Sunday, August 17, 2008

Trimurti

JASADMU sudah lama terbaring. Tapi aku ingin mengenangmu saat ini, ketika republik merayakan kemerdekaannya.

Trimurti. Aku melihatmu di layar kaca, tergolek lemah tak berdaya di atas ranjang kayu. Badanmu kurus tapi jiwamu berontak. Gelisah. Ikatan di tanganmu tak kuasa menahannya. Lalu kau terbaring kaku. Wafat. Kau pergi ketika “merdeka” belum jadi sepenuhnya.


Hanya sekali aku berada di sisimu. Di tahun 2002 itu, kau nyanyikan sebuah lagu dengan penuh semangat, dengan bahasa Belanda yang terlatih. Aku tak tahu judulnya. Tapi kuingat kau mengacung-acungkan kepalan tanganmu. Dan satu pesanmu masih kuingat, ketika kau jabat erat tanganku: “Jadilah wartawan yang baik, yang berguna bagi bangsa dan negaramu.”

Kini aku hanya bisa membaca ketikan tanganmu, yang terselip di rak-rak bukuku.


KAU-lah wartawan tulen itu. Kau sudah menjadi wartawan sejak 1933. Dalam usia semuda itu, 21 tahun, kau sudah membantu dan menulis untuk majalah Fikiran Rakjat di Bandung. Ah, rasanya aku bisa mengerti kegugupanmu saat itu ketika Soekarno memberi perintah: “Tri, bikin tulisan untuk majalah Fikiran Rakyat.”

Kau merasa seperti disambar geledek. Kau galau karena berpikir majalah ini majalah politik yang isinya berat, penulisnya hebat-hebat. “Saya ini apa? Cuma gurem,” kau membatin.

Ini jalan yang sudah kaupilih. Ketika kau dengar pidato Bung Karno pada rapat umum Partindo di Purwokerto pada 1932, kau sudah bertekad untuk berguru politik padanya. Kau tinggalkan posisimu sebagai pegawai negeri, sebagai guru sekolah dasar puteri. Lalu kau masuk asrama wanita untuk murid-murid politik Bung Karno di dekat Astana Anyar, Bandung. Kau sudah rasakan gemblengannya. Kau ingat saat dia meminta kau berpidato, dan kau rasakan diinterogasi PID.

Kali ini, di tahun 1933, kau rasakan lagi perintahnya. Kau cari inspirasi. Hoplah, akhirnya ketemu. Kau menulis tentang kejahatan penjajahan Belanda, sikap rakusnya yang mengakuti kekayaan Indonesia ke negerinya, untuk membangun negerinya, sementara rakyat Indonesia yang bekerja keras, memeras keringat, tak diberi hak demokrasi. Tentu saja kau kena delik pers. Beruntung kau bebas dari hukuman.

Kau tak gentar jua. Kau menulis dan menulis lagi di harian Berjoang (Surabaya), majalah Bedug dan Genderang (Solo), majalah wanita Marhaeni (Yogyakarta), majalah yang kemudian jadi harian Pesat (Semarang), majalah Suluh Kita dan harian Sinar Selatan (Semarang), harian Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), dan majalah Mawas Diri (Jakarta). Kau pernah rasakan penjara wanita di Semarang karena delik pers.


JEPANG mendarat. Kau ditangkap, setahun jadi orang tahanan di Semarang. Kau didakwa melawan atau berusaha melawan pemerintah fasis Jepang. Kau terima hadiah itu, cuma sedikit tapi cukup berkesan bagimu: beberapa kali pukulan pakai pentung.

Beruntung kau kenal Soekarno, yang atas usahanya memindahkan kau ke Jakarta dan bekerja di kantor Pusat Tenaga Rakyat, lalu pindah ke Jawa Hokokai Honbu. Tapi status tahananmu belum dicabut. Kau sendiri yang harus hati-hati, tak bikin kegiatan apapun atau menghubungi kawan-kawan seperjuangan.

Jepang hanya seumur jagung. Ia kalah perang. Para pemuda ingin proklamasi kemerdekaan segera diumumkan sebelum Sekutu datang. Kau ikut dalam arus pemuda-pemuda itu.

Pada 17 Agustus pagi itu, kau tertidur pulas. Semalam kau hadiri pertemuan di Kebon Sirih No 80 untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang dan menguasai alat-alat komunikasi yang penting. Tapi tak ada Bung Karno atau Bung Karni cs di sana. Tak ada perintah aksi. Bung Karni cs, yang datang tengah malam, malah meminta para pemuda bubar. Kau pulang dengan hati kecewa. Mendongkol, merasa ditipu. Sampai di rumah sudah hampir pagi. Kau mengantuk.

Tak lama, kawan-kawan seperjuangan menghampirimu.

“Yu, mari kita ke Pegangsaan Timur No 56, ke rumah Bung Karno untuk mendengarkan proklamasi.”

“Mengapa tidak di Lapangan Ikada seperti rencana semula?”

“Ah, diam sajalah dulu. Di sana sudah banyak serdadu Jepang dengan senjata lengkap. Nanti kita ditembaki kalau ke sana,” ujarnya sambil meninggalkanmu.

Kau bangun, mandi, sarapan pagi, dan bergegas ke Pegangsaan Timur. Di halaman rumah Bung Karno, sudah penuh orang. Kau dan mereka berbaris di halaman depan. Bung Karno, Bung Hatta, dan Fatmawati datang. Pakaian mereka kusut. Juga wajah mereka, mungkin semalam suntuk tak tidur.

Pukul sepuluh pagi, bendera harus dipasang. Terdengar suara: “Yu Tri, kerek bendera itu.”

“Tidak,” jawabmu. “Lebih baik saudara Latif (Hendraningrat) saja. Dia dari PETA.”

Bendera merah-putih pun berkibar.

Kau dan Fatmawati berdiri di depan bendera, berhadap-hadapan dengan Bung Karno dan Bung Hatta yang berdiri di beranda. Tak lama kemudian, Bung Karno membacakan teks proklamasi, dengan suara rendah, perlahan tapi khidmat.

Berita proklamasih itu disiarkan ke seluruh negeri.


TRIMUTRI, kau pernah menulis, perkenalanmu dengan Bung Karno telah mengubah jalan hidupmu. Dari seorang pegawai negeri yang tunduk, menjadi orang mandiri, yang bisa mengeluarkan pendapat tanpa rasa takut. Dan hampir setiap kali kau menghadapi gejolak, kau rasakan otot-otot menjadi lebih kencang, lebih kuat. Daya tahan meningkat, dan rasanya di depan mata, tidak pernah ada penghalang yang berarti.

Saat ini kurasakan semangatmu itu. Dalam belenggu rasa sakit, kau masih berontak. Otot-ototmu mengejang. Aku tahu, kau ingin bebas. Dan Tuhan pun membebaskanmu, ketika azan magrib usai berkumandang, ketika negerimu merayakan dua abad kebangkitannya, pada 20 Mei 2008.

Namamu akan dikenang. Namamu, sudah diabadikan untuk penghargaan kepada aktivis dan wartawan perempuan yang berjuang untuk kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Dan aku ingin mengenangmu di hari kemerdekaan ini.

Merdekalah Trimurti, “merdekalah” tanah air kita.* (Foto: ketikataku.wordpress.com dan community.kompas.com)

5 comments:

Gading Tirta said...

Bagus, Mas tulisannya. Aku baru tau kalo ada cara menulis kayak gitu. Kayak orang yang saling bincang. Asyik dibacanya.

Anonymous said...

Bagus Mas, indeed. I am Rudolf Mrazek, professor of history at the university of Michigan. Can you contact me? Also, wherefrom you got the photo of Trimurti with the gun (is it she)? Please, wrote ,me. Thank you. Saam hangat, Rudolf

BUDI SETIYONO said...

Pak Mrazek,

I read your books, especially A Engineer of Happy Land. I will contact u. Thanks for your comment.

Jay Akbar said...

Dahsyat banget gan, ogut baru ngerti ternyata boleh ya membangun cerita dengan orang "ketiga" tapi seakan-akan kita berdialog lansung dengannya. Mantep dah pokoknya yang satu ini. Ogut juga mau dong gan bisa nulis kayak begini :D

BUDI SETIYONO said...

Jay,

Dalam menulis, kata Hemingway, yang penting adalah style. Cobalah berbagai style, sampai kamu menemukan gayamu sendiri. Kamu pasti bisa! Asal jangan bosan menulis, menulis, dan menulis.