Sunday, September 30, 2007

Semut Terjepit Dua Gajah

RUMAH ini asri. Pepohonan rindang memenuhi pekarangan rumah. Dari pintu masuk, aroma wangi yang khas tercium. Sebuah apotik menghadap pintu masuk, menawarkan beragam jenis obat tradisional berbentuk cair hingga kapsul. Di sisi kanan, di sebuah lahan yang lapang, sejumlah tanaman obat berjejer rapi.

Rumah ini tak pernah sepi. Ada aktivitas meditasi dengan mengandalkan kekuatan alam. Sesekali rombongan tamu datang, sekadar melihat-lihat, membeli obat, atau mempelajari pengobatan tradisional. Sebuah papan pengumuman di dinding rumah menjadi petanda: sejumlah lembaga pernah bertandang ke sini.



Putu Oka Setia, si empunya rumah, sudah berada di teras belakang. Ia asyik berbincang dengan tamu yang mulai berdatangan.

Putu Oka seorang sastrawan asal Bali. Pernah mendekam selama 10 tahun di penjara karena aktivitasnya di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), gerakan kebudayaan yang berdiri pada 17 Agustus 1950. Pengalamannya sebagai tahanan politik dia tuangkan dalam sebuah novel Merajut Harkat.

Ia berbincang dengan Scott Schlossberg, mahasiswa S3 Universitas Berkeley, Amerika Serikat. Scott sedang mengkaji Lekra. Saya melihat perbincangan itu ibarat perploncoan. “Apa yang mau kamu tulis; Lekra sebagai hantu gentayangan atau Lekra sebagai semangat berkesenian,” ujar Putu Oka.

“Kalau mau menulis Lekra sebagai hantu gentayangan, ke kuburan saja.”

Putu Oka tertawa. Ini memang pertemuan yang cair. Nama pertemuannya sendiri dibuat santai: temu kangen seniman.

Sudah sering seniman Lekra berkumpul. Awalnya betul-betul temu kangen. Dalam perkembangan, muncul ide untuk membuka diri, memberi kesempatan bagi orang lain untuk bergabung dengan mereka. Acaranya ya makan-makan, bertukar kabar, kemudian diskusi santai mengenai satu topik yang sudah diagendakan dari awal.

Temu kangen digelar di ruang tamu. Katrin Bandel, dosen-tamu di program magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, membuka diskusi. Ia membedah sejumlah karya sastra Indonesia yang terbit selama dan sesudah Orde Baru, terutama yang menyinggung peristiwa 1965. Mula-mula novel Pergolakan karya Wilda Yatim yang terbit pada 1974. Lalu Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pramudya Ananta Toer, Anna Gretta Budi Darma, Sri Sumarah Umar Kayam, Ronggeng Dukuh Paruh Ahmad Tohari, Saman dan Larung Ayu Utami, dan sebagainya. Ia kutip adegan atau dialog dari buku-buku itu lalu mengkritisinya.

Menurutnya, karya sastra Indonesia masih mencerminkan versi pemerintah. Karya sastra Orde Baru memberikan empati terhadap korban-korban 1965 tapi lebih kepada orang yang tak tahu apa-apa. Sekalipun Orde Baru runtuh, logika dan versi sejarahnya belumlah berubah; lebih menyoroti pergolakannya, sementara sisi ideologinya dianggap tidak penting. Menurut Bandel, tidak tepat jika karya-karya sastra yang terbit belakangan menjadi versi tanding Orde Baru.

Ini berbeda dari karya-karya korban. Versinya jelas berbeda, meski ada teks-teks mengenai korban yang tak bersalah atau merasa tak bersalah dan bagaimana mereka mengatasi situasi ini. Ada sedikit kesamaan. Perbedaannya terletak pada pendalaman psikologisnya.

Bandel usai, Saut Situmorang bicara. Saut memaparkan pandangannya tentang apa yang dialami generasinya, generasi pasca-1965, yang menurutnya terjepit di antara “dua gajah yang sedang bertarung.” Generasinya kehilangan pegangan, tanpa pijakan. Di masa Orde Baru, sastrawan Horison menjadi dewa –Horison adalah nama majalah sastra yang diterbitkan sejumlah sastrawan “Manifest Kebudayaan” dan menjadi standar mutu sastra Indonesia. Setelah reformasi, mitos Lekra sebagai setan berubah menjadi dewa.

Meski setelah 1965 kelompok Manifest Kebudayaan “menang”, pertarungan dua kekuatan itu tidak meredup. Kebenaran sejarah menjadi hal yang tak pernah selesai: apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu.

“Generasi sekarang menjadi korban, terjepit, lost generation. Padahal generasi kami yang memberikan pengakuan terhadap dua kekuatan itu,” ujar Situmorang.

Saya suka istilah Saut tapi tak sepakat dengan keterjepitan generasinya. Kalau pun benar, yang hilang bukan hanya generasinya tapi juga sejarah sejarah sastra Indonesia yang utuh.


PADA suatu ketika, menjelang tahun 1950, sastrawan Adi Sidharta (biasa disingkat A.S. Dharta) bertemu dengan M.S. Azhar dan Njoto. Tak jelas apa yang membuat mereka bisa bertemu. Tapi saat itu, menjelang dan sesudah kemerdekaan, pergaulan masih terasa sempit, sehingga ada kebutuhan untuk bertemu dan mengenal orang lain. “Ingat hukum jenis mencari jenis,” ujar Dharta kepada saya.

Njoto seniman musik. Semasa di Solo, gitaris hawaian. Pengetahuannya tentang musik luar biasa. Komponis-komponis Jakarta hormat kepadanya. Pengetahuannya juga luas, mencakup segala bidang. MS Azhar novelis. Perasaannya sangat kuat, dan terasa dalam karya-karyanya.

Mereka bertemu kali pertama di rumah Azhar di Jl Wahidin No 10, rumah dinas Departemen Perhubungan. Awalnya hanya sekadar mengobrol, tentang apa saja, kadang sambil bermain catur. Njoto terkenal jago memainkan bidak. Dari obrolan ringan itulah meluncur perbincangan mengenai perkembangan seni di Indonesia. Mereka merasa Jakarta butuh lembaga kesenian yang ikut memberi andil bagi Indonesia yang masih belia. ”Ternyata dalam diskusi, muncul pemikiran yang lebih luas. Indonesia bukan hanya Jakarta. Jakarta bukan Indonesia. Tapi Indonesia ada Jakarta,” ujar Dharta.

Pada 17 Oktober 1950, atau beberapa bulan setelah penyerahan kedaulatan, didirikanlah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Sejumlah sastrawan hadir dalam deklarasi Lekra itu. Sikap berkesenian mereka dituangkan dalam Mukadimah. Njoto pembuat konsepnya.

”Lekra membantu aktif perombakan sisa-sisa ’kebudayaan’ penjajahan yang mewariskan kebodohan, rasa rendah, dan watak lemah pada bangsa kita. Lekra menerima dengan kritis peninggalan-peninggalan nenek moyang, juga hasil-hasil ciptaan klasik dan batu dari bangsa lain, menuju ke penciptaan kebudayaan yang nasional dan ilmiah. Lekra juga mendorong inisiatif dan keberanian kreatif, menyetujui setiap bentuk, gaya, dan sebagainya, selama ia setia kepada kebenaran dan selama ia mengusahakan keindahan artisitik yang setinggi-tingginya.”

”Lekra menolak sifat antikemanusiaan dan antisosial dari kebudayaan bukan rakyat, menolak perkosaan terhadap kebenaran dan nilai-nilai kebenaran. Lekra bekerja untuk membentuk manusia baru yang memiliki segala kemampuan untuk memajukan dirinya dalam perkembangan kepribadian yang bersegi banyak dan harmonis. Lekra berpendapat bahwa secara tegas berpihak pada rakyat dan mengabdi kepada rakyat adalah satu-satunya jalan mencapai hasil yang tahan uji dan tahan waktu.”

Menurut Lekra dalam Menjambut Kongres Kebudajaan Bandung, 6-11 Oktober 1951, Lekra didirikan setelah kurang lebih 15 orang peminat dan pekerja kebudayaan di Indonesia menerima Mukadimah dan konsepsi Lekra. Sekretariat Pusat Lekra terdiri dari A.S. Dharta, M.S. Azhar, dan Herman Arjuno, masing-masing sekretaris I, II, dan III. Henk Ngantung, Njoto, dan Joebaar Ajoeb menjadi anggota. Aktivitasnya meliputi seksi sastra, seni rupa, seni suara, seni drama, film, filsafat, dan olahraga. Majalah Lekra diterbitkan tiap minggu: Zaman Baroe, kantornya di Surabaya tapi belakangan pindah ke Jakarta. Redaksi diisi oleh Iramani (Njoto), Klara Akustia (A.S. Dharta), dan M.S. Azhar.

Tak dinyana, meski tanpa sistem keanggotaan, dengan cepat cabang-cabang Lekra berdiri di sejumlah daerah. Tak jelas berapa jumlah anggota Lekra. Pram, pada 1963, pernah menyebut angka lebih seratus pekerja kebudayaan. Setahun kemudian, DN Aidit mengklaim hampir setengah juta orang, malah ribuan bahkan jutaan orang ambil bagian dalam mengembangkan Lekra.

”Itu bukti bahwa zaman membutuhkan. Bukti bahwa kita punya understanding terus-menerus. Organisasinya terus-menerus dimodernkan, diefisienkan, supaya yang di bawah pegang kendali,” ujar Dharta.

Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Stephen Miller, pengajar bahasa Indonesia di University of New England, menyebut Lekra sebagai fenomena unik dalam sejarah dunia. ”Berdasarkan penelitian saya, cukup jelas bahwa Lekra berkembang karena cara membangunnya sangat organik dan sesuai kondisi lokal,” ujarnya. Stephen Miller saat ini sedang melakukan riset tentang Lekra untuk tesis doktoral di Australian National University.

Tapi gerakan itu langsung habis begitu Soeharto melancarkan ”gerakan pembersihan”. Lekra dianggap sebagai onderbouw Partai Komunis Indonesia, partai yang disalahkan atas peristiwa pembunuhan para jenderal. Para aktivitasnya dipenjara dan sebagian dibuang ke Pulau Buru tanpa proses pengadilan.



SEMASA saya remaja, Lekra adalah nama yang asing di telinga. Saat ini pun nama itu pun tidak begitu dikenal masyarakat. Orde Baru dibangun dengan propaganda dan pembelokan sejarah untuk melegitimasi kekuasaan. Penggambaran Lekra sebagai bagian dari PKI begitu melekat. Dan salah satu gambaran itu yang sangat berhasil, menurut saya, adalah keluarnya buku Prahara Budaya karya DS Moeljanto dan Taufik Ismail.

Di masa itu, ketika akses informasi terbatas dan sejarah tandingan bukanlah makanan yang mudah ditemukan, saya sendiri terheran-heran membaca buku itu. Kedua penulisnya berhasil menggambarkan kekejaman seniman-seniman Lekra. Kasar. Main sikat. Tukang berangus. Setelah Orde Baru runtuh, gambaran itu memudar, menjadi simpati yang luar biasa. Dan ikonnya adalah Pramudya Ananta Toer, novelis tetralogi Bumi Manusia yang karyanya berkali-kali diberangus pemerintah.

Tapi tahun belum berakhir. Gambaran itu masih melekat di benak sejumlah orang. Mereka juga masih mengaitkan Lekra dengan PKI.

Stephen Miller tak bisa menerima gambaran Lekra sebagai alat PKI. Alasannya, hubungan antara gerakan komunis dan Lekra tak mungkin jalan seperti yang digambarkan selama ini. Miller mengatakan, Lekra muncul begitu saja atas inisiatif pemimpin PKI. Tapi banyak orang yang ikut Lekra di masa awal sudah punya basis sebelumnya. Mereka sudah aktif di sanggar-sanggar seperti Sanggar Pelukis Rakyat dan Sanggar Seniman Indonesia Merdeka (SIM) atau punya kedudukan dalam masyarakat. Lekra hanya semacam badan koordinasi yang mengembangkan organisasi dan kegiatan tersebut.

Lekra bekerja sama dengan organisasi lain, misalnya serikat-serikat buruh dan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Lekra juga membangun organisasi-organisasi baru yang kemudian berkembang sealiran dengan Lekra, misalnya badan nasional untuk pemain ketoprak dan Sarbufis (Sarekat Buruh Film Indonesia). Perhatian pun datang dari tokoh-tokoh terkemuka, termasuk Presiden Soekarno. Soekarno sering datang ke pameran Lekra, atau membuka acara-acara resmi Lekra. Seniman dan sanggar Lekra memenangi kontrak-kontrak seni dari negara.

Keberhasilan Lekra mengilhami kelahiran lembaga-lembaga lain: Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Lembaga Seni Budaya Muslimin (Lesbumi), Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi), dan lain-lain.

Keith Foulcher, dalam risetnya Social Commitment in Literature and Arts, idem dito. Menurutnya Lekra bukanlah alat PKI, tapi sealiran (politik) dengan PKI. Penggambaran Lekra sebagai “alat” PKI, menurut Foulcher, mengada-ada karena seakan-akan ada jalur komando dari Moskow dan Peking melalui Politbiro PKI, lalu ke Pimpinan Pusat Lekra, sampai ke basis keseniannya. Gambaran macam begini tak mungkin terjadi dalam organ sukarela seperti Lekra yang tak punya keanggotaan yang terikat, misalnya dengan kartu anggota atau iuran wajib. Fungsi Lekra di sini lebih pada jaring penghubung antara organ budaya satu dengan yang lainnya dan sekaligus mesin melek politik revolusioner.

Hubungan keduanya mungkin lebih tepat diistilahkan sebagai “keluarga komunis” –meminjam Saskia Elonara Wieringa, penulis buku Penghancuran Gerakan Perempuan. Istilah itu menggambarkan hubungan lentur ketimbang hubungan organisatoris dalam menunjukkan relasi PKI dengan organ-organ konsestannya.

Dalam temu kangen ini, para seniman Lekra juga menolak gambaran itu. Mereka berpendapat Lekra juga tidak satu. Hubungan PKI dan Lekra, juga Gerwani dan Pemuda Rakyat, seperti minyak dan air. Tak bisa bersatu. Dan ini belakangan menjadi masalah bagi Dipo Nusantara Aidit. Ia ingin menjadikan Lekra sebagai organisasi resmi di bawah PKI.

Menurut Joebaar Ajoeb dalam memoarnya Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia, menjelang akhir 1964, gagasan itu disampaikan kepada sejumlah anggota Pimpinan Pusat Lekra. “Jika Lekra setuju pada gagasan itu, yang praktis mem-PKI-kan Lekra, maka hal itu akan diumumkan secara formal. Tapi Lekra menolak gagasan itu. Bahkan Njoto, anggota Sekretariat Pusat Lekra yang juga wakil ketua II CC PKI, ikut dalam penolakan itu,” ujar Ajoeb.

“Kami di Lekra menolak. Saya juga menolak, karena tidak bisa, misalnya, seorang Pram diperintah menjadi merah,” ujar Oey Hay Djoen dalam Tuan Tanah Kawin Muda.

Dan yang hendak dimerahkan bukan saja Lekra, tapi juga lembaga lain seperti Gerwani dan Pemuda Rakyat. Karena tak berhasil, PKI membuat organisasi sendiri: Gerakan Wanita Komunis (Gerwis) dan Pemuda Komunis. Sementara di bidang kebudayaan, PKI membuat KSSR. Mereka juga memiliki media sendiri: Kebudayaan Rakjat.

Upaya Aidit dilakukan antara lain melalui rapat Pleno II CC PKI pada 1963. Salah satu resolusinya adalah Konferensi Nasional Sastra dan Seni, yang akhirnya diadakan pada 27 Agustus hingga 2 September 1964 –dengan nama Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR).

Dalam referetnya, “Dengan Sastra dan Seni yang Berkepribadian Nasional Mengabdi Buruh, Tani, dan Prajurit”, Aidit mengulang apa yang pernah dikatakannya. “Pekerjaan politik adalah otaknya partai, sedang sastra dan seni adalah hatinya partai. Orang komunis adalah manusia yang mempunyai otak dan hati yang terbaik. Oleh karenanya kaum komunis tidak menarik garis pemisah antara kerja politik dengan kerja kebudayaan.”

Setelah diskusi dengan partisipan, referat Aidit diadopsi sebagai program aktivitas kebudayaan revolusioner. Konferensi juga mendeklarasikan bahwa “Sastra dan seni harus diintegrasikan dengan tugas-tugas politik yang kongkret.”

Sejak itu, menurut Keith Foulcher, KSSR dijunjung tinggi sebagai pedoman semua kebijakan kebudayaan Lekra. Sekjen Lekra Joebaar Ajoeb membuat serial artikel yang diadopsi dari ceramahnya dengan judul “Mengapa dan Bagaimana Mengabdikan Kebudayaan kepada Buruh, Tani, dan Prajurit”. Judul itu mengindikasikan bahwa setelah KSSR, bukan saja formula “buruh, tani, dan prajurit” ditinggikan, tapi juga merefleksikan petunjuk dan ketentuan dari Aidit yang disebut “integrasi” dimulai. Sekalipun seringkali “integrasi” itu sendiri menjadi masalah dalam tubuh Lekra sendiri.

Setahun kemudian, peringatan 1 tahun Konferensi diadakan meriah dengan seminar yang menghadirkan sejumlah figur penting Lekra. Media Lekra melaporkan antusiasme atas keberhasilan perkembangan terarah dalam seni revolusioner, khususnya dalam hubungannya dengan aktivitas “turun ke bawah” (Turba). Bagi Keith Foulcher, kenyataan ini menunjukkan bahwa KSSR dan Lekra sama-sama peduli terhadap perkembangan seni dan kebudayaan Indonesia. Tapi tidak ada indikasi bahwa perjuangan itu mengambil tempat dalam kerja politik yang lebih luas saat itu, juga mengancam posisi Lekra.

Meski KSSR itu sendiri sering dianggap sebagai “cacat” dalam sejarah Lekra, tak ada “pertarungan” antara KSSR dan Lekra hingga meletus 30 September 1965. Tak terbayangkan bahwa peristiwa itu akan menjadi tahun yang tak pernah berakhir. Dan “cacat” itu, meski tak banyak diketahui orang, menjadi pembenaran sejarah versi pemerintah.



TAK satu pun para seniman, yang bertemu kangen ini, membicarakan pengalaman kelam mereka setelah 30 September 1965: ditangkap, disiksa, dibuang, dipenjara tanpa proses pengadilan. Mereka lebih banyak bercerita tentang proses penciptaan. Lalu masing-masing saling melengkapi metode penciptaan Lekra, yang dikenal dengan asas 1-5-1: kegiatan meluas dan kegiatan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individu dan kearifan massa, serta realisme sosialis dan romantik revolusioner.

“Kalau ada seniman Lekra tidak punya wajah 1-5-1, maka ia telah ditinggalkan,” ujar Amrus Natalsya, pelukis dengan teknik cukilan kayu, anggota Sanggar Bumi Tarung.

“Saya tak peduli 1-5-1. Pokoknya saya menulis dan saya pikir (hasilnya) sesuai dengan 1-5-1,” ujar penulis cerita pendek Martin Aleida.

“Satu-satunya lembaga yang membuat metode penciptaan adalah Lekra,” ujar Putu Oka.

Temu kangen berakhir.

Bagi saya sendiri, sejarah Lekra tetap tak bisa diabaikan dalam perkembangan kebudayaan di Indonesia. Pada akhirnya gajah-gajah itu hanya akan meninggalkan gading. Generasi Saut dan saya mungkin tak akan menemukan kebenaran tunggal mengenai posisi Lekra dan lembaga kebudayaan lainnya. Tapi sudah semestinya, seperti dalam permainan pinsut, semut selalu menang melawan gajah. Generasi sekarang harus membuat sejarahnya sendiri.*

Read More......