Monday, October 01, 2001

Ngak Ngik Ngok

RUMAH keluarga Koeswojo lengang. Di sebuah rumah kayu yang menjorok ke kanan dari pintu gerbang, dua orang laki-laki sibuk dengan aktivitas masing-masing. Djon membaca koran, sedang Yok sibuk mengikir batu akik. Sesekali dua pria yang rambutnya memutih di sana-sini itu bercakap-cakap.

Rumah kayu yang tertembus pohon belimbing wuluh yang sedang berbuah itu terasa sesak. Ada dua batu granit bulat-tinggi dan satu pahatan kayu berbentuk babi. Gong besar dan kecil tergantung di samping kanan. Burung kayu yang bergoyang-goyang tertiup angin tergantung di langit-langit. Di dindingnya terpajang wayang kulit, dan hiasan batu dan kayu kecil-kecil di sisi lainnya. Ada juga rak kayu.

Djon duduk di satu dari empat kursi kayu dengan jok pilinan bambu. Yok duduk di kursi lipat, membelakangi Djon, menghadap gerinda yang ditempatkan di sebuah meja kecil. “Saya punya hobi batu akik sejak kecil. Jika menemukan batu bagus, ya diambil,” ujar Yok sambil mengikir.

Di sebuah rak panjang, batu-batu belum dikikir berserakan. Di bawahnya, di dekat pohon mangga, beberapa batu terendam air dalam mangkuk-mangkuk plastik. Di dekatnya ada sikat, gayung, dan batu asah.

“Kalau saja tak ada sidang istimewa, saya sudah jalan-jalan ke desa-desa. Urun rembug sambil melihat-lihat pemandangan dan memancing.”

Yok anak lelaki terakhir di keluarga Koeswojo. Dia menyelesaikan sekolahnya di SMA Triguna, Jakarta. Memancing adalah hobi lamanya. Berburu sudah lama dia tinggalkan karena berkurangnya refleks tangan. Hewan piaraannya seperti ular, kura-kura, kasuari, merak, dan burung sudah tak ada lagi.

Yok menyalakan korek api berbentuk peluru, salah satu koleksinya, kemudian mendekatkan api pada rokoknya. Yok kemudian meneruskan kikirannya. Sesekali dia berhenti untuk melihat hasilnya sembari menghisap rokok.

“Ya begini, Mas, daripada mikirin negara, bikin pusing, mendingan ngikir batu akik, bisa bikin hati senang,” ujar Yok yang mengenakan baju dan celana klaso berwarna putih. Katanya, itu sebagai bentuk protesnya terhadap kondisi negara yang tak karuan. “Kami dulu mengingatkannya lewat lagu, tapi tak juga mau berubah. Kepala batu.”

Agak sulit menemui laki-laki ini. Kali ini pun dia mau karena didesak Djon, kakaknya.

“Saya ini orangnya susah, tergantung mood. Kalau mau kumpul ya kumpul. Diminta rekaman, kalau lagi malas, saya enggak mau. Soal sehari-hari juga tak begitu pusing-pusing. Kadang ada yang kasih (uang), atau dapat royalti kalau lagu saya dipakai. Saya tak ingin manggung. Lagu banyak. Idenya dari mana-mana. Kalau ada yang mau merekam ya rekam,” ujar Yok.

Yok pindah ke kursi kayu.

“Begini saja, Mas. Kalau Anda punya jalan, tolong Kakangku ini juga bisa menulis, tulisannya banyak, tolong dicarikan hubungan yang baik agar bisa dirilis. Karena Mas Djon ini juga perlu sandang-pangan.”

“Tapi isinya umum,” Djon menyela.

“Ya terserah, yang jelas Anda kan suka nulis.”

“Nulis, filsafat dan umum.”

“Tujuannya kan biar bisa dibaca. Wong di pasar itu juga ada dodolan (jualan). Sampeyan dodolan atau tidak?”

“Dodolan. Tapi dodolan itu kan ada misinya.”

Djon, anak pertama Koeswojo, terakhir bekerja di Pembangunan Perumahan sebagai astimeter dan quality surveyer. Kemudian keluar untuk membantu pembangunan studio milik adik-adiknya. Sempat pula beternak ikan, ayam broiler, dan babi. Keseharian Djon diisi dengan membaca, menulis, dan berselancar di dunia maya.

“Saya masih mencari penerbit untuk buku saya,” ujar lelaki beruban yang memakai baju lurik putih-biru yang dibiarkan tak terkancing dengan kaos oblong di dalamnya. Jins warna krem membalut kakinya.

Yok kembali ke kursinya, mengikir batu akik berwarna putih. Djon kemudian lebih banyak bicara, meski kemudian berkali-kali dipotong Yok. Sebuah alat perekam yang sudah dia persiapkan tergeletak di atas meja. Dia mau ikut merekam pembicaraan ini.


“KAMI ini anak seorang pensiunan camat di Tuban. Karena bapak bekerja sama dengan Belanda, lalu dicap kooperator. Walaupun kooperator tapi usaha bapak untuk menyokong perjuangan di hutan tak pernah kurang. Ya kirim makan, ya kirim pakaian. Itu Mas Yok sendiri pernah kirim senjata. Saya juga pernah kirim mesin tulis, kacamata hitam, ya permintaan para gerilyawan,” ujar Djon.

“Ya kirim apa saja,” sela Yok.

“Untung hanya satu tahun.”

Koeswojo senior yang berperawakan kecil dan kurus bekerja sebagai pegawai pangreh praja di Tuban, sebuah kota kecil di pesisir pantai utara Jawa Timur, setamat dari sekolah menengah Meer Uitgebreid Lager Ondrewijs (MULO). Sebelumnya dia sempat menjabat asisten wedana di Babad. Uang yang dipakai untuk mengirimkan kebutuhan gerilyawan diperolehnya dari mark up anggaran proyek pemerintah kolonial.

Perkawinannya dengan Atmini dikarunia sembilan anak. Putri pertama, Soemartijah (Tituk), meninggal semasih bayi. Delapan lainnya: Koesdjono (Djon), Koesdini (Dien), Koestono (Tony), Koesnomo (Nomo), Koesjono (Yon), Koesrojo (Yok), Koestami (Miyiek), dan Koesmurni (Nienuk). Keluarga besar ini tinggal di rumah dinas yang sederhana di Jalan Soekohardjo 44. Halamannya yang luas ditumbuhi pohon jambu, mangga, dan asam. Sumur terletak di halaman rumah. Begitu juga kakus, meski agak menjauh.

Sebagai priyayi, Koeswojo kaku, formal, dan menerapkan perilaku dan tata krama priyayi dalam keluarga. Dia ingin anak-anaknya menjadi sarjana, sehingga bisa dibanggakan kepada kolega-koleganya. Dia tak terbiasa bercanda, agak temperamental, dan berbicara seperlunya. Tak jarang dia menghukum anaknya yang nakal dengan melayangkan gagang sapu ke punggung, menguncinya di kakus, atau menyuruh anaknya duduk bersila hingga sore hari.

Pernah suatu hari, sepulang dari kantor, Koeswojo menerima laporan perkelahian anak-anaknya. Dia menyuruh anak-anaknya duduk bersila, sementara dia membaca koran. Mereka menurut dan hanya bisa diam sampai hukuman itu berakhir. Acapkali Miyiek menggoda kakak-kakaknya sambil mengunyah makanan kecil. Seringkali Atmini harus membela anak-anaknya, yang menyulutkan pertengkaran dengan Koeswojo. Atmini berasal dari keluarga kebanyakan. Dia wanita Jawa yang sederhana, lemah lembut, dan penyabar.

Koeswojo hobi bermusik. Dia mahir memainkan gitar dan mandau, serta gemar menyanyikan lagu-lagu Hawaiian. Ketika menjadi pegawai pangreh praja, Koeswojo bersama teman-temannya, guru-guru Hollands Inlanders Schools, punya perkumpulan musik bernama Tuban Bond yang biasa main di societeit (gedung pertemuan). Tapi dia tak ingin anaknya jadi seniman karena kehidupan seniman yang pas-pasan.

Kehidupan keluarga Koeswojo tak bisa dibilang berkecukupan. Anak-anaknya berangkat ke sekolah bertelanjang kaki. Untuk meringankan beban ekonomi keluarga, Atmini berbisnis kayu. Dia biasa memborong kayu jati, yang kemudian ditumpuk di bawah pohon mangga. Di atas gelondongan kayu jati itulah anak laki-laki Koeswojo suka tetabuhan dan menyanyi.

Suatu kali mereka melingkar di meja makan, siap menyantap hidangan yang telah dipersiapkan Atmini. Beberapa suapan masuk ke mulut.

“Kok enggak enak ya makan begini. Yuk makan di atas meja, mungkin enak ya.”

Mereka naik ke atas meja.

“Kok ya enggak enak. Eh taruh di dulang (tampah kayu) dan makannya di bawah pohon yuk.”

Mereka bergerak. Namun nasi tetap tak dimakan, malahan dijadikan mainan dengan membentuk irama “pok pyok pong pong pyok.”

Mbok Pah, pembantu Koeswojo, sering menangis karena godaan mereka. Namun tangisan itu tak meredakan kenakalan mereka. Dia malah terus diledek, “Pah bar nangis pling-plang-plong ….”

Yang menonjol adalah Tony. Meski baru berusia empat tahun, Tony suka menabuh ember dan baskom besar-kecil yang dibalik di bawah pohon jambu. Pemukulnya adalah lidi yang ditancapkan pada bunga jambu yang masih kuncup.

Pada 1952, Koeswojo harus pindah ke Jakarta, bekerja di Kementerian Dalam Negeri. Setelah mendapatkan rumah, dia berniat memboyong keluarganya. Sebelum berangkat, Koeswojo membeli sepatu loakan di Surabaya untuk anak-anaknya. Pakaiannya baju-celana monyet. Mereka akan berangkat dengan kereta api berbahan bakar batu bara. Beberapa kerabat dan pembantu juga ikut. Rombongan diantar kerabat, tetangga, dan teman-teman anak Koeswojo. Teman-teman Nomo mengikuti sambil membawakan gundu.

Kereta melaju dengan suaranya yang khas. Di stasiun Bojonegoro beberapa saudara Koeswojo telah menunggu. Begitu kereta berhenti, mereka berlari mendekat. Tak lama kemudian kereta pun melanjutkan perjalanannya. Dalam perjalanan itu Yon sempat mencuri telur rebus, bekal ke Jakarta. Dia makan di bawah kolong sambil mengintip kaki saudara-saudaranya. Dia tahu persis, jika saudara-saudaranya tahu, mereka akan minta bagian. Yon makan sendirian karena, “Dari kelas satu sampai mau pindah, saya belum pernah makan telur sendirian.”

Jakarta tahun 1950-an masih sepi. Jalan Jenderal Sudirman lengang. Senayan masih berupa kebun karet. Keluarga Koeswojo dijemput mobil Kementerian Dalam Negeri menuju rumah mereka di Jalan Mendawai III/14. Kamar tidurnya hanya dua, berukuran 3 x 3 meter. Ranjang besar yang dibawa dari Tuban tak bisa masuk, sehingga mereka harus tidur beralaskan tikar dengan selimut jarik.

Ekonomi keluarga mulai membaik ketika Koeswojo pensiun dan kemudian bekerja sebagai pegawai administrasi di Bank Timur hingga 1959. Djon juga mulai bekerja sebagai mandor pelaksana di Biro Yayasan Teknik pimpinan Abikoesno Tjokrosuyoso, salah seorang politisi penandatangan Piagam Jakarta dari Partai Syarekat Islam Indonesia. Berhenti sebagai pegawai bank, Koeswojo bertani dan berbisnis tembakau di Delanggu, Solo. Nienuk ikut ke Solo. Koeswojo pun kerap meninggalkan kelima anak laki-lakinya, Dien, dan Miyiek di Jakarta. Dien kemudian menikah dan ikut suaminya. Miyiek ikut bersamanya. Tinggallah kelima anak Koeswojo yang mulai menginjak remaja.

YOK masih sibuk dengan batu akiknya. Kali ini dia membasuh hasil kikirannya dengan air dari gayung di dekat pohon mangga yang terletak di samping rumah kayu. Kemudian dia duduk di kursi kayu panjang yang disesaki peralatan kerja: pisau, lem, tang, pensil dan spidol dalam pot tembikar, jam mati, topi, dan sebagainya.

Djon mengubah posisi duduknya.

“Tak ada bayangan bakal jadi orang top. Cuma mula-mula, ketika Ton menginjak remaja, kepengin punya gitar. Wong masnya punya duit, saya ajak ke Pasar Baru, ‘Ambil yang paling bagus.’”

Tony serius belajar musik. Dia bisa main gitar, ukulele, piano, dan seruling. Suatu ketika dia mencoba main biola tapi mengalami kesulitan. Saudara-saudaranya suka menganggu dengan menggosokkan lilin pada dawai biolanya. Ketika digesek biolanya tak berbunyi. Dia sering bermain gitar sampai larut malam. Saudara-saudaranya menemani: ikut menyanyi atau main kartu di dekatnya. Miyiek paling sering menemani kakaknya, termasuk jika Tony ke pesta-pesta dansa. Di kamar Tony biasa menyetel radio, mendengarkan lagu-lagu Indonesia dan Barat yang sedang populer.

“Tony selalu ikut di mana ada musik. Tak peduli GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), apa saja, dia masuk. Yang penting, ada musik. Itu saking cintanya pada musik. Cuma ikut main-main, tidak masuk anggota,” kata Yok mulai menyela cerita Djon.

Djon yang sering mendengarkan permainan Tony berkata kepada ayahnya, “Mas Ton ini punya golden fingers.”

“Masak adikmu mau jadi tukang musik. Tukang musik itu hidupnya rekasa (sengsara).”

Koeswojo kemudian bercerita tentang nasib temannya, Senen, seorang pemain biola keliling di Tuban. Ketika meninggal, hanya empat orang yang menggotong kerandanya dan seorang tukang pacul yang mengantar jenazah Senen. Koeswojo tak mau anak-anaknya bernasib sama seperti Senen.

“Kayak begitu lo musisi itu.”

Tapi tekad untuk bermusik tetap mengental. Di sekolah Tony membentuk grup band bernama Gita Remaja yang acap memeriahkan pesta ulang tahun.

Suatu hari Djon berbicara kepada Tony. “Ton, kita sudah kebangetan datang dari Tuban. Kata-katanya, saya dengar dari simbah-simbah, kita masih ada darah keturunan. Jadi bukan dari got. Keturunan perintis Islam di Indonesia dari Sedayu. Misi dan visi kita adalah bagaimana generasi mendatang bisa kembali jaya. Makanya dengan tekad ingin kembali jaya, kita cari jalan bagaimana caranya.”

“Paling mungkin, karena kita tak punya modal, main musiklah.”

“Adik-adikmu bisa enggak.”

“Bisa, bisa.”

Tony yang meninggalkan kuliahnya di jurusan Sastra Inggris Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta dan bekerja di Pusat Perkebunan Negara, kemudian mengajarkan musik kepada adik-adiknya, Yon dan Yok. Nomo yang baru pulang berkelana melihat saudara-saudaranya berlatih, ikut-ikutan. Tahun 1960-an itu Koes Bross yang kemudian diganti dengan nama Koes Brothers mulai dirintis. Mereka berlatih setiap hari dengan bas betot, gitar, dan drum yang dipesan dari Solo serta amplifier merek Robin buatan Jakarta. Alat-alat musik itu dibeli dari gaji Djon dan uang arisan yang baru diperoleh ibu mereka. Koeswojo tak setuju dan memarahi Atmini dan Djon. “Ini anak-anak mau dijadikan apa. Dijadikan tukang musik!”

Tapi anak-anak Koeswojo tetap berlatih. “Kalau sudah niat masuk musik, ya jangan tanggung-tanggung,” kata Tony.

Rumah di Jalan Mendawai itu pun berubah ramai setiap petang. Entakan musik dan nyanyian serta gelak tawa menyeruak di antara asap-asap rokok di sebuah ruang tamu yang sempit. Jan Mintaraga –kemudian lebih dikenal sebagai pelukis komik– yang rumahnya hanya bertaut dua rumah, sesekali ikut latihan dan menyanyi, bahkan sampai menginap. Dia suka mendengar lagu dari radio Australia. Ketika menemukan lagu baru, dia datang. “Nih, saya catatkan lagu-lagu baru.” Sesekali Jan Mintaraga ikut Koes Brothers pentas. Hanya saja suaranya tak bisa tinggi, sumbang, dan lagi Jan suka angin-anginan. “Ah.. sekolah, sibuk belajar.”

Mereka menyanyikan lagu-lagu Barat yang sedang tren: Harry Belafonte, Kalin Twin, Everly Brothers, dan sebagainya. Menyanyikan lagu Indonesia dianggap memalukan. The Beatles belum menarik hati, meski Jan pernah membawakan piringan hitam grup band asal Inggris itu, kiriman dari kekasihnya yang bersekolah di Singapura.

Untuk mengasah kemampuan, mereka mengamen di acara-acara ulang tahun, sunatan, pernikahan. Bayaran tak penting, asal bisa tampil di depan publik serta dapat makan enak lagi gratis. Di rumah mereka hanya makan oncom merah, dua butir kentang, atau mencari kodok ketika kehabisan uang kiriman dari orangtua. Minumannya masih lumayan: segelas susu, yang distok Atmini. Miyiek pernah ikut menyanyi ketika saudaranya mengamen, dan kegirangan ketika mendapatkan bolpoin, sabun mandi, dan buku tulis dari tuan rumah. Kadang ada pula tuan rumah yang memberi uang.

Mereka belum berani bersaing dalam festival-festival band melawan grup band yang punya nama dan peralatan yang lebih baik. Salah satunya Teenager’s Voice, yang kemudian berganti nama menjadi Irama Remaja. Sophan Sophiaan adalah salah satu personelnya.

“Kalau begini terus kita enggak bakalan maju,” ujar Tony yang kemudian melontarkan gagasan membuat album rekaman.

“Itu gagasan gila. Mustahil. Perusahaan rekaman mana yang mau menerima kelompok kita yang kecil-kecilan ini? Jangan mimpi, Mas Ton.”

“Kita harus mencoba. Satu-satunya kekurangan band-band yang ada sekarang adalah mereka menyanyikan lagu-lagu orang lain, lagu-lagu Barat. Memang bagus, tapi nyontek. Kalau kita mau maju, kita harus menembus melalui celah itu.”

Pada 1962, Tony yang kemudian keluar dari pekerjaannya mulai menciptakan lagu. Dalam satu minggu dia menghasilkan dua lagu: “Weni” dan “Terpesona”. Djon berinisiatif merekamnya di rumah dengan alat perekam Grundig yang pitanya sebesar piring. Dibantu Jan Mintaraga, Tony mengetik surat permohonan rekaman ke PT Irama. Dengan naik bus, keenamnya mendatangi PT Irama yang berlokasi di Cikini. Jack Lesmana menerima dan mendengarkan keinginan mereka. Bersama bos PT Irama, Suyoso, yang lebih dikenal dengan panggilan Yos, Lesmana mendengarkan rekaman tersebut. “Kalau you bisa menciptakan lagu dalam dua minggu ini, saya akan memberi kesempatan kepada you untuk rekaman,” kata Lesmana.

Dua minggu kemudian mereka datang lagi. Lesmana terkejut ketika mendengarkan lagu-lagu mereka.

“Wah, bisa ini, Dik. Bisa. Langsung rekaman nanti malam,” ujar Yos.

“Saya tak menyangka you bisa menciptakan lagu-lagu seperti ini,” kata Lesmana kepada Tony.

Malam itu juga Koes Brothers –yang kemudian berubah nama menjadi Koes Bersaudara– rekaman. Djon memegang gitar bass, Tony (melodi), Yon (vokal), Yok (rhythm, vokal), dan Jan (gitar). Drum set dipegang dua orang, karena Nomo belum mahir memainkannya. Nomo dibantu Iskandar, tetangga mereka. Rekaman dilakukan dua track; harus langsung jadi. Namun perulangan tetap saja dilakukan karena terganggu suara kereta api yang lewat. Dalam semalam rekaman hanya menghasilkan satu lagu. Karena Jan harus menghadapi ujian sekolah, dia hanya sempat ikut rekaman tiga lagu: “Senja,” “Bis Sekolah,” dan “Telaga Sunyi.” Lagian Jan lebih tertarik dunia komik dan gambar. Dia sudah melahirkan komik Cinde Laras pada 1961. Jan kemudian melanjutkan sekolahnya di jurusan Interior Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta.

Pukul 16.00, mereka menunggu oplet untuk pulang di daerah Tosari. Pelawak S. Bagyo lewat mengendarai mobilnya. Bagyo menyapa sebentar, lalu melanjutkan perjalanan.

“Kapan ya saya bisa punya mobil sendiri,” gumam Nomo.

“Huu ….”

Album piringan hitam Koes Bersaudara yang berisi 12 lagu diluncurkan bersamaan dengan acara Games of the New Emerging Forces (Ganefo) di Jakarta pada 1963. Dalam album yang tak menyertakan “Weni” dan “Terpesona” itu suara bas Djon tak terlihat. Setelah rekaman, permainan basnya didiskualifikasi, sehingga di-dubbing lagi oleh Yok.

Lagu-lagu Koes Bersaudara mulai mengudara di RRI dan radio Angkatan Udara.

Duet Yon-Yok mengingatkan orang pada popularitas Everly Brothers dan Kalin Twin, dan itu diakui Tony dalam kata pengantar untuk piringan hitam pertama Koes Bersaudara. “Itu tidak dapat kami sangkal dan salahkan. Karena merekalah yang mengilhami kami hingga terbentuknya orkes kami ini.”

“Mulanya ya begitu. Kemunculan duet memang terpengaruh Kalin Twin dan Everly Brothers. Karena yang namanya musik itu selalu ada kaitannya. Misalnya, kita diilhami dari Everly Brothers. Sebelum ada Everly Brother, ada Kalin Twin, penyanyi Inggris yang kembar. Terus di Amerika ada Elvis Presley. Gabungan antara Kalin Twin dan Elvis itu timbul grup yang namanya The Beatles. Itu pasti ada saling keterkaitan. Enggak mungkin tidak. Karena yang namanya musik itu kan bunyi-bunyian yang beraturan,” Yok mencontohkannya dengan dua kepalan tangannya yang dihentakannya di atas meja, membentuk sebuah irama.

“Dulu saya sering mendengarkan lagu-lagu di radio di rumah. Saya juga menyediakan Gerard 95 dengan plat-platnya. Koleksi saya banyak. Nah, itulah yang mempengaruhi selera musik adik-adik saya,” sela Djon.

“Koleksinya Mas Djon itu ya Victor Silverster, The Kilima, Xavier Cugat,” timpal Yok yang diiyakan Djon.

“Kemudian belakangan Everly Brothers dan sebagainya juga punya. Memang dipancingnya ke musik Barat,” kata Djon.

“Dan karena teman saya banyak, ya pinjam kanan-kiri, karena kalau beli kan mahal,” kata Yok.


“DAN engkau, hei pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi; engkau jang tentunja anti-imprialisme ekonomi, engkau jang menentang imprialisme politik; kenapa di kalangan engkau banjak jang tidak menentang imprialisme kebudajaan? Kenapa di kalangan engkau banjak jang masih rock-‘n-roll-rock-‘n-rollan, dansi-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan, dan lain-lain sebagainja lagi? Kenapa di kalangan engkau banjak jang gemar membatja tulisan-tulisan dari luaran, jang njata itu adalah imprialisme kebudajaan?”

Suara Presiden Soekarno, seperti biasanya, lantang dan bergelora. Pidatonya tetap berapi-api, menarik hati siapapun yang mendengarkannya. Dalam pidato peringatan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1959 itu, Soekarno mencanangkan Manipol-USDEK (Manifestasi Politik, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia).

Koes Bersaudara lahir ketika Indonesia dilanda demam musik ngak-ngik-ngok, istilah yang dipakai Soekarno untuk musik Barat. Musik pop itu masuk ke Indonesia melalui piringan hitam, majalah, dan suratkabar asing seperti Time dan Life. Stasiun-stasiun radio Angkatan Udara acap menyiarkannya, yang merupakan koleksi pribadi anggota Angkatan Udara. Radio Republik Indonesia (RRI), radio milik pemerintah, yang menomorsatukan siaran lagu nasional, hanya sesekali memutar lagu rock ‘n roll. Perusahaan rekaman ikut merekam lagu-lagu pop, seperti Irama Record, Melati, Dimita, Remaco, Gateway, dan Parrot. Lokananta, perusahaan rekaman milik pemerintah, tetap membatasi diri merekam musik nasional dan daerah. Bing Crosby, Perry Como, Doris Day, dan Elvis Presley amat populer.

Fenomena menarik adalah kemunculan The Beatles sebagai pelopor musik rock ‘n roll, setelah pamor Elvis Presley menurun. Kelompok musik ini lahir di kota Liverpool. Mereka terdiri dari John Lennon, Paul Mc Cartney, George Harrison, dan Ringo Star. The Beatles dijadikan simbol generasi muda sebagai flower generation (generasi bunga) yang suka hura-hura dan antikemapanan.

The Beatles digandrungi anak-anak muda di Bandung, Jakarta, dan kota-kota lain. Gaya The Beatles juga mempengaruhi para pemusik Indonesia. Dara Puspita, grup band yang terdiri dari Susi Nander, Titiek Hamzah, Titiek AR, dan Lies AR meniru aksi panggung The Beatles, dengan menggerakkan pinggul dan lutut. Begitu juga Lilis Suryani dan Koes Bersaudara. Dandanan Koes Bersaudara mengikuti mode bergaya The Beatles. Rambut berponi, celana ketat, dan bersepatu ala The Beatles yang berhak tinggi dan berujung lancip.

Upaya pemerintah untuk memajukan kebudayaan nasional, termasuk musik, didukung oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang dengan salah kaprah selalu dianggap sebagai onderbouw Partai Komunis Indonesia. Antara lain melalui konsepsi kebudayaan yang dimuat di Lentera, lembaran kebudayaan harian Bintang Timur yang dimulai 16 Maret 1962 dan ditandatangani beberapa seniman seperti Sitor Situmorang, F. Silaban, Pramoedya Ananta Toer, serta Henk Ngantung. Konsepsi Lekra didukung Lembaga Kebudayaan Nasional yang berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia dan Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi) milik Pesindo.

Dalam sidang pleno Lekra yang berlangsung 23-26 Februari 1964 di Palembang, didiskusikan tentang usaha-usaha menjebol “kebudayaan imperialisme Amerika Serikat” dan membangun kebudayaan nasional dengan mengobarkan kebangkitan tani serta membatasi musik komprador di Indonesia.

Dalam sidang penutupnya, seperti dimuat Harian Rakjat, 15 Maret 1964, Pramoedya Ananta Toer mengatakan, “Nah, sekarang kita akan mencoba dengan takzim mendengar lagu-lagu jang setiap hari dipantjarkan di udara Indonesia melalui TVRI, RRI, lagu-lagu jang merambat dari pesta-pesta borjuis sampai petikan-petikan gitar di malam sunji oleh pemuda jang tertikam rindu atau secara realistis dapat dikatakan sudah kebelet kawin, maka lagu-lagu yang dikatakan lagu-lagu Indonesia ini bila diganti kata-katanya dengan kata-kata Inggris, maka akan berubah menjadi lagu Amerika Serikat. Inilah lagu komprador, jang menganggap semua dapat diselesaikan, apabila pahlawan atau pahlawin dapat ketjup-mengketjup bibir-bibir masing-masing. Seluruh persoalan akan beres bila pahlawan dan pahlawin dibenarkan naik randjang bersama-sama.”

“Itulah penjelesaian jang menjalahi kodrat, alias kontrarevolusi, itulah penjelesaian jang anti objektifitas, antihistori, anti realistis, anti perkembangan. Lagu-lagu jang membawa randjang asmara sebagai penjelesaian segala beserta badan-badan yang menjiarkan merupakan unit dari suatu lembaga pendidikan seksual. Lagu sebagai lembaga pendidikan seksual? Ya, itulah arahnja. Dalam pada itu lagu-lagu patriotik-revolusioner dibatasi geraknja pada kesempatan-kesempatan upacara-upacara doang!“

Hampir setahun Lekra berdiri, muncul Manifest Kebudayaan (yang dileceh pihak Lekra sebagai Manikebu) yang menolak politik sebagai panglima. Manikebu keluar pada September 1963, digagas beberapa seniman dan cendekiawan seperti H.B. Jassin, Wiratmo Soekito, Trisno Soemardjo, Goenawan Mohamad, dan Arief Budiman. Sejak kemunculannya, Manikebu berhadapan dengan polemik, tekanan, serta serangan dari Lekra, khususnya melalui Lentera, hingga kemudian dilarang pemerintah pada 8 Mei 1964.

Menindaklanjuti pidatonya pada 17 Agustus 1964, yang lebih dikenal dengan Tahun Vivere Pericoloso, Soekarno mengeluarkan instruksi presiden untuk kembali ke kepribadian dan kebudayaan sendiri.

Upaya pemerintah untuk mencari pemecahan terhadap pengaruh budaya Barat akhirnya diserahkan kepada panitia yang terdiri dari Oei Tjoe Tat, Adam Malik, dan Mayor Jenderal Achmadi melalui sidang presidium kabinet pada 22 September 1964. Hasil kerja tim tersebut kemudian dilaporkan kepada Presiden Soekarno yang antara lain berisi tindakan tegas terhadap warga yang masih mendengarkan dan memainkan musik ngak-ngik-ngok. Penanganan pelanggaran diserahkan kepada Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI). Sebelumnya, pemerintah sudah mengeluarkan Penetapan Presiden No 11/1963 tentang larangan musik ngak-ngik-ngok.

Operasi penanganan dan penanggulangan meluasnya musik ngak-ngik-ngok pun dilakukan. Di Jakarta penanganan dilakukan melalui Operasi Hapus Angkatan Kepolisian VII/Jaya. Petugas menegur Lilis Suryani dan Erni Djohan agar mengubah gaya panggung dan busana yang mereka pakai sesuai dengan orang Timur. Keduanya kemudian menyatakan tak akan menyanyi dengan gaya The Beatles lagi.

Razia dan penyitaan dilakukan terhadap ratusan piringan hitam dan alat perekam beserta kaset The Beatles, Rolling Stones, dan The Shadow. Pihak kepolisian memerintahkan kepada para pedagang piringan hitam agar menyerahkan semua piringan hitam yang berisi musik The Beatles dan musik ngak-ngik-ngok lainnya sampai batas waktu 22 Juli 1965. Operasi rambut gondrong dan sasak serta mode pakaian ala Barat juga dilakukan.

Kejaksaan Tinggi Jakarta mengeluarkan instruksi kepada band dan pelaku bisnis pertunjukan untuk mendaftarkan diri agar memudahkan pihak kepolisian mengawasi.

Operasi juga dilakukan di Semarang, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta. Di Bandung misalnya, kepolisian meminta agar tukang cukur, pengusaha salon kecantikan, pemilik toko, dan pembuat sepatu tak melayani permintaan potongan rambut dan sepatu ala The Beatles.

Setelah pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang memutar lagu-lagu rock ‘n roll di radio, para penggemar musik tersebut mendengarkan radio gelap dan radio luar negeri yang progresif seperti radio Australia (ABC), radio Singapura (Malaysia), radio Luxemburg, dan radio Inggris (BBC). Piringan hitam yang berisi lagu-lagu Barat beredar di kalangan terbatas.

Udara Indonesia dipenuhi lagu nasional, lagu daerah, serta gegap-gempita politik: pembebasan Irian Barat, konfrontasi Malaysia (negara baru bentukan Inggris Raya), dan keluarnya Indonesia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.


SEORANG perempuan muncul dari samping rumah kayu, berbicara lirih kepada Yok, lalu pergi. Yok bergegas menyusul. Djon mengajak saya menuju ruang tamu rumahnya. Dia masuk ke kamar sebentar, dan kembali dengan membawa dua tulisannya yang terjilid rapi. Dia meletakkannya di atas meja. Saya mengambil satu jilid dan membuka halaman demi halaman. Isinya mengenai deklarasi hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa 19 Desember 1949. “Ini kan belum banyak anak sekolah yang tahu,” kata Djon.

Djon kemudian menggeser jilid lainnya ke dekat saya. Sebuah gagasan mengenai hak asasi manusia yang dia peroleh melalui tafsirnya terhadap Alquran, Perjanjian Lama, dan Perjanjian Baru. “Ini masih berlanjut, makanya saya beri nama gagasan. Jadi tak akan pernah selesai. Kalau memang ada yang mau menerbitkan, saya senang jika nanti terjadi polemik.”

Saya membolak-balik isi buku itu. Djon kemudian mengambil ukulele yang tergeletak di sampingnya. “Saya masih bisa menggunakan ukulele ini. Coba Anda menyanyikan lagu. Apa lagu keroncong yang Anda sukai?”

Saya berpikir sejenak. “Selendang Sutra.”

“Coba nyanyikan.”

“Selendang sutra, tanda mata darimu ….”

Djon memainkan jari-jari tangannya. Begitu nadanya ketemu dia pun menyanyi dengan lebih banyak gumaman. Belum puas, dia meminta satu judul lagu lagi. Entah kenapa saya teringat Presiden B.J. Habibie. Karena itu saya langsung berkata, “Sepasang Mata Bola.”

Djon beraksi lagi.

Djon mengaku lebih suka keroncong dan Hawaiian. Karena itulah dia memutuskan untuk keluar dari Koes Bersaudara setelah rekaman pertama. Dengan uang tabungan yang dia miliki, dia memboyong keluarganya ke Tuban, menjadi nelayan. Adik-adiknya sempat menengok. Oleh Djon mereka diajak memancing di laut. “Main musik, jadi apa saya. Dulu kan kecil sekali.”

Selepas dari rumah Djon, saya menuju rumah yang terletak di ujung kiri dari pintu masuk kompleks rumah keluarga Koeswojo. Nomo terlihat santai dengan kaos oblong dan celana pendek. Sebatang rokok terselip di antara dua jarinya. Dia membaca koran, ditemani Francise Koeswojo, istrinya, yang lebih dikenal dengan panggilan Meis. Acapkali dia bercengkerama dengan teman-temannya yang berdatangan.

Nomo dianggap anak paling nakal di keluarga Koeswojo. Dia mendapat julukan crossboy. Dia menyelesaikan sekolahnya di SMP XI dan SMA Taman Madya, keduanya di Jakarta. Koeswojo berharap Nomo menjadi sarjana, tapi Nomo ingin bekerja setamat sekolah menengah atas. Ayahnya tak mengizinkan, tapi Nomo nekat berkelana ke beberapa kota: Surabaya, Medan, dan sebagainya.

“Masak disuruh sekolah terus. Yang bisa mengukur otak saya kan saya, bukan orang lain,” ujar Nomo dengan logat Jawa Timuran –sesekali campur dialek Banyumasan, lucunya, menirukan logat saya.

Yok datang, duduk di sebelah saya. Dia telah merampungkan makan siangnya. Di kedua jarinya terselip sebatang rokok. Di sini Yok juga ikut-ikutan logat bicara Nomo. Djon datang belakangan.


MESKI sudah rekaman, honor Koes Bersaudara amat kecil. Beberapa lagu hitnya di album rekaman pertama tak mempengaruhi kehidupan mereka. Mereka masih saja pentas di mana-mana: dari pesta perkawinan hingga panggung pertunjukan. Pernah juga mereka tak dibayar gara-gara pemilik rumah yang sedang menggelar pesta perkawinan tersiram teh panas.

Satu hal yang bikin repot, penonton selalu meminta Koes Bersaudara agar terus memainkan musik meski pagi menjelang. Tak kurang akal, Yok melepaskan hewan piaraannya, ular, yang sering dia bawa untuk menghibur diri. Dan acara pun bubar.

Koes Bersaudara pentas secara berkala di gedung bioskop Megaria sebagai selingan pemutaran film. Ini strategi dagang agar film-film yang sedang diputar laris. Selain itu mereka juga rutin tampil di International Airport Restaurant Kemayoran (IARK) dua kali seminggu. Meski ada larangan musik ngak-ngik-ngok, pengunjung selalu meminta Koes Bersaudara untuk memainkan dan menyanyikan lagu-lagu The Beatles.

Larangan dan peringatan dari kejaksaan tak diindahkan. Beberapa media mulai menyorotinya. Dalam tajuknya, Warta Bhakti menyatakan perlunya penyelidikan mendalam latar belakang “pembangkangan” tersebut, bahkan menganjurkan tindakan tegas. “Bukanlah sesuatu yang mustahil … telah dijadikan alat oleh kaum imperialis melalui kaum reaksionis di dalam negeri sebagai kaki tangannya untuk mendiskreditkan nama baik Presiden/Panglima Besar Revolusi Bung Karno.”

Koran resmi Partai Komunis Indonesia, Harian Rakjat, menyayangkan bandara pintu masuk ke Indonesia itu menjadi ajang pementasan kebudayaan Barat. “Koes Bersaudara dilarang di RRI, dilarang di Gelora Bung Karno, lho malah muncul di Airport Restaurant Kemayoran,” tulis Harian Rakjat, 14 Maret 1965. Sementara Keng Po memuat karikatur yang memperingatkan bahwa di airport ada jurig (setan).

Pemberitaan itu membuat Koes Bersaudara menerima surat panggilan dari Kepala Kejaksaan Negeri Istimewa yang ditandatangani Jaksa Aroean. Beberapa hari kemudian, Tony dan Handijanto, teknisi Koes Bersaudara, memenuhi panggilan tersebut. Mereka menghadap Aroean, yang memberi teguran dan penjelasan-penjelasan, serta peringatan keras agar tak memainkan musik ngak-ngik-ngok.

Pada 24 Juni 1965 Koes Bersaudara mendapatkan undangan ke sebuah acara makan malam di Djatipetamburan II A 4A, Tanah Abang, Jakarta. Dara Puspita dan Quarta Nada juga diundang. Quarta Nada adalah grup band yang terdiri dari Surachman, Wien Arief, Angky, dan Totok.

Lewat pukul 19.00 mereka datang ke rumah Koesno, seorang kolonel Angkatan Laut, yang mengundangnya. Di sana ada beberapa duta besar, atase militer Amerika Serikat, serta perwira Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Peralatan band tergeletak di depan ruang tamu. Di luar rumah beberapa orang menonton.

Suasana pesta santai. Keempat penghibur itu bermain secara bergantian. Sebagian besar menyanyikan lagu-lagu Barat, karena permintaan tuan rumah dan pengunjung.

“Kenapa menyanyi lagu-lagu begitu?”

“Enggak apa-apa, enggak ada yang dengar,” kata Koesno.

“Ya, ya, mainkan,” teriak pengunjung.

“Lagu The Beatles juga enggak apa-apa.”

Koes Bersaudara kemudian tampil. Baru saja Tony menyanyikan beberapa bait lagu The Beatles, “I Saw Her Standing There,” terdengar suara lemparan batu dari luar yang menimpa atap rumah. Lalu diikuti suara teriakan puluhan pemuda.

“Ganyang Nekolim!”

“Ganyang Manikebu!”

“Ganyang ngak-ngik-ngok!”

Orang-orang di dalam ruangan terperangah. Permainan dihentikan.

“Tenang, tenang. Diam dulu, diam,” kata Koesno.

Beberapa orang keluar untuk mengetahui apa yang terjadi, dan beberapa lainnya berhamburan pulang.

Tony, Nomo, Yon, dan Yok keluar rumah.

“Ada apa? Ada apa?”

“Ganyang ...!”

“Ganyang ...!”

“Ganyang ...!”

“Ganyang imperialis!”

“ ... kapitalis!”

Ban sebuah mobil bernomor plat CD 12-29 sudah kempes, tapi pengendaranya terus tancap gas.

Teriakan belum berhenti. Beberapa pemuda setempat menuntut Koes Bersaudara agar langsung menyatakan minta maaf dan menyanyikan lagu “Nasakom Bersatu” bersama mereka. Tony berbicara, meminta maaf, dan berjanji tak akan memainkan lagu ngak-ngik-ngok lagi. Setelah nama-nama personel dari band penghibur itu dicatat oleh pengunjuk rasa, semua bubar.

Menurut Bintang Timur, 26 Juni 1965, keesokan harinya delegasi pemuda Djatipetamburan mendatangi Front Pemuda Pusat (FPP) di Jalan Veteran 7C untuk melaporkan pengganyangan musik ngak-ngik-ngok ala The Beatles. Soetadjo mewakili FPP membenarkan aksi tersebut. Beberapa hari kemudian Bintang Timur, 5 Juli 1965, memberitakan kedatangan pemuda-pemuda Djatipetamburan itu ke kantor redaksinya. Para pemuda melaporkan bahwa rakyat kampung marah dan mengganyang Koes Bersaudara yang sengaja memainkan lagu-lagu yang bertentangan dengan kepribadian dan bahkan telah dilarang. Di edisi ini juga, Mang Ronda, pojok Bintang Timur, menyentil dugaan adanya antek Nekolim di belakang Koes Bersaudara, yang berarti subversif. Karena itu ia berharap pihak kejaksaan mengambil tindakan serius.

Yok punya versi lain tentang Peristiwa Djatipetamburan itu. Menurutnya, Koes Bersaudara datang hanya sebagai tamu. Penggeropyokan pemuda setempat terjadi ketika mereka sedang duduk menyaksikan permainan musik Quarta Nada.

“Sekali-kali jadi tamu dong,” ujar Yok.

“Tidak main kok ya ditangkap juga, ya.”

“Itu ada rahasianya Pak Djon, cuma sampai sekarang kita tutup rapat. Cuma saya katakan, tak ada warga negara Indonesia yang tidak mau berguna bagi nusa dan bangsa!“

Yok memukul kayu penyangga rumah.

“Waktu itu kita sedang konfrontasi sama Malaysia, ingat!” Yok memukulnya lagi.

“Tapi ini jangan dimasukkan, jangan dimasukkan. Ya.”

Klik! Alat perekam saya matikan. Saya membiarkan Yok bercerita tanpa direkam.


PAGI belum beranjak. Belum banyak aktivitas di rumah keluarga Koeswojo di Jalan Melawai III No 14, Blok C, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Anak-anak mereka sedang bersantai. Tiba-tiba datang mobil kejaksaan dengan bagian belakang tertutup kaca dan jeruji. Tiga orang berpakaian hijau-hijau turun. Mereka datang hendak menjemput Tony ke Kejaksaan Negeri Istimewa untuk interogasi.

Koeswojo, Atmini, dan adik-adik Tony bingung. Tapi mereka berpikiran bahwa penjemputan itu semata untuk interogasi, kemudian akan segera dipulangkan. Tony masuk mobil tersebut.

Tak lama kemudian petugas kejaksaan datang lagi. Kali ini mereka mau menjemput personel Koes Bersaudara lainnya, yang juga katanya akan diinterogasi. Di rumah hanya ada Yon. Yon dibawa petugas tanpa sempat membawa apa-apa.

Ketika pulang berburu, Yok menjumpai tiga petugas kejaksaan sudah menunggunya. Dia diberi tahu ibunya, “Masmu ditahan kejaksaan dan kamu disuruh menyusul.”

Tanpa sempat bersih-bersih, Yok dibawa pula ke kejaksaan.

Menjelang sore, Nomo pulang ke rumah. Dia baru ditahan polisi selama tiga hari karena menabrak orang secara tak sengaja. Dia juga sudah ditunggu seorang petugas kejaksaan, dan langsung dibawa ke pergi.

Hari itu, Selasa, 29 Juni 1965, keempatnya dibawa ke kantor kejaksaan di Jalan Gajah Mada. Mereka dianggap tak mengindahkan peringatan polisi tentang pelarangan musik ngak-ngik-ngok. Penangkapan Koes Bersaudara sesuai dengan Surat Perintah Penahanan Sementara bernomor 22/023K/SPPS/1965 yang dikeluarkan Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta dan ditandatangani Aroean. Isinya, “Oleh karena cukup alasan menyangka dia telah melakukan kejahatan yang tersebut dan diancam dengan hukuman dalam pasal Penpres 11 tahun 1963 KUHP, sedangkan penahanannya sangat diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan, menjaga supaya perbuatan itu tidak diulangi lagi, dan menjaga supaya dia tidak melarikan diri.”

Di kejaksaan mereka diinterogasi, dan kemudian ditahan di dalam sebuah ruang sidang. Kejaksaan tak punya sel tahanan.

Malam sudah turun. Mereka lelah, sehingga satu per satu terlelap. Nomo bahkan tidur di atas meja hijau. Di hari ketiga, mereka diperiksa kembali satu per satu. Saat pemeriksaan, mereka juga diberi wejangan tentang kepribadian nasional. Nomo malah balik bertanya, “Kepribadian nasional itu seperti apa? Kasih contoh?”

“Kulintang, keroncong, gamelan …”

“Keroncong dari Portugis, gamelan itu Jawa, itu suku bukan nasional.”

Petugas itu marah, mengeluarkan pistol, dan meletakkannya di atas meja. Brak!

Setelah pemeriksaan, mereka diputuskan untuk dititipkan ke Lembaga Pemasyarakatan Khusus Glodok.

Penangkapan Koes Bersaudara diikuti dengan penyitaan peralatan musik mereka. Kemudian diikuti juga dengan penggeledahan surat-surat, yang ternyata hanya berisi surat-surat penggemar.

Keluarga Koeswojo mulai panik. Sudah beberapa hari anggota keluarganya tak pulang. Miyiek sibuk mencari informasi nasib keempat saudaranya setelah lima hari tak dipulangkan. Bersama saudaranya, Isuarni dari Yogyakarta, dia mendatangi Kejaksaan Tinggi. Nihil. Dia juga menghadap Jaksa Aroen bersama ibunya dan Meis, pacar Nomo, tapi Aroean hanya menjawab, “Itu perintah presiden.”

Polisi juga melarang peredaran lagu-lagu Koes Bersaudara. Namun para penggemar Koes Bersaudara masih bisa mendengarkan lagu-lagunya melalui radio Singapura. Koes Bersaudara ditahan ketika lagu “Pagi yang Indah” menjadi top hit di seberang lautan.

Penangkapan Koes Bersaudara memunculkan reaksi. 4 Juli 1965, organisasi-organisasi kebudayaan mendatangi kantor Kejaksaan Tinggi. Mereka ingin berdialog dengan pihak kejaksaan mengenai kasus penangkapan Koes Bersaudara dan pelarangan musik ngak-ngik-ngok. Mereka diterima Jaksa Aroean dan Jaksa Agung Brigadir Jenderal Sutardhio.

Dalam dialog tersebut wakil organisasi-organisasi kebudayaan mempertanyakan batasan mengenai musik-musik terlarang dan kurang jelasnya musik yang diperbolehkan berkembang di Indonesia. Menurut Aroean, garis kebudayaan adalah untuk memenangi revolusi, sehingga karya musik tak boleh bertentangan dari garis revolusi. Dia juga menegaskan bahwa tak akan diizinkan sejengkal tanah pun di tanah air untuk digunakan bermain band Beatles-Beatlesan.

Brigadir Jenderal Sutardhio menginginkan masalah generasi muda menjadi perhatian khusus karena generasi muda adalah harapan bangsa. Penangkapan Koes Bersaudara merupakan usaha mencegah kerusakan moral generasi muda.

Beberapa media menyorot penangkapan tersebut. Kompas, 4 Juli 1965, terlihat berhati-hati. Tulisnya, “Peristiwa ini menundjukan segi positif ialah betapa seriusnja kita sekalian ini sedang berusaha menumbuhkan kebudajaan nasional dalam segala pengedjawantahannja.”

Harian Rakjat, 9 Juli 1965, menilai tindakan Kejaksaan Tinggi sebagai permulaan yang baik untuk diteruskan dalam melakukan ofensif Manipolis, ofensif reaksioner di bidang kebudayaan.

waktuku di dalam bui
ku bersedih dan bernyanyi di malam sunyi
ibu dan ayah menanti
berdoa setiap hari
aku kembali


Krompyang! Piring seng berisi nasi campur jagung dengan lauk kangkung rebus plus dua potong ikan teri digeletakkan begitu saja. Cangkir seng berisi air menemani. Tony, Yok, dan Nomo melihat. Yon yang kali pertama mengambil dan memakannya.

“Enak kok.”

Yang lainnya kemudian mengikuti. Yok masih bergeming, dan hanya melihat saudara-saudarannya makan.

“Lebih baik dimakanlah daripada kita kelaparan terus sakit.”

Yok akhirnya memakannya.

Personel Koes Bersaudara dimasukkan ke ruang isolasi berukuran 2 x 2 meter, dibatasi ruang di depannya yang juga berukuran sama. Ruang isolasi ini terpisah dari ruang tahanan lainnya. Di dalamnya tersedia kakus yang dibatasi dinding papan setinggi pinggang. Ruang menghadap udara terbuka. Di pagi hari hanya pintu sel di dalam yang dibuka, sehingga mereka tetap berada di dalam sel. Malam hari pintu digembok.

Beberapa hari kemudian mereka siap dipindahkan ke sel yang lebih besar. Nomo, Tonny, Yon, dan Yok membentuk barisan, kemudian berjalan menuju salah satu sel tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Glodok. Mereka melewati pintu masuk blok.

“Brang-bang-bang-bang ....“

“Tahanan baru!”

“Tahanan baru!”

“Masuk, masuk ... Temanku itu! Minggir, minggir, minggir…,” teriak seorang lelaki.

Lelaki itu ternyata Bambang Sembuto, teman Yok, yang ditahan karena mencuri diesel di Senayan.

Keempatnya masuk ke sel nomor 15. Sel yang berkapasitas enam orang itu diisi tujuh orang. Selain personel Koes Bersaudara, ada tiga narapidana lain: Saleh, koruptor, serta Atun dan Rachim, keduanya pembunuh. Atun dipenjara karena menyuruh Rachim membunuh orang. Ketiganya, kata Yok, narapidana baik-baik yang sengaja dipilihkan untuk mendampingi Koes Bersaudara.

Mulailah mereka melakukan aktivitas rutin yang menjemukan. Tidur, makan, dan sesekali berolahraga jika di luar sel. Pagi mereka dikeluarkan sebentar untuk menikmati matahari, makan, berolahraga, atau duduk-duduk sambil mengobrol. Di luar ruang tahanan terdapat beberapa kamar mandi dan kakus.

Setelah lama di sel, mereka kenal dengan Tan Sio Gie atau Hartanto, yang kemudian menjadi bapak angkat mereka selama di penjara. Tan Sio Gie yang ditahan karena membunuh seorang polisi sering membagikan makanan dan rokok yang dikirim istrinya. Lelaki asal Semarang ini rajin menanam sawi di atas tanah kecil di belakang tahanan. Sawi itu subur. Pupuknya adalah kotoran manusia.

“Kami sudah pernah makan tahinya. Edan, dia menanam sawi, dan tahinya buat pupuk. Asem tenan,” kata Nomo sambil tertawa terbahak.

“Tapi dia baik banget,” kata Yok.

Setiap hari Miyiek mengantarkan makanan kering dan buah-buahan. Tapi dia tak diperbolehkan masuk, sehingga makanan harus diantarkan penjaga. Meis kadang harus bersembunyi di dalam drum di dekat tempat penjagaan, menunggu pergantian jaga agar bisa masuk. Sesekali dia datang diantar Meis, Cori Louise (pacar Yok), atau Sulis, teman sekolah Yok.

Lazimnya kehidupan penjara, jalur belakang acap dipakai. Banyak penggemar dan teman Koes Bersaudara mengirim makanan lewat para penjaga: dari makanan kaleng hingga biskuit.

Djon sesekali membesuk, tapi hanya ditemui Tonny. “Ton, jangan khawatir. Nanti kamu keluar dari sini boom dah. Tuhan memberi rahmat tapi terselubung lewat penahanan.”

Kesempatan bertemu yang leluasa terjadi pada 17 Agustus 1965, karena tahanan bebas keluar sel untuk menemui keluarga. Miyiek datang bersama personel Dara Puspita. Dia berpelukan dengan Yok dan menangis. Tak terasa waktu telah berlalu. Personel Koes Bersaudara segera dimasukkan lagi ke sel.

“Di penjara tengar-tengur (tak ada kerjaan). Cuma terakhir aku ketemu temanku, Johny Klasem, yang habis nggarong di Cibinong, tangisan sama saya,” kata Yok. “Ketemu Johny ketika mau pertandingan tujuhbelasan.“

Pada perayaan 17 Agustus ada pertandingan olehraga antarpenjara di Jakarta.

“Eh, volly kita menang atau tidak, Yok?” sela Nomo.

“Menang. Kita menangan. Lawan Cipinang, menang.”

“Tujuhbelas kan ada lomba, lawannya Cipinang, Salemba, Bogor.”

Pada peringatan 17 Agustus 1965 pula nama Koes Bersaudara disebut-sebut dalam pidato Bung Karno di depan Corps Gerakan Mahasiswa Indonesia, “Jangan seperti kawan-kawanmu, Koes Bersaudara. Masih banyak lagu-lagu Indonesia, kenapa mesti Elvis-Elvisan?”

“Dengan Bung Karno ngomong begitu dan kita ditahan itu kan berarti kita dianggap menentang dia. Tapi kita ini mengemban misi,” ujar Yok lirih tanpa menjelaskan misi yang dia maksudkan.


NOMO sibuk dengan urusannya menjawab telepon. Nomo amat dikenal di daerah Pecenongan. Sejak sekolah menengah atas dia terbiasa nongkrong di sana, yang membuatnya lihai jual-beli kendaraan bermotor. Dua mobil berjajar rapi di teras rumahnya. Di belakangnya tertera tempelan kertas bertuliskan sold.

“Sekarang saya tak mengurusi itu lagi. Biarlah anak-anak,” ujar Nomo ketika saya tanyakan sambil menunjuk teman-temannya yang dia anggap sebagai anak angkat.

Sekali lagi, telepon di dalam rumah berdering. Kali ini Meis mengangkatnya, kemudian keluar mengabarkan peledakan bom di Gudang Peluru. “Sing ngebom kudune dipithes (yang mengebom seharusnya dibunuh),” kata Nomo. “Kasihan kan rakyat kecil, pada takut kayak zaman PKI.”

“Aku ingat Hengky, anaknya Jenderal Slamet. Waktu ada kabar bahwa komunis di Indonesia harus dibasmi seakar-akarnya, saya ngobrol di depan rumah dan bilang enggak setuju kalau PKI dibasmi seakar-akarnya. Wong yang lain kan tak tahu apa-apa. Pak Slamet yang lagi baca koran, pakai kaos oblong tentara sehabis pulang kantor, dengar, ‘Kamu ini bagaimana. Kalau mereka berhasil kalian ini sudah almarhum. Saya punya datanya.’ Jadi kita dianggap antikomunis. Wis diperkirakan bakal mati, disembelih, ngrusuhi.”

Nomo, Yok, dan personel Koes Bersaudara mengalami masih penuh gejolak itu. Malam itu, 29 Spetember 1965, beberapa panser lalu-lalang di jalanan. Personel Koes Bersaudara takjub melihat kesibukan yang tak biasa itu dalam perjalanan pulang ke rumah. Koes Bersaudara baru saja dibebaskan dari penjara dengan syarat harus melapor ke kejaksaan setiap Senin. “Masih dalam pengawasan dan bimbingan Kejaksaan Tinggi Jakarta,” tulis Jaksa Tinggi Dan Sulaiman dalam surat pembebasan. Peralatan musik milik mereka tetap ditahan sebagai barang bukti.

Keluarga Koeswojo gembira atas kepulangan mereka. Setelah melepas kangen Yok, Yon, dan Nomo langsung tidur. Tony keluar rumah, meluapkan kegembiraan dengan berkeliling kota mengendarai mobil Opel milik Handijanto. Sekali lagi dia heran melihat jalanan yang lengang. Pagi harinya Yok, Yon, dan Nomo juga berkeliling kota melihat situasi kota tapi hanya menghasilkan tanya, “Kok sepi. Ada apa, ya?”

Sesampainya di rumah, begitu radio diputar, RRI Jakarta menyiarkan gerakan militer yang dilancarkan satuan-satuan Cakrabirawa yang dipimpin Letnan Kolonel Untung terhadap beberapa jenderal yang dianggap membentuk Dewan Jenderal dan merencanakan kudeta.

“Wah, ada pemberontakan nih. Revolusi nih.”

Peristiwa yang menorehkan luka dalam sejarah Indonesia sedang berlangsung. Angkatan Darat dibawah komando Mayor Jenderal Soeharto bergerak cepat mengambil-alih situasi. Kemudian diikuti pelarangan dan penumpasan PKI beserta organisasi-organisasi onderbouw-nya. Korban pun berjatuhan.

Yon terpaksa menghentikan kuliah arsitekturnya di Universitas Republica (kini Trisakti). Dia ingat bagaimana screening diterapkan di kampus-kampus. “Yang bau-bau PKI saja, ayahnya PKI, tidak boleh kuliah. Bau-bau PKI sedikit, out; bau-bau organisasi yang kiri-kiri, out. Banyak mahasiswa hilang,” ujarnya. “Selama beberapa saat juga tak ada pertunjukan band.“

Pengawasan pemerintah terhadap pertunjukan band diterapkan di seluruh kota besar di Indonesia. Panitia penyelenggara pertunjukan dan para pemain band, bila mengadakan pertunjukan, harus minta izin kepada kejaksaan. Bila ada pertunjukan band yang tanpa izin dari kejaksaan, kepolisian berhak membubarkan pertunjukan tersebut.

Koes Bersaudara masih tetap menjalani wajib lapor. Peralatan musik masih disita. Selama beberapa bulan tak ada aktivitas pentas. Jakarta dipenuhi aksi mahasiswa dan pelajar.

Ketika keadaan mulai mereda, Koes Bersaudara mulai mendapat panggilan pentas. Koes Bersaudara tampil dengan peralatan musik yang masih disita kejaksaan, yang setelah pertunjukan harus dikembalikan lagi. Dalam setiap pentasnya penonton selalu meminta lagu The Beatles, tapi mereka menolak. Selepas pentas mereka harus membuat laporan tertulis dan menyerahkannya kepada kejaksaan. Semuanya sesuai dengan Surat Keputusan Kejaksaan Tinggi Jakarta tertanggal 10 Januari 1966.

Keajaiban datang. Koes Bersaudara tampil sebagai lambang kebebasan atas penindasan penguasa lama dan kesewenang-wenangan politik. Sejumlah organisasi, kesatuan militer, dan kesatuan aksi mahasiswa mengundang Koes Bersaudara untuk tampil di pentas-pentas pertunjukan. Jadwal pertunjukan makin padat. Bahkan pada Agustus 1966 Koes Bersaudara melakukan pertunjukan keliling Jawa dan Bali. Dari uang hasil pertunjukan itu pula Koes Bersaudara bisa pindah rumah ke Jalan Sungai Pawan 21 Blok C, Kebayoran, seluas 500 meter persegi. Tak lama kemudian, pada 1967, Koes Bersaudara mengeluarkan dua buah piringan hitam, Jadikan Aku Dombamu dan To Tell So Called the Gulties, yang berisi 24 lagu.

“Nah ini ditulis, Orde Baru itu mengadakan artis safari. Rencana semula itu wadah untuk artis seluruh Indonesia. Ternyata digerombolin ke Golkar saja. Ngertos mboten. Ini yang tidak cocok. Wong nasional kok digerombolin-gerombolin, ya ora sudi ya,” ujar Yok, masih mencampurkan dengan logat Banyumasan.

“Makanya kita cuma sekali saja. Dan ini boleh diingat, kedua, Mas Tony sudah tidak ada, tapi saya masih mau, tahun 1992 atau berapa. Karena saya pikir saat itu satu-satunya yang bisa menyelamatkan supaya tidak kocar-kacir seperti ini masih Golkar. Tapi nyatanya sudah tidak bisa direm.“

Yok membanting bungkus rokok ke atas meja.

“Kebablasan semua. Nyimpang semua”.

“Tahun 1971 saya ngurusi pemilihan umum, Sekber Golkar ke Golkar, ngirim artis-artis. Semuanya ikut, tapi yang aktif sehari-hari saya. Bukan anggota Golkar lho ya, untuk menentramkan bangsa ini. Dulu kalau bukan Golkar yang menang rusak bangsa ini. Tahun 1973 nganter misi kesenian ke Malaysia. Kemudian saya meninggalkan Golkar, bikin Yukawi,” kata Nomo menyebut nama studio rekamannya.

“Wis ditulis sing apik, sing enak, ben sing moco seneng. Dasare wong iku seneng diapusi (Sudah, ditulis yang bagus, yang enak, agar yang baca senang. Dasarnya orang itu senang dibohongi),” kata Yok.

“Ada yang tak senang diapusi; diapusi pejabat. Kalau diapusi seniman itu senang. Contohnya apa, coba?” timpal Nomo.

”Menonton film.”

“Bukan, seniman musik kok. Orang Indonesia ini lho dibohongi sama Mas Yok. Menggendong bayinya dan memberi minum susu saja tak bisa kok Mas Yok bilang kolam susu. Bukan lautan hanya kolam susu .… Benar, enggak?”

Nomo tertawa, bercanda, tapi Yok menanggapinya dengan serius.

“Itu bukan ngapusi, Mas. Itu kan mengingatkan.”

“Kan enggak mungkin kolam itu kolam susu.”

“Pengertiannya itu bahwa negara kita kaya raya. Itu filosofi. Mau menuruti ya syukur, ora yo wis. Sekarang tongkatnya enggak ditanam-tanam tapi buat rebutan.”

“Ngelingke (mengingatkan),” Nomo mengalah.

Yok kemudian pergi, entah ke mana.

“Sekarang memang susah. Elit-elit itu ribut melulu sementara rakyat pada bingung. Nah, Anda tahu satria piningit? Itu bohong. Rakyat pada bingung. Itu tekadnya bangsa Indonesia. Itu ‘Satriaku.’”

Nomo menyuruh anaknya, Reza, memutarkan kaset berisi dua lagu ciptaannya: “Satriaku” dan “Kopra Berdikari.” Keduanya merupakan akronim dari “Satu Tekad Rakyat Indonesia Akur Kembali Utuh” dan “Koperasi Rakyat Mandiri.” Saya diminta masuk ke ruangan untuk mendengarkannya.

Di mana, oh di mana
Oh di mana
Benar, benar yang benar
Yang mana
….


“Nanti ada koor sebagai backing vocal menyanyikan lagu ‘Tanah Airku,’” kata Nomo.

Lagu kedua mengalun.

Kopra berdikari
Solusi bangsa ini
Kopra berdikari
Koperasi rakyat berdikari


“Sekarang kalau aku berkarya itu berkarya untuk bangsa dan negara. Enggak aku jual, enggak aku apa-apakan,” ujarnya. “Saya keluarkan nanti, wong bangsa ini masih sembrawut. Kalau dikeluarkan malah tak berpengaruh,” ujar lelaki yang mengaku berencana mendirikan perkumpulan tani Pancasila ini.


BURUNG-BURUNG berkicauan sembari melompat-lompat di pepohonan yang memenuhi halaman rumah di Jalan Haji Nawi. Kicauan burung ini seakan menggantikan suara musik berdentam-dentam yang menunjukkan kehadiran Koes Plus, grup musik yang disegani di zamannya. Koes Plus muncul pada 1969 karena kehadiran Murry, pemain drum grup Patas, yang menggantikan posisi Nomo. Nomo keluar dari Koes Bersaudara karena lebih memilih bekerja untuk membiayai hidupnya setelah menikah.

Toh, Nomo tak bisa lepas dari musik. Dia lalu mendirikan studio rekaman Yukawi dan Lieman, mendirikan grup musik No Koes dan Nobo, serta bersolo karier. Atas pemakaian nama itu, orang digiring untuk berkomentar: No Koes itu sama dengan anti-Koes Plus. Nobo? No terhadap Bimbo! Dia sempat bergabung lagi dengan saudara-saudaranya dengan nama Koes Bersaudara dan menghasilkan album Kembali. Pada 1984, Nomo membubarkan studio rekaman miliknya.

Koes Plus perlahan menjadi band populer. Kasetnya meledak. Lagu-lagunya populer, dinyanyikan semua umur. Kepopuleran itu mendatangkan tawaran sebagai bintang iklan minuman ringan F&N dan mobil Kijang, main film, dan pemasangan gambar mereka pada sampul buku tulis. Pembuatan perusahaan film digagas tapi batal karena kekurangan modal.

Sejak Tonny Koeswojo meninggal pada 1987, Koes Plus seperti kehilangan motor penggerak. Koes Plus mengalami bongkar-pasang pemain. Setelah Abadi Soesman, anak ketiga Tony, Damon Wicaksi Wangsa Koeswoyo, sempat masuk menggantikan posisi Soesman.

Yon satu-satunya anggota keluarga Koeswojo yang tetap bertahan. Kini, bersama Murry, Andolin, dan Jack Kasbi, dia berusaha mempertahankan eksistensi Koes Plus.

Setelah beberapa kali mendatangi rumah di Jalan Haji Nawi, saya menemui Yon. Anak lelaki Koeswojo yang paling pendiam ini tinggal di rumahnya yang luas dan asri di Pamulang, Jakarta. Rumahnya di Jalan Haji Nawi ditempati Miyiek. Dia masih memelihara rambut gondrongnya. Selain pentas dan membuat lagu, dia meluangkan waktu untuk hobi yang sudah dua tahun dia tekuni: melukis. Di sebuah bangsal yang dijadikan ruang tamu berderet lukisan-lukisannya.

“Wah, dulu Koes Plus itu rajanya band di Indonesia. Betul-betul meledak ke mana-mana. Saya enggak aman, keluar ke mana-mana dirubung (dikerumuni). Saya kira enggak ada artis Indonesia kayak Koes Plus. Sekarang artis jalan-jalan, aman. Akhirnya, saya jarang keluar karena tahu bakal dirubung,” kenang Yon.

“Kalau saya manggung, honor Koes Plus Rp 3 juta. Harga Corona yang baru itu paling Rp 3,6 juta. Sekarang kalau dikurs sama saja sekali manggung Rp 150 juta. Mana ada sih artis sekarang yang honornya segitu? Kalau di daerah minimal Rp 1 juta. Harga Honda CB itu paling Rp 240 ribu. Jadi dibayar empat kali Honda. Ini harga mobilnya yang gila apa? Ha-ha-ha.... Bingung saya. Sampai saya bisa beli rumah, mobil. Sekarang kecil, enggak karu-karuan.”

Menjelang sore saya pulang, sambil membawa pesan Yon agar datang ke pertunjukannya suatu saat nanti. Mungkin saya tak akan sempat menontonnya, dan lebih memilih mendengarkan lagu-lagu Koes Plus, yang sampai kini masih digemari banyak orang.

Sepanjang sejarahnya, Koes Plus (dan Koes Bersaudara) telah melahirkan sekitar 450 lagu, yang sebagian besar menjadi hit di zamannya. Beberapa lagu diciptakan oleh Koeswojo, yang meninggal pada 2000. Sekurangnya Koeswojo menciptakan 20 lagu, yang beberapa di antaranya cukup populer: “Muda Mudi,” “Oh Kasihku,” “Layang Layang,” “Jangan Bimbang Ragu,” “Nasib Penyanyi Butuh Uang,” dan “Kasih Sayang.” Koes Plus jadi legenda. Penghargaan BASF Legend Awards pada 1992 membaptiskannya.*

4 comments:

Anonymous said...

Bagus tulisannya Bang... saya suka dengan kaya jurnalistiknya...

BUDI SETIYONO said...

Imam,

Thanks. Kamu pasti juga bisa membuatnya.

Unknown said...

terimakasih atas tulisan sejarah band legendaris ini. suatu tulisan yang bagus sekali semoga generasi sekarang dapat mempelajarinya krisin

BUDI SETIYONO said...

Thanks, Andi