Saturday, September 23, 2006

Kampanye Media

DAVID S. Broeder adalah wartawan-cum-kolomnis yang pernah bekerja buat The Washington Post dan peraih hadiah Pulitzer, hadiah prestisius bagi karya jurnalistik yang punya pengaruh luas. Pada 1992, bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Berita Di Balik Berita. Ini buku yang bagus tentang bagaimana wartawan menyikapi peliputan politik. Broeder memang seringkali meliput di Gedung Putih dan tahu bagaimana para politisi, dan juga presiden Amerika Serikat, menghadapi situasi sulit menjelang pemilihan.

Broeder dengan sangat jujur dan kritis menuliskan berita di balik berita mengenai kampanye pemilihan. Dia membedah kompleksitas strategi kampanye, sisi manusiawi seorang kandidat dalam menghadapi serangan-serangan kandidat lainnya, dan sebagainya. Di dalamnya diulas pula bagaimana sepak terjang tim kampanye, peranan (lembaga) polling, perilaku kandidat selama pemilihan, dan terutama sekali bagaimana korupsi dalam jurnalisme terjadi –dalam bahasa Broeder disebut sebagai jurnalisme klik, komplotan atau kelompok–, dan bagaimana wartawan sering mengalami kesulitan mencari jalan keluar.

Dia menghapus sebagian mitos penyampaian berita untuk melihat jurnalisme modern secara lebih realistis dan kritis. Menurutnya, wartawan sering salah menilai seorang tokoh, keliru melihat alur cerita, bahkan meski kadang fakta-fakta terlihat jelas tapi wartawan masih bisa tersesat karena salah memahami atau salah menilai konteks di mana fakta-fakta itu terdapat. Dengan kata lain, wartawan juga manusia, bisa salah.

Di Indonesia buku semacam itu atau liputan media kurang melihat segala aspek yang berperan dalam sebuah peristiwa politik. Tokoh politik cenderung digambarkan secara permukaan. Wartawan dianggap sebagai “orang suci”. Peristiwanya sering lepas dari konteks, tak bisa melihat jauh ke dalam kenapa peristiwa itu terjadi. Bahkan, di era persaingan media yang ketat ini, wartawan seolah jadi penyambung lidah politikus, gandrung dengan “talking news”.

Di belahan dunia manapun, televisi punya pengaruh besar bagi perubahan media, juga politik. Adanya televisi telah mengubah pola kampanye. Jika sebelumnya seorang kandidat mempersiapkan pidato kampanye yang panjang dan bisa enjoy dengan wartawan, maka kini dia harus siap dengan ucapan-ucapan singkat, dengan penampilan elegan di depan kamera. Tak mau kalah, wartawan media cetak kemudian terjebak pada perburuan berita model bergini. Sampai kemudian muncul istilah “jurnalisme pacuan kuda” yang hanya menekankan strategi dan taktik mendapatkan berita, tapi meremehkan masalah pokoknya, substansinya, dan tidak mempertimbangkan secara serius kualifikasi calon.

Dalam pemilihan umum, menyingkap kualifikasi calon bisa mudah bisa susah. Ini era komunikasi modern, yang segala sesuatunya dikemas mengikuti hukum budaya massa yang lebih menekankan aspek hiburan. Jangan kaget jika berita politik di media seolah jadi drama. Ada kemenangan, ada kepedihan. Kandidat politik main bola bisa jadi berita menarik. Kandidat “dianiaya” kandidat lain jadi berita. Padahal jiwa komunikasi di manapun adalah informasi. Seberapa media punya kesadaran itu, dengan melihat kampanye tidak hanya permukaannya? Menelisik lebih jauh kampanye di balik kampanye.

Kampanye di balik kampanye? Ya, karena apa yang disebut sebagai kampanye seringkali dimaknai secara sempit. Kita punya pengalaman pada Pemilu 2004. Definisi kampanye dalam undang-undang dan aturan Komisi Pemilihan Umum cenderung kabur dan seperti karet, sehingga seringkali menimbulkan perdebatan ketika ada pihak yang memaknainya lain. Kampanye sebenarnya tidak (hanya) terjadi pada waktu yang ditentukan penyelenggara Pemilu. Sejak mencalonkan diri sebagai kandidat, seseorang akan rajin melakukan kunjungan ke daerah dengan nama apapun: ulang tahun partai, kegiatan sosial, silaturahmi, peresmian, macam-macam. Dia juga jadi rajin nongol di media, tangkas menjawab suatu persoalan aktual.

Ketika masa kampanye dimulai, strateginya pun bukan hanya dalam bentuk yang terlihat di permukaan, seperti pawai, rapat akbar, dan iklan politik. Biarkan saja agar pemilih mendapat lebih banyak informasi tentang kandidat. Kalau pun ada politik uang atau dengan nama sumbangan untuk pembangunan jalan, misalnya –sarana kampanye yang dianggap lebih cocok untuk Pilkada ketimbang periklanan politik– terserah hati nurani pemilih, mau menerima atau menolak. Makin panjang kampanye makin banyak uang yang mesti dikeluarkan, tapi berapa dana yang mesti dikeluarkan seorang kandidat?

Tapi di sinilah peran media untuk mengimbangi informasi yang disebarkan masing-masing kandidat. Bukan hal mudah membedah kualifikasi kandidat, kompleksitas strategi kampanye, sisi manusiawi seorang kandidat dalam menghadapi serangan-serangan kandidat lainnya, dan sebagainya. Sejak itu pula muncul desakan untuk menghapus batasan masa kampanye, karena hanya menguntungkan kandidat yang punya nama dan punya jabatan.

Bagaimana dengan Pilkada di Kalimantan Barat, arena yang menjadi liang kubur bagi begitu banyak kandidat politik?

Media pasti akan diuntungkan dalam Pilkada. Di sini hampir semua kandidat akan kampanye periklanan untuk mempersuasi khalayak sasaran. Media mana yang akan dipilih tentu akan sangat tergantung dari efektivitas dan khalayak sasarannya. Media cetak dipilih karena keunggulan dan efektivitas pada kemampuannya memuat informasi dan iklan lebih terperinci. Kelemahannya, media cetak hanya bisa dinikmati dengan membeli, tidak seperti radio atau televisi. Radio memang hanya mengandalkan pesan yang hanya bisa didengar (audio) tapi pendengarnya terspesialisasi, tersegementasi, serta pesannya bisa menjangkau lapisan terbawah dalam masyarakat. Radio juga sangat mobile, mudah dibawa ke mana saja.

Lebih dari radio, televisi bukan hanya bisa didengar tapi juga dilihat (audio visual). Pesannya lebih mudah direkam pemirsanya, apalagi jika ditayangkan berkali-kali. Media televisi biasanya menjadi prioritas bagi kandidat. Bentuk iklan yang ditampilkan pun beragam, dari yang paling sederhana berupa orasi pemimpin partai, iklan testimonial, dokumentasi kegiatan, hingga berupa mini sinetron. Semuanya kemudian ditutup dengan ajakan mencoblos. Pengalaman selama kampanye pemilu legislatif 2004, televisi lokal sudah unjuk bicara dalam perolehan iklan. Jawa TV dan Bali TV bahkan mengungguli Global TV yang notabene stasiun televisi nasional, masing-masing dengan pemasukan Rp 3,8 milyar dan Rp 767 juta. Sementara Borobudur TV, stasiun televisi lokal di Jawa Tengah, meraup Rp 113 juta.

Tapi Pilkada bisa jadi lain dari Pemilu 2004, karena kekhasan dan lokalitasnya. Media cetak dan radio akan jadi sasaran utama karena relatif lebih duluan dikenal dan dinikmati masyarakat. Bisa jadi, jika televisi lokal sudah mengudara di Kalimantan Barat, dan mudah diakses, mata warga lebih akan mengarah ke sana, menonton berita seputar kampanye, kesibukan para kandidat, drama politik, dan deretan iklan-iklan politik.

Pertarungan menarik hati pemilih sesungguhnya memang terjadi di media massa. Dalam hal pemberitaan, para kandidat akan berusaha agar setiap kegiatan kampanyenya mendapat liputan luas dan menimbulkan citra positif. Kandidat akan punya kecenderungan yang sama seperti peserta Pemilu 2004. Ruang di media massa kurang dimanfaatkan secara maksimal untuk berkampanye. Tak ada jabaran program, visi, dan misi. Kampanye seolah jadi ajang hafalan nomor saja. Semestinya, iklan politik akan banyak menyinggung aspek-aspek politik, yakni berbagai isu berbangsa dan bernegara yang akan dijanjikan dalam jargon-jargon para politikus. Materi kampanye yang memuat visi dan misi akan menjadi tumpuan dan alasan bagi rakyat menentukan pilihan. Aspek pendidikan politik dengan menggunakan media modern tidak ditekankan para kandidat.

Di sisi lain, banyaknya kandidat, acara kampanye, dan pelbagai hal selama kampanye membuat media terjebak dalam arus informasi yang kurang dalam. Dalam Pemilu 2004, pemberitaan media televisi mengenai kegiatan kampanye hanya mengambil dari segi orasinya. Media televisi kurang menggali pesan-pesan politik yang disampaikan juru kampanye. Publik juga disuguhi berita yang kurang lengkap, sehingga keakuratan berita diragukan.

Media cenderung mengikuti dan terjebak pada agenda yang diusung masing-masing kandidat dan tim suksesnya. Dari kampanye tanpa isi, talking news, isu yang tak jelas informasinya, dan sebagainya. Pada Pemilu 2004, isu negatif seorang kandidat bertebaran, dari SBY yang kristen, Wiranto yang melanggar HAM, Mega yang tidak direstui kalangan Islam karena perempuan, Amien yang plin-plan, dan seterusnya. Isu itu memang berita. Ada sebagian yang mungkin benar. Tapi media tidak mengungkapkan semua itu ke dalam berita yang lebih dalam dan lengkap, yang bisa memberikan informasi memadai bagi pemilih. Isu itu bisa jadi memang dibikin pesaing untuk menjatuhkan saingannya. Bisa pula diciptakan sendiri untuk menarik simpati sebagai seorang “korban”. Ya komunikasi modern ketika bersinggungan dengan budaya massa menuntut semacam media hiburan: ada drama, ada selebritas.

Media semestinya tidak sekadar berlomba berebut kue iklan. Media juga punya peran dalam pendidikan pemilih. Bukan sekadar agar pemilih mau mendatangi kotak-kotak suara, tapi juga agar tidak datang dengan “mata buta” sehingga salah menentukan calon pemimpinnya.

Bukan hal mudah membedah kompleksitas kampanye. Aspek geografis dari sasaran konstituen di Kalimantan Barat sangat luas dan penuh keberagaman. Tapi menghadapi Pilkada, media seyogyanya punya agenda tersendiri dalam kampanye Pilkada. Media ikut memberikan pendidikan pemilih, bukan sekadar untuk mengajak pemilih datang ke kotak suara, tapi lebih dari itu, memberikan informasi yang memadai tentang kualifikasi calon, tentang persoalan yang menjadi tantangan pembangunan di Kalimantan Barat. Menghilangkan prasangka dengan berita yang benar. Menghilangkan sentimen atas nama apapun, agama maupun etnik. Memberikan kesempatan kepada semua kandidat untuk menjabarkan programnya tanpa alpa mengkritisi. Tidak memihak, sehingga tidak melukai suatu kandidat atau kepentingan yang lebih besar: akses informasi yang sama dan adil kepada kandidat.

Peran ini bisa jadi akan mengorbankan banyak hal dari media, atau wartawan: iklan malas mendekat, juga hubungan perkawanan.

Pada 1972, di sebuah restoran di New Hampshire, Broeder kebetulan bertemu dengan sahabat lamanya, seorang pengacara yang ternyata membantu kampanye kepresidenan dari Partai Demokrat. Mereka bercapak-cakap, sahabatnya berkata, “”Kamu tidak menulis tentang ini, bukan?”

Broder segera tahu masalahnya. Sahabatnya menjawab semua pertanyaan dengan jujur, tapi sebagai seorang sahabat.

“Kamu bukan orang yang tidak terkenal,” ujar Broeder.

“Kau tidak boleh melakukan itu. Ini akan merusak semuanya”

“Seharusnya kau pikirkan itu semua sebelum kau datang ke sini. Tidak mungkin kau dan kawan-kawanmu terlibat tanpa diketahui orang.”

Broder menuliskan cerita itu dan persahabatannya berakhir seperti yang diperkirakannya. Broeder tidak merasa yakin bahwa dia telah melakukan hal yang benar. Dia merasionalisasikan “pengkhianatannya” dengan dalih bahwa kalau saya tidak menulis cerita ini, wartawan lain akan melakukannya. Tapi ini tidak menentramkan hatinya.

Tapi inilah tugas wartawan dan risiko yang harus ditanggung. Akan banyak pengalaman yang akan merisaukan seperti itu. Karena tugas wartawan adalah melayani kepentingan warga.

“Kebebasan pers pada akhirnya tergantung dari seberapa pentingnya pekerjaan kami bagi Anda (pembaca),” ujar Broeder.*

Read More......

The Candidate

SEORANG pemuda aktivis sosial yang menarik, pintar, dan bersemangat suatu ketika didekati seorang manajer kampanye profesional. Diyakinkannya pemuda itu agar mencalonkan diri bagi jabatan pemerintah. Sang pemuda setuju. Manajer itu lantas bergerak cepat. Sebuah tim sukses dibentuknya. Ada rombongan pollster (petugas polling), pembuat film, pembuat iklan, wartawan, penulis pidato, perias, dan sebagainya. Semuanya bekerja dengan satu tujuan: mencetak, mengepak, dan menjual kandidat itu melalui kampanye periklanan massal yang canggih.

Pemilihan usai. Sang kandidat menang. Tapi keraguan menerpanya. Dengan rasa khawatir dia merenung, apakah dirinya benar-benar memiliki kualifikasi sebagai pejabat pemerintah. Dia kembali kepada (mantan) manajer kampanyenya, seorang bayaran yang telah siap mencari wajah baru untuk dijual, dan bertanya, “Tapi, apa yang kita lakukan sekarang?”

Adegan penutup film The Candidate itu sangat bagus dan bermuatan satiristik. Adegan itu menjelaskan bahwa “produk” tak dikenal dapat dijual kepada pemilih sebagai konsumen. Dan Nimmo, dalam karya monumentalnya Komunikasi Politik, menyebutnya sebagai objek pelajaran dalam dimensi periklanan dari persuasi politik.

Dalam pemilihan umum (Pemilu) 2004, juga Pemilu 1999, kita menyaksikan bagaimana sejumlah kandidat, entah itu legislatif maupun presiden, sudah menggunakan cara-cara komunikasi modern. Kandidat kepala daerah di sejumlah dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) mungkin sudah menerapkan pula. Mereka menerapkan apa yang dikenal dengan political marketing, yang merupakan serangkaian aktivitas terencana, strategis tapi juga taktis, untuk menyebarkan makna politik kepada para pemilih.

Apa saja komponennya? Dalam pemasaran ada yang dikenal dengan istilah bauran pemasaran, lazim disingkat 4P. Product berarti kandidat dan gagasan-gagasannya. Price bisa dilihat sebagai atribut dan pernik-pernik dari sang kandidat. Promotion adalah upaya periklanan, kehumasan, dan promosi. Place merupakan tempat konstituen dapat menemukan berbagai hal tentang seorang kandidat –contohnya Warung Wiranto dalam Pilpres 2004.

Tentu saja konsep pemasaran, yang lazim untuk produk komersial, tidak bisa diterapkan begitu saja. Perlu pendekatan yang khas karena produk politik berbeda dari produk komersial. Apalagi waktunya relatif singkat. Selain itu para kandidat akan dihadapkan pada soal keterbatasan dana, jaringan yang tertata rapi dan solid, pengalaman, dan rekam jejak dalam kegiatan politik.

Di sinilah tim sukses, atau konsultasi komunikasi yang menanganinya, mesti menyiapkan dan membuat program kampanye yang bagus, tepat sasaran, dan menjual. Mengembangkan isu. Menyusun kebijakan politik. Membangun citra personal maupun sosial. Melakukan pendekatan emosional, dan sebagainya.

Tim sukses mesti menentukan segmententasi terlebih dulu, baik secara demografis, geografis, psikografis, geopolitik, maupun sistem nilai. Segmentasi juga bisa didasarkan atas isu atau kepentingan politik di masing-masing wailayah yang tentu saja berbeda-beda. Skala prioritas (captive market) penting karena faktor “kepastiannya”. Seorang kandidat cenderung punya pendukung utama di wilayahnya. Faktor agama dan etnik juga bisa dipakai untuk mengikat atau memberikan penawaran kepada konstituen. Dan tak kalah penting, positioning, yang pada dasarnya bagaimana masuk di benak konsumen melalui keunggulan sang kandidat. Misalnya, ada kandidat menegaskan diri sebagai pengayom “wong cilik”.

Tim sukses juga mesti memilih media yang tepat, serta menyiapkan pendekatan, cara, dan strategi kampanye seefektif dan seefisien mungkin. Baik melalui below the line (media cetak) maupun above the line (media elektronik). Dari situ membuat program komunikasi, melakukan analisis SWOT, menentuan khalayak sasaran, menentukan inti pesan, hingga langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menerapkan strategi kampanye. Pada akhirnya adalah penerapan dan penjabaran strategi kampanye dengan memperhatikan situasi maupun state of mind (tingkat kesadaran) khalayak sasaran. Di sini pesan sebagai inti komunikasi harus relevan, benar, dan tepat. Pesan-pesan harus berangkat dari kekuatan dan aset utama kandidat.

Dan inilah pesta demokrasi. Pesta bagi media menangguk iklan. Percetakan dan tukang sablon mendapat order. Bagi warga, yang kini bisa menentukan pemimpinnya sendiri, berebut kaos. Diperkirakan, karena hendak merebut hati pemilih, uang juga bertebaran, jalan-jalan akan mulus. Nikmati saja tanpa lupa bersikap selektif dan kritis. Mungkin pertanyaan dan jawaban sekaligus yang dibuat Dan Nimmo bisa jadi acuan:

Apakah semua persuader berbohong? Tidak, tapi banyak yang berbohong.
Apakah semua persuader menggunakan kata, tindakan, logika, dan gaya hanyalah sebagai akal-akalan penjaja untuk menyelimuti maksud mereka dan fakta yang sebenarnya? Lagi-lagi tidak, tapi ada yang dengan seksama menonjolkan tanda-tanda kecantikan dan menggunakan kosmetik untuk menutupi cacat.
Apakah setiap ide itu pura-pura dan setiap akal-akalan adalah palsu? Tidak perlu, tapi biarlah pembeli waspada.

Untuk para kandidat, ingatlah bahwa, dalam bahasa pemasaran, membujuk kembali seorang konstituen yang kecewa akan jauh lebih sulit daripada mencari seratus simpatisan baru. Lebih parah lagi, ke-100 simpatisan tersebut akan lebih mendengar pengalaman dari orang yang kecewa itu ketimbang seratus pesan politik Anda.*

Read More......