. Saya menahan tubuh mama.<br /><br />Bapak benar-benar pulang. Persis saat fajar menyingsing, waktu yang sudah ia torehkan dalam sajaknya: "Rukmanda"<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Rukmanda</span><br /><br /><span style="font-style:italic;">Sebutkan segala penjara<br />dan itu adalah aku<br /><br />Sebutkan segala badai<br />kepahitan pembuangan<br />kerinduan pada kecapi<br />kesunyian malam sepi<br />kenangan pada Priangan<br />dan kelayuan dari menanti.<br /><br />Aku yang telah menghitung<br />rangkaian detik <br />berpuluh tahun<br />aku serahkan segala<br />pada pesta perlawanan<br />selama ini jiwa remaja<br />setiap detak nafas nyawaku<br />dan kala ini juga diminta<br />aku nyanyikan “bangunlah kaum terhina”<br /><br />Aku kini tiada lagi<br />bersatu dengan bumi tanah air tercinta<br />tapi lagu aku tamatkan<br />bersama bintang seminar kelam<br />dengan debar jantung terakhir<br />yang melihat fajar bersinar<br />kelahiran tunas penyambung keremajaanku.<br /><br />Sebutkan segala penjara<br />dan itu adalah aku<br />tapi sebutkan juga kesetiaan<br />kegairahan dan kepahlawanan<br />itulah aku!</span><br /><br />Sajak ini ditulisnya pada 1954. Saya suka sajak ini. Banyak orang lain juga mengaguminya. Saat teman-temannya dipenjara, sajak ini pula yang memberi mereka semangat.<br /><br />Bapak telah pulang, tapi semangatnya akan tetap di hati siapapun yang mengenalnya.*<br /></span><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-2618065888746641232007-01-30T07:25:00.000-08:002009-02-22T21:53:47.285-08:00PulangKABAR itu datang tiba-tiba: bapak sakit. Mama, putri satu-satunya bapak, memberitahuku sambil terisak. Sakit paru-paru bapak kambuh lagi. Nafasnya tersengal-sengal. Saya mendengarkannya dengan takzim sambil berusaha menghiburnya dengan kata-kata sederhana: “Bapak masih kuat, dan dia masih ingin mengobrol dengan nanda.” <br /><br />Saya berada di Langsa, Aceh Timur, saat itu. Ada satu pekerjaan yang harus kuselesaikan. Sejauh itu, saya memang percaya bapak masih kuat. Sekalipun usianya sudah 82 tahun. Semangatnya masih tinggi. Ada cita-citanya yang juga belum tercapai: mensarjanakan masyarakat Indonesia. Itu bukan cita-cita di awang-awang semata. Hampir separuh hidupnya dibaktikannya untuk tujuan mulia itu.<span class="fullpost"><br /><br />Mama masih terus berkirim kabar soal kesehatan bapak, sementara mobil yang saya tumpangi terus melaju: transit di Medan, berjalan lagi ke Aceh Selatan, Meulaboh, hingga kembali ke Banda Aceh. Kata mama, bapak tak mau dibawa ke rumah sakit. Takut jika di jalan kesehatannya makin memburuk. <br /><br />Butuh waktu tiga hari untuk meyakinkan bapak hingga akhirnya pada hari Minggu dia mau dibawa ke rumah sakit. Saya sudah berada di taksi menuju bandara ketika mobil ambulan rumah sakit yang membawa bapak meluncur ke Jakarta. Saya lega. <br /><br />Lalu mama menelpon, lalu menelpon lagi karena bapak ingin bicara. Suaranya masih penuh energi. Kuat dan pasti. Pesan bapak masih sama seperti pesan yang selalu dia sampaikan setiap kali saya datang ke rumahnya di Hanjawar, Cianjur. Begitu pun ketika saya menengoknya di rumah sakit keesokan harinya.<br /><br />Bapak sedang duduk di kursi, hal yang sebenarnya tak diperbolehkan dokter. Mungkin dia capek tergeletak terus di ranjang rumahsakit. Di sofa, ada keluarga Pramoedya Ananta Toer, penulis novel Tetralogi Bumi Manusia: Maimunah, istri Pram, dan Mbak Titi, anaknya. Komariyah, istri bapak, menemani mereka mengobrol.<br /><br />Saya menjabat dan mencium tangannya sambil membisikkan nama saya di telinga kirinya. Lalu saya duduk di sofa yang bersebelahan dengan kursi bapak. Saya memijit tangannya, pelan.<br /><br />”Ini siapa?”<br /><br />Saya menjawab.<br /><br />”Ini siapa?” Senyum mengembang di mulut bapak.<br /><br />Saya tersenyum. Bapak masih suka bercanda. Ibu mendekat dan mengucapkan nama saya agak keras di telinga bapak. Lalu bapak diam sejenak.<br /><br />”Kamu bisa tidak mengorganisasi wartawan, seniman, para mahasiswa. Bikin kelompok diskusi, membicarakan persoalan masyarakat.” Bapak mulai bicara.<br /><br />”Kalau tidak bisa, berarti kamu sudah menjadi benalu!” Suaranya kencang. Posisi duduknya bergeser ke depan. Kedua kakinya yang semula bertumpu di kursi lain, diturunkan ke lantai. Tangannya menunjuk-nunjuk. ”Tapi ingat, kamu mau tahu atau tidak mau tahu, ikut atau tidak, hukum pantare itu akan terus berjalan. Sudah pasti terjadi.”<br /><br />Ah bapak, selalu berapi-api ketika bercerita.<br /><br />Lalu meluncurlah ceritanya tentang China, Venezuela, Bolivia, Argentina, dan sederet nama negara di Amerika Latin lainnya yang sedang bergerak menuju masyarakat sosialis. Dia kelihatan sangat bersemangat. Sebuah lagu dinyanyikannya dengan suara pasti, dengan tangan mengepal dan mengayunkannya seperti seorang dirigen. Saya tak tahu persis lagu-lagu itu. Terasa asing di telinga.<br /> <br />”Lihat aku nyanyi, aku nyanyi,” dia terkekeh. ”Apa gak edun. Bapak gak bisa nyanyi. Yang penyanyi itu Amir Pasaribu. Bapak mah bukan penyanyi.”<br /><br />Mungkin karena lelah, bapak minta dipindahkan ke atas ranjang. Saya membantu mengangkatnya. Masih dengan posisi duduk, bapak menyanyi lagi. Dua buah lagu meluncur deras, penuh semangat. Hanya satu lagu yang bisa saya tahu: Internationale. Saya senang tapi juga miris, khawatir dengan semangat bapak yang meledak-ledak.<br /><br />Akhirnya, bapak benar-benar lelah. Dia menyandarkan kepalanya ke bantal. Sejenak dia terdiam, seolah teringat kembali pada sakitnya. ”Bapak jadi ingat teman-teman bapak. Semuanya sudah gak ada lagi. Joebar Ajoeb, Henk Ngantung, Bakri Siregar, Basuki Resobowo, Njoto, Pram, ...... Bapak sendirian.” Bapak terdiam. Matanya menerawang ke langit-langit kamar.<br /><br />Semua nama adalah seniman sezamannya, yang sama-sama menggerakkan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan yang pengaruhnya begitu luas di masa Orde Lama. Bapak adalah salah satu pendirinya, dan menjadi Sekjen pertama. Nama Amir Pasaribu tak disebutkan. Pasaribu masih hidup dan kini tinggal di Medan. Sama seperti bapak, dia juga sedang sakit dan pendengarannya terganggu. Dulu, bapak pernah berkolaborasi dengan Pasaribu; bapak membuat liriknya, Pasaribu komposisi musiknya. Beberapa bulan lalu Amir Pasaribu meraih penghargaan Akademi Jakarta untuk bidang musik.<br /> <br />Keluarga Pram hendak pamit pulang. Bapak kelihatan berusaha mencegahnya dengan mencandai mereka.<br /><br />”Ini siapa?”<br /><br />”Pacar bapak...,” ujar Ibu Komariyah. Rupanya sebelum saya datang bapak, sudah mencandai mereka.<br /><br />”Mau ke mana? Di sini saja. Aku kan mertuamu. Aku yang menikahkan kau dengan Pram. Aku walinya.”<br /><br />Maimunah hanya tersenyum. <br /><br />Bapak yang mempengaruhi pemikiran Pram tentang dampak buruk kolonialisme dan banyak hal yang membuat Pram bergabung dengan Lekra. Bapak pula yang memberikan pekerjaan untuk Pram, menerjemahkan novel Maxim Gorky, <span style="font-style:italic;">Ibunda</span>, yang uangnya cukup untuk hidup Pram setelah menikah.<br /><br />Mereka tetap pulang dan berjanji akan datang lagi. Mereka bergantian memeluk bapak. Hangat.<br /><br />Setelah itu saya memilih menyingkir ke beranda belakang. Ada mama di sana. Duduk di kasur lipat dengan wajah kuyu. Mama bercerita sambil menangis. Ratih Purwasih –penyanyi pop, yang sama seperti saya menjadi anak angkat mama– berusaha menenangkan mama. Saya hanya diam, terhanyut dalam suasana ini.<br /><br />Menjelang tengah malam saya pulang sambil berjanji akan datang besok pagi untuk gantian menjaga bapak. Saya lihat bapak berusaha memejamkan matanya. Saya percaya bapak masih kuat. Seperti dulu, di tahun 1950-an, ketika dia menghadapi kondisi yang juga parah.<br /><br /><br />KALA itu bapak menjadi salah seorang ”kabinet pribadi” Bung Karno bersama BM Diah, MS Azhar, Sajuti Melik, Bung Tomo, dan Slamet Sumari (pemimpin redaksi Bintang Timur), untuk membantu persiapan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955. Nama resminya Komite Perdamaian. Karenanya, dia harus bolak-balik. Kadang-kadang di Istana Merdeka, kadang di Istana Bogor.<br /><br />Suatu ketika, 8 Februari 1955, bapak mendapat panggilan dari Bung Karno agar segera ke Istana Bogor. Berangkatlah dia bersama teman-temannya dengan jeep Berita Indonesia. Dalam perjalanan, dia lebih banyak tidur ketimbang teman-temannya. Ketika memasuki daerah Cibarusa, Cibinong, tanpa terelakkan mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah truk di tikungan maut. Semua penumpangnya terlempar. Iren, MS Azhar, Ibrahim Isa, Joebaar Ajoeb, yang sempat melihat kejadian itu pun pingsan. Tak berapa lama mereka sadarkan diri. Tapi bapak, yang selama perjalanan memilih tidur, terlempar dengan posisi kepala dulu yang membentur jalanan yang beraspal. Dia pingsan agak lama, bahkan kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Umum Pusat (dulu bernama CBZ, sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo).<br /><br />Hampir semua rekannya kaget mendengar berita kecelakaan ini. Hendra Gunawan, pematung, yang sedang membikin patung Sudirman, terjatuh. Suhaimi Rakhman, dalam perjalanan dari Jakarta ke Bukit Tinggi, menulis sebuah surat, yang juga catatan perjalanan, dan kemudian diterbitkan di Harian Rakjat, 5 Maret 1955. <br /><br />Bapak koma selama 2 bulan 1 hari. “Kata dokter rumah sakit, ini rekor,” ujar bapak. Dia juga tak bisa melihat kerja kerasnya. Konferensi Asia Afrika berjalan sukses dan menghasilkan sejumlah kesepakatan yang memperkuat solidaritas di kawasan Asia Afrika.<br /><br />Pada 14 April, kesehatan bapak membaik dan diizinkan meninggalkan rumah sakit. Dan dia tak perlu membayar biaya pengobatan. Menurut petugas administrasi, Bung Karno sudah membayar semuanya. Untuk memulihkan kondisinya, bapak beristirahat di pegunungan. Di sana bapak sempat menciptakan sebuah puisi berjudul “Harapan”:<br /><br /><span style="font-style:italic;">Sunyi menyutera irama kenyenyakan<br />Kawan-kawan sekitar dalam rawatan<br />Masih jauh pagi bersemi<br />Malam makin memesra hati <br />Penuh harapan<br /><br />Terpahat tegak dalam kandungan dada<br />Segala tanda kasih kawan-kawan diluar<br />Aku ini bukan sampah terbuang<br />Sebagian granit samudera massa<br />Intan fajar memerah.<br /><br />Klara Akustia<br />(RSUP, hari akan istirahat)</span><br /><br />Puisi ini dimuat di <span style="font-style:italic;">Harian Rakjat</span>, 14 Mei 1955, dan kelak masuk dalam kumpulan puisi bapak: <span style="font-style:italic;">Rangsang Detik</span>, yang diterbitkan Jajasan Pembaharuan pada 1957.<br /><br />Ketika kesehatannya pulih, bapak kembali menjalani aktivitasnya, sebagai anggota Konstituante dan Sekretaris Jenderal Lekra. Tentu juga sebagai penyair, redaktur Zaman Baru, kritikus sastra.<br /><br />Bapak sudah bercengkerama dengan maut. Tapi Tuhan masih memberikannya waktu. Masih banyak yang mesti dikerjakannya. Juga sekarang, ketika bapak tergeletak di Rumah Sakit UKI, Cawang.<br /><br />”Bapak tak tahan di sini. Tak bisa kerja,” ujarnya lirih. Nafasnya masih tersengal-sengal, seolah oksigen di dunia ini sudah menipis.<br /><br />Kerja, bagi bapak, adalah aktivitas yang membawa nikmat. Di masa remajanya dia ikut bersama teman-teman seusianya, keluar masuk hutan, bertempur melawan musuh. Di masa merdeka sepenuhnya, dengan sepeda kumbang, bapak tak bosan-bosannya menyambangi satu tempat ke tempat lainnya. Begitu banyak aktivitasnya: seorang penyair, kritikus sastra, wartawan, politikus, aktivis serikat buruh.... Mungkin itu pula yang membuat paru-parunya jadi bermasalah –meski mungkin juga menjadi bawaan lahir.<br /><br />Sudah sejak lama bapak mengidap penyakit ini. Tak jelas sejak kapan bapak mulai merasakannya. Tapi menurut bapak, dia pernah berobat ke Medical Hall di Peking di zaman Mao Tse-Tung. Saya tak tahu istilah kedokterannya. Yang jelas, paru-paru bapak diberi benteng di sekelilingnya agar terlindungi dan masalahnya tak menjalar ke mana-mana. Tim dokter di Peking menyarankan agar sepuluh tahun kemudian bapak kembali untuk memeriksa ulang benteng tersebut.<br /><br />Tapi kenyataan berbicara lain. Niat kembali ke Peking jadi tertunda. Peristiwa 30 September 1965, menutup rapat kesempatan tersebut. Mungkin faktor itu menjadi salah satu pemicu paru-parunya sering bermasalah.<br /><br />Sekitar tahun 1992, penyakit ini pernah kambuh. Bapak segera mendapat perawatan di rumah sakit di Cianjur selama kurang lebih 10 hari. Dia ditangani oleh Dr Hudaya. Setelah sembuh, bahkan hingga sekarang, bapak lebih suka diperiksa oleh Dr Erwin Peetosutan, dokter yang berpraktik di RS MMC Jakarta. Alasannya jelas, dari sekian dokter yang ditemui bapak, hanya Dr Erwin yang memahami bagaimana cara menangani paru-paru bapak yang pernah ditangani dokter-dokter di Peking. Biasanya dua atau tiga bulan sekali bapak menemui Dr Erwin.<br /><br />Selama saya berkunjung ke Cianjur, saya melihat tak ada masalah dengan paru-parunya. Bapak juga tak pernah mengeluhkannya. Tapi bapak masih rajin mengonsumsi obat. “Lihat ini aku sudah putus asa. Masak mesti minum obat ini sampai Agustus,” ujar bapak suatu ketika sambil menunjuk kapsul-kapsul dalam kotak plastik. Obat ini baru dikirim dari Hongkong, dan dibawa mama ke Cianjur. <br /><br />Merasa lebih baik setelah ditangani Dr Erwin, lengahlah dia. Jadwal rutin memeriksakan kesehatan terabaikan. Sampai kejadian terburuk ini terjadi. Sakit paru-paru bapak kumat lagi. Jantung bapak juga terkena imbasnya: membengkak.<br /><br />Nasi sudah jadi bubur. Paru-paru bapak sedang berusaha keras memasok oksigen. Selang infus tertancap di lengannya. Lengan lainnya sudah lebam kena tancapan jarum infus. Selang berwarna hijau mengalirkan oksigen lewat dua rongga hidungnya. Tabung oksigen cukup meringankan kerja paru-parunya, tapi juga tak bisa terus-menerus. Oksigen adalah racun, begitu kata Dr Joen, teman mama. Ia juga tak boleh terlalu banyak, tak baik jika melewati ambang batas 2. <br /><br />Ya, nasih sudah menjadi bubur. Sekarang kesalahan ini harus ditebus, dengan menjaga dan merawat bapak sebaik-baiknya. <br /><br />”Saya merasa prihatin dengan sakit yang dideritanya. Andaikata memungkinkan, ingin kuberikan saja paru-paruku kepadanya agar bapak bisa kembali sehat dan meneruskan segala pekerjaannya yang tertunda. Bagiku bapak lebih berarti daripada diriku sendiri,” ujar mama.<br /><br />Saya percaya. Mama sudah mengatakannya berkali-kali. Mama pula yang menunjukkan perhatian selama bapak sakit.<br /><br />”Ada rasa takut yang menghujam hatiku yang paling dalam; andaikata sesuatu yang lebih buruk terjadii, apa yang harus aku lakukan? Terus terang aku tak siap menghadapinya. Aku belum mampu membahagiakan bapak. Apalagi kalau aku teringat apa yang dikatakan Mang Atun (Ramadhan KH) agar aku menjaga bapak dengan baik.”<br /><br />Dan malam itu mama harus ekstrakeras menjaga bapak. Bapak mengeluh. Dia tak bisa tidur. Mata begitu berat tapi nafasnya tersengal. Dia terus mengaduh.<br /><br /><br />SEHARIAN itu dia sudah terlalu banyak bicara. Setiap kali ada teman datang, tak bosan-bosannya dia bercerita. Saya baru tahu belakangan bahwa kondisi itu tak bagus bagi pemulihan kesehatannya. Tak boleh terlalu banyak bicara, tak boleh terlalu bersemangat. Tangis keluarga dan tawa kegembiraan sang bapak juga bisa membuat tensi darahnya melonjak. <br /><br />Benar saja. Keesokan harinya bapak masuk ruang perawatan intensif (Intensive Care Unit atau ICU). Dalam istilah kedokteran, ini juga kata Dr June Luhulima, keluarga dinilai gagal menjaga dan merawat bapak. Tapi memang tak mudah menangani bapak. Kadang rewel, suka mencari perhatian. Tapi juga bandel. Bahkan kata-kata dokter tak harus diturutinya. Suster-suster di rumah sakit sudah tahu tabiat bapak. Dokter yang menangani bapak juga harus sabar mendengar omongan bapak tiap kali memeriksa.<br /><br />Saya datang ke rumah sakit siang hari. Tapi bapak tak bisa dijenguk. Hanya ada waktu satu jam ketika magrib. Tak lama kemudian datang kawan-kawan bapak. Putu Oka, Amrus Natalsya, dan kawan-kawan lainnya. Keluarga memberi mereka kesempatan pertama memasuki ruang ICU begitu jam jenguk tiba. Dari pintu masuk ruangan, saya melihat bapak senang. Suaranya keras. Kadang tertawa.<br /><br />Lalu kami berganti masuk. Saya melihat saja, berharap bapak tak mengajak saya bercerita. Takut bapak tak mau berhenti bicara. Pamela, anak pertama mama, sedang mengajaknya berbicara dalam bahasa Sunda. Bapak terkekeh-kekeh. Pengunjung lain melihat kami dengan tersenyum. Tapi waktu akan segera berakhir. Saya yakin bapak akan kembali tersiksa, dijauhkan dari keluarga.”Ruangan yang tak berperikemanusiaan,” begitulah istilah bapak.<br /><br />Kami mengambil kapling di depan loket. Biasanya suster akan memanggil keluarga pasien dari loket ini, kemudian memberikan resep dokter. Ketika obat sudah di tangan, orang tersebut akan membunyikan bel agar si suster mengambil obat tersebut melalui loket. Tapi hari sudah malam. Aktivitas itu bisa dipastikan akan jauh berkurang. Di sinilah kami menggelar kasur dan meletakkan semua peralatan yang dibutuhkan.<br /><br />Malam itu saya memutuskan menjaga bapak dari luar. Saya membawa laptop, sehingga bisa mengerjakan sesuatu. Yang lainnya tidur. Sesekali mama terbangun, menuju pintu ruang ICU, lalu merebahkan badan agar bisa mengintip bapak dari celah yang sempit.<br /><br />Di sana bapak hanya sehari. Masa krisis berlalu dan dia bisa meninggalkan ruang ICU. Kami kembali menempati kamar VIP.<br /><br />Tapi kondisi bapak sudah menurun, tidak sebaik ketika pertama masuk rumah sakit. Nada bicaranya terputus-putus. Setiap kali saya datang di malam hari, saya langsung menuju beranda belakang. Bersama mama dan Ratih. Ibu Komariyah, Pamela dan Alam (dua anak mama) tidur di dalam ruangan. Sesekali saya mengintip dari jendela ketika terdengar suara eluhan atau erangan.<br /><br />”Anfal, anfal.... Aduh!.” Selalu begitu ketika bapak hendak buang air kecil. Mungkin bapak merasa kesakitan.<br /><br />Sesekali bapak mengganti kata ”anfal” itu dengan ”ampun” atau ”attack”.<br /><br />Meski belum sembuh, bapak ingin pulang. Sudah beberapa kali dia mengatakannya. Tak ada yang bisa menahannya terlalu lama. Dengan seizin dokter, bapak akhirnya diizinkan pulang. Semua keperluan bapak dipersiapkan. Tabung oksigen sudah dipesan. Juga mobil ambulan yang akan mengantarkan bapak pulang. Pulang memang konsep yang penuh magis, seperti pernah dikatakan Umar Kayam. Pulang berarti masuk kembali ke jagad lama yang sudah sangat bapak kenal: rumah, sejumput kenangan masa kecil, entah apa lagi.<br /><br />Saya tak bisa mengantarnya pulang. Tapi saya berharap bapak akan segera sehat dan kembali berdiskusi dengan saya.<br /><br />”Budi, kamu harus tegar. Tabah. Dalam perjuangan selalu dibutuhkan ketabahan.” Suara bapak lirih.<br /><br />”Iya, Pak.” Saya mengatakannya sambil mendekatkan bibir saya di telinganya. ”Yang penting bapak sehat dulu, biar bisa ngobrol lagi sama Budi.”<br /><br />Bapak mengangguk pelan. Matanya terpejam. Saya undur diri.<br /><br />Malam itu, mama mengirim pesan pendek. Kami sudah sampai di rumah. Bapak akhirnya bisa tertidur pulas, bahkan sambil menyunggingkan senyuman. Mungkin bapak senang bisa pulang.* <br /><br /></span><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-74035256903200146392006-11-22T00:16:00.000-08:002013-07-30T07:29:03.563-07:00Tan Boen KimKUDUS, 1918. Pada suatu malam, beberapa saudagar Tionghoa bertemu di Kudus Tua. Mereka membicarakan penyakit influenza yang tengah melanda Kudus dan menewaskan banyak orang di sana. Mereka berdiskusi mengenai bagaimana cara mencegah penyakit tersebut karena upaya yang dilakukan pemerintah tidak begitu berhasil. Penyakit influenza ini –kemudian dikenal dengan sebutan flu Spanyol— juga telah menewaskan puluhan juta orang di seluruh dunia, yang menunjukkan betapa ganasnya penyakit ini. <br />
<br />
Setelah mengobrol kesana-kemari, akhirnya mereka sepakat untuk mengadakan slamatan; sembayangan dan perarakan toapekkong dengan upacara.<span class="fullpost"><br /><br />Tepat pada waktu yang telah ditentukan, acara itu pun digelar. Perarakan pertama berjalan lancar. Begitu pula perarakan kedua dan ketiga yang diadakan beberapa hari kemudian. Penduduk pribumi sepertinya senang mendapatkan hiburan gratis yang meriah. <br /><br />Tapi, perarakan terakhir pada tanggal 30 Oktober, berakhir rusuh. Terjadi keributan kecil akibat ulah beberapa orang pribumi yang menertawakan rombongan perarakan. Tindakan ini dibalas dengan tempelengan oleh orang Tionghoa yang tak bisa menahan amarahnya. Penghinaan balasan juga dilakukan. Suasana jadi memanas, tapi perselisihan itu kemudian bisa dilerai, bahkan dengan kesepakatan damai.<br /><br />Tapi, api telah membakar sekam. Kesepakatan itu tinggallah janji kosong belaka. Perselisihan yang terjadi pada siang hari di dekat menara Kudus itu rupanya membangkitkan dendam lama yang sempat terpendam di hati sebagian penduduk pribumi, terutama pedagang kayanya. Sejak lama, kemajuan usaha rokok dan batik mereka tersendat akibat kalah bersaing dengan pengusaha Tionghoa. Bahkan banyak pekerja pribumi yang pindah ke pengusaha Tionghoa yang mau memberi gaji lebih besar. Dari perselisihan itulah mereka mendapat momentum yang pas untuk melampiaskan dendamnya. Dengan memanfaatkan pengaruh Sarekat Islam (SI), organisasi politik beraliran Islam yang berkembang pesat di masa itu, pemimpin SI cabang Kudus yang kebanyakan haji dan pedagang kaya merencanakan pembalasan dendam. <br /><br />Keesokan harinya, pada suatu malam, mereka mengumpulkan orang-orang dari Demak, Mayong, juga Welahan, yang kemudian disebar dalam kelompok-kelompok di wilayah pecinan, terutama di Kudus Tua. Begitu suara batu berdentangan di atap-atap rumah orang Tionghoa sebagai tanda perintah penyerangan, dimulailah aksi mereka. Rumah-rumah dihujani dengan batu. Pintu dan jendela didobrak. Perabotan diporakporandakan, dan beberapa di antaranya dijarah. Bensin dan minyak tanah disiram, lalu dinyalakan dengan api. Dengan cepat deretan rumah itu terbakar dan menghanguskan isinya. <br /><br />Kepanikan menyelimuti wajah penduduk Tionghoa yang rumahnya menjadi sasaran penyerangan maupun tidak. Mereka berhamburan dari rumah untuk menyelamatkan diri. Sebagian bersembunyi. Nyaris tanpa perlawanan. Bahkan beberapa opas pribumi yang berdatangan untuk meredam kerusuhan mengurungkan niatnya karena jumlahnya kalah banyak. Kerusuhan baru bisa dipadamkan setelah beberapa jam kemudian datang bantuan polisi dari Semarang yang dipimpin komisaris besar Reumpol. Mereka bertindak cepat. Seketika itu juga massa membubarkan diri, dan beberapa di antaranya ditangkap. <br /><br />Tapi ketakutan masih bergelayut di benak orang-orang Tionghoa. Saat itu juga mereka bergerak ke arah Semarang dengan berjalan kaki. Beruntung kemudian datang mobil-mobil bantuan dari Ing Giap Hwe, perkumpulan orang muda Tionghoa di Semarang. Ing Giap Hwe juga menyediakan penginapan dan uang makan selama mereka di Semarang. Untuk keperluan itu, datang pula bantuan dari orang Tionghoa di beberapa tempat, yang kemudian dikumpulkan oleh komite Fonds Koedoes yang didirikan di Semarang, Surabaya, dan Jakarta. <br /><br />Terhadap kerusuhan tersebut, perkumpulan Tionghoa menyesalkan sikap para pejabat setempat karena tidak adanya jaminan keamanan. Dalam sebuah konferensi untuk membicarakan masalah Kudus, yang dihadiri perkumpulan-perkumpulan Tionghoa dari beberapa daerah, diambil keputusan antara lain bahwa masalah tersebut tidak dihubungan dengan politik dalam negeri, mengangkat komisi untuk memprotes dan menekan pemerintah, meminta hukuman yang layak bagi para pelaku, serta melakukan upaya agar orang Tionghoa bisa hidup rukun dengan orang pribumi.<br /><br />SI, terutama pemimpin SI Kudus dan beberapa anggotanya, dianggap terlibat dalam kerusuhan di Kudus ini. SI melalui organ resminya, Oetoesan Hindia yang terbit di Surabaya dan Sinar Hindia (Semarang) membela diri dan menuding orang Tionghoa sebagai pencetusnya. Sebaliknya, perhimpunan Tionghoa menuding SI. Pertikaian politik itu akhirnya bisa reda setelah pada 30 November 1919 terjadi pertemuan yang diprakarsai Tjokroaminoto, pemimpin SI Surabaya, di gedung Tiong Hoa Oen Tong Hwee di Molenvliet, Batavia. <br /><br /><br />KUDUS, 1919. Tan Boen Kim bersama Tjiong Koen Liong, pemilik percetakan Goan Hong & Co. di Betawi, mendatangi Kudus yang telah dilanda kerusuhan rasial anti-Tionghoa. Mereka hendak mencari keterangan lebih jauh tentang kerusuhan tersebut dengan mewawancarai banyak orang di sana. Mereka tak peduli besarnya biaya yang harus ditanggung, asal bisa mendapatkan keterangan dan bahan-bahan penting untuk membuat sebuah buku. Keduanya datang ketika perselisihan antara Sarekat Islam dan perhimpunan Tionghoa sudah rampung. <br /><br />Proses pemeriksaan terhadap terdakwa kerusuhan tersebut masih berlanjut. Enampuluh sembilan orang telah ditangkap dan dipenjara, beberapa di antaranya pemuka agama di Kudus. Selang 15 bulan kemudian, mereka diperiksa di pengadilan. Mereka dijatuhi hukuman antara sembilan bulan sampai limabelas tahun kurungan potong tahanan. Tujuh orang dibebaskan.<br /><br />Berdasarkan wawancara dengan banyak orang, ditambah dengan pemberitaan pers, keterangan polisi, dan proses verbal di pengadilan, Tan Boen Kim menuliskan peristiwa rasial di Kudus itu menjadi sebuh buku berjudul Peroesoehan di Koedoes, yang kemudian diterbitkan percetakan Goan Hong & Co pada 1920. Percetakan Goan Hong & Co. memang biasa menerbitkan ceita-cerita baru dari kejadian sesungguhnya, selain juga menerbitkan rupa-rupa cerita Tionghoa, buku pelajaran, syair, pantun, undang-undang, dan sebagainya.<br /><br />Peroesoehan di Koedoes menjadi catatan sejarah yang penting, yang menggambarkan betapa sentimen rasial sudah hidup lama di negeri ini, bahkan menunjukkan bentuknya dalam beberapa kerusuhan rasial anti-Tionghoa. Kerusuhan rasial seperti api dalam sekam. Dipicu masalah sepele saja kerusuhan itu bisa meletus. Umumnya timbul terutama karena sentimen dagang; orang Tionghoa dipandang sebagai penghalang usaha ekonomi pribumi. Kerusuhan kali pertama terjadi di Solo, yang saat itu menjadi pusat kapital, produksi, dan perdagangan batik. Kemudian menjalar seperti api di beberapa tempat di tanah air; Bangil, Tuban, Rembang, Cirebon, dan Kudus. <br /><br />Di Kudus kerusuhan terjadi pada 31 Oktober 1918. Kejadiannya jauh lebih besar karena meliputi hampir seluruh kota yang disertai pembakaran pecinan, perampokan, dan pembunuhan. Latar belakangnya karena sentimen dagang yang sudah berlangsung lama. Perkembangan perusahaan rokok dan batik milik Tionghoa mengkhawatirkan pengusaha pribumi, terutama yang dikelola para haji. <br /><br />Tan Boen Kim menyadari bahwa sentimen rasial ini sulit untuk dipadamkan. Karena itu dalam pengantar bukunya, Peroesoehan di Koedoes, ia mengingatkan “bagimana bintjana ada deket sekali, djika boeat lakoekan satoe perboeatan orang tida maoe pikir lebih djaoe”. Ia tak ingin sejarah kelam seperti di Kudus tidak terulang lagi.<br /><br /><br />TAN BOEN KIM terbilang penulis produktif di zamannya. Menurut Claudine Salmon dalam Literature In Malay by The Chinese of Indonesia, tidak jelas apakah ia pernah menerima pendidikan formal. Dilahirkan pada 1887, lelaki ini menjadi penulis dan wartawan secara otodidak. Pernah bekerja sebagai jurutulis di sebuah bank, ia mulai menulis untuk Sin Po, tempat ia biasa menyumbangkan karangannya berupa “pidato mingguan” berjudul Zaterdagsch Causerie dengan nama pena Indo China. <br /><br />Ia lalu malang-melintang di dunia jurnalistik. Sekitar tahun 1916 ia diminta untuk memegang jabatan direktur dari harian Thjioen Thjioe yang didirikan di Surabaya pada 1914. Tak lama kemudian ia kembali ke Batavia, dan pada 1917 menjadi editor mingguan Ien Po. Pada 1926, ia tinggal di Palembang selama beberapa bulan, dan bekerja untuk mingguan Kiao Po. Sebagai jurnalis, Tan Boen Kim kritis. Gaya tulisannya penuh sarkasme, sehingga membuat banyak musuhnya tak ragu untuk menggunakan kekerasan untuk melawannya. Ya, ia bahkan dipenjara beberapa kali karenanya. Dalam bahasa Wartawan P.W. dalam Pantja Warna, “Tan Boen Kim kenjang dibatjok dan keluar masuk pendjara”. <br /><br />Novel pertama Tan Boen Kim tampaknya telah dipublikasikan pada 1912. Belakangan ia menulis banyak kisah besar yang didasarkan pada peristiwa aktual atau soeatoe tjerita jang betoel terdjadi pada waktoe jang belon sebrapa lama, seperti perampokan dan pembunuhan. Salah satunya yang terkenal adalah Nona Fientje de Feniks (1915) yang berkisah tentang pembunuhan pelacur terkenal Fientje de Feniks. Novel ini mendapat perhatian banyak orang, sehingga mengalami cetak ulang. Bahkan Tan Boen Kim akhirnya menulis sambungannya; Njai Aisah atawa djadi korban dari rasia (1915) dan G. Brinkman atawa djadi korban dari perboetannja (1915). Kisah Fientje de Feniks ini juga kemudian ia gubah menjadi syair berjudul Sair Nona Fientje de Feniks dan sekalian ia poenja korban jang benar terdjadi di Betawi antara taon 1912-1915. Artinya, Tan Boen Kim juga mulai mencoba menulis syair. Tapi, ia mengaku mengalami kesulitan ketika menulis syair. “Menulis sebuah syair dalam sajak enam baris sungguh urusan amat sulit. Sebuah syair tidak bisa berbicara sebaik sebuah kisah dalam prosa, karena sangat hemat kata. Jika Anda ingin memahaminya lebih jernih, saya menganjurkan –dengan semua respek—agar Anda membaca versi prosanya,” ujarnya.<br /><br />Tan Boen Kim menulis kerusuhan anti-Tionghoa seperti Peroesoehan di Koedoes yang menggambarkan masalah di Kudus pada 1918 ketika perusahaan-perusahaan rokok dan batik milik Tionghoa mengkhawatirkan dan berkompetisi dengan pengusaha santri. Kebanyakan novelnya memang berkisah mengenai masyarakat Tionghoa Peranakan dengan mengambil setting Indonesia. <br /><br />Ketertarikannya pada negara China mendorongnya untuk menerjemahkan beberapa novel, bahkan menulis biografi Sun Yat Sen. Perlu disebutkan pula koleksi pidatonya Tan Boen Kim’s Pridato yang memberikan bermacam keadaan yang muncul pada 1929. Buku ini dicetak ulang pada 1931 yang juga berisi pidato tokoh nasionalis Indonesia seperti Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Hatta, dan sebagainya. Pada akhir hidupnya dia tertarik astrologi, dan menerbitkan beberapa buku tentang topik tersebut. <br /><br />Tan Boen Kim menjalani tahun-tahun terakhir hidupnya dengan kemelaratan; tinggal di dalam sebuah ruangan Jinde yuan, satu dari kelenteng Tionghoa tertua di Kota, Jakarta, hingga meninggal pada 1959. <br /><br />Saya terkenang Tan Boen Kim setelah menemukan karyanya di atas tumpukan buku dan makalah yang berceceran. Saya senang Tan Boen Kim telah mencatatkan peristiwa rasial anti-Tionghoa di Kudus agar bisa dijadikan pelajaran. Membaca Peroesoehan di Koedoes, bagi saya, seperti membaca sebuah novel yang penuh detil. Ini tak lepas dari kemauannya untuk datang ke lokasi kejadian untuk melihat langsung dampak kerusuhan, mencari data dan wawancara. Tan Boen lalu Kim menuliskannya dengan gaya bertutur sehingga enak dibaca. Ketegangan, kecemasan, kepedihan, dan konflik bergulir dalam jalinan cerita yang rapi dan terjaga.<br /><br />Sayangnya, penulis hanya mengulas latar belakang peristiwa dari kacamata ekonomi. Aspek politis atau kekuasaan tidak disinggung sedikit pun kecuali faktor keamanan yang kurang memadai dan faktor ekonomi. Dan tentu saja ada bias penulisan di sana-sini karena latar belakang penulisnya sebagai orang Tionghoa, pihak yang menjadi korban dari peristiwa itu –meski ini juga bisa menjadi sebuah kelebihan.<br /><br />Tapi, saya juga sedih ketika sadar bahwa apa yang diharapkan penulisnya tak terwujud. Peristiwa rasial kembali meletus di Indonesia, tepatnya Mei 1998. Saat itu di beberapa tempat, terutama Jakarta dan Solo, puluhan rumah dan toko milik orang Tionghoa dirusak, dibakar, dijarah isinya. Kabarnya beberapa gadis diperkosa. Sejarah pun kembali mencatat: untuk kali kesekian, kerusuhan rasial anti-Tionghoa terjadi di Indonesia. <br /><br />Seandainya masih hidup, Tan Boen Kim mungkin merasakan kepedihan yang sama, dan mungkin pula mencatatkan kembali peristiwa kelam tersebut.*</span><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-14726854.post-47604675946810306292006-10-04T07:49:00.000-07:002009-02-22T21:57:30.685-08:00Isi Perut dan JiwaINI hari berat baginya. Di tengah malam, tanggal 31 Mei 1945, ia masih tak bisa memejamkan matanya. Ia bahkan menangis. Besok, ia mendapat giliran berpidato di hadapan anggota sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) –lembaga bikinan pemerintah militer Jepang pada Maret 1945. Ia berpikir keras tapi tak juga ilham itu datang. <br /><br />Ia keluar rumah. Langit terang. Kepalanya menengadah ke langit yang bertaburkan bintang. Ia berdoa, meminta petunjuk-Nya.<span class="fullpost"><br /><br />”Ya Allah ya Rabbi, berikanlah kepadaku ilham. Indonesia yang akan menjadi negara merdeka ini, harus berdasarkan atas dasar apa? Supaya Indonesia ini kompak, tetap bersatu, bangsa Indonesia ini tetap kompak bersatu, tidak terpecah belah.”<br /><br />Lalu ia kembali ke dalam rumah, dan beranjak tidur. Keesokan harinya, 1 Juni, tiba-tiba ia mendapatkan ilham, dan ide itulah yang ia sampaikan di depan BPUPKI. Isinya tentang ”dasar-dasar yang nanti di atasnya negara Republik Indonesia akan diletakkan.” Atas petunjuk seorang teman ahli bahasa, diberinya nama Pancasila: lima sila, yang masing-masing tidak bisa dipisahkan. Lima menjadi satu, satu-kesatuan, panca-pancaning atunggal.<br /><br />Pancasila tidak mendasarkan diri hanya pada satu agama atau kepercayaan, kepentingan golongan, maupun ideologi yang dianut. Mantra keberagaman tertera jelas dalam semboyan “bhinneka tunggal ika”. Pancasila mengakomodasi faham demokrasi, yang intisarinya diambil dari sistem yang sudah berurat-berakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia (musyawarah). Dengan faham ini, sistem perwakilan (bukan sistem kerajaan yang absolut) mewujud dalam alam demokrasi di Indonesia. Terakhir, keadilan bagi seluruh rakyat. <br /><br />“Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi,” ujar Soekarno dalan pidato Lahirnya Pancasila.<br /><br />Nilai sosial terpenting dari Pancasila adalah toleransi. Dengan Pancasila, Soekarno berhasil meyakinkan kaum nasionalis sekuler, baik yang beragama Islam maupun tidak, bahwa negara baru ini tidak akan memprioritaskan Islam di atas lainnya. Meski, sejak itu, Pancasila menjadi bagian tak terpisahkan dari perdebatan politis dan ideologis.<br /><br />Dalam perjalanannya, Pancasila belum teruji sebagai bagian dari jiwa dan semangat manusia Indonesia. Sejak Soekarno hingga sekarang, Pancasila hanyalah semboyan tanpa makna. Selalu disebut tapi tak ada perwujudan yang jelas. Terlebih di masa Orde Baru, Pancasila menjadi bagian dari upaya pemerintah memberangus ideologi lainnya. Pemerintah membuat penafsiran tunggal. Semua warga wajib mengikuti penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Dari dulu sampai sekarang, korupsi merejalela. Konflik daerah tak kunjung padam. Kemiskinan. Diskriminasi. Lalu orang menyatakan perlunya revitalisasi Pancasila. <br /><br />Saya sendiri tak tahu kapan keberadaan Pancasila pernah dianggap tak vital. Ketika ia lahir, tentu ia sangat vital untuk, mengutip pidato Soekarno, ”dasar-dasar yang nanti di atasnya negara Republik Indonesia akan diletakkan.” Sebuah bayi akan lahir, dan ia butuh pijakan, bahkan tempat berpijak. Ketika Orde Baru berdiri, Pancasila menjadi vital, bahkan membuktikan ”kesaktiannya” terhadap masuknya ideologi lain yang berusaha merongrong keutuhan bangsa dan negara –begitulah jargon pemerintah. Sampai saat ini pun Pancasila masih dianggap penting, meski hanya sebagai penghias bibir para pejabat pemerintah. Tapi apakah Pancasila sudah menyatu dalam jiwa dan dalam setiap langkah, itu tampaknya menjadi persoalan. <br /><br />Iseng-iseng, saya bertanya pada sejumlah orang tentang apa Pancasila itu masih penting di zaman ini. Umumnya terdiam sejenak dan berusaha menimbang. Ada juga yang hanya tersenyum, mungkin tersipu malu. Tapi ada pula yang langsung menjawab.<br /><br />”Pancasila masih penting agar rakyat Indonesia bersatu.”<br /><br />”Penting kalau dilaksanakan, bukan cuma omongan.”<br /><br />”Jangan tanyakan ke saya. Tanyalah ke para pejabat, konglomerat-konglomerat ..., karena merekalah yang justru tidak memahami dan menjalankan Pancasila dengan benar.”<br /><br />Yang agak ekstrem adalah jawaban ini: ”Pancasila tak bikin kenyang. Kalau sekarang yang lebih penting adalah bisa makan.”<br /><br />Kesusahan hidup sudah menjadi gambaran Indonesia kini. Barang-barang kebutuhan hidup melambung. Lapangan pekerjaan susah didapat. Jawaban pragmatis akhirnya menjadi pilihan. Seandainya Soekarno masih hidup, mungkin ia akan sedih melihat kondisi ini. Sedih karena rakyat Indonesia ternyata belum beranjak dari kemiskinan, padahal kemerdekaan sudah lama teraih. Dulu di masanya, ia juga tak mampu menangani persoalan pangan ini. Bahkan seribu dewa dari khayangan tak mampu menyelesaikan masalah ini dalam satu malam. Lalu, ia juga sedih karena rakyatnya hanya memikirkan makan tok! <br /><br />”Saya tidak mau membangun satu bangsa Indonesia yang memikirkan pangan saja. Saya tidak mau membangun satu bangsa Indonesia yang mau mikir isi perut saja. Tidak. Saya membangun bangsa Indonesia ... yang memperhatikan isi perut tetapi juga memperhatikan isi jiwa,” ujar Soekarno dalam pidato di depan anggota Ikatan Pembela Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Paduan Suara Gelora Pancasila (Medan), 25 Juni 1966.<br /><br />Isi perut dan isi jiwa adalah sama penting. Menyelesaikan persoalan kemiskinan menjadi agenda pemerintah yang harus diselesaikan dengan cepat. Di sisi lain, sebagai makanan jiwa, revitalisasi Pancasila juga sangat urgen dan mendesak. Persoalan yang dihadapai bangsa ini sudah begitu akut. Semua orang seolah kehilangan pegangan dan tak punya tujuan. Pancasila penting terutama untuk menunjukkan bahwa bangsa Indonesia punya satu sejarah dan satu tujuan.<br /><br />Itu bisa dimulai dengan menjadikan dasar negara ini kembali sebagai wacana publik. Masyarakat perlu diingatkan bahwa Pancasila masih ada dan masih dibutuhkan bagi negara-bangsa Indonesia. Sarananya bisa melalui pendidikan, tanpa harus mengikuti jejak indoktrinasi di masa lalu. Ada penataran P4, ada pelajaran Pendidikan Moral Pancasila yang mengharuskan kita hafal Pancasila, butir-butir nilai P4, UUD 1945, bahkan nama-nama menteri. Ada kewajiban menonton film-film sejarah. Masih banyak lagi. Ketika kuliah, ada mata kuliah kewiraan, filsafat Pancasila, dan seterusnya. Harus ada penjabaran dan langkah-langkah yang lebih kongret untuk mewujudkan upaya revitalisasi ini.<br /><br />Apakah Pancasila sudah bersemayam di dalam hati kita? Tak mudah menjawabnya. Mungkin tidak, karena di dalam hati ini masih penuh gejolak, masih dipenuhi oleh tantangan dan persoalan hidup. Mungkin iya, karena ia sudah merasuk dan menggerakkan, sadar atau tidak, setiap gerak dan langkah kita. Selama dua tahun ini saya bikin dan ikut upacara bendera di lingkungan rumah, saya masih merasakan getaran lembut di dada kala mendengarkan pembacaan Pancasila. <br /><br />Tapi sekarang saya sudah memutuskan menarik sebuah buku saku yang selama ini terselip dan terbengkalai di rak buku. Saya membelinya di pinggir jalan dari penjual buku loakan. Harganya sangat murah. Tebalnya 64 halaman. Isinya tentang UUD 1945 dengan penjelasannya, hasil amandemen, Piagam Jakarta, nama-nama menteri, dan –yang ini sungguh saya tak ingat lagi– 45 butir nilai P4. Berulang-ulang saya baca, karena untuk menghafal lagi seperti di masa sekolah menengah terasa berat. <br /><br />Saya baca lagi, lalu merenungkan isinya dalam hati: apakah saya sudah menghayati dan mengamalkan Pancasila? Apakah Pancasila sudah menjadi kebutuhan dan makanan jiwa saya, ataukan selama ini saya masih hanya memikirkan isi perut saja?*<br /><br /></span><div class="blogger-post-footer"><a href="<$BlogItemPermalinkURL$>" title="permanent link">#</a></div>BUDI SETIYONOhttp://www.blogger.com/profile/13308223316273395441noreply@blogger.com1