Saturday, November 09, 2002

Anak Wayang Menggiring Angin

SUARA gending mengalun. Kursi penonton masih kosong. Di depan panggung para pengrawit memainkan peralatan masing-masing. Cahaya lampu menyorot layar yang masih terkembang. Dekorasi panggung tertata apik dengan puncak logo bergambar mangkoro dan tulisan “Ngesti Pandowo” bertuliskan huruf Jawa di bawahnya.

Alunan gamelan berhenti sejenak, hening, lalu mengalun lagi dengan layar tergulung ke atas. Seorang penari berbaju merah bersimpuh beberapa saat, kemudian menari, tanda pertunjukan wayang dengan lakon “Srikandi Menjadi Ratu” dimulai.

Ruang Gedung Ki Narto Sabdo di kompleks Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang yang berkapasitas 240 penonton, tak termasuk balkon, hanya terisi tujuh orang, yang menyimak pertunjukan dan dialog pemain yang lamat-lamat.

Cicuk Sastrosoedirdjo duduk menyendiri di antara kursi-kursi penonton yang kosong. Setiap pentas ia harus mengawasi pertunjukan sebagai pemimpin harian. Ia termasuk generasi ketiga di Ngesti Pandowo. Lelaki dari 5 bersaudara ini satu-satunya anak Sastrosoedirdjo yang terlibat di paguyuban wayang orang ini. “Saya tak dididik untuk main, sehingga tak pernah main,” ujarnya sembari menyimak pertunjukan.

Kesibukan terjadi di belakang panggung. Beberapa orang menarik-ulur kelir, mengatur sound system, dekorasi panggung, dan tata lampu. Beberapa pemain sibuk merias diri. Talok dengan sigap dan terampil memainkan tangannya; merias wajah sebagai Cembowati, istri Kresna. Soeratno memulaskan wajahnya menjadi seorang pendeta.

Soeratno dan Talok merupakan generasi pertama Ngesti Pandowo. Keduanya diambil anak oleh Sastro Sabdo, menjadi bujangan. Soeratno lahir tahun 1934, dan masuk Ngesti Pandowo delapan tahun kemudian. “Ayah saya dengan Sastro Sabdo sudah seperti kakak-beradik,” kata Soeratno.

Talok yang lahir pada 1940 sudah diambil sebagai anak Sastro Sabdo sejak berusia lima tahun. “Saya keponakan Bu Sastro Sabdo.”

Mereka menjadi bujangan bersama duapuluhan anak muda lain yang menjadi tanggungan Sastro Sabdo. Keseharian mereka seperti anak muda umumnya. Bermain, pergi ke sekolah, dan acap membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Malam hari mereka melihat pertunjukan wayang. “Bujang itu enak. Seperti keluarga, makan dan sebagainya dari Sastro Sabdho, tapi gaji utuh,” ujar Talok, yang punya nama asli Kasinem.

Mereka mengikuti ke mana pun Ngesti Pandowo pentas. Kalau berhenti di suatu tempat, rombongan diinapkan di rumah besar di kampung-kampung yang dikontrak, meski ada juga sebagian di hotel. Sebagai tempat pentas, dicarilah gedung yang mencukupi. Jika tak ada, dibuatlah tobong. Tiap malam Soeratno dan Talok menonton pertunjukan dari pinggir pilar, sekaligus mempelajari karakter tokoh-tokoh wayang, hingga mahir memainkannya.

Persiapan sudah selesai. Soeratno dan Talok bergegas menuju samping panggung, menunggu giliran tampil.


NGESTI Pandowo sendirian di Semarang. Perkumpulan Sri Wanito yang dipimpin dua bersaudara Yuk Hwa dan Kong Hwa berdiri tahun 1935, dan Wahyu Budoyo yang didirikan Sri Ani Sukarti pada 1970, sudah lama bubar. Ngesti Pandowo didirikan oleh Sastro Sabdho di Maespati, Madiun, 1 Juli 1937. Pertunjukan pertama “Endang Werdiningsih” beroleh sukses. Ngesti Pandowo kemudian menjadi kelompok wayang keliling. Dengan ukuran tonil (panggung) masih kecil dan kelir 7 ban per meter, serta busana dan gamelan sewaan, Ngesti Pandowo pentas dari satu pasar malam ke pasar malam; di Nganjuk, Kediri, Tukung Agung, Blitar, Kertosono, dan kembali ke Madiun. Sastro Sabdho kemudian diperkuat oleh Sastrosoedirdjo, Kusni, Darso Sabdho, Narto Sabdho, dan Marno Sabdho.

Keadaan susah dialami ketika zaman Jepang karena pemberlakuan jam malam dan sensor. Masalah datang ketika main di bioskop Gran dengan lakon “Kikis Tunggorono”. Sutradara Kusni diminta menghadap bagian sensor, dan diinterogasi. Lolos sensor, dan Ngesti Pandowo pun bisa pentas lagi. Keadaan susah ini bertahan hingga Jepang menyerah.

Meski masih kecil, Soeratno dan Talok sudah ikut rombongan ketika pendudukan Belanda, agresi kedua. Saat itu Ngesti Pandowo main di Delangu. Pukul 24.00 ada tentara Indonesia memberitahu bahwa gedung pertunjukan akan dibakar karena Delangu sudah diduduki Belanda, sehingga alat-alat harus segera dipindahkan. Wirjo, RM Begog, Markum, Kasidi, Truno Kartika, dan Tjipto mengangkat semua peralatan dan menitipkan ke rumah-rumah penduduk. Soeratno dan Talok hanya bisa melihat kesibukan senior-seniornya.

Oleh Sastrosoedirdjo, peralatan gamelan itu baru dibawa ke Solo ketika keadaan relatif tenang, meski di perjalanan sempat dicegat penjagaan Belanda. Keadaan genting ini membuat anak-anak wayang tak pentas selama satu tahun. Sebagian pemain pulang ke daerah masing-masing, dan sisanya menginap di rumah Sastrosoedirdjo. Talok berada di rumah Sastro Sabdho di Solo. Soeratno pulang ke rumah orang tuanya di Klaten selama setengah bulan, dan kemudian bergabung kembali ke Solo.

September 1949, akhir pendudukan Belanda, Ngesti Pandowo mendapatkan job untuk pentas di pasar malam di Stadion Semarang. Ki Narto Sabdho mengumpulkan anggotanya. Beberapa anggota di luar daerah dijemput. Karena tak semuanya kumpul, direkrut pemain-pemain baru. Mereka berangkat dengan truk yang dikawal konvoi Belanda. Di Semarang mereka mendapat asrama di kantor sosial di Jalan Kaligawe. Setelah sebulan, Ngesti Pandowo pentas di pasar malam Tegal, dan kemudian kembali ke Semarang untuk main di gedung kesenian di Dargo.

“Sastro Sabdho menginap di Peterongan. Kalau berangkat ke Dargo naik becak, iring-iringan seperti parade,” ujar Talok yang tak diizinkan main oleh polisi militer Belanda karena masih kecil.

Perlahan, sebagian anggota lainnya berkumpul kembali. Ngesti Pandowo mulai menetap, dan menata diri.


HARI itu, pukul 08.00, Walikota Semarang Hadisoebeno Sasrowerdoyo bersama kedua anaknya menemui Sastro Sabdho.

“Pak Sastro, sebetulnya Ngesti Pandowo tak layak main di sini. Sayang sekali.”

“Mau main dimana lagi?”

“Main di pusat kota.”

“Tapi bagaimana?”

“Tapi mau, Pak? Saya sanggup memberi gedung.”

“Mau!”

“Saat ini saya belum bisa beri gedung, karena biayanya besar. Saya beri brak (los) dulu.”

Ngesti Pandowo diberi tempat pementasan di belakang Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS). GRIS sebelumnya merupakan sebuah sosietet de Harmonie (gedung pertemuan Harmoni) milik seorang Belanda. Karena letaknya dirasa tak baik untuk sebuah sosietet, gedung itu dijual pada Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM). Untuk acara-acara sosietet De Harmonie dibuat gedung baru di Jalan Bojong. GRIS kemudian berpindah tangan ke Fonds Gris yang terbentuk Agustus 1945 dan beranggotakan wakil-wakil dari penduduk kota Semarang yang diketuai Hadisoebeno Sasrowerdoyo. Fonds Gris dibubarkan pada 1950, diganti Yayasan Gedung Rakyat, setelah tujuan pembelian gedung terlaksana. Pada 1953 dibangun gedung kesenian, yang kemudian dipinjamkan pada Ngesti Pandowo.

Di GRIS Ngesti Pandowo mengalami kejayaan. Mengunjungi Semarang tanpa menonton Ngesti Pandowo sungguh suatu kerugian, begitu kata orang-orang Semarang tempo doeloe. Begitu juga turis asing yang mengunjungi Indonesia. Ngesti Pandowo menjadi salah satu trade mark kota Semarang.

“Dulu meski hujan ada penonton. Gedung belum dibuka, orang-orang sudah antri beli karcis dan pesan tempat. Kalau tak pesan tempat, tak kebagian,” ujar Soeratno yang bisa memerankan tokoh apa saja; balatentara Kurawa, Petruk, Ontoseno, atau tokoh idolanya, Anoman.

Tak jarang ada penggemar yang kedanan (tergila-gila). Talok termasuk pemain yang punya banyak penggemar. “Misalnya ada orang punya hajat, kalau yang fanatik ya memanggil saya untuk main,” ujar Talok yang acap menjadi Abimanyu.

Soekarno salah satu penggemar wayang orang ini. Ada dua bambangan cakil kesayangan Soekarno yang dimainkan oleh Soetjipto dan Soewarni. Keduanya pemenang lomba tari bambangan cakil seluruh Jawa yang diadakan pemerintah. Mereka kerap diundang ke Istana Negara untuk menghibur tamu-tamu negara, serta tiap perayaan kemerdekaan Indonesia. Ketika Soewarni keluar dari Ngesti Pandowo, Talok menggantikannya.

Suatu ketika, Ngesti Pandowo pentas di Ikada. Soekarno datang, lalu meminta Ngesti Pandowo tampil di Istana keesokan harinya. Selepas tampil, Soekarno mengajak makan sembari mengobrol dan bercanda.

“Saya bangga dan gembira makan bareng Bung Karno. Bapak duduk di muka saya,” kata Soeratno yang masih ingat sajian penutup pisang ambon yang besar-besar, dan bisa dimakan untuk tiga orang.

“Saya merasa senang, merasa dihargai, ‘kok hanya Ngesti Pandowo yang dapat perhatian’. Anak-anak dan para menteri juga menonton,” kata Talok.

“Ngesti Pandowo main di Istana Bogor dan Merdeka sudah tiga kali. Di Istana Bogor tak diajak makan. Dulu masih Bu Fatmawati, tapi tak ikut. Mega, Rachma, Guruh, dan Sukma masih kecil-kecil,” ujar Soeratno.

Ada kejadian menarik mengenai Soekarno ketika memberi kuliah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penduduk Yogya tahu betul bahwa Soekarno akan menonton selepas mengajar. Di muka brak pentas dipadati penonton. Tiba-tiba gedeg (dinding dari anyaman bambu) jebol, Soekarno muncul dari belakang brak diikuti rombongan, lalu berkumpul dengan penonton lain. “Penonton tahunya Bung Karno bisa menghilang. Padahal Beliau tahu kalau lewat depan akan mengganggu penonton,” kata Soeratno, tergelak.

Untuk meningkatkan penghasilan pada 1959 Ngesti Pandowo masuk dapur rekaman. Sebagai langkah percobaan Ngesti Pandowo menjual naskah cerita “Kongso Adu Jago” dan “Kresno Kembang” dengan harga Rp 45.000 kepada Remaco yang merekamnya dalam bentuk piringan hitam. Karena relatif sukses, Remaco kemudian meminta lima naskah lagi untuk direkam.

Soeratno dan Talok menikmati masa jaya Ngesti Pandowo yang berdampak pada kesejahteraan anak-anak wayang. Ngesti Pandowo menanggung biaya sakit, melahirkan, maupun kebutuhan sekolah anak-anak anggota.

Zaman berubah, perlahan kejayaan itu meredup. Sesudah Kusni meninggal pada 1980, kemudian diikuti Sastrosoedirdjo pada 1984, dan Ki Narto Sabdho setahun kemudian, Ngesti Pandowo kehilangan tokoh-tokoh panutan. Bersamaan dengan itu, muncul kesulitan kronis soal manajemen dan kreativitas, hingga terlontar untuk menjual peralatan dan inventaris. Jumlah penonton makin surut hingga menyisakan 5 orang per malam. Kesejahteraan perlahan dikurangi dan kemudian dihentikan. Ketika masalah ini terselesaikan, muncul masalah lain yang bahkan lebih berat. Pada November 1996, Ngesti Pandowo digusur dari GRIS yang diambil-alih oleh pihak ketiga, Bank Pembangunan Daerah Jateng. Penggusuran ini mengejutkan masyarakat. Radio BBC menyiarkan sekaligus menyesalkannya. Anak-anak wayang kecewa, sedih, tak bisa membayangkan apakah masih bisa pentas dan mendapatkan uang.

Ngesti Pandowo kemudian diizinkan pentas di gedung TBRS, tanpa jadwal yang jelas dan tanpa background. Enam bulan berhenti pentas, Ngesti Pandowo menyewa gedung di Istana Majapahit dan bisa menggelar pentas secara penuh. Namun pengunjung telah berkurang drastis, hingga biaya sewa tak terbayar. Bantuan pemerintah daerah pun hanya bertahan 4 bulan. Terakhir, Gedung Ki Narto Sabdo di TBRS menjadi tempat pementasan, hingga kini.

“Ada surat resmi dari wali kota. Di sini dibebaskan dari sewa, tapi diberi kesempatan pentas tiga kali seminggu, Kamis sampai Sabtu,” kata Cicuk. “Susahnya kalau gedung ini dipakai untuk pementasan lain, alat-alat ini harus dipindahkan dulu, kecuali kalau untuk pementasan wayang. Padahal peralatan ini kan permanen dan sebagian sudah usang sehingga rawan.”

Namun ini pun tak mampu menaikkan kembali pamor Ngesti Pandowo. Setiap pementasan hanya dihadiri segelintir orang. praktis, kesejahteraan anak-anak wayang pun makin berkurang.


SORE itu, kesibukan terlihat di sebuah kompleks di Perumahan Kakancanmukti yang dikenal sebagai perumahan Ngesti Pandowo. Beberapa remaja bermain gitar, dan anak-anak berlari-lari. Tapi rumah bernomor 423 lengang. Tiga ekor burung tertidur di sangkar masing-masing. Di bawahnya empat sepeda tergeletak tak beraturan. Gambar Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri menghiasi dinding bercat putih yang sedikit mengelupas dengan sebuah lampu di bawahnya. Kursi tamunya juga sedikit rusak.

Seorang pria keluar dengan pakaian rapi. Kumisnya tipis, dan wajahnya menyisakan kegagahan sebagai pemain wayang. Cucunya yang berusia 5 tahun mengikuti dari belakang. Afrizal Ramadhani, nama anak itu, adalah cucu dari anak pertama Soeratno-Talok yang dititipkan di rumah pasangan ini. Enam dari delapan anak mereka sudah menikah, dan sisanya sudah mandiri.

“Saya tinggal di sini tak keluar sepeser pun, dan selang 3 bulan sertifikat keluar,” ujar Soeratno sembari menunjukkan buku catatan yang sedikit kumal. Di situ tercatat 24 April 1990 sebagai tanggal penempatan rumah itu. Sebuah foto hitam-putih bergambar Soeratno beraksi dengan penampilan Anoman dan brosur pementasan di India yang memakai gambar itu, terselip. Soeratno menunjukkan gambar itu dengan bangga.

Tak beberapa lama kemudian Talok muncul.

Soeratno dan Talok menikmati masa tuanya di rumah sederhana itu. Keseharian Talok disibukkan dengan membereskan rumah, dan sesekali mengikuti arisan atau kegiatan ibu-ibu di kampung. Soeratno biasa membaca koran atau majalah, mengisi teka-teki silang, dan sesekali memutar video compct disc. “Saya suka film detektif,” ujar Soeratno yang menikahi Talok pada 1956.

“Kami tak punya kesibukan apa-apa. Sudah lima tahun ini saya berhenti memberi kursus tari dan rias pengantin. Sudah banyak tempat kursus. Kesibukan utama kami sekarang ya mengurusi cucu,” kata Talok yang masih menyiratkan kecantikannya.

Meski usia menginjak senja, pasangan ini tetap bertahan di Ngesti Pandowo yang hanya bisa menggaji anggotanya di bawah upah minimum regional; Rp 2.000-5.000, tergantung jumlah penonton. Sejak pamor Ngesti Pandowo meredup, kehidupan pas-pasan semacam ini biasa mereka hadapi. “Meski kehidupan susah, saya serahkan pada Yang Di Atas. Dapat banyak ya dimakan, sedikit ya dimakan. Saya sendiri heran kok bisa hidup dengan penghasilan sekecil itu. Tapi kuncinya, hati tetap senang,” ujar Soeratno.

“Ini soal melestarikan budaya, panggilan seni,” kata Talok yang pernah meraih penghargaan bintang karena kesetiaannya dari Ngesti Pandowo saat peringatan 25 kelompok wayang ini.

Pukul 17.00. Sebentar lagi, sebuah mobil akan menjemput anak-anak wayang itu menuju tempat pementasan.*

2 comments:

ari_aristides said...

ini adalah satu fakta bahwa kesenian tradisional tak lagi jadi tuan rumah di negeri sendiri. Tp ketika kesenian tradisional kita di klaim oleh bangsa lain, barulah banyak orang berkoar2 ttg perlunya pelestarian budaya bangsa. Ironis ya...

BUDI SETIYONO said...

Ironis, memang. Kita benar-benar menjalani "lompatan budaya", bukan hanya baca/tulis tak membudaya tapi juga kesenian tradisional kalah sama MTV...