Wednesday, December 26, 2007

Iklan dan Politik

INI era komunikasi modern. Segala sesuatunya dikemas mengikuti hukum budaya massa yang lebih menekankan aspek hiburan. Berita politik di media seolah jadi drama. Iklan dan orasi politik hanyalah janji-janji kosong. Dan itulah sorotan buku ini.

Iklan dan Politik merekam dinamika periklanan politik selama pemilihan umum 2004. Isinya membahas aturan kampanye, keterlibatan praktisi periklanan, peran media, materi iklan, belanja iklan, aturan kampanye periklanan, pengaruh iklan, sampai pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama masa kampanye. Dilengkapi pula dengan gambar-gambar iklan yang menarik –sayang, rencana menyertakan sebuah CD berisi iklan-iklan media cetak, televisi, dan radio urung dilakukan.


Buku ini sudah terbit, dan momennya juga tepat, menjelang pemilihan umum 2009. Beberapa orang yang membaca buku ini sudah memberikan apresiasi. Sekarang, tinggal Anda.

Pemrakarsa: RTS Masli
Penulis: Budi Setiyono
Tim Ahli: RTS Masli, Baty Subakti, Rudy Haryanto
Penasehat: Indra Abidin, Nuke Mayasaphira, Effendi Gazali,
Yanti B. Sugarda, Iskadi SK, Garin Nugroho, Aswan Soendojo
Pracetak: Paulus Efendi
Administrasi: Wiji Lestari
Sampul dan Tata Letak: Riri Oskandar
Gambar-gambar: Mediabanc Jakarta, kecuali disebutkan sumbernya
Cetakan Pertama: 2008


Diterbitkan oleh:

AdGOAL.Com
Jalan Raya Kebayoran Lama No. 18 CD
Jakarta 12220 Indonesia
Tel +62 21 722 1678
Fax +62 21 722 3760

Galang Press
Jalan Anggrek No. 3/34 Baciro Baru
Yogyakarta 55225
Tel +62 274 545609, 554986
Fax +62 274 554985
Email: galangpress@jmn.net.id
http://www.galangpress.com/

BUKUkita
Jalan H. Montong No. 57 RT 006/02, Ciganjur
Jagakarsa, Jakarta Selatan 12630
Tel +62 21 7888 3030 (Hunting)
Fax +62 21 787 3446 (Direct)
+62 21 786 4440, 727 0996
Email: marketingbukukita@gmail.com

ISBN: (13) 978-979-24-9913-1
ISBN: (10) 979-24-9913-x

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
All right reserved


Sampul Belakang:

SEORANG pemuda aktivis sosial yang menarik, pintar, dan bersemangat didekati oleh manajer kampanye profesional. Diyakinkannya pemuda itu agar mencalonkan diri bagi jabatan pemerintahan. Sang pemuda setuju. Manajer itu bergerak cepat. Sebuah tim sukses dibentuknya. Ada rombongan petugas polling, pembuat film, pembuat iklan, agen pers, penulis pidato, artis perias, dan sebagainya. Semuanya bekerja dengan satu tujuan: mencetak, mengepak, dan menjual kandidat itu melalui kampanye periklanan massal yang canggih. Pemilihan usai. Sang kandidat menang. Tapi keraguan segera menyergapnya: “Apakah saya benar-benar memiliki kualifikasi sebagai pejabat pemerintah?”.

Dia kembali kepada (mantan) manajer kampanyenya, seorang bayaran yang telah siap mencari wajah baru untuk dijual, dan bertanya, “Tapi, apa yang kita lakukan sekarang?”

Sepenggal adegan film The Candidate itu bermuatan satiristik bahwa “produk” tak dikenal dapat dijual kepada pemilih sebagai “konsumen”.

Bagaimana dengan para kandidat di Indonesia menjelang dan selama pemilihan umum? Buku ini layak dibaca kalangan praktisi periklanan, pembuat regulasi, praktisi media, politisi, mahasiswa, dan masyarakat umum.

“Kalau Anda memang (sebelum membaca buku ini pun) sudah telanjur relatif sinis, Anda toh masih bisa tetap mencoba optimis; motto “Bersama kita Bisa” itu juga boleh dibaca “Bersama Kita Bisa Memperbaiki Diri dan Masa Depan Iklan Politik”.
Effendi Gazali, Phd, Koordinator Program Magister Manajemen Komunikasi Politik, Program Pascasarjana Komunikasi UI

“Periklanan politik kadang dirindukan tapi juga dicacimaki karena pesan-pesannya dianggap membodohi dan menyesatkan masyarakat. Seyogyanya ada pijakan untuk menilainya secara arif. Dan buku ini layak jadi rujukan.”
Indra Abidin, President Director PT Fortune Indonesia

“Dari hasil survey pendapat publik, yang dibutuhkan masyarakat pemilih bukanlah iklan politik dengan pesan-pesan yang obral janji ataupun etalase tanda gambar dan nomor urut semata, melainkan pesan-pesan yang jujur dan mulus. Siapapun mesti membaca buku ini.”
Yanti B. Sugarda, President Director Polling Center

“Iklan politik tidaklah sekadar janji dan daya pikat, tetapi mengandung tawaran program, panduan publik, serta menumbuhkan ketulusan dan kepercayaan. Iklan politik adalah strategi image, pendidikan kewarganegaraan, dan strategi politik. Untuk itu, buku ini menjadi penting di tengah dinamika politik dan media serta hubungan bisnis, politik, dan pendidikan kewarganegaraan.”
Garin Nugroho, Koordinator Koalisi Media untuk Pemilu Jujur dan Adil

“Seringkali iklan dipersepsikan mendorong pola hidup konsumtif. Buku ini memberikan pemahaman peran iklan dalam mendorong demokratisasi dan peran publik dalam penentuan perjalanan bangsa.”
Aswan Soendojo,President Director Matari Advertising

“Ada banyak hal yang tercecer dan luput dari perhatian kita selama pemilihan umum berlangsung, dan semuanya bisa terekam dengan baik dalam buku ini.”
RTS Masli, International Advertising Association – Indonesia Chapter President

Read More......

Thursday, December 20, 2007

Obsesi

SEJUMLAH lembaga membuat program menanam pohon. Pemerintah giat mengajak warga menanam pohon. Sebuah ajakan yang bagus. Tapi saya sedikit geli. Tanpa itu pun warga sudah menanam pohon, mempercantik pekarangan rumah mereka. Coba berjalan ke sejumlah tempat dan lihat di beranda rumah-rumah: begitu hijau, asri, dan cantik.

Tahun ini ibarat tahun tanaman. Entah bagaimana mulanya. Tiba-tiba orang hafal nama-nama tanaman seperti adenium, sansievera, euphorbia, dan anthorium. Yang terakhir ini malah sangat populer; orang menamainya “gelombang cinta”. Konon, di sejumlah tempat, harga tanaman ini dibeli dengan harga milyaran rupiah. Di tempat lain beredar kabar athorium yang dicuri orang –biasanya sebelumnya menolak tawaran harga setengahnya. Ada yang lebih konyol lagi. Seorang suami menjual sapinya untuk membeli anthorium. Dia berharap bisa mendapat keuntungan dari hasil penjualannya. Karena marah, istrinya merajang tanaman itu lalu menjadikannya oseng-oseng. Oh dunia….


Saya sendiri tak tahu apa kelebihan anthorium. Konon, itu tanaman raja-raja zaman dulu. Harga tanaman ini juga pernah melesat beberapa tahun lalu. Tetap saja saya tak tahu letak keindahannya. Namanya indah untuk tanaman yang biasa-biasa saja. Ia sejenis tanaman talas, dengan sisi-sisi daun bergelombang. Seorang teman membeli bibitnya –masih kecil, setinggi sekira 10 cm– dengan harga Rp 75.000. Entah berapa lama dia harus menunggu hingga gelombang cintanya mekar.

Saya melihatnya seperti goreng-gorengan lukisan. Jadi tak sedikit pun saya meliriknya.

Tapi, bisa jadi Susan Orleans benar untuk berhati-hati punya hobi tanaman. Ia mampu menarik hatimu, lalu membuatmu begitu terobsesi padanya. Orlean wartawan The New Yorker, penulis buku Si Pencuri Anggrek. Dalam bukunya, Orlean menggambarkan betapa kecintaan pada anggrek telah membuat banyak orang terobsesi, bahkan bisa melupakan kehidupan lainnya. Karena anggrek, orang rela meninggalkan keluarga, karier, masuk hutan, melalang buana, dan bertarung hidup dan mati. Demam tanaman di sini nyaris seperti Simeleone kecil. Sering saya mendengar berita mengenai pencurian tanaman di rumah-rumah warga. Bahkan di kampung halaman saya, kabar pencurian tanaman juga merebak.

Mungkin saya lagi terobsesi oleh tanaman.

Awalnya, setahun lalu, di sesela bertandang ke Semarang, saya membeli dua buku soal bonsai di Pasar Johar. Harganya murah; masing-masing Rp 5.000. Setelah membacanya, rasanya tak begitu sulit membuat bonsai. Tanamannya juga mudah didapat di mana saja. Tapi saya belum tergerak untuk mencari tanaman pertama saya, meski tanaman bukanlah barang asing. Selagi kecil, pekerjaan rutin saya ya menyirami tanaman.

Tanaman pertama saya bukanlah bonsai tapi lidah mertua. Tanaman daun ini biasa saja. Daun-daunnya agak keras dan menjulur ke atas. Warna kuning menyisiri sisi daun, sementara warna hijau dan putih berbaur di tengah-tengahnya. Orang Jawa percaya, meletakkan tanaman ini di depan rumah baik untuk menjaga keharmonisan rumah tangga: bakal disayang mertua! Saya sendiri memilihnya karena ia jenis tanaman dalam ruangan. Tahan tanpa sinar matahari dan penyiraman. Selain itu, lidah mertua dipercaya bisa menyerap polusi udara, terutama asap rokok. Klop kan, saya bisa tetap merokok tanpa bau apak yang memenuhi kamar.

Ada juga three colour. Ia juga tanaman dalam ruangan. Ukurannya kecil. Daunnya bersulur lurus bak jarum perak. Warna merah cerah mendominasi daunnya.

Lalu, seorang teman memberi saya adenium. Bagi saya, adenium tak begitu unik. Jelas ia tanaman pekuburan: kamboja. Bedanya ia pendek –sehingga orang sering menamainya Kamboja Jepang. Bonggolnya agak gemuk. Warna bunganya variatif. Bahkan dalam satu pohon, melalui teknik okulasi biasa, bisa muncul bunga aneka warna. Adenium sempat menjadi trend.

Saya sendiri tak begitu tertarik mengikuti trend. Saya sudah memutuskan untuk membuat dan merawat bonsai. Bonsai punya seninya sendiri. Ia bagian dari peradaban manusia. Menurut Budi Sulistyo dan Limanto Subijanto, keduanya penggemar bonsai dan pernah aktif di Perkumpulan Penggemar Bonsai Indonesia, dalam buku Bonsai, seni ini sudah lama di kenal di China sejak dinasti Tsin (265-420). Ia menjadi kegemaran kalangan atas. Tapi perlahan seni bonsai menyebar hingga keluar China. Penggemarnya pun mulai beragam. Hingga kini harga bonsai relatif stabil.

Begitu tanaman pertama di tangan, hasrat menambah tanaman muncul. Mulailah saya berburu. Selokan di sepanjang jalan yang saya lalui menuju ke kantor menjadi sasaran pertama. Beringin paling gampang ditemui. Saya juga menemukannya di atap gedung, tembok rumah, pinggir jalan… Bonsai beringin adalah khas Indonesia.

Tapi beringin yang saya dapatkan masih terlalu muda. Butuh waktu lama agar mereka mengeluarkan akar-akar yang menonjol keluar. Beringin yang agak besar saya peroleh di tembok rumah. Ia tumbuh berdiri tegak di sisi bangunan rumah berlantai dua. Talang air menjadi satu-satunya jalan mendekati pohon itu. Jalannya mesti merapatkan punggung ke tembok. Beringin itu muncul dari pipa pembuangan kamar mandi. Saya tak bisa membedolnya. Akarnya sudah terlalu dalam dan kuat. Saya mengergaji akarnya. Beringin itu seukuran lengan. Saya sudah memangkas semua dahan, daun, dan akarnya. Saya menaruhnya di pot. Sekarang beringin ini sudah mengeluarkan tunas-tunas baru. Lebat. Sebagai bonsai, ia memang belum sedap dipandang mata.

Bonsai memang bukan tanaman sekejap mata: begitu tanam, langsung bisa dinikmati. Butuh waktu tahunan hingga bentuknya yang eksotik menggoda mata Anda. Kakak saya sudah membuat bonsai tujuh tahun lalu, dan hingga kini belum ada satu pun bonsai jadi. Butuh proses lama, kesabaran, ketelatenan, dan juga kreativitas.

Saya tak berpikir membeli bonsai jadi. Di daerah Puncak, penjual bonsai berjejeran. Dari dalam mobil, saya sering melihatnya dengan takjub. Seorang teman pernah menawar bonsai pohon asem jawa. Harganya: Rp 700 ribu! Dia urung membelinya. Saya juga tak akan membelinya dengan harga semahal itu. Selain itu, saya suka dengan prosesnya. Karenanya, saya lebih suka mencarinya sendiri, lalu merawat dan mendesainnya hingga berbentuk bonsai jadi.

Kadang saya membelinya dari penjual tanaman tapi dengan harga sangat miring. Standar harga saya adalah Rp 5-15 ribu, tergantung ukuran pohon. Kelihatannya tidak masuk akal, tapi saya bisa mendapatkannya. Teman-teman saya, yang kadang mengantar ke penjual tanaman, sering geleng-geleng kepala melihat saya menawar.

Meski tak seperti Laroche, saya mulai terobsesi pada tanaman. Saya terus memburu tanaman lainnya. Saya beli satu lusin pot, dan saya pikir sudah cukup. Ternyata tambah lagi, dan tambah lagi. Kini koleksi saya hampir empat lusin. Ada beringin, beringin putih, beringin karet, beringin dolar, beringin korea, sasilas, pusaka, melati kosta, dewandaru, asem kranji, kemuning, buegenvil, cendrawasih.

Masih banyak tanaman yang belum saya dapatkan. Daftarnya sudah ada: wareng, ulmus, trenggulun, sisir, serut, pinus, rukem, kabesa, kepel, mustam, murbei, minten, maja, landepan, kembang jepun atau nagasari, kawista, kacapiring, jeruk kingkit, delima, cempaka kuning atau kantil, azaela, cantigi, bunut, dan sawo.

Saya terobsesi bonsai hingga pernah membawanya ke dalam mimpi. Saya terobsesi olehnya, hingga tanaman-tanaman ini mampu membuat saya bangun lebih pagi. Untuk apa lagi kalau bukan menyirami dan menyentuhnya.

Yang hadir bukan hanya kenangan masa kecil tapi juga kecintaan pada yang hidup. Mungkin bonsai-bonsai ini akan setua hidup saya nanti.

Bagaimana dengan ajakan menanam pohon? Menjadikan bumi ini hijau memang pekerjaan mulia. Teruskan. Tapi, agar efektif, mungkin perlu juga belajar dari penjual tanaman yang bisa menggoreng tanaman dan menggugah obsesi banyak orang.*

Read More......